Disclaimer : Bleach © Tite Kubo
.
Another
by I. Sunshine
Suasana terlihat tenang di dalam kediaman Kurosaki yang biasanya jauh dari kata tenang. Yah, mungkin tidak akan berlangsung lama. Beberapa saat lagi salah satu kembar bungsu Kurosaki akan tiba dirumah bila tidak ada kegiatan lain yang mengharuskannya untuk beraktifitas lebih lama di luar, dan sang kepala keluarga—Kurosaki Isshin, tidak lama lagi juga ayah nyentrik itu akan tiba di rumah.
Kini yang menjadi penghuni hanyalah sang anak tertua, Kurosaki Ichigo. Menikmati keheningan nyaman membaca buku di sofa ruang tengah. Pundak bidangnya bersandar nyaman, sesekali dalam beberapa menit tangannya akan membalik halaman buku novel dari penulis favoritnya. Pikirannya tampak hanyut dalam bacaan meski seragam sekolah masih utuh dikenakan belum berganti dengan pakaian santai, juga terlihat tidak terganggu dengan adanya sepasang kaki mungil berselonjor di atas pahanya.
Itu adalah kaki Kuchiki Rukia.
Teman sekelas di SMA Karakura, sahabat kecil Ichigo, serta tetangga yang menempati rumah mewah disamping Kurosaki Klinik yang hanya di buka malam hari milik ayahnya.
Sejak kecil mereka sudah tumbuh bersama menjadi teman sepermainan. Saling mengenal dan tidak memiliki batasan. Memiliki argument di setiap waktu, namun tetap tidak pernah terpisah. Pemandangan yang biasa bila mereka tampak bersama di manapun. Contohnya sore ini, mereka hanya menghabiskan waktu mengisi kekosongan sampai salah satu merasa perlu melakukan aktifitas lain, atau bahkan mereka bisa seperti itu terus hingga berjam-jam. Mereka hanya mersa nyaman bersama.
"Jadi menurutmu berciuman itu seperti apa rasanya?"
Ichigo yang semula fokus pada bacaan menurunkan buku di tangan pada pangkuan. Sebelah alisnya terangkat, setengah mencemooh menatap sahabat mungilnya yang melontarkan pertanyaan tapi masih begitu fokus pada bacaan sendiri.
"Kau penasaran dicium?"
Si mungil menggeleng, menggoyangkan sedikit helaian rambut yang hanya sepanjang tengkuk. Tangannya sudah bergerak membalik halaman selanjutnya.
"Lalu?"
"Akhir-akhir ini teman-teman dikelas sering membahas hal itu saat jam istirahat, oh—yang perempuan maksudnya."
Hha?
"Ada banyak versi yang bisa kusimpulkan kalau mendengar cerita mereka, tapi satupun aku tidak yakin mana yang benar." meskipun dahi Rukia berkerut memandang tulisan pada majalah bacaan, Ichigo tahu gadis mungil itu sedang berfikir keras pada objek lain.
"Memanganya apa saja yang mereka katakan sampai kau jadi penasaran begini?"
"Tatsuki bilang ciuman itu menjijikkan, tapi pipinya memerah saat bercerita. Lalu, Orihime sendiri malah salah tingkah waktu membicarakan soal ciuman. Serumit itu kah ciuman?"
Ichigo terkekeh pelan, menggelengkan kepala kembali fokus pada bacaan.
"Apa yang kau tertawakan? Kau sama sekali tidak membantu."
"Kau terlalu memperumit pikiranmu, Rukia. Ciuman itu tidak serumit itu."
"Memangnya kau sudah berciuman?"
"Belum."
Si mungil Kuchiki mendegus sinis. Posisi nyamannya berubah tanpa mengalihkan diri dari bacaan, kedua kaki yang semula berselonjor cantik di atas paha Ichigo ditarik, menggeser posisi menjadi duduk tepat di sebelah rambut orange. "Bagaimana mungkin kau mengeluarkan pendapat seperti itu kalau kau saja belum pernah melakukannya?"
"Aku juga punya teman laki-laki, Rukia. Dan aku juga membaca buku, dan jauh lebih penting—aku tidak selugu dirimu."
Rukia berdecak kesal, heran kenapa sampai sekarang dia masih betah berteman dengan orang angkuh sekelas Kurosaki Ichigo. "Aku rasa berciuman itu terjadi setelah melalui proses rumit. Bahkan Chizuru berkata saat berciuman akan ada perasaan panas dan melilit di dalam tubuh. Bayangkan betapa mengerikannya harus melewati hal seperti itu untuk sebuah ciuman."
"Jangan dengarkan kata-kata temanmu yang berambut merah itu. Kau pasti belum tahu dia hampir sama seperti Keigo yang suka membaca hal menyimpang."
"Tapi kurasa Chizuru yang paling masuk akal diantara yang lain. Katanya kalau kita akan berciuman, nafas bisa berubah sesak atau tertahan, lalu jantung berdebar-debar."
"Hahaha." Ichigo sengaja, Rukia tahu tawa bernada datar yang pemuda itu keluarkan hanya untuk mencemooh pengulangan teori milik Rukia. Mendengus kesal refleks tangan gadis mungil itu melemparkan buku di tangan tepat mengenai lengan sahabat orangenya.
Lemparan Rukia sama sekali tidak mempengaruhi apapun, bahkan tidak mampu menyakiti lengan Ichigo. Meski terus fokus pada bacaan, Ichigo bahkan tidak berhenti menghilangkan seringai mencemooh di wajah, menyebalkan.
"Kau tidak lucu."
"Kau yang tidak logis. Katakan pada Chizuru nafasku juga akan sesak dan jantung berdebar-debar setelah lari meraton. Teori yang dijelaskannya itu tidak sepenuhnya benar."
"Lalu memangnya teori seperti apa yang paling benar kalau menurut versimu hha?"
"Kalau bericuman, ya berciuman. Menempelkan bibirmu pada lawan jenis, tidak perlu serumit seperti ceritamu yang harus sampai kehilangan nafas."
Rukia memutar bola mata, sebelah tangannya menyibak rambut. Jelas perempuan idola SMA Karakura yang dijuluki 'Putri Es' itu masih bertahan pada argumen. "Tapi aku melihatnya berbeda."
"Melihat?" kedua alis Ichigo bertaut, wajahnya menoleh langsung. Perkataan Rukia tidak bisa membuat isi kepalanya mencegah untuk berfikir tentang teman sekelasnya yang memperlihatkan video tidak senonoh pada sahabat mungilnya bila menyangkut pautkan nama Chizuru. Percayalah, perempuan itu maniak seperti Keigo.
"Chizuru menunjukkan pada kami video film romantis yang memiliki adegan berciuman di dalamnya. Aku lihat nafas pemeran utamanya langsung terputus-putus setelah berciuman. Kalau memang Chizuru salah, jadi apa penjelasanmu tentang video itu?"
"Yah—itu..." tangan Ichigo menggaruk belakang leher, dia tahu lehernya tidak gatal sama sekali, namun gerakan itu terjadi alami. Susah payah otaknya memilah kalimat untuk memberikan penjelasan pada sahabatnya, namun satu kalimat yang paling sederhana pun tidak bisa terpikir.
"Kau bilang ciuman itu sederhana, tapi kau sendiri tidak bisa menjelaskannya."
"Bukan seperti itu, pertanyaanmu barusan hanya sedikit sulit bila harus dijelaskan."
"Nah—kau bahkan mengakui sekarang kalau ciuman itu rumit."
"Sudah kubilang tidak rumit."
"Berhenti mempertahankan harga dirimu, Kurosaki. Kau lah yang tidak logis."
"Hoi, hoi..." tangan Ichigo terngkat, meraih ujung dagu Rukia. "Bukan aku yang tidak logis."
Harga diri yang tidak ingin kalah, dan juga sifat keras kepala yang mendarah daging. Jelas mereka terlalu serupa sifatnya hingga tidak mungkin perdebatan akan berakhir damai. Mendengus kasar Rukia hendak menepis tangan Ichigo yang masih bertengger manis di ujung dagu, namun keras kepala pemuda itu mengeleng tak mau menyerah.
"Ciuman itu hanya perlu menempelkan bibir, Rukia. Seperti ini."
Dan—terjadi.
Bergerak santai seolah hal tersebut biasa mereka lakukan, bibir Ichigo sudah tertempel pada permukaan bibir mungil Rukia. Gerakan yang awalnya hanya sekedar menempelkan saja, lalu berubah melumat pelan dari pihak Ichigo. Kedua mata pemuda itu terpejam rapat, berkebalikan dengan sahabat mungilnya. Kedua kelopak yang membingkai iris violet berukuran lemon itu masih mengerjap beberapa kali. Setengah dirinya masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi, namun setengah lainnya menuntun bibir pemilik marga Kuchiki tersebut mengikuti alur lumatan bibir Ichigo.
Mungkin Rukia harus mengakui kalau Kurosaki Ichigo benar untuk kali ini. Ciuman tidak rumit.
Atau—mungkin Ichigo lah yang seharusnya sadar diri untuk tidak besar kepala.
Siapa sebenarnya yang lebih salah? Jika salah satu diantara mereka yang harus memutuskan, tentu tidak ada yang tahu pasti bukan?
Beberapa menit berlalu diisi keheningkan yang terbungkam kecupan, Ichigo menarik diri lebih dulu. Meski tampak sedang mengatur nafas, pemuda itu di mata Rukia tidak terlihat terengah berlebihan seperti video yang sudah Rukia lihat. Ahh—Kuchiki Rukia benci sekali mengakui untuk kedua kalinya Ichigo benar.
"Lihat, sudah kubilang ciuman itu tidak rumit bukan?"
Mengerjapkan mata Rukia mengangguk, wajahnya terlihat kaku. "Ya, kurasa kau benar."
Entah kenapa rasanya suasana berubah menjadi kikuk diantar mereka. Rukia sudah mengakui kekalahannya, tapi entah kenapa posisi canggung dimana tangan Ichigo yang masih memegangi ujung dagu Rukia belum berubah sama sekali. Bahkan mata pemuda itu tampak mengerjap saat Rukia tanpa sengaja menjilat ujung bibirnya.
Dan—lagi-lagi.
Rukia benar-benar tidak mengerti kenapa kali ini bibir Ichigo sudah melumat bibirnya—lagi. Dan masih saja perempuan bertubuh mungil itu mengikuti alur. Membalas lumatan dan juga menutup mata seperti yang Ichigo lakukan. Perasaan itu bercampur aduk, mengaduk-aduk isi perut, mengirimkan sensasi menggigil, dan—apakah jantungnya akan mulai berdebar?
"Aku pulang, Ichi-nii."
Terkesiap Rukia mendorong badan Ichigo, bersinggut lebih jauh kesudut sofa mencari pegangan. Lewat ekor mata bahkan terlihat Ichigo kalang kabut membenahi posisi duduk hingga terlihat normal. Hanya dehaman pelan menjadi jeda sebelum derap langkah memasuki ruang keluarga.
"Ah, ternyata ada Rukia-nee juga."
Itu adalah Kurosaki Yuzu. Salah satu adik kembar Ichigo yang baru saja pulang membawa tentengan keranjang belanja. Wajah gadis yang baru menginjak bangku SMP itu tersenyum manis menaruh barang belanjaan pada meja dapur yang tergabung dengan ruang keluarga. Mengeluarkan isinya dan mulai menyusun satu per satu ke dalam lemari es.
"Hari ini Rukia-nee makan malam disini saja. Paman Kuchiki juga sedang tidak ada dirumah kan?"
"A,aku pulang saja, Yuzu."
Tak sempat sepatah katapun terlontar untuk mencegah kepergian, Rukia sudah berlari menuju pintu depan. Ada suara pintu sedikit terbanting serta langkah terburu membuat wajah Yuzu semakin menlongo.
"Sepertinya Rukia-nee kurang sehat, wajahnya merah sekali."
Ichigo hanya berdecak pelan. Merebahkan tubuh diatas sofa hingga berbaring. Wajahnya mungkin sudah tersipu liar, tapi Yuzu tidak akan dibiarkan sampai mengetahuinya karena pemuda itu sudah menutupi wajah dengan majalah yang terbuka di atas wajahnya.
"Apakah tidak sebaiknya nanti Ichi-nii mengantarkan bubur kerumah Rukia-nee?"
"Ck, aku juga tidak enak badan. Suhu tubuhku sedang sedikit panas."
Ide untuk menemui Rukia dalam waktu dekat jelas tidak mempebaiki kinerja otak Ichigo agar lebih logis. Menggeliat tak nyaman Ichigo menutup mata rapat-rapat, mencoba menjernihkan pikiran. Namun disaat semua rasanya akan dalam kendali, gambaran bibirnya yang melumat lembut bibir Rukia mengacaukan laju aliran darah yang memprovokasi jantung untuk lebih giat mengalirkan darah.
Suka atau tidak, Rukia benar mengenai argument yang dipertahankan gadis itu beberapa saat lalu. Karena kini bukan hanya tersipu, jantung Ichigo pun sudah berdetak tidak karuan.
Sungguh, sebuah ciuman—eh, dua kali ciuman bisa merubah segala.
.
.end.
