Kemarilah…
Akan kuceritakan sebuah kisah dongeng kepadamu. Kisah sederhana tentang seorang Pangeran kecil yang hidup di dalam hutan bersama dengan lima pengawal setianya…
Kuharap kau akan menikmatinya.
THE LITTLE PRINCE
.
.
TALES-KINGDOM!AU
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
—fanfiction presented by InfiKiss—
Rated : K+
Genre : Friendship
~Maaf jikalau pengkarakteran di fanfiksi ini sedikit OOC dan typos~
.
.
SATU
Hari Yang Indah Untuk Mencari Teman
.
"Hei, hei! Jangan kesana, Pangeran!"
"Tidak apa-apa! Aman…"
Gemerisik dedaunan menelisik pendengaran Kise Ryouta. Suaranya bersinkronisasi dengan nyanyian murni para serangga hutan. Di siang yang cukup terik, rimbun pepohonan cukuplah sebagai tameng yang menjaga permukaan tanah dari sengatan sang matahari. Meski melodi hutan itu terdengar cukup merdu, tetap saja tak menormalkan degup anomali yang mengganggu dada Kise. Tubuhnya tegang tatkala bocah setinggi seratus dua puluh sentimeter itu sudah mencoba menapakkan kaki di salah satu dahan kuat di sebuah pohon oak besar. Jaraknya dengan permukaan bumi sudah sejauh tujuh meter dimana kalau anak itu jatuh, mungkin beberapa tulangnya akan patah.
Kalau anak itu sampai jatuh, Kise bisa mati.
KRAKK—!
Kise menutup mata ketika suara dahan yang nyaris patah terdengar.
"Ya, Tuhan! Kumohoh turun sekarang juga, Pangeran!"
"Tenang saja, Ryouta-nii. Ini aman—ups~" Kaki mungilnya terpeleset.
"Pangeran!"
"Yeah!" Namun tangannya dengan cekatan sudah meraih batang yang terletak di atas kepala sebagai penahan. Meski ada debaran yang cukup cepat di dada, entah kenapa ia tak tampak ketakutan. Justru kelihatan bangga. Tampak jelas dari rona merah muda yang bersemu di kedua pipi gembulnya. Lalu senyum lebar pun tampak ketika ia menundukkan kepala agar sepasang iris crimson red miliknya berpadu dengan manik topaz milik Kise.
Tangan kanan dijulurkan ke arah Kise. Jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Cengiran khas anak-anak mampir di wajahnya bahkan kekehan lembutnya sampai terdengar di gendang telinga Kise.
Mau marah… Tapi bagaimana caranya kalau bocah sembilan tahun di atas pohon itu sudah menampilkan wajah semanis itu? Alhasil Kise pun hanya bisa menyerah. Tak lagi ada rasa tega untuk meneriaki anak itu agar segera turun dari sana. Mungkin sekali-duakali bolehlah Kise membiarkan dia mencicip bagaimana asyiknya menaiki pepohonan—toh kalau nanti ia jatuh Kise juga akan bersedia pasang badan untuk menjadi bantalannya.
"Oke… Oke…" Kise berkacak pinggang. "Pastikan Anda tidak naik lebih tinggi lagi…"
"Oke, Ryouta-nii!" Anak berambut merah itu segera mendudukan diri di dahan tempatnya berpijak dengan satu tangan tetap berpegangan di batang utama pohon. Kedua tungkai kaki kini diayun-ayunkan menendang udara kosong di bawahnya.
Semilir angin menerpa tubuhnya. Tekanannya jauh lebih kuat dibanding ketika ia berdiri di permukaan tanah. Aroma hijau daun yang membuat perasaannya segar juga cicitan burung yang tak sampai terdengar kalau ia di bawah. Dari atas, ia bisa melihat berbagai macam jenis pepohonan yang saling beradu dahan. Bahkan samar, dari sela-sela daunnya, ia bisa menangkap pemandangan sebuah sungai yang memang letaknya tidak jauh dari sana. Kalau melihat lebih seksama ke balik semak, kadang bisa ditemukan beberapa musang yang sedang mengintai mangsa secara hati-hati. Ia juga menemukan para tupai yang tengah sibuk berlari di beberapa dahan pohon untuk sekedar mencari makan.
Ini memang pertama kali Pangeran kecil itu mencoba naik pohon sampai setinggi ini. Biasanya, ia akan menyerah di dahan-dahan bawah karena takut akan ketinggian. Tapi hari ini semangatnya terbakar penuh sehingga ia mencoba mendaki lebih tinggi. Dan apa yang ia dapatkan sungguh hasil yang setimpal dengan jerih payahnya. Ini sungguh hari yang hebat setelah bisa mengalahkan satu lagi rasa takutnya terhadap ketinggian.
Pangeran itu… Akashi Seijuurou. Sembilan genap usianya ditahun ini. Ia adalah seorang Pangeran dari Negeri Rakuzan yang letaknya jauh dari hutan Kokonose tempatnya tinggal.
Dua ekor burung yang terbang menjauh dari sebuah dahan menyita perhatian bocah itu. Senyum tulus terulas di wajah polos kekanakkannya.
"Pasti enak ya kalau ada teman untuk sama-sama terbang ke angkasa…" bisiknya kepada angin.
Dan disinilah kisah kehidupannya berawal…
~OoOoOoO~
Sejak dahulu kala, mitos dan legenda adalah sesuatu yang sungguh sakral ditiap-tiap lempengan bumi bagian manapun. Bahkan tak ada satupun wilayah dimana tak ada mitos yang menyelimutinya. Seperti sebuah kota bernama Revensvania yang terletak nyaris mendekati kutub selatan yang dingin, katanya bersarang para vampire penghisap darah. Atau sebuah hutan yang konon dikuasai ratusan penyihir karena merupakan jalan keluar-masuk dunia manusia dengan dunia mereka; hutan Ave.
Negeri Rakuzan hanyalah satu dari sekian banyak Negeri dimana lagenda tumbuh subur di dalamnya. Dulu, konon Negeri itu pernah didatangi oleh sekelompok iblis berambut merah yang memporak-porandakkan kota dan seluruh hasil bumi para penduduk disana. Sampai akhirnya sang Raja yang saat itu memerintah, yang katanya seorang setengah manusia dan penyihir, berhasil mengalahkan kelompok iblis berambut merah tersebut dan menyelamatkan Negeri. Namun ternyata kekalahan kelompok iblis itu bukanlah jaminan bahwa Negeri Rakuzan akan selamanya damai. Sang pemimpin iblis pun memberi kutukan kepada keturunan Raja, yakni kelak akan lahir seorang anak yang akan mewarisi darah sang iblis dan memiliki warna rambut juga mata merah terang seperti dirinya, karena sang iblis mengaku telah berhasil menyemai benih di sel telur sang permaisuri. Kelak benih itu akan terlahir—entah kapan. Sejak saat itu, setiap kali ada anggota kerajaan baru yang lahir, hampir semua penduduk akan was-was karena menganggap legenda kutukan iblis itu benar adanya.
Setahun… Lima tahun… Dua puluh tahun… Hingga entah berapa puluh tahun terlewati ternyata tak satupun anggota kerajaan yang terlahir sesuai dengan kutukan iblis. Hal itupun membuat semua penduduk Negeri yakin bahwa lagenda tersebut hanya mitos saja.
Sampai kejadian itu terjadi.
Sang Permaisuri dari Raja ketiga belas melahirkan seorang bayi laki-laki sehat yang membawa bukti bahwa lagenda itu memang nyata. Ia dikaruniai helaian rambut berwarna merah dan juga sepasang manik crimson yang mengingatkan siapapun dengan legenda kutukan sang iblis.
Seluruh petinggi dewan istana pun panik karena tak ingin legenda itu menjadi nyata. Sebagian merasa bahwa Pangeran kecil harus dimusnahkah untuk menghapus jejak darah iblis yang tersisa. Sebagian merasa hal itu terlalu kejam dan setuju jika Pangeran tetap tinggal di dalam istana untuk melihat perkembangannya apakah ia berbahaya atau tidak. Tentu saja dua keputusan berbeda itu menjadi topik perdebatan yang alot setiap kali diadakan rapat para dewan istana.
Akhirnya sebuah keputusan menyedihkan pun diambil. Setelah usia Pangeran enam bulan—dimana sudah bisa lepas dari persusuan sang Ibu, maka Pangeran kecil akan diasingkan jauh keluar dari Negeri Rakuzan untuk melindungi dirinya. Demi keselamatan Pangeran kecil pula diutuslah beberapa ksatria kerajaan yang akan membantunya menopang hidup selama di pengasingan.
Pangeran kecil itu diberi nama Seijuurou—Putera pertama dari keluarga kerajaan Akashi di Negeri Rakuzan.
…Akashi Seijuurou.
~OoOoOoO~
"Tetsuya-nii!"
Kuroko Tetsuya menoleh ke daun pintu rumah yang mendadak dibuka lebar. Baru saja ia selesai memasang penala di kuda putih miliknya yang akan segera ditunggangi, panggilan itu sudah menginterupsi. Sepasang bola mata turquoise itu menatap datar Pangeran yang berlari keluar sambil menenteng jubah coklat miliknya dengan terburu-buru dan berhenti dihadapan Kuroko. Hari masih terlalu pagi—sekitaran jam tujuh mungkin. Ini bukanlah jam dimana Pangeran kecil itu seharusnya sudah bangun.
"Pangeran Seijuurou? Anda bangun pagi sekali…" ujar Kuroko datar sambil kembali memeriksa tali kekang yang terpasang di tubuh Yukimaru—kudanya. Ringkikan dari kuda putih itu seolah menjadi salam darinya untuk sang Pangeran muda.
"Huh!" Anak itu berdecak sebal sambil menengadahkan kepala agar bisa menatap lurus Kuroko. "Kemarin malam Atsushi-nii bilang bahwa pagi ini Tetsuya-nii akan ke kota untuk membeli berbagai macam perlengkapan. Jadi aku sengaja minta Shintarou-nii untuk membangunkanku pagi-pagi karena aku mau ikut."
"Heh?" Kuroko tampak bingung. "Ikut? Ke kota?" Kali ini ia benar-benar menatap Akashi seksama.
"Hu-uh!" Anggukan mantap Pangeran menjadi jawaban absolut baginya. "Terakhir kali Tetsuya-nii ke kota, aku sengaja ditinggal. Jadi yang sekarang aku harus ikut. Ini—" jubah disodorkan kepada Kuroko, "aku sudah bawa jubahku, kok. Aku juga sudah dapat izin dari Shintarou-nii. Jadi Tetsuya-nii harus—ah, bukan! Tapi; wajib mengajakku."
Sifat egois dan suka memerintah mungkin memang sudah disematkan di sifat turun temurun keluarga kerajaan tersebut. Pangeran kecil mereka, meski usianya baru sembilan tahun, entah kenapa sudah suka memerintah. Beruntung caranya memerintah masihlah terhitung normal. Seolah anak itu hanyalah anak keras kepala yang akan langsung merajuk kalau keinginannya tidak dipatuhi. Dengan kata lain; Anak Manja.
Terakhir kali Kuroko ke kota dan meninggalkan Akashi Seijuurou, anak itu memasang aksi ngambek dan tidak mau belajar bersama pembimbing kerajaan; Midorima Shintarou.
"Oke," Jadi Kuroko tak mau ambil resiko mendapat omelan Midorima lagi kali ini. Meski dengan berat hati dan malas karena Akashi pasti akan membuat persediaan uang mereka menipis setiap kali diajak berbelanja ke kota karena meminta mainan ini-itu yang tak ia dapatkan di hutan.
Ah… Namanya juga anak-anak.
"Dengan satu syarat!" Kuroko menunduk untuk menyamakan tingginya dengan tinggi Pangeran kecil. Kedua tangan segera meraih jubah di tangan Akashi lalu memasangkan pakaian itu di pundak kecil sang Pangeran . Tak lupa tudung untuk menyembunyikan warna rambut Akashi yang merah terang.
Kedua manik bulat itu menatap lekat-lekat Kuroko dengan polos. Memperhatikan pemuda berwajah datar itu dari balik bayangan tudung kepalanya. "Apa?"
"Pangeran tak boleh jauh dariku. Jika aku tengah sibuk, Pangeran harus tetap ada dijangkauan pandanganku. Jangan meninggalkanku. Setuju?"
Cengiran khas kekanakan itu kembali mampir di wajah Akashi. "Siap!" serunya sambil memposisikan telapak tangan di atas pelipis—memberikan sebuah hormat penuh kepatuhan yang membuatnya dihadiahi tepukan lembut di puncak kepala dari Kuroko.
Dari dalam rumah tempat mereka tinggal, satu orang lain keluar. Pemuda tinggi berambut biru gelap dengan kulit tan.
"Sudah mau berangkat, Tetsu?"
"Iya, Daiki-nii." Kuroko kembali berdiri.
Akashi tak terlalu memperhatikan kedatangan Aomine Daiki—sang guru pedang yang ditugaskan hidup bersamanya di hutan Kokonose dan juga merupakan Kakak tiri Kuroko Tetsuya (mereka beda Ibu dan keduanya sama-sama mengambil nama keluarga dari Ibu masing-masing). Anak itu sudah mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, agar digendong Kuroko untuk dinaikan di atas punggung Yukimaru.
"Hup—" Kuroko sudah mendudukkan Akahi di atas kudanya, "tolong pegangan yang erat, Pangeran."
"Ini," Aomine Daiki menyerahkan sebuah kantung kepada Kuroko, "sarapan pagi Pangeran juga makan siang kalian. Pastikan kalian sudah pulang sebelum senja. Juga berhati-hati selama di kota. Jangan sampai kalian membahayakan diri sendiri. Kau bawa pedangmu 'kan?"
Kuroko mengangguk sebagai tanda mengerti. Diraihnya kantung dari tangan Aomine lalu dimasukan ke dalam tas kain yang disampir di punggungnya. "Aku akan menjaga Pangeran. Pedang pun akan selalu ada bersamaku."
"Oke. Aku percaya kepadamu," Senyum mengisi wajah Aomine seraya menepuk kepala Adiknya. "Nah kau, Pangeran cilik." Kali ini ia mendekati Yukimaru agar bisa bersitatap dengan Akashi lebih jelas. "Jangan macam-macam, ya. Pastikan tudungmu selalu menutupi kepalamu. Jangan jauh-jauh dari Tetsu dan kalau ada sesuatu yang mencurigakan mendekatimu, pastikan kau bilang kepada Tetsu. Kau ingat cara yang paling ampuh kalau didekati pria mesum 'kan? Tendang itu—"
"Daiki-nii!" Kuroko buru-buru menyela sebelum Kakak laki-lakinya itu bicara lebih jauh. Tentu saja Aomine tak mempedulikan teguran itu.
"Siap, Daiki-nii. Aku bukan anak kecil lagi, kok. Aku paham!"
"Ck, kau masih sembilan tahun, Bocah!"
"Kenyataan bahwa usiaku sembilan tahun bukan berarti aku masih kecil. Aku absolut!"
"Ya~ Terserah~ Aku malas adu argumentasi pagi-pagi dengan bocah." Aomine terkekeh sambil mengacak rambut Pangeran kecilnya. "Kalian hati-hati dan selamat menikmati perjalanan…"
Setelah sang Kakak mengucap kalimat tersebut, Kuroko segera berpegang pada penala dan naik ke atas punggung Yukimaru. Akashi duduk di depannya, ikut memegang tali kekang kuat-kuat agar tidak jatuh merosot dari atas punggung si kuda putih. Setelah memakai tudung putih dari jubah yang melekat di tubuh Kuroko, pemuda itu segera mengucap salam kepada Aomine yang masih setia menunggu keduanya pergi. Barulah Kuroko menarik tali perlahan sebagai isyarat bagi Yukimaru agar mulai bergerak.
Kuda itu meringkik patuh dan mulai menjalankan keempat kakinya menjauh dari rumah tempat mereka semua tinggal.
"Kami berangkat, Daiki-nii!" seru Akashi semangat sambil melambaikan tangan.
Aomine hanya bisa menatap sambil memasang senyum. Tak lupa ditambah dengan sebuah harapan sederhana agar kedua orang itu tidak terkena masalah selama berada di kota nanti.
~OoOoOoOoO~
Kota Yuuh-toh adalah salah satu kota yang letaknya paling dekat dari hutan Kokonose. Hanya dengan satu jam menunggang kuda setelah keluar dari hutan, mereka sudah bisa sampai di pintu masuk kota Yuuh-toh yang senantiasa dijaga empat orang pengawal kerajaan. Kota yang memang menjadi tameng paling selatan dari wilayah Negeri Rakuzan tersebut memang kota yang paling mudah diakses dari luar wilayah kerajaan. Berbanding jauh dengan kota-kota utama yang letaknya dekat dengan kerajaan yang selalu diadakan pemeriksaan khusus bagi warga dari luar.
Dalam waktu beberapa menit setelah melewati gerbang utama, Kuroko Tetsuya dan Pangeran Akashi sudah sampai di pusat kota. Pusat kota Yuuh-toh terletak tepat di tengah-tengah kota, dimana terdapat sebuah kolam air mancur dengan patung dua angsa yang hendak terbang ke angkasa sedang menyemburkan air di masing-masing paruh mereka. Di pusat kota, semua barang bisa didapat dengan cara sangat mudah karena pusat pertokoan ataupun para pedagang hasil perkebunan dan sawah, juga makanan kecil, semua berkumpul disana. Bahkan jika bisa jeli memilih, siapapun bisa mendapat barang bagus dengan harga yang lumayan murah.
Kuroko Tetsuya merupakan orang yang dipercayai dalam urusan pembelanjaan karena ia memiliki akses paling mudah untuk keluar-masuk di setiap kota bagian di Negeri Rakuzan.
Pemuda berambut aqua itu sudah turun dari punggung Yukimaru dan memilih menuntun sang kuda. Sedang sang Pangeran kecil masih duduk disana dengan mata berbinar karena jarang baginya melihat keramaian kota. Akashi kecil hanya pernah beberapa kali datang ke kota. Selebihnya, keseharian Akashi selalu berada di rumah persembunyian mereka di hutan Kokonose. Ia hanya terbiasa bermain di dalam hutan dengan ditemani kelima pengawal kerajaan yang ditugaskan mendampinginya.
"Tetsuya-nii!" Dari atas punggung Yukimaru, ia berteriak.
"Ya?"
"Itu apa, Tetsuya-nii? Yang panjang ditusuk itu? Ada uap hangat mengepul. Sepertinya makanan enak!"
Pandangan Kuroko teralih kepada seorang penjual sosis bakar yang memang ada tak jauh di dekat mereka. Lalu ia menatap Pangeran mungilnya lagi. "Itu penjual sosis bakar, Pangeran. Apa Anda ingin mencobanya?"
Sejenak tampak ragu di wajah Akashi muda. Bibirnya mengerucut lucu seraya berpikir masak-masak sampai akhirnya sebuah gelengan lolos di kepala. "Atsushi-nii bilang aku tak boleh makan sembarangan kalau di luar. Dua bulan lalu aku dan Ryouta-nii membakar jamur di hutan dan ternyata jamurnya beracun sehingga Ryouta-nii gatal-gatal dua hari penuh. Karena itu Atsushi-nii jadi semakin pelit."
Kuroko tersenyum kecil. "Aku bisa pastikan kalau makanan itu aman, Yang Mulia."
"Tidak mau. Aku sudah janji sama Atsushi-nii kalau tidak akan makan di luar lagi selain makanan buatan Atsushi-nii! Sebagai Pangeran, aku tak boleh menarik sumpahku—begitu yang Daiki-nii ajarkan."
Kali ini Kuroko tak bisa menahan tawa. Kekehan lolos lagi dari bibirnya saat mendengar bocah itu bicara panjang lebar di atas punggung Yukimaru. Untuk ukuran anak sembilan tahun, Pangeran mereka ini memang termasuk anak yang kritis dan memegang teguh janji yang telah diikat. Tak heran kalau ia bersikap keras kepala meski Kuroko tahu bahwa Akashi sangat ingin mencoba sosis bakar. Hanya dengan melihat pendaran yang terpancar di sepasang manik crimson itu, Kuroko bisa menyadarinya.
Disaat begini, Kuroko akan berpikir kenapa anak dengan mata sejernih ini bisa dianggap benih yang ditanam sang iblis entah berapa puluh tahun yang lalu? Akashi memiliki mata yang jujur dan polos, juga sifat yang begitu manis. Apa benar suatu saat ia bisa menjelma menjadi iblis?
"Tetsuya-nii!"
Teriakan Akashi kembali membuyarkan pikiran Kuroko.
"Ya?"
"Aku lapar. Aku belum sempat sarapan. Tadi Daiki-nii menitipkan sarapan untukku 'kan?"
Pemuda itu mengangguk. Segera tangan diulurkan untuk meraih tubuh mungil Akashi dan menurunkannya ke permukaan marmer. Diambilnya kantung yang berisi beberapa roti gandum dan apel dari dalam tas, lalu ia menuntun Pangeran dan Yukimaru ke sudut kota. Sang kuda diikat di sebuah kayu kecil yang terletak di pinggir pertokoan agar tidak mengganggu.
"Silahkan duduk dan makan disini." Ucapnya sambil meletakkan botol minum di dekat Akashi. "Aku akan membeli beberapa perkakas disana," lalu menunjuk ke sebuah toko yang jaraknya hanya tiga meter dari tempat Akashi duduk. "Kelihatan jelas dari sini. Jadi kuharap Pangeran tidak pergi kemana-mana. Kalau ada siapapun yang datang dan mengganggu Anda, tolong segera berteriak memanggilku. Anda mengerti?"
"Mengerti seratus persen!" Akashi mengangguk sambil menarik kantung ditangan Kuroko.
Melihat betapa serius sang Pangeran memakan sarapannya, Kuroko bergegas meninggalkan Akashi dan menghampiri toko perkakas. Karena sang penjual pun menjajakan barang di depan toko, tentu Kuroko bisa dengan leluasa memeperhatikan tempat Akashi duduk. Paling tidak, setiap ada orang yang lewat di dekatnya pun Kuroko akan sadar karena pemuda itu memang memiliki arah sudut pandangan yang luas dibanding keempat pengawal Akashi yang lainnya.
Di sudut tersebut, Akashi kecil tetap makan sambil mengenakan tudung kepala. Ia selalu diingatkan oleh para pengawal bahwa jika ia berada di kerumunan kota, jangan pernah sekalipun membuka tudung kepalanya. Meski Akashi tak tahu persis apa alasannya, ia akan selalu menurut. Lagipula dulu ketika ia bertanya, Midorima hanya bilang kalau sesuatu yang buruk akan terjadi jika Akashi membuka tudung kepalanya.
"Hei,"
Karena lapar, Pangeran muda itu kembali mengambil satu potong roti gandum lain. Roti gandum buatan Murasakibara Atsushi memang yang paling enak.
"Hei, kau!"
Gerakan makan Akashi terhenti. Wajahnya terangkat. Dari bayang-bayang tudung kepala, ia bisa melihat seorang anak kecil berdiri di depannya. Jarak mereka hanya setengah meter sehingga Akashi tahu bagaimana sosok anak kecil itu dengan jelas. Ditangan kanan anak itu, ia menyodorkan sosis bakar beraroma sapi panggang kepada Akashi.
"Ya?" Akashi kira anak itu bicara dengannya.
"Kata Ibu, hanya makan roti saja tidak cukup! Kamu harus makan daging sebagai sumber protein hewani. Sosis bakar yang dijual Ayahku itu asli dibuat dari daging sapi pilihan dan sangat enak. Jadi kusarankan kau membelinya! Nih!"
Eh…?
Kening Akashi mengkerut. Ia tak tahu situasi ini disebut apa… Hum… Penawaran bisnis? Pertukaran setara? Sepertinya hal semacam ini belum sempat ia pelajari bersama dengan Midorima Shintarou.
"Tapi aku sedang makan roti." Ia menjawab apa adanya sambil menyodorkan roti yang tinggal setengah potong.
Anak berambut cokelat itu mengerjapkan mata. Melihat intens ke potongan roti gandum yang sebenarnya menggugah seleranya. Tapi buru-buru ia menggelengkan kepala, seolah mengusir rasa ingin mencicip dari benak. Sambil menelan ludah, kalimat panjang kembali meluncur dari sepasang bibir tipisnya.
"Kan sudah kubilang, itu nggak sehat. Kamu harus makan daging! Nih, beli sosis bakar di kedai Ayahku!" Ia memaksa.
"Tidak mau! Kata Atsushi-nii, aku tak boleh makan sembarang di luar karena dikhawatirkan beracun."
"Heh! Kamu menuduh sosis bakar jualanku ini beracun! Nggak sopan!"
"Aku tidak menuduh—Shintarou-nii bilang, menuduh orang lain itu tidak sopan! Tapi beberapa bulan lalu, karena asal membakar jamur di hutan bersama Ryouta-nii, badan Ryouta-nii jadi gatal-gatal. Kata Atsushi-nii, itu jamur beracun! Jadi aku tak mau jajan sembarangan."
Kedua anak kecil itu langsung membisu bersamaan. Akashi menatap roti gandum ditangannya, lalu melirik sosis bakar di tangan anak dihadapannya. Sedangkan anak kecil itu sekali menatap dagangannya, lalu ikut melirik roti gandum ditangan Akashi. Siapapun yang melihat, akan sanggup menebak kalau sebenarnya mereka ingin saling mencicip makanan satu sama lain. Jangan salahkan mereka, ini haya naluri anak-anak yang selalu ingin mencoba hal baru.
Bocah berambut coklat itu sepertinya enggan melanjutkan aksi dagangnya. Jadi ia berjalan mendekati Akashi. Hanya saja, respon yang Akashi berikan membuat langkahnya berhenti. Pangeran muda itu buru-buru berdiri dan berjalan merapat ke sisi kanan Yukimaru. Kuroko bilang, kalau ada hal mencurigakan, ia harus berteriak. Apa ini termasuk dalam hal mencurigakan?
Tentu saja anak kecil di depannya bingung. Kepalanya meneleng ke samping beberapa derajat sambil bertanya, "Kamu takut, ya?"
"Tetsuya-nii bilang, kalau ada orang mencurigakan aku harus berteriak. Daiki-nii bilang aku harus hati-hati selama di kota."
Entah bagaimana, kata-kata bocah bertudung di depannya membuat anak berambut coklat itu sebal. Ia langsung berkacak pinggang dan nada suaranya meninggi lagi. "Kamu ini apaan, sih? Dari tadi blabla-nii bilang—blabla-nii bilang! Anak manja, ya?!"
Kalimat itu tentu mampu melukai harga diri bocah sembilan tahun.
"Aku tidak manja, kok! Kata Shintarou-nii—" Akashi bungkam di detik berikutnya.
"Nah! Diucap lagi 'kan!"
Semburat merah muncul di kedua pipi Akashi. Tapi tentu bocah berambut coklat tak akan sadar karena hampir setengah wajah Akashi ditutupi bayang-bayang dari tudung kepala yang ia gunakan.
Kalau dilihat dari penampilan luar, anak itu mungkin sama usianya dengan Akashi. Tinggi mereka hanya berbeda sedikit dimana anak itu memang lebih tinggi. Tubuhnya agak kurus—meski tidak sekecil tubuh Akashi. Dengan sepasang manik hazel dan rambut cepak bewarna senada. Di beberapa bagian kulitnya, Akashi bisa melihat beberapa gores luka disana. Entah luka yang didapat saat bermain atau apa—Akashi kecil tak terlalu penasaran. Satu-satunya yang menarik memang sosis bakar yang masih terselip di tangan kanannya.
GLEKK—! Saat meliriknya, Akashi menelan ludah.
Sepertinya anak itu paham. Ia kembali menyodorkan sosis ditangannya. "Kamu mau 'kan? Nih, beli. Satunya hanya sepuluh Yen. Murah, kok."
Pangeran kecil itupun menggeleng. Ia harus memegang teguh janjinya kepada Murasakibara Atsushi.
"Huh, dasar keras kepala!" Anak itu langsung menggigit sosis ditangannya besar-beras dan menelannya cepat. "Humm~ Enak banget~"
Sebal. Akashi sebal!
"Ada apa ini?"
DEG—!
"Tetsuya-nii!"
Kedangan Kuroko membuat kedua bocah itu sama-sama menoleh. Kuroko sudah berdiri di belakang si anak berambut coklat dengan tangan penuh dengan beberapa kantung yang entah apa isinya. Maniknya menatap penasaran si bocah yang memandang Kuroko takut (seolah ia baru saja tertangkap basah tengah menindas anak yang lebih kecil).
Akashi berlari menghampiri Kuroko dan bersembunyi di balik kaki-kaki pemuda itu. Tentu saja gestur itu membuat Kuroko semakin penasaran. Dari yang ia lihat tadi, kedua bocah ini memang tampak saling adu argumentasi. Tapi apa yang dikatakan si bocah asing sampai-sampai Pangeran kecilnya berlindung di balik tungkai kaki?
"Apa kalian bertengkar?" Kuroko bertanya.
"Tidak!" Anak asing itu buru-buru menjawab. "Tadi kulihat dia makan roti gandum. Kata Ibu, kita harus makan daging untuk menambah protein hewani di tubuh jadi aku berusaha menjual dagangan Ayah kepadanya. Tapi dia menolak. Padahal dia kelihatan banget mau sosis bakar ini!" Kembali digigitnya sosis ditangan lalu menjulurkan lidah ke arah Akashi dengan maksud mengejek bocah itu.
Kening Akashi mengkerut semakin kesal dibuatnya.
Belum paham benar dengan duduk permasalahan disana, Kuroko menundukkan badan agar tingginya dengan Akashi sejajar. "Apa Pangeran mau mencoba sosis bakarnya?" bisik Kuroko.
Kali ini Akashi tidak menggeleng kuat-kuat. Kepalanya ditundukkan. Kuroko paham apa maksudnya.
Pemuda tinggi itu kembali berdiri. Ditatap lagi si bocah asing sambil tersenyum. "Hei, Tuan Kecil, apa Ayahmu yang menjual sosis bakar itu?"
"Iya! Enak banget, loh!"
Polos sekali anak itu, membuat Kuroko merasa lucu sendiri.
"Siapa namamu?"
"Ogiwara. Ogiwara Shigehiro."
"Ah, aku Kuroko Tetsuya. Dan anak ini," Kuroko menunduk sedikit agar bisa memberi ruang bagi Akashi untuk keluar, "Seijuurou."
Kini kedua anak itu saling melempar tatapan tanpa suara.
"Nah, boleh kami ke kedaimu?"
Segera senyum lebar menghias di wajah kecil Ogiwara Shigehiro. "Ayo, Kakak! Sini aku antar! Dijamin ketagihan! Sosis bakar buatan Ayah itu paling enak se-Yuuh-toh!"
~OoOoOoO~
Matahari masih belum terbenam tapi kedua mata Akashi rasanya sudah sangat berat dan memaksa untuk dipejamkan. Pertama, karena ia bangun lebih pagi dari biasanya. Kedua, karena sepanjang siang ia sama sekali tidak tidur siang karena berada di kota. Terakhir, karena di kota tadi ia bermain dengan seorang anak bernama Ogiwara Shigehiro selama menunggu Kuroko selesai berbelanja.
"Satu burung terbang ke langit, hinggap di dahan bercuit-cuit. Aku duduk dengan temanku, menghitung jumlah awan di langit. Satu, dua, tiga, semua menghitung. Satu, dua, tiga, hari ini indah…" Sepanjang jalan pulang, lagu sederhana itu yang terus dilantunkan oleh Akashi. Lagu yang baru dipelajarinya dari Ogiwara tadi siang.
Kuroko terkekeh pelan sambil mengendarai Yukimaru perlahan.
"Hari ini Anda bersenang-senang, Pangeran?"
"Ung!" Akashi mengangguk. "Aku sudah janji, nanti kalau Tetsuya-nii ke kota aku akan ikut dan membeli sosis bakar di kedai paman Ogiwara lagi. Shigehiro bilang nanti akan dikasih bonus. Aku senang…"
"Baguslah kalau Anda senang…"
Angin sore semilir menerpa tubuh mereka yang mulai memasuki hutan Kokonose. Seketika keriangan Akashi pudar ditelan hutan yang sunyi-senyap.
"Kenapa Anda mendadak diam, Pangeran?"
Anak kecil itu menempelkan tubuhnya di dekat leher Yukimaru. Menenggelamkan wajah di surai putih kuda jantan tersebut. Mata Akashi terpejam, menyembunyikan sepasang manik crimson indah miliknya.
"Di hutan sepi sekali… Sepanjang yang aku dengar hanya gemuruh dedaunan ketika angin bertiup atau suara hewan."
Hati Kuroko tersentil mendengar pengakuan Akashi kecil tersebut.
"Tetsuya-nii~ Kapan Tetsuya-nii pergi ke kota lagi?"
"Aku tidak tahu… Mungkin…" Pemuda itu memberi jeda sejenak, "tiga hari lagi." Ia harap ia tidak berbohong.
Akashi segera duduk tegap dan menoleh ke belakang. "Aku ikut. Aku mau main dengan Shigehiro lagi. Boleh 'kan?"
Bagaimana caranya memusnahkan pendar bahagia di sepasang manik indah itu?
Kuroko tentu tak akan tega.
Pemuda itu mengangguk. "Tiga hari lagi kita kembali ke kota."
"Yeah! Terima kasih Tetsuya-nii!" Anak itu kembali memeluk Yukimaru. "Kau dengar, Yukimaru? Aku akan bertemu Shigehiro lagi nanti… Aku tidak sabar. Hari ini juga aku bawa sosis bakar sebagai oleh-oleh untuk Daiki-nii, Atsushi-nii, Shintarou-nii dan Ryouta-nii! Tetsuya-nii akan bantu jelaskan ke Atsushi-nii kalau makanan ini aman. Enak juga. Hari ini hebat banget pokoknya~"
Senyum Kuroko terlukis pasti di wajah datarnya. Satu tangannya langsung menepuk-nepuk kepala Akashi penuh sayang.
Suatu saat nanti… Ia ingin Pangeran kecil nan manis itu mencicip betapa menyenangkannya hidup berbaur dengan manusia lain tanpa rasa canggung. Semoga kelak Pangeran muda itu bisa lepas dari takdir yang membelenggunya…
Semoga…
.
.
To be continued~
.
A/N :
Ohisashiburi~ ^^
Sebenarnya ini mau dibuat one-shot tapi kok agaknya susah yaa~ Aku tengah kesulitan membuat one-shot mungkin. Tapi meski ini bagian multi-chapter, fanfiksi ini tak akan makan banyak chapter, kok. Btw, genre awal memang friendship - adventure. Mungkin kalau ada sedikit hint sho-ai nyempil dimaklumi karena author adalah seorang fujoshi~ ^^a
At least, terima kasih bagi siapapun yang telah mampir membaca. :)
Salam,
InfiKiss
