BLACK INVITATION

.

Created by : jitan88 | 2012 |

Disclaimer : Jake Muller, Sherry Birkin, Leon Scott Kennedy, Claire Redfield adalah milik Resident Evil - Capcom.

Semua nama tokoh dan lokasi yang tercantum tapi tidak terhubung dengan cerita RE yang sebenarnya, adalah fiktif hasil dari pemikiran penulis semata.

Note :

- Timeline : Setelah Resident Evil 6 (sedikit spoiler RE 6)

- Jake x Sherry couple pairing, juga sedikit membahas Leon dan Claire.

- Mengandung konten kekerasan (Rated T cukup nggak ya?)

- Genre : Action / Adventure / Romance

- Request pairing by : Saika Tsuruhime.

- Semoga ceritanya berkenan, dan maafkanlah segala bentuk kesalahan penulis newbie.

- Tolong reviewnya yaa semua, makasih :)

.

.


PROLOGUE

.

.

Dia hanya terpaku melihat pantulan dari cermin, menatap tatapan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Selama apapun ia menatap, itu tidak akan mengubah satu pun guratan dari bentuk wajahnya. Tidak menghilangkan apa yang selama ini sudah diwariskan pada dirinya.

Sedikit pun.

Semua orang sudah menyadari sebuah fakta. Ketika kita dilahirkan, kita tidak bisa memilih orang tuanya, tidak dapat memilih dimana mereka akan dilahirkan, atau keluarga apa yang mereka miliki.

Puas atau tidaknya keadaan yang dihadapi adalah hal yang harus mereka perjuangkan.

Hidup dan bagaimana cara tiap orang bertahan hidup, adalah sebuah pilihan.

Mempercayai takdir dan siklus hidup,

adalah bagian dari pemahaman dan pola pikir tiap individu…

Terhadap kehidupan.

.

.

.


BLACK INVITATION

CHAPTER 1 : REUNION

.

.

December 24th, 2013 – Central Market, Republic of Amozi - Middle Eastern Country

Cuaca siang hari itu terasa panas dan menyengat sampai kulit. Dia berlari bersama seorang pria di sebelahnya, melewati lorong-lorong pasar yang ramai dipadati pedagang dan pembeli. Beberapa teriakan protes dari para pedagang terdengar di telinga mereka, mereka tetap berlari tanpa mempedulikan beberapa barang yang tersenggol lalu jatuh berserakan di lantai. Kerumunan orang itu lagi-lagi dikejutkan oleh sekumpulan orang berkerudung yang juga berlari mengejar dua orang tersebut.

Dengan jubah panjang dari atas kepala hingga kaki berwarna hitam, mereka mendorong paksa- dan menyingkirkan satu per satu orang yang menghalangi jalan. Keributan itu mendadak hening setelah terdengar sebuah tembakan peringatan dari salah seorang yang berjubah hitam. Masyarakat panik, berteriak, dan membungkukkan badan mereka secara refleks untuk melindungi diri. Jalanan yang awalnya padat menjadi terbuka lebar setelah orang-orang itu ketakutan dan menyingkir.

Empat orang berjubah itu terus berlari mengejar dua lainnya, memasuki sebuah lorong gelap yang sudah lama tidak terpakai. Gelap, lembab, hanya terdengar derap kaki dan napas yang memburu. Lorong panjang dan gelap itu tersambung dengan sebuah terowongan tua yang dipakai para pedagang untuk menaruh keranjang-keranjang juga menyimpan berbagai macam stok barang, cukup berantakan. Penglihatan mereka terlihat samar, akibat mata yang belum beradaptasi dengan keadaan gelap di sekitarnya. Mereka memperlambat langkahnya sambil mencoba mengatur pernapasan.

Tiba-tiba salah satu dari empat orang berkerudung itu mengerang dan terjatuh, mengejutkan tiga orang lainnya. Sebuah pisau menancap di punggung rekan mereka, ia tidak bergerak lagi. Lalu dari belakang muncul sergapan baru menyerang seorang yang lain. Pria berambut cokelat yang dikejarnya, kini berbalik menyerang dengan tangan kosong. Pria berjubah itu mencoba melawan, menepis pukulan yang diarahkan padanya. Dua orang lainnya langsung mengeluarkan senjata.

"Cepat kejar yang satu lagi!" teriak salah satu dari mereka sambil melawan, mungkin dialah pemimpinnya.

.

Dua lainnya meninggalkan si pemberi komando yang masih berbaku hantam dengan si penyerang. Mencoba mengejar salah seorang lagi, kali ini mereka lebih hati-hati. Mencari di tiap sudut, menajamkan indera penglihatan dan pendengaran, karena tampaknya orang yang mereka cari memanfaatkan kondisi gelap sebagai tempat bersembunyi. Beruntung bagi mereka, terowongan tua itu sudah ditutup oleh pemerintah sejak belasan tahun yang lalu. Artinya, jalan buntu. Selang beberapa menit terdengar sebuah suara tembakan dari arah lorong yang mereka lalui, diikuti sebuah siulan. Mereka bertatapan satu sama lain.

"Pertarungan mereka sudah selesai," kata salah seorang dari mereka.

"Tentu. Dia pasti menang."

Mungkin siulan itu tanda khas kemenangan si pemimpin.

Mereka kini siaga dengan senjata di tangan, mengitari terowongan yang berantakan dengan karung dan boks kayu bertumpuk, berserakkan. Tiba-tiba terdengar sebuah suara tembakan lagi dari belakang, tanpa sebuah siulan. Mereka tercekat, siapa itu?

Namun belum sempat mencoba berpikir, mereka diserang dari arah samping oleh seseorang yang daritadi menunggu datangnya kesempatan. Orang ini menendang ke belakang lutut dan membuat salah satu pria berjubah tersungkur, senjatanya terlepas dari tangannya dan- dia berhasil tertembak. Ketika bermaksud menyerang seorang lagi, sebuah pistol sudah mengarah di depan matanya.

Dia terlambat.

.

"Usaha bagus, Nona."

Si pria berjubah mengarahkan senjatanya ke target yang ternyata seorang wanita. Menyuruh wanita berambut pirang ini melucuti senjata, mengangkat kedua tangan, lalu berlutut di hadapannya. Dia memperhatikan dengan seksama postur wanita mungil yang berhasil membunuh rekan kerjanya, dan tersenyum penuh ejekan.

"Katakan kau berasal darimana?!"

"Apa kau bekerja untuk FBI? CIA?"

Lawan bicaranya tak bergeming, hanya menatap si pria berjubah yang nampak begitu besar dan berbahaya di depannya.

"Che. Dimana-mana memang sama. Semuanya bisu," katanya lagi, "Katakan, Nona. Ini pertanyaan terakhirku sebelum kau mati."

Wanita di hadapannya tidak takut sedikit pun, dia menggelengkan kepalanya.

Pelatuk pun ditarik seiring dengan dengusan napas si pria yang kesal melihat respon lawan.

"Wanita sialan… MATILA-"

Dalam sepersekian detik sekonyong-konyong muncul sebuah bayangan besar yang mendorong senjata itu ke atas. Bunyi tembakan terjadi, namun luput mengenai sasaran. Peluru menembak dinding terowongan- rupanya ada kehadiran orang ketiga. Tamu asing itu menendang lutut si pria berjubah, menjatuhkan senjatanya. Pria berjubah itu mengerang kesakitan dan melayangkan tinjunya. Sayang, dengan mudah ditepis. Tanpa ampun dihantamnya kepala lawan dengan tinju, tamu asing ini langsung memberikan tiga pukulan bertubi-tubi di wajah juga perut lawan hingga terjatuh. Dan dengan satu tebasan terakhir di leher yang langsung menghentikan napas si jubah hitam. Tergeletak dengan kubangan cairan berwarna merah.

Darah segar berceceran dari sebuah pisau di tangannya. Si wanita memekik melihat pemandangan itu. Tampak di hadapannya orang lain berkerudung, tinggi besar, yang membunuh orang yang baru saja mau menembaknya. Orang ini hanya diam di tempat, tak bergerak dari posisinya. Dia mengibaskan senjatanya, membuat darah yang menempel di mata pisau itu bercipratan di lantai. Lalu ia menatap wanita yang terduduk pucat pasi di depannya.

Mereka hanya diam sambil menatap.

"Si… Siapa kau?" akhirnya si wanita bertanya.

Setelah menyembunyikan pisaunya, ia mendekat ke arah wanita itu. Tampak ketegangan memenuhi wajah si pirang. Dia membungkuk, menyamakan jarak pandang agar setara dengannya. Ia mengamati si wanita dengan bantuan cahaya yang terpancar dari celah sisi terowongan. Si pirang ini berambut pendek, ia mengenakan jaket berwarna kecoklatan dan celana panjang- sepertinya hitam.

Lalu perlahan ia membuka penutup kepalanya di hadapan wanita itu. Keadaan gelap masih menyamarkan wajahnya, namun tampaknya ia seorang pria berambut tipis dan berwajah tegas.

.

"Kau terluka?" dia bertanya.

.

Suara yang membuat mata wanita pirang ini semakin terbelalak tidak percaya.

Tapi wanita ini masih terpaku di depan pria itu.

"Yo- supergirl!"

Ternyata benar.

Ini memang suara pria yang dikenalnya.

.

"Bisa kau hentikan tatapanmu itu, Sherry? Kau pikir aku Ustanak, he?!"

"JAKE?!" Sherry akhirnya menyahut.

.

.


Reuni.

Ini adalah pertemuan kembali Jake Muller dan Sherry Birkin setelah tragedi di China akibat sebuah senjata biologis bernama C-Virus. Enam bulan lamanya mereka tidak pernah saling bertemu, hanya sesekali berkomunikasi lewat pesan singkat yang mengabarkan mereka dalam keadaan baik… Atau setidaknya, hidup. Sherry berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang berdebu, mencoba menghindari darah segar di sekitar lantai dari pria yang tadi mengejarnya. Lalu berjalan ke sebuah pojok tempat ia bersembunyi, mengambil tasnya.

"Sedang apa kau disini?" Sherry mengangkat tasnya dari lantai.

"Mencari sarapan di pasar, sebelum melihatmu lari seperti kelinci yang dikejar serigala."

Jake melipat kedua tangannya, terus memperhatikan Sherry, "Dan kau? Kenapa ada di sini, di Amozi?"

"Sebuah misi. Aku ditugaskan mencari seseorang."

Jake mengangkat kedua alisnya, terdengar seperti déjà vu?

"Bukan KAU, Jake…" Sherry mencoba tersenyum, "Aku ditugaskan mencari seorang agen yang mau memberikan informasi penting."

"Yeah yeah… Kupikir kau mencariku untuk membayar tawaran yang sudah turun jadi lima puluh dollar?"

Sherry tertawa kecil melihat Jake yang sekilas tampak kikuk.

.

.

"Kau hanya sendirian?" tanya Jake lagi, ketika Sherry berjalan mendahuluinya keluar dari terowongan gelap itu. Sherry menggelengkan kepalanya.

"Aku berdua dengan agen lain, tapi kami berpisah jalan tadi…"

"Apa temanmu pria Amerika berambut pendek dan berwarna cokelat? Aku bertemu dengannya barusan di ujung lorong."

Sherry Birkin mengangguk.

"Kalau begitu sekarang kau SENDIRIAN." jawab Jake tenang, "Dia sudah mati."

Sherry berbalik badan, menatap Jake dengan wajah bingung, "APA?! Be… Benarkah? Katanya tadi kau bertemu…"

"Yep. Aku memang bertemu dengan… Jasadnya, maaf kami tidak sempat berkenalan. Aku terlalu sibuk 'ngobrol' dengan pembunuhnya yang suka bersiul." Jake menyeringai.

"Jadi, apa rencanamu?" tanya Jake lagi.

Jake Muller membiarkan Sherry menghela napas dan berpikir, baru saja tiba di kota ini dan dia harus kehilangan partnernya saat bertugas. Dia hanya mengamati wanita itu mondar-mandir dan memegangi ponselnya, kebingungan. Keheningan seperti itu menyiksanya, tapi dia mencoba menunggu. Wanita yang dulu bertugas untuk melindunginya itu, kini mencoba menghubungi seseorang tapi tidak berhasil. Sepertinya, Sherry tidak pernah mengira tugasnya kali ini begitu berbahaya.

.

Setelah mencoba menunggu, dia tidak tahan lebih lama berada dalam situasi ini.

"Berhenti bingung, supergirl. Aku akan membantumu," Jake akhirnya berinisiatif.

Dia menepuk pundak Sherry yang masih memandangnya penuh tanda tanya. Sherry menghentikan usahanya menghubungi pihak luar melalui ponsel. Jake sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke hadapan gadis itu, membuat jarak mereka semakin mendekat, dan bisa merasakan udara panas yang keluar dari napas masing-masing. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Jake Muller tersenyum penuh arti.

.

"Tapi… Tentu ada harga yang harus kau bayar, Sherry…"

.

.

Bersambung…

.

.


Author's Note :

Selesai juga chapter pertama ini, saya sedikit kesulitan menggambarkan sifat Jake & Sherry tetap pada karakter aslinya, semoga tidak OOC ya. Kalau ada para fans yang mau memberikan masukan, saya menerimanya dengan senang hati. Ini adalah fanfic bersambung kedua saya setelah Lady in RED (yang lain one-shot soalnya), mau menekankan juga ke action dan adventure-nya, hehehe. Semoga lebih baik dibanding yang sebelumnya ya, meskipun beda coupling. :)

Bagaimana kesan-kesannya? Apakah ratingnya masih cocok masuk ke Rated T?

Tolong reviewnya ya semua, saya menanti segala bentuk review, (syukur kalo follow dan fave), atau ide, kritik, etc. Dan terima kasih kepada tiap pembaca yang mau meluangkan waktu untuk baca dan me-review cerita ini. Sampai jumpa di chapter berikutnya!

-jitan88-