Total Eclipse Of The Heart

Swag USagi Present.

All Character in this fict belong to Mashashi Kishimoto.

Fict ini, sudah terlebih dahulu ada dalam versi Screenplays dengan Out Characternya, dan sudah pernah publish di akun facebook pribadi saya. Dan saya memutuskan untuk membuat Sasuhina versionnya, jadi bagi yang pernah merasa membaca alur cerita yang sama, mohon dimaklumkan.


Ketika gelap dan terang bertemu tapi tak dapat dipersatukan. Bukan takdir bagi keduanya untuk bersama. Karena ketika keduanya berpapasan satu sama lain, maka harus ada salah satu dari mereka yang mengalah. Sebelum semuanya terlambat, dan menghancurkan salah satu dari mereka. Atau bahkan keduanya.

Bangsa vampire adalah salah satu dari sekian banyak makhluk di muka bumi. Tak begitu besar jumlahnya dan tak terlalu memperlihatkan eksistensi-nya. Tapi, legenda makhluk immortal itu sudah diperkirakan ada sejak berabad abad yang lalu. Bahkan hingga detik ini, banyak vampire yang membaur dalam kehidupan manusia dan terkadang ikut masuk dalam lingkungan jajaran pemerintahan. Diantaranya ada yang menikah dengan manusia dan melahirkan half blood vampire.

Sedangkan di sisi lain, masih banyak terdapat makhluk makhluk yang dianggap mitos oleh masyarakat bumi. Diantaranya kaum elf, werewolf, penyihir hingga goblin. Kaum elf sering dikenal sebagai peri yang bertugas menjaga keseimbangan alam, menjaga keberadaan kaum mereka di tengah perkembangan zaman yang semakin mengancam keberadaan mereka. Berbeda dengan kaum vampire yang terkadang secara terang terangan bergaul dengan manusia. Para elf lebih memilih untuk menghindari kontak dengan manusia. Hidup di pedalaman hutan bersama sama dengan kaum werewolf sebagai penjaga hutan, meski kedua kaum dengan jelas memberikan batasan batasan wilayah mereka masing masing. Satu hal yang membuat kedua kaum ini hidup rukun satu sama lain bahkan hingga bersahabat dan menjalin kerja sama. Bangsa vampire, bangsa yang telah menjadi musuh mereka selama berabad abad yang lalu. Bangsa yang telah menanam kebencian yang mendarah daging secara turun temurun sejak para pendahulu ada. Kaum kelam yang tak mati tapi juga tak bisa dibilang hidup, kaum terkutuk.

"Kapan kau akan membawa mempelaimu, anakku?" seorang pria yang masih terlihat gagah di umurnya yang mencapai 782 tahun. Wajar saja, mereka adalah bangsa vampire yang immortal. Meski umurnya sudah berabad abad lebih, fisiknya masih terlihat seperti pria berusia akhir 40 tahunan di mata manusia. "Nanti." ujar anaknya tanpa menoleh ke arah sang ayah yang kini menghela nafas pasrah. Bosan dengan alasan anaknya yang selalu mengelak jika ditanya soal pendamping hidup.

"Nanti itu kapan, nak? Ayah dan ibumu sudah tua, ayah tak mungkin terus menerus memegang tangku sebagai raja selamanya. Bulan purnama terakhir musim dingin nanti usiamu genap 200 tahun. Itu berarti kau resmi menjadi raja menggantikan ayah, dan saat itu pula kau harus menemukan mempelaimu nak." tutur sang ayah panjang lebar. Si anak menghentikan tangannya dan memandang sang ayah.

"Jika hingga saat yang ditentukan aku belum menemukan pasanganku juga, ayah bisa menyerahkan tahta raja pada Itachi-nii untuk sementara. Bukankah dia telah menandai Konan sebagai pasangannya. Nikahkan saja mereka" ujarnya seraya menunjuk kearah dua sejoli yang berada tepat di seberang mejanya.

"Cih, itu merepotkan. Jangan melimpahkan bebanmu padaku otouto. Aku sudah bilang kan? Aku tak mengingkan tahta itu."

"Itu bukan beban nii-sama sayang, itu adalah suatu kehormatan" kilah sang adik. Sedangkan si gadis hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kekasih dan calon adik iparnya itu yang kini justru adu mulut.

"Berhentilah bersikap kekanakan, meski ratusan tahun berlalu ternyata tak membuat kalian menjadi dewasa" kedua kakak beradik tadi menoleh ke arah suara, dan mendapati ibu mereka yang tersenyum geli melihat tingkah pola kedua putranya itu.

"Sasuke, cepatlah susul kakakmu dan bawa calon mempelaimu kepada kami. Apa yang ayahmu katakan tadi benar, mau sampai kapan melajang, hah?" tanya sang ibu. Merasa dipojokkan Sasuke bangkit dari kursinya dengan wajah masam.

"Kalian selalu saja memojokkanku.." Sasuke merajuk, lalu melangkah pergi ke luar ruangan.

"Mau kemana kau?" teriak sang ayah.

"Main.." si ibu mendecak sebal mendengar jawaban putra sulungnya. "Pulanglah sebelum matahari terbiitt!" kata sang ibu setengah berteriak.

Di tempat lain, istana dekat lembah bukit Pixie. Para elf sedang menggelar pesta perayaan sang Pangeran mereka yang menginjak usia 200 tahun. Sama seperti bangsa vampire, para elf juga termasuk makhluk immortal. Perbedaannya adalah, vampire hidup dalam kegelapan sedangkan para elf hidup dalam gemerlap cahaya.

Para tamu undangan disibukkan dengan perbincangan yang belakangan santer terdengar. Isu mengenai pertunangan sang pangeran yang dikabarkan akan diumumkan malam ini, tapi hingga detik ini bintang dari acara ini sendiri belum juga menampakkan dirinya. Suasana bertambah riuh ketika para gadis saling bertukar gosip dan terang terangan mengumbar rasa iri pada calon ratu negeri peri di masa depan yang mendampingi pangeran yang mereka puja.

Pintu besar di lantai atas berderit, membawa sosok pangeran yang mengenakan pakaian kerajaan bernuansa putih. Sontak saja suasana kembali meriah dengan hebohnya teriakan para gadis dibawah sana yang mengumandangkan nama sang pangeran.

"Pangeran Gaara!"

"Gaara-sama!"

"Ahh, tampannyaaa!"

Sang pangeran hanya tersenyum menyambut 'kehangatan' yang diberikan rakyatnya dari atas balkon yang menghadap ke seluruh tamu undangan.

Sang pangeran menoleh ke arah belakang, ke arah pintu dimana ia tiba tadi. Ia tersenyum mendapati seorang gadis dengan dress berwarna senada dengan baju yang ia kenakan. Gadis itu menundukkan kepalanya yang berhiaskan flower crown yang sengaja ia buatkan untuk sang gadis tersebut, bahkan ia pula yang menyematkannya sendiri ke kepala gadis itu tadi.

"Kenapa kau masih berdiri disana putri, kemarilah!" ujar Gaara lembut, tapi si gadis hanya menggeleng dan kekeuh di tempatnya. Membuat sang pangeran semakin gemas dan kemudian menghampirinya. Para tamu undangan heran, sang pangeran berbalik arah dari balkon. Karena balkon yang cukup tinggi, mereka tak bisa dengan jelas melihat apa yang terjadi di lantai atas.

"Mengapa kau masih berdiri disini?" Gaara meletakkan tangannya di bawah dagu sang gadis dan mengangkat dagunya. Dan terlihatlah betapa merahnya raut wajah sang gadis, dia menggigit bibirnya karena gugup.

"Jangan menggodaku di depan umum putri, atau aku akan 'memakanmu' sekarang juga" goda sang pangeran.

"A-aku tak sedang menggodamu! Aku hanya gugup harus bertemu banyak orang dengan dandanan seperti ini" ujar si gadis.

"Tak ada bedanya di mataku, Hinata." lirih Gaara di telinga Hinata.

Hinata mendorong pelan dada Gaara, mengerti keinginan si gadis Gaara pun merengangkan jarak mereka yang terlampau dekat.

"M-mesum!" ucap Hinata dengan wajah merona. Gaara tertawa kecil melihat reaksi yang diperlihatkan Hinata, menggemaskan sekali. Sang pangeran meraih jari jari Hinata dan menggenggamnya, "Ayo, semua sudah menunggu di bawah" ajak Hinata seraya menuntunnya menuruni tangga.

Pasangan yang kini menuruni tangga tersebut menarik seluruh atensi dari semua orang yang ada di pesta itu. Bahkan mereka tak mampu menutupi keterkejutan bercampur terpukau.

"Keluar juga mereka rupanya" ujar salah seorang yang memeluk pinggang wanita di sebelahnya.

"Hinata nee-san terlihat sangat cantik malam ini, meskipun dia memang sudah cantik tanpa riasan sih. Tapi malam ini dia terlihat memukau, ya kan suamiku?" sambut si wanita.

"Yah, adikku memang cantik sih. Mau bagaimana lagi? Tapi kecantikannya tak sebanding denganmu Hyuuga Tenten. Dan sampai kapan kau mau memanggilnya nee-san? Dia itu adik iparmu sekarang!"

"Aku sudah memanggilnya begitu sejak aku masih menjadi juniornya di akademi sihir. Kau keberatan dengan itu sayang?" tanya istrinya sambil memiringkan kepalanya.

"Bahkan si bodoh itu masih saja belum lulus dari akademi itu"

"Kau itu kenapa selalu mencelanya sih? Berhentilah bersikap seperti itu, aku tahu kau sangat menyayanginya"

"Cerewet!" Tenten mempoutkan bibirnya, suaminya yang menjabat sebagai anggota termuda Parlementer Negeri Elf dan Peri itu memang memiliki kepribadian yang sedikit menyebalkan. Tenten memilih mengabaikan suaminya dan beralih pada Gaara dan Hinata yang kini tengah berdansa di lantai dansa. "Mereka serasi, tak terlihat seperti pasangan yang di jodohkan. Hinata terlihat bahagia, semoga dia benar benar bahagia" doa Tenten, tanpa wanita itu sadari sang suami tengah memandang adiknya sendu.

'Bahkan untuk memilih pasangan hidupnya pun, para tetua tak mengizinkannya memilihnya sendiri. Dan si bodoh itu juga terus saja menelan bulat bulat apa yang diperintahkan tanpa menolak. Semoga keputusan kami tak salah, kau pantas bahagia Hina-hime'.

"Yha, semoga dia bahagia" ujar Neji, dia mengeratkan rangkulannya di bahu Tenten dan mengecup puncak kepala sang istri.

Sasuke berlari menembus hutan sambil menahan nyeri pada sayatan di dadanya serta bekas cakaran di lengan kirinya. Tak peduli dengan ranting ranting pohon atau semak berduri yang menghalanginya justru memperparah keadaanya, pangeran kedua count vampire itu menatap kearah langit dan mengumpat setelahnya. Menyadari betapa bodohnya dia, salah memilih waktu bermain.

.

.

"Pantas serigala busuk itu seakan tak kenal lelah, bulan sedang penuh malam ini. Kekuatan mereka mencapai batas maksimum bersama bulan purnama. Sial!" ya, Sasuke sedang berada di hutan yang menjadi wilayah kekuasaan Inuzuka Kiba. Sang Alpha dari kawanan werewolf di hutan yang berdekatan dengan lembah Pixie.

Kiba dan kawanannya memburu putra bungsu raja vampire yang tengah kedapatan berburu mangsa. Sejak dulu, kawanan serigala tak pernah menyukai klan vampire. Begitupun sebaliknya. Tapi memang sifat Sasuke yang kelewat congkak, membuatnya terus saja menyambangi kawasan terlarang bagi kaumnya itu. Selalu meremehkan kekuatan gerombolan pemangsa berdarah panas tersebut. Tapi karena beberapa hal, dia lupa. Malam ini malam bulan purnama, dan semakin sial ketika yang ditemuinya adalah sang Alpha alias sang pemimpin.

.

.

Hinata tak terbiasa dengan riuhnya suasana pesta, karena dia cenderung menyukai ketenangan. Dihadapkan dengan keramaian dan kebisingan membuatnya tak nyaman, gadis itu menghentikan gerakan dansanya. Hinata yang berhenti tiba tiba membuat Gaara bingung dan secara refleks melepas tangannya yang melekat erat di pinggul peri muda tersebut.

"Kau baik baik saja Hime?" tanya Gaara khawatir.

"A-Aku baik baik saja, hanya rasanya agak sedikit pening. Mungkin k-karena aku tak terbiasa berada di keramaian. A-aku ingin keluar menghirup angin sebentar, boleh!?"

"Biar kutemani kalau begitu.." tawar Gaara.

"T-tidak perlu, t-tak sopan rasanya jika sang pemilik pesta justru tak terlihat di acara pesta. K-Kau temani para undangan saja, ne." tolak Hinata halus, Gaara menghela nafas lalu menarik tubuh Hinata mendekat. Sedetik kemudian dia mengecup kedua belah pipi Hinata.

"Baiklah, hati hati kalau begitu" ujar Gaara. Lalu Hinata beranjak meninggalkan ruang pesta menuju taman kecil yang terhubung dengan hutan. Menyusuri danau kecil yang memantulkan cahaya bulan purnama dengan sinarnya yang terbias dengan sangat cantik. Lalu dia manatap ke arah kakinya yang terbalut sepatu berhak tinggi yang khusus dipesan untuk acara pertunangannya.

"Sepatu ini memang cantik, tapi sangat menyiksa." keluh Hinata. Cahaya di sekitar danau menjadi semakin indah ketika sekawanan kunang kunang terbang melintasi danau.

"Cantik!" gumamnya.

"Hei, kalian mau kemana. Tetaplah disini!" teriak Hinata ketika netranya melihat sekumpulan kunang tadi terbang menuju ke arah hutan. Gadis itu berusaha mengejar dengan susah payah, ditambah sepatu yang tak mendukung makin memperparah keadaan. Hingga akhirnya adik Hyuuga Neji itu tersungkur di atas tanah dengan luka di siku kanannya.

"Ohh, ittai!" rengek Hinata ketika melihat darah mengalir dari sikunya. Matanya beralih ke sekitar hutan, gelap dan menakutkan. Meski sudah sering mendatangi hutan ini, ia selalu datang di pagi atau siang hari. Tak pernah selarut ini. Ketika sibuk dengan imajinasinya, dia menangkap siluet seorang pemuda tengah bersandar di sebuah pohon besar. Hinata melangkah ke arah pemuda tersebut, betapa terkejutnya gadis itu melihat keadaan pemuda tersebut.

"A-Astaga, l-lukanya! Tuan k-kau tak apa?" tanya Hinata dengan paniknya, dia melangkah lagi mencoba memperpendek jarak dengan pemuda yang masih memejamkan matanya itu. 'Apa dia pingsan?' batin Hinata. Selang beberapa detik kemudian sang pemuda membuka matanya.

Netra sewarna darah nampak setelah kedua kelopak matanya terbuka. Hinata menyesali keputusannya yang bermaksud menolong si pemuda, tidak Hinata menyesal telah meninggalkan istana dan justru memasuki kawasan hutan. Hinata menatap takut pada apa yang ada di hadapannya, karena yang ditemuinya kali ini adalah..

"V-vampire.." Hinata merasakan lututnya selemas jelly, dia berputar dan memaksa kakinya yang bergetar hebat berlari menjauh dari si vampire. Hinata terus berlari menelusuri kegelapan hutan, hingga tak menyadari butiran sebening kristal meluncur menuruni pipinya. Langkahnya terhenti ketika lengannya ditarik paksa, dan mau tak mau menghempaskan punggungnya pada sebuah dada bidang.

"Terlambat jika kau ingin lari, peri kecil" Hinata menahan nafasnya ketika sebuah tangan melingkar di pinggangya dan tangan yang lain menangkup raut wajahnya. Sedetik kemudian, Hinata merasa sesuatu membaui leher jenjangnya kemudian disusul dengan kecupan kecupan lembut di sekitar lehernya. Hinata menahan nafasnya ketika sensasi basah nan hangat menjalar di kulit lehernya.

"J-janganh..Ku-kumohon.." pinta Hinata memelas.

"Maaf nona, aku tak bisa melepasmu sekarang atau bahkan mungkin.. selamanya"

Hinata menangis sejadinya ketika taring tajam sang vampire menancap dalam di lehernya, sebelum tangan sang vampire membekap bibir mungilnya.

DEG..

"Hinata.."

.

.

"Adikmu telah menemukan mempelainya dan sedang menandainya, Itachi."

"Kau menciumnya juga sayang, tapi firasatku mengatakan akan ada suatu hal yang besar setelah ini.."

"Pasti menarik!"

Sang pangeran memilih menepi ke sudut ruangan setelah kepergian Hinata. Memaklumi pola tingkah gadis berusia 180 tahun itu, karena dia tahu tunangannya itu bukanlah tipe gadis yang menyukai sesuatu yang berbau glamour. Dia masih ingat malam pesta perpisahan Wizard Academy angkatannya 15 tahun yang lalu. Saat itu, Hinata masih berada di tingkat lima bahkan hingga kini ia masih di tingkat yang sama. Tak habis pikir, bagaimana gadis itu bisa membutuhkan waktu yang begitu lama di akademi itu.

Gaara terkekeh ketika kilasan masa lalu melintas di benaknya, ketika ia untuk pertama kalinya bertemu Hinata. Dia tahu pesona Hinata memang tak terbantahkan lagi, itu sebabnya dia tak sungkan mengajak gadis itu berdansa meskipun itu adalah pertemuan pertama mereka. Mengabaikan teriakan para gadis yang menjerit iri, Gaara mengulurkan tangannya bermaksud mengajak adik kelasnya itu berdansa. Alih alih menyambut uluran tangannya, gadis itu justru mengernyitkan alis dan memiringkan kepalanya.

'K-Kau mengajakku berdansa?' ujarnya.

'Ya, jadi maukah kau..' Gaara masih mengulurkan tangannya yang agak sedikit terasa kebas, masih menunggu respon si gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya saat itu.

'K-Kau si pangeran itu kan? A-Aku tak mau berdansa denganmu, aku tak m-mau jadi bulan bulanan di sekolah setelah pesta ini berakhir. A-Aku t-tak mau.. r-rambutku dijambak seperti tahun lalu s-setelah aku menerima ajakan dansa idola sekolah, a-apalagi kau itu pangeran. P-Pasti kali ini mereka akan mengirimiku boneka voodoo.' lalu Hinata pergi begitu saja meninggalkan sang pangeran yang terbengong, shock atas penolakan yang baru pertama kali ia alami. Gadis lain menjerit histeris, menyumpahi Hinata yang tengah melenggang santai ke luar ruang pesta.

Sejak saat itulah Gaara terus mengorek informasi tentang gadis itu secara diam diam dibelakang raja. Mengawasinya dari kejauhan ketika Hinata pergi ke hutan dan bercengkrama dengan para werewolf yang ternyata menjadi lebih jinak ketika bersama peri muda tersebut. Terkadang Hinata akan menyisiri surai mereka ketika dalam wujud serigala besar. Hingga suatu hari, Shiino salah seorang kawanan werewolf menangkap basah dirinya ketika kedapatan sedang mengintip di belakang pohon besar. Di luar dugaannya, Hinata tertawa dan mengajaknya untuk ikut bergabung. Dan dari sanalah, ia dan Hinata menjalin hubungan pertemanan.

Hingga suatu hari sang raja memberi kabar bahwa dirinya akan dijodohkan dengan gadis pujaannya, betapa gembiranya ia ketika tahu gadis yang selama ini disukainya akan bertunangan dengannya. Tentu saja Gaara tak keberatan akan hal itu, satu hal yang bermasalah. Dia tahu Hinata tak pernah menganggapnya lebih dari teman, dia tahu Hinata adalah gadis yang penurut. Gadis itu menerima perjodohan ini tentu atas permintaan para tetua di keluarganya. Gaara tak buta akan hal itu, tapi baginya selama Hinata tak menolak dan bersedia untuk berada di sisinya, ia rela cintanya bertepuk sebelah tangan. Hidup dengan kehangatan istrinya tanpa cintanya, ia rela.

Gaara menghela nafasnya setelah alam nyata menjemput kesadarannya dari nostalgia lama, melangkah ke arah meja di mana prasmanan pesta tersaji. Mengambil segelas anggur yang tersaji, dan menenggak isinya sedikit. Entah karena angin apa, dadanya terasa nyeri untuk sejenak, membuat gelas yang dipegangnya tergelincir jatuh tertarik gravitasi. Hanya satu yang melintas di benaknya..
"Hinata.."

.

.