EXTRA FILE : THE MYSTERIOUS ACCIDENT - MEMORIES-
.
.
.
DISCLAIMER : VOCALOID © CRYPTON FUTURE MEDIA, YAHAMA CORP., AH SOFTWARE, AND MANY MORE.
WARNING : STANDARD APPLIED
ENJOY!
.
.
.
Pemuda berambut merah itu, menatap ponsel layar sentuhnya dengan tatapan sendu.
Bukan, seneng duit, oi (-_-) #authorhasbeenpfainted
Tatapan bercahaya redup macam itu sangat jarang dikeluarkannya setelah motto hidupnya, hari esok akan lebih baik dari hari ini, dipasang dalam sistem kehidupannya.
Masa lalunya yang suram adalah alasan motto itu muncul.
Kembali lagi ke layar ponsel Akaito.
Hanya sebuah foto sekumpulan orang dengan warna rambut berbeda-beda macam pelangi dengan wajah tak terkontrol akibat berdesakan di depan lensa kamera. Satu-satunya foto yang bisa membuat pemuda berambut merah itu mengingat mereka semua.
Seorang gadis berambut kuning keemasan datang menghampirinya dengan berlari heboh macam anak SMA yang ketinggalan bis.
"Akaito-kun!" ucapnya sambil menghentikan larinya dan berhenti dengan memegang kedua lututnya. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya yang hanya disinari oleh lampu taman terlihat memerah. "Gomen ne, aku yang buat janji tapi aku juga yang terlambat! Gomen!"
Gadis berkuncir satu ke samping itu membungkuk-bungkuk heboh.
"Haha, daijoubu," balas pemuda itu sambil terrtawa kecil. "Aku juga baru sampai."
Sebuah kalimat klise yang selalu kalian dengar.
"Haa, hontou ni?!" gadis itu menghela nafas dan mendudukkan dirinya di sebelah Akaito. "Adikku menyebalkan! Dia tiba-tiba terserang demam dan aku harus berlari dari apartemen sampai ke rumah sakit dan kembali lagi dalam waktu singkat!"
"Kuat juga kakimu, 'ya?"
Akaito meledek.
Neru mendengar ledekan terselubung Akaito membalasnya sengit.
"Iya, kakiku kuat sekali, sampai aku tak sanggup mengenakan rok mini lagi karena betisku yang besar. Memalukan!"
Gadis itu menutupi wajahnya dan Akaito tertawa.
"Apa yang lucu? Kau mentertawakan betisku, hah?!"
"Bu-bukan begitu, Neru-chan,"
Gadis bernama Neru itu menggembungkan pipinya dan menyodok perut Akaito. "Sialan kau, Akaito!"
Neru melihat layar ponsel Akaito yang masih menyala karena tidak dikunci. "Whoa, itu foto kau dengan genk-mu waktu SMA?!"
Neru merebut ponsel Akaito dan menggeser wallpapernya. "Ini kau, 'kan? Siapa gadis kuncir dua ini? Mantan pacarmu? Cowok berambut toska ini? Ah, cowok shota ini rasanya pernah aku lihat! Cewek pirang ini juga! Oh ya, yang rambut ungu itu ada hubungannya dengan Komandan Yuzuki, 'kan?" cerocos Neru dalam satu tarikan nafas.
Neru memandangi foto itu lagi. "Ah, apa ini saudaramu? Atau adikmu? Kalian berdua mirip tapi kok rambutnya beda jauh, 'ya?"
Akaito tersenyum. "Cewek kuncir dua itu namanya Hatsune Miku, puteri dari pemilik perusahaan senjata. Dia juga adik Mikuo. Yang cowok itu kakaknya, Hatsune Mikuo,"
Neru membulatkan mulutnya dan bergumam "oh" cukup panjang.
"Cowok shota itu, Kagamine Len. Dia kadang main ke kantor buat ngericuh soal forensic bersama Kyo.
Cewek berpita itu namanya Kiiroine Rin. Kau pasti suka lihat dia bersama anggota divisi kejahatan buat adu argumen. Analyzer.
Yang rambut ungu itu, Kamui Gakupo. Dia yang biasanya ngajarin anak-anak baru soal bela diri dan cara menembak."
Akaito menggeser layar ponselnya. "Yang rambut biru itu, adikku. Shion Kaito. Kami mirip, 'kan?"
Neru mendengar nada aneh dari mulut pemuda berambut merah itu.
"Kalian berbeda berapa tahun?" tanya Neru masih terdengar riang. Akaito mengangkat tiga jarinya. "Kami beda tahun 3 tahun."
"Sebenarnya begini, dari kecil aku, Mikuo dan bocah-bocah ini kecuali Gakupo sudah jadi teman sejak kecil. Kami berenam sangat dekat. Dulu waktu kecil kami punya genk pemberantas kejahatan namanya Sky dan aku dijadikan kedua oleh mereka."
"Genk pemberantas kejahatan?"
"Iya, semacam itulah! Pokoknya dari kecil kita udah gila-gilaan. Maniak banget jadi detektif."
Meskipun Akaito tersenyum lebar dengan mata menerawang untuk melihat kembali masa lalunya, entah mata Neru yang bisa membaca microexpression atau Neru saja yang berlebihan melihat Akaito, Neru tahu jika Akaito menyembunyikan suatu hal yang berat. Karena kerutan sangat tipis di bawah matanya menggambarkan sebuah kebohongan.
"Hei, bukannya aku sok tahu, tapi aku ini microexpression analyzer," Neru berucap ragu. "Kau menyembunyikan sesuatu dariku."
Akaito melirik Neru dengan ekor matanya. "Tak aka nada gunanya, 'kan, membohongi analyzer?"
Neru nyengir.
"Ayo, ke café itu!" Akaito menunjuk sebuah café di depan mereka. "Kutraktir kau!"
Neru tersenyum tambah lebar.
"Sebenarnya," Akaito melirik Neru yang berjalan di sebelahnya, "Ada maksud apa kau memanggilku kemari?"
"Ada yang mau kuceritakan, tapi aku nggak tahu mau cerita ke siapa. Lagian, satu-satunya orang yang dekat denganku hanyalah kau."
Akaito mengangguk sambil mendorong pintu cafe tapi pelayan penjaga pintunya lebih cepat menguasai pintu.
"Irasshaimase!~" sambut sang pelayan ceria.
Akaito dan Neru menduduki sebuah meja dan segera memesan minuman dan makanan untuk teman ngobrol mereka.
"Jadi, kau mau ngobrol apa?" tanya Akaito.
"Segitu penasarannya, 'ya, dengan apa yang akan kuceritakan,"
Akaito memutar matanya dan Neru tertawa ringan.
"Aku tidak tahu harus menceritakan ini pada siapa," Neru menatap Akaito ragu. "Tapi kurasa, kau mau menjadi pendengar cerita ini. Tidak apa-apa, 'kan?"
Pelayan datang dan meletakkan pesanan mereka lalu pergi setelah basa-basi khas pelayan.
"Jadi, kau mau cerita apa?" tanya Akaito.
Neru menatap lemon softcake-nya, ragu.
"Aku hanya ingin cerita. Jika, kau tak merespon juga tak apa. Aku cuma pingin mengeluarkan sesuatu yang menyumbat hatiku,"
Kalimat Neru berbelit-belit.
"Ceritakanlah, aku akan mendengarnya," ucap Akaito sambil memakan potongan pertama kuenya.
"Aku—"
"Yuks, coklatnya luber. Ini namanya éclair, ya?" celetuk Akaito sambil menjilat bibirnya yang dilumuri coklat dengan gaya yang menggairahkan. Nggak biasa makan kue, ceritanya.
... Dan Neru sampai nggak fokus karenanya. Neru menggelengkan kepalanya untuk mendapatkan kembali fokus pikirannya.
"Mau dengerin, nggak?!" Neru mendadak emosi.
"Iya, iya, aku dengerin," Akaito menjawab dengan gaya tidak peduli sambil memotong kecil kuenya dengan garpu dengan potongan yang sangat kecil.
"Aku punya sepupu namanya Anon, Akita Anon. Dia anak dari pamanku," Neru memulai ceritanya. "Dia akhir-akhir ini, tiap tengah malam selalu meneleponku dan bercerita soal masalahnya,"
"Jangan bilang kalau kau merasa terganggu dengan curhatan saudaramu itu dan kau mau meminta saran padaku bagaimana caranya untuk menyelesaikan masalah saudaramu," tebak Akaito setelah untuk kedua kalinya dia memotong ucapan Neru.
"Yap, kau benar. Tapi aku tak merasa terganggu dengan curhatan Anon. Apalagi, dia memang benar-benar membutuhkan sandaran. Dia masih remaja tahu. Dan lagi, dia selalu menelepon di saat yang tepat, di saat insomniaku kambuh,
"Kulanjut saja, Anon ini anak bungsu bibiku. Dia punya kakak kembar namanya Kanon. Dia anak perempuan yang waktu kecil malu-malu dan setelah masuk SMP tingkahnya malu-maluin. Jadi, hiperaktif kayak kembarannya gitu. Tapi tingkah over cerianya itu hanya topeng. Karena sebenarnya dia sangat tersiksa. Aku tidak tahu pasti, tapi dia merasa sangat terkekang di rumahnya itu."
"Kenapa?" tanya Akaito sambil menyesap kopinya.
"Orang tuanya selalu mengatakan dia anak sial atau semacamnya, akhir-akhir ini. Itu membuatnya tertekan. Dia tidak tahu apa alasannya tapi dia benar-benar tidak tahan dikatai seperti itu. Dia selalu menangis jika dia meneleponku untuk bercerita. Aku ingin menolongnya. Tapi aku tak tahu harus melakukan apa—"
"Suruh dia untuk mencari tahu apa yang alasan dia dikatai anak sial," Akaito memotong ucapan Neru untuk ketiga kalinya tapi kali ini dia berkata dengan nada serius.
"Hah? Untuk apa? Dia pasti akan kesulitan mencari jawaban dari pertanyaan semacam itu, 'kan?"
"Satu-satunya cara menghilang rasa sakit dari masalah dikatai-katai seperti itu hanya satu, yaitu mengetahui alasan dia dikatai seperti itu. Nantinya, kalau dia sudah mengetahui alasannya, dia akan introspeksi diri dan tahu langkah seperti yang akan dilakukannya untuk menghilangkan rasa 'sakit' itu."
Neru menatap Akaito kagum. Dia seperti baru saja berkonsultasi pada psikolog atau semacamnya. Baru kali ini dia melihat si penyuka makanan pedas itu mengatakan sebuah solusi yang masuk akal dan serius!
—Neru jadi takut kalau hari ini bakal ada badai salju.. Teehee.
"AKAITOO!"
Mereka berdua mengalihkan pandangan mereka menuju pintu masuk dan melihat lima kepala dengan warna rambut berbeda-beda menyambangi mereka dengan langkah menghentak dan ekspresi garang sampai-sampai pelayan yang harusnya menyambut setiap tamu yang datang diam membeku dan ketakutan.
"Sial, gue lupa," gumam Akaito sambil menepuk jidatnya. Neru menatap junior-junior itu lalu menatap Akaito bergantian.
Mereka ini lima detektif yang dulu sering disebut sebagai VocaSky.
"Nii-san, kau sudah lupa, 'ya?" gadis yang menjepit rambut pirang madunya dengan sebuah jepit beronamen pita menggebrak meja dengan tampang garang khas loli-loli yang sudah lewat dari masa pubertas.
"Jangan bilang kalau Akaito-nii lupa," giliran cewek berambut toska yang berkuncir kuda yang menggebrak meja.
"Lu dicariin kemana-mana, nggak tahunya malah pacaran di sini," pemuda berambut biru mengacak-acak rambut kakaknya dengan ganas.
Neru menatap tajam pemuda yang sangat mirip dengan Akaito itu karena sudah menduga hal yang tidak-tidak tentang hubungan dia dengan Akaito.
"Ah, Akaito-nii mentang-mentang paling tua di antara kita malah jadi pelupa. Gimana sih?" laki-laki dengan tinggi apa adanya itu mengambil posisi duduk di sebelah Akaito.
"Akaito-san, jawab 'napa?" tuntut pemuda berambut ungu dengan wajah tergarang di antara mereka.
"Iya, iya, maaf, gue lupa. Yah, bukan lupa juga, sih. Gue keburu punya janji duluan dengan Neru," Akaito melirik Neru. "Ah, iya, Kaito, Miku, Rin, Len, Gakupo, kenalin ini senior kalian namanya Akita Neru. Dia anggota Divisi Empat. Neru ini adek-adek gue, yang kuning itu Kiiroine Rin sama Kagamine Len, yang biru itu Shion Kaito, yang toska Hatsune Miku, dan yang ungu Kamui Gakupo."
"SALAM KENAL, AKITA-SAN!" mereka berlima membungkuk bersamaan sampai-sampai kepala mereka berlima beradu dan akhirnya mereka mengeluarkan jeritan, "ITAAII!" yang bersamaan pula.
"Jadi, kalian akan melakukan apa?" tanya Neru.
"Bukan hal penting sih, kita cuma dapet orderan special di musim dingin," jawab Rin sambil nyengir-nyengir nggak jelas.
"Universitas tempat kami kuliah dulu, katanya diserang makhluk halus. Mereka nggak memberi kasus ini pada pihak kepolisian karena takut tak ditangani, makanya mereka mengajukan kasus ini langsung ke pihak VocaSky," jelas Miku. "Habis kami sudah terkenal dengan penyelidikan kasus-kasus berbau supernatural." Tambah Len.
"Dengan kata lain, karena yang dulu pernah jadi ketua dan yang paling tua di antara kami hanya Akaito sama Mikuo-nii—ah, Mikuo-nii sekarang sedang sibuk ngejar tesis buat lulus S2—jadi, apa boleh buat Akaito harus menjadi pemimpin kami untuk kasus kali ini." Kaito menuntaskan penjelasan mereka.
"Mereka emang suka numbalin orang yang lebih tua, adek-adek gue kampret, 'kan?"
Mereka berlima melempar tatapan 'siapa-juga-yang-mau-jadi-adek-elu'.
Neru tertawa kecil melihat kekompakan junior-juniornya bersama Akaito. Tiba-tiba ponsel Neru berdering dengan ringtone standar yang biasa-biasa saja.
"Aku permisi dulu," Neru berdiri dan meninggalkan meja yang sesak oleh petugas-petugas kepolisian yang sangat freak.
Mereka berlima mengerubungi meja itu dan menatap Akaito dengan tatapan curiga. Duduk mepet-mepet pun tak masalah.
"Kalian jadian, 'ya?" Kaito, sang adik, menebak dengan suara berbisik.
Sekarang mereka sudah seperti sekumpulan remaja yang sedang membicarakan hal yang nggak-nggak.
"Kenapa, Akaito-nii, nggak bilang-bilang?!" Miku menimpali sambil gebrak-gebrak meja pelan.
"Menurutku, kalian berdua cocok kok," Len yang biasanya paling cuek soal hal-hal berbau roman, tiba-tiba menimpali. Malah sambil menaik-turunkan alis penuh maksud.
"Pokoknya kalau Nii-san jadian, Nii-san kudu traktir kita makan enak. Oke? Permintaan kami nggak muluk-muluk, 'kan?" Rin menyikut-nyikut dada Akaito pelan.
"Tanggal jadian mau ditentuin? Biaya gratis." Gakupo, yang dulu pernah jadi makhluk yang paling sering dicari oleh wanita di kampus itu—tapi sampai sekarang masih jomblo –berucap seolah-olah dia ini semacam mak comblang professional.
Akaito lama-lama panas sendiri dikatain-katain yang nggak jelas sama adik-adiknya.
"Neru itu cuma partner kerja. Lagian, gue yakin, gue bukan tipenya." Akaito berucap sambil menepis wajah adik-adiknya yang sudah terlalu dekat dengan wajahnya.
Tapi, Akaito merasakan sesuatu yang aneh dengan wajahnya. Kenapa udara di sekitarnya jadi agak panas, 'ya?
"Wah, Akaito ngeblush! Hahaha!" ledek Kaito dan Akaito segera memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Udah deh, Bang, usia udah segitu nggak kawin-kawin juga bahaya. Kalo entar disangka homo gimana? Masa adeknya ganteng straight, abangnya—berat gue mengakui—ganteng tapi humu. Mungkin abang nggak akan malu, tapi gue, maksudnya, kita yang malu,"
Kaito niatnya baik nasihatin abangnya tapi kalimatnya itu lohh..
"Kita nggak akan malu, kok," Rin angkat suara. "Kalau Nii-san humu tapi dia jadi semenya, kita sih nyaman-nyaman aja."
Kaito lupa jika dulu saat SMA, Rin dan Miku sudah mulai terjangkit virus-virus fujodanshi dari temen-temen cewek sekelasnya yang jauh dari kata 'normal'.
"Kalian ngarepin gue jadi humu atau gimana sih? Nggak paham." Akhirnya Akaito facepalm sendiri.
"Oh ya, kenapa Neru nggak balik-balik?" Akaito berdiri dari meja dan melihat ke arah luar.
"Ciee, yang terus-terusan kepikiran!~" Rin menoel-noel pinggang Akaito sambil menyanyikan satu baris lirik soundtrack kopi dari suatu masa di sebuah negara yang nggak perlu disebut.
"Bunga-bunga cinta bermekaran~" Miku nimbrung.
Akaito sweatdrop. Astaga, cuma nengok doang, udah dikata-katain lagi. Sekarang dinyanyiin malah.
"Ngapain nyanyiin bagian sebelum gue?" Rin menjitak kepala Miku. Miku nggak terima akhirnya dia menjitak balik kepala Rin.
Neru kembali dengan ekspresi sedih. Dia menggenggam sapu tangan dan ponselnya.
"Anon," Neru kembali ke tempat duduknya. Tak peduli dengan dengan sang analyzer dan shooter andalan tengah meributkan soal iklan yang nggak jelas.
Kaito menutup mulut Miku dan Len menutup mulut Rin. Suasana mendadak hening.
Musik yang barusan memenuhi ruangan café juga mendadak berhenti.
Suasana semakin suram. Bahkan, Gakupo yang nggak menutup mulut siapa-siapa, jadi menutup mulut gelas minumannya.
"Anon," Neru mengulangi. "Anon.. bunuh diri."
Satu kalimat itu menghentak mereka. Membuat mereka terperanjat kaget.
"Ka-kapan?" tanya Akaito. "Kita ke TKP sekarang!"
"Terus permintaan klien kita gimana, Akaito?" cegat Kaito.
Satu perintah dari mulut Akaito. Mereka segera mengangguk. Akaito menarik tangan Neru.
Satu per satu dari mereka mulai meninggalkan café itu, mulai dari Kaito yang harus mengeluarkan mobil dari parkiran sampai yang terakhir Neru karena harus membayar tagihan makanan mereka.
Akaito berjalan di samping Neru dan menepuk pundaknya. Dia berusaha menenangkan Neru.
"Jangan dulu berpikiran yang aneh-aneh, Neru," ucap Akaito.
"Aku nggak yakin Anon mati bunuh diri. Dia nggak bukan tipe orang yang berpikiran pendek,"
"Menurutmu, dia dibunuh?"
Neru mengangkat bahu sambil menggeleng. "Nggak tahu juga. Aku nggak yakin,"
Akaito melihat Kaito dan kawan-kawannya sudah siap di dua mobil yang berbeda.
"Kutegaskan sekali lagi, kalian tuntaskan masalah di kampus. Aku dan Neru yang akan mengurus kasus Anon. Kalau aku butuh bantuan kalian, segeralah datang. Bisa dimengerti?"
"Ha'i!"
Mobil yang pertama, mobil yang ditumpangi Kaito, Miku, dan Gakupo itu pun segera berbelok dengan putaran U yang yang brutal dan melesat dengan kecepatan tinggi—setelah sirene polisi dipasang—di tangan Kaito yang ahli menyetir untuk situasi darurat. Sementara mobil kedua yang ditumpangi Len dan Rin ikut melesat setelahnya.
"Tunggu disini, Neru,"
"Emang kau bawa mobil?"
Akaito mengangguk dan berlari menuju tempat parkir satu-satunya di taman kota.
Setelah menunggu beberapa menit, Akaito muncul dengan mobilnya yang sudah dihiasi sirene polisi. Akaito mengedikkan kepalanya, isyarat untuk Neru untuk segera masuk ke dalam mobil.
"Pakai sabuk pengaman, aku akan menyetir dengan cara yang sama seperti Kaito." Akaito menyerigai.
"Nggak adik, nggak abang, sama gilanya," cibir Neru dan Akaito cuma tertawa.
.
.
.
Neru dan Akaito sampai ke TKP, di rumah Anon rupanya.
Aneh, semua petugas masih setia berkerumun di depan, bahkan beberapa sudah mulai berpulangan. Ada dua orang petugas di depan rumah Anon yang sedang mencoba berbincang-bincang.
"Darimana kalian mendapat informasi kalau di sini ada kasus bunuh diri?" tanya Akaito pada petugas yang sedang berbincang di depan pintu.
"Kakak kembar korban melaporkan pada kami, Pak," jelas petugas tersebut.
Akaito menaikkan sebelah alisnya curiga.
"Apa dia ada di sini, sekarang?"
Petugas itu mengangguk. "Dia di sana bersama Yukari-kanshikan."
"Apa ditemukan pesan kematian atau semacamnya?"
"Tidak ada, Kanshikan. Korban tidak meninggalkan pesan atau semacamnya."
Akaito semakin curiga.
"Apa orang tua korban mengetahui hal ini?" tanya Akaito lagi.
"Menurut pengakuan kakak kembar korban, orang tua korban sudah mengetahuinya,"
"Lalu, dimana orang tua korban?"
"Sedang dalam perjalanan kemari, Kanshikan. Orang tua korban saat dihubungi, mengaku masih ada di Kyoto,"
Akaito menatap Neru seolah bertanya 'Benarkah?' dan Neru menggeleng tak tahu.
"Baiklah, terima kasih. Kembali bekerja." titah Akaito dan kedua rookie itu segera mengangguk tegas dan menjawab, "Ha'i!"
Akaito dan Neru menghampiri seorang wanita berambut ungu yang menjabat sebagai inspektur di Divisi 2.
"Yukari-san," Akaito memanggilnya. Yukari menepuk bahu gadis yang masih menangis itu sebelum meninggalkannya dan menghampiri Akaito.
"Bagaimana kondisi gadis itu?" tanya Akaito.
"Dia masih belum mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Dia masih tutup mulut. Dia ketakutan dan masih shock, sepertinya karena kembarannya baru saja bunuh diri."
"Sou ka…" gumam Akaito. "Neru, coba bujuk dia."
Neru mengangguk dan mulai mendekati gadis berkuncir ke samping seperti dirinya itu.
"Kenapa gadis itu tidak mau menjelaskan lagi laporannya?" tanya Akaito pada Yukari yang sedang berdiri di sebelahnya.
Yukari menggeleng. "Tidak tahu, dia juga melapor pada kami dengan panik dan histeris. Dia menyebutkan alamat rumah ini juga dengan terburu-buru,"
"Korban sekarang berada dimana?"
"Disana. Masih diperiksa Zora-sensei,"
"Terima kasih, Yukari-san." Akaito segera meninggalkan Yukari dan menghampiri sang dokter forensik yang sedang membantu petugas forensik lain untuk memasukkan mayat Anon ke dalam kantung jenazah.
Setelah mayat Anon masuk ke dalam ambulance, Akaito langsung segera mengajak Kyo berbincang.
"Zora-sensei," ucap Akaito setelah menepuk pundak dokter forensik yang umurnya 2 tahun di atasnya.
"Ah, Shion-san," Kyo menyahuti sambil melepas sarung tangannya.
"Jadi, bagaimana kondisi tubuh korban?"
Kyo menghela napas. "Untuk saat ini, aku juga masih berpikir bahwa penyebab kematian Anon-chan adalah murni bunuh diri. Meskipun ada banyak luka lebam ditubuhnya... Yah, kita harus mengirim Anon-chan dulu untuk kuotopsi."
Kyo menunduk sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jas putihnya.
"Nee, Zora-sensei, berpikir bahwa kematian gadis itu bukan bunuh diri?" tebak Akaito tanpa menatap Kyo.
Kyo mendesah sambil menatap langit malam musim dingin.
"Malam Natal kali ini cukup mengerikan untukku," Kyo berucap sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya. Dia mengapit batang rokok filter di mulutnya dan sama sekali tak ada niatan untuk menyalakannya.
Akaito pernah mendengar isu jika Kyo bisa melihat 'mereka' yang sudah meninggalkan dunia ini. Mungkin Kyo melihat 'Anon' dan gadis itu mengucapkan sesuatu untuk kasus ini.
"Cobalah kalian cek barang-barang pribadinya. Kurasa orang tua mereka akan luluh pada kau, Shion-san," Kyo mengangkat wajahnya dan menepuk bahu Akaito. "Kuserahkan kasus ini pada kalian."
Kyo meninggalkan Akaito dan segera pergi dengan mobilnya menuju rumah sakit.
Akaito menatap kepergian Kyo dan mengepalkan tangannya.
Kenapa Neru bisa berpikir jika ini bukan kasus bunuh diri? Bahkan, Kyo pun berpikir bahwa kasus ini bukan kasus bunuh diri?
"Akaito," Neru menghampirinya. "Baik Kanon dan orang tuanya hanya bisa mengatakan bahwa Anon memang murni bunuh diri. Mereka belum mau mengaku apa-apa."
Neru terlihat lesu. Seolah dia kecewa dengan semua hasil diskusinya dengan Kanon.
"Aku yakin Anon tidak bunuh diri!"
Neru menundukkan kepalanya dalam sampai Akaito bisa melihat pucuk kepalanya.
Bahu Neru bergetar dan Akaito melihat tetesan air mata di antara kabut dari mulut Neru.
Akaito menarik tangan Neru dan memeluknya. "Kita akan menyelesaikan kasusnya. Tenanglah, jangan menangis, Neru-chan,"
Akaito melepas pelukannya dan menepuk bahu Neru. "Ayo, kita kerahkan tenaga kita!"
Akaito mengulurkan sapu tangannya pada Neru. "Hapus air matamu, Neru! Tak ada gunanya menangis. Ayo, selesaikan kasus ini secepat mungkin!"
Neru mengangguk dan menerima sapu tangan Akaito. "A-arigatou, Akaito."
"Kalau begitu, pertama kita harus berhasil mewawancarai Kanon!"
"Ha'i!"
Kasus kematian Anon baru saja dibuka.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
Author's Note :
Nyaha, ketemu lagi sama Shintaro Arisa dengan kelanjutan seri Mysterious Accident!
Kali ini penyeledikan dibantu sama Neru! Yeay!
Oh ya, ini nggak akan panjang-panjang kok. Paling banyak tiga chapter. Ini, 'kan, cuma extra file.
Yosh, need reviews for next chapter!
.
.
.
MIND TO REVIEW?!
.
.
.
Shintaro Arisa, out.
