Isshogurashi

Disclaimer :

Naruto © Kishimoto Masashi

Isshogurashi © Akacchi KurossuZeria

Genre(s) :

Friendship/Mystery/Humor (?)

Rate :

T

Warning :

Typo(s), AU, OOC, crack story, failed, error language, alay, abal, ababil, etc.

Summary :

Kisah pasaran tentang empat remaja yang berasal dari keluarga terpandang di Jepang yang harus menetap dan bersekolah di sebuah desa terpencil—Desa Konoha, selama setahun. Konoha bukan hanya sebuah desa terpencil biasa, namun juga memiliki misteri yang akan mengubah hidup empat remaja ini.

x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x

~ Chapter 1 ~

x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x

"Naruto, ada yang ingin ayah bicarakan denganmu. Ini masalah penting."

Sepasang manik saphire milik Namikaze Naruto menatap manik saphire sang ayah penasaran. Jarang sekali ayahnya yang super sibuk ini menyempatkan waktu untuk berbicara empat mata dengannya. Mau tak mau ia harus mendengarkan omongan ayahnya meskipun sekarang ia sedang sibuk—bermain video games di kamarnya.

"Ada apa, Yah? Apa yang mau ayah bicarakan?" tanya Naruto sambil memiringkan kepalanya, bingung. Apalagi saat melihat ekspresi ayahnya, Namikaze Minato, yang agak mengkerut.

"Itu... sebenarnya..."

Sepertinya Minato sendiri juga bingung harus memulai dari mana pembicaraannya.

"...sebenarnya ayah ingin—"

.

.

.

"—menyekolahkanmu di Konoha."

'Apa? Aku tak salah dengar? Ayah akan apa?'

"Dengarkan aku, Sasuke. Aku akan menyekolahkanmu di Desa Konoha," Uchiha Fugaku, menatap anaknya tajam. Tersirat keseriusan dari wajahnya ketika terucap sebuah kalimat yang membuat anak bungsunya, Uchiha Sasuke, terperanjat kaget. Tunggu! Menyekolahkannya di Desa Konoha? Apa? Ia tak salah dengar, kan? Desa? Desa apa itu?

"Ayah datang jauh-jauh dari Jerman hanya untuk mengatakan hal itu kepadaku?" setelah lama terdiam, akhirnya Sasuke membuka suara. Masih dengan tanda tanya besar yang menggantung di kepalanya, namun segera ia sembunyikan dari mimik wajahnya. Wajah stoic-nya menjadi sedikit tenang setelah kaget tadi.

"Kau mengharapkan kabar yang lebih baik, Sasuke? Oh, tenang saja. Kau hanya akan bersekolah di sana selama setahun, kok. Soalnya sekolah itu juga akan ditutup tahun depan," balas sang ayah menambahkan apa yang seharusnya ia katakan pada anaknya yang kini menginjak umur lima belas tahun itu.

"Aku tak peduli tentang sekolah yang akan ditutup tahun depan itu, ayah! Aku hanya... Ah! Terlalu banyak hal yang perlu diperjelas di sini!"

.

.

.

Sabaku Gaara menghentak-hentakkan kakinya pelan sembari menundukkan kepalanya. Tampak ia kini sedang berpikir keras tentang rencana kepala keluarga Sabaku alias ayahnya itu untuk menyekolahkannya di sebuah sekolah di sebuah desa yang tak pernah ia dengar namanya. Apa kau serius? Seorang anak seniman kenamaan di ibukota Jepang harus bersekolah di sebuah desa terpencil? Bahkan setelah ia pulang dari study-nya di luar negeri selama tiga tahun belakangan itu?

"Ada yang ingin kau tanyakan, Gaara? Ayah akan menjawab semua pertanyaan darimu," Sabaku Rasa, menatap anaknya yang terlihat masih bingung akan ucapannya beberapa menit lalu.

Bagaimana tidak bingung? Ketika kau baru pulang dari perjalanan jauh dan bertemu keluargamu setelah sekian lama terpisah, lalu ayahmu mengatakan sesuatu yang membuatmu kemungkinan akan pergi jauh dari keluargamu lagi?

"Apa maksud ayah dengan akan menyekolahkanku di Konoha? Konoha itu apa? Apa itu jauh dari Tokyo? Apa aku akan menetap di sana juga? Aku akan tinggal di sana dengan siapa? Yang lebih penting, kenapa ayah ingin menyekolahkanku di DESA yang bahkan aku tak pernah dengar namanya setelah ayah menyekolahkanku jauh-jauh ke Paris?" sukses saja, pertanyaan beruntun keluar dari bibir mungil anak bungsu dari tiga bersaudara Sabaku ini. Ayahnya hanya menghembus napas pelas, tahu bahwa anaknya akan membombardirnya dengan serentetan pertanyaan.

"Begini, Gaara. Ayah perjelas lagi, kau akan bersekolah selama setahun di sekolah Konoha sampai sekolah itu tutup tahun depan. Desa Konoha itu adalah kampung halaman ibumu yang terletak nun JAUH di sana," Rasa menghela napas sejenak sembari menatap netra emerald anaknya.

"..."

"Ayah ingin menyekolahkanmu di sana agar kau mengenal kampung halaman ibumu juga. Kau belum pernah ke sana, kan, Gaara?" lanjut Rasa sambil menyilangkan tangannya di dada. Gaara terdiam, kalau dipikir-pikir dia memang belum pernah pergi bahkan tak tahu menahu tentang kampung halaman ibunya, Sabaku Karura.

"Tapi kenapa harus bersekolah di sana juga, sih, ayah? Kan, aku bisa berlibur di sana saja beberapa hari kalau cuma untuk mengenal desa itu?" tanya Gaara lagi, masih tak paham dengan rencana ayahnya ini. Gaara bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Tapi, entah mengapa hari ini ia bisa menjadi seorang bermulut nyolot hanya karena masalah ini.

"Gaara, banyak hal yang terjadi. Dan ibu ingin kau melakukan ini. Ini demi kebaikanmu juga," sambung sang ibu, yang di mata Gaara kini menatapnya dengan siratan kekhawatiran di matanya. Oh, sungguh Gaara tak suka melihat ibunya menatapnya dengan tatapan memelas seperti itu.

"Baiklah, Ibu. Tapi, kenapa harus aku yang sekolah di sana? Kenapa neechan dan niichan tidak?"

Rasa dan Karura saling pandang, memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaan si bungsu. Gaara hanya termangu sambil menunggu jawaban dari salah satu atau kedua orangtuanya. Tidak adil rasanya jika hanya dia yang sekolah di pedalaman, tapi kedua saudaranya tidak—setidaknya itu yang ia tahu.

"Itu, Gaara... Sebenarnya itu juga menyangkut dengan siapa yang akan tinggal bersamamu di sana. Disana kau akan tinggal dengan—"

.

.

.

"—tinggal dengan teman-temanmu, kok. Atau lebih tepatnya, anak dari teman-teman kami," ujar Nara Shikaku sembari merangkul Yoshino, istrinya, yang kini duduk disampingnya dengan menampakkan ekspresi lembutnya. Aduh, suaminya ini. Jangan merangkulnya di hadapan anaknya di situasi seperti ini, dong.

Anak dari pasangan klan Nara ini semakin tak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya. Setelah dikabari akan disekolahkan di desa terpencil, kini ia harus dihadapkan lagi oleh satu kenyataan bahwa ia akan menetap di sana tanpa kedua orang tuanya dan hanya tinggal bersama teman—apa? Teman-temannya?

"Ayah, kau pasti bercanda, kan? Maksudmu aku akan tinggal di sana dengan Naruto dan Sasuke yang notabene orang tuanya adalah sahabat dekat kalian, begitu?" anak tunggal ShikakuYoshino, Shikamaru, mencoba menebak siapa yang ayahnya maksud itu. Tentu, dengan kejeniusannya, Shikamaru tak perlu bertanya lagi pada ayahnya siapa yang dimaksudkan tadi. Oke, jelas saja ia tahu karena kedua orang yang ia sebut itu adalah teman dekatnya sekaligus anak dari teman ayah-ibunya.

"Baguslah kalau kau sudah tahu, Shikamaru. Tapi bukan cuma dengan mereka saja. Kau juga akan tinggal dengan satu orang anak teman ayah yang lain," balas Shikaku. Ia pun melirik istrinya dengan tatapan 'jelaskan-ke-Shikamaru-siapa-orang-itu'.

"Itu loh, Shika. Klien ibu yang penyanyi terkenal itu. Yang suaminya pemilik studio musik Sabaku. Anak bungsunya seumuran denganmu dan akan masuk SMA juga. Dulu kami, orang tua kalian berempat, kan, pernah membuat janji akan menyekolahkan anak-anak kami di sekolah gabungan Konoha," terang sang Nyonya Nara sambil memandang anaknya dengan senyum merekah. Seakan mengingat-ingat masa lalu, dimana empat pasang orangtua mengikat janji—yang tak bisa dikatakan janji juga—yang bisa kalian baca sendiri di penjelasan Yoshino di atas.

'Ck, merepotkan,' umpat Shikamaru tak habis pikir. Bisa-bisanya para orang tua ini membuat janji konyol seperti itu.

Setelah lama terdiam, Shikamaru kembali menyuarakan isi hatinya, "Kalau aku tidak mau, bagaimana, Bu? Ini terlalu merepotkan. Lagian, aku punya perusahaan yang harus kuurus, kan?"

Bukan salahnya jika ia sudah bisa memiliki perusahaan yang berupa developer game mobile sendiri. Dengan kejeniusan dan modal saham dari ayahnya, ia sudah dapat membangun sebuah perusahan game kecil-kecilan yang game ciptaannya kini sedang digandrungi oleh remaja seusianya.

"Kau bisa menitipkannya pada Hidan, asistenmu itu kan? Nanti biar ayah yang awasi langsung pekerjaan staffmu," jawab Shikaku yang juga memberi tatapan tak terbantahkan pada Shikamaru. Shikamaru mengernyitkan dahinya. Ingin melakukan penolakan, tapi merasa tak enak. Takut kalau ayahnya akan melarangnya untuk melanjutkan usahanya atau ibunya yang akan mengomelinya jika tak nenuruti perkataannya ini.

.

.

.

"Ayolah, ayah. Aku ingin sekolah di SMA pilihanku! Mengapa aku harus sekolah di desa terpencil begitu?" Naruto bersungut sambil memandang kesal ayahnya yang kini duduk di sampingnya. Lagipula, Naruto sudah lelah mengecap sembilan tahun bangku sekolah bersama Sasuke dan Shikamaru. Kenapa saat SMA ia harus bersekolah dengan mereka lagi? Bahkan di sekolah yang tak ia ketahui asal usulnya.

"Tadi, kan, sudah ayah bilang alasannya. Lagian enak, dong, kalau sekolah dengan Shika-chan dan Sasu-chan di tempat jauh. Jadi kalian bisa merasakan yang namanya hidup mandiri dan arti dari teman sepenanggungan. Haha..." Minato terkekeh, kemudian membelai surai kuning yang merupakan kepunyaan anak bungsunya itu.

"Cih! Kenapa tidak Yahiko-nii saja yang sekolah di sana?" sungut Naruto kesal, tak lupa ia pun menampik tangan Minato dari kepalanya. Meskipun tampak di layar televisi 29 inch-nya ia berhasil mengalahkan big boss di video game yang ia mainkan, tak terlihat kepuasan sama sekali di wajahnya.

"Yahiko dulu, kan, diterima di SMA Akatsuki karena beasiswa. Ayah tak mungkin menolaknya. Sekarang kau mau masuk ke sana juga, tapi tak dapat beasiswa. Nilai-nilai ujianmu juga bobrok. Meskipun ayah kepala perdana menteri Jepang, ayah tak mungkin memaksa pihak SMA Akatsuki untuk menerimamu, kan?"

Ya, Namikaze Minato sendiri adalah kepala perdana menteri Jepang. Menikah di usia yang tergolong muda dan telah memiliki dua anak lelaki. Yang pertama adalah Yahiko, lulusan SMA Akatsuki, salah satu SMA terfavorite di Jepang. Dan Naruto, yang kini ingin masuk SMA Akatsuki demi menyalurkan bakat bela diri dan atletiknya. Sayangnya nilai-nilai semasa SMP-nya yang menjadi patokan mutlak untuk masuk Akatsuki terlalu bobrok hingga membuat ayah-ibunya harus menyembunyikan urat malunya.

Naruto memang bukan anak yang pintar dalam hal akademik, tapi sangat jago dalam hal bela diri dan olahraga. Wajar saja, karena ibunya adalah atlet judo dan maraton internasional. Dan kini ia mewarisi hal itu.

"Ayah sudah sepakat dengan orangtua Sasu-chan, Shika-chan, dan Gaara-chan. Dua hari lagi, kalian akan kami antar ke Konoha. Tidak ada penolakan, karena ayah juga sudah bicara langsung ke kepala sekolah di sekolah barumu itu."

.

.

.

BRAK!

Sasuke menggebrak meja yang terletak di ruang keluarga kediaman Uchiha. Ia menggertakkan giginya, nampak urat-urat kekesalan di wajah ademnya. Kesal tak tertahankan ketika ayahnya bilang besok lusa dia sudah harus berangkat ke Konoha.

Ia tak ingin berdebat dengan ayahnya. Tapi, bagaimanapun juga, ia juga tak mau bersekolah dan tinggal setahun di desa bernama Konoha itu. Yah, meskipun ia tahu desa itu adalah kampung halaman kedua orangtuanya. Bahkan orangtuanya juga bersekolah di sekolah Konoha.

"Sasuke, apa kau sebegitu tidak inginnya berpisah dari ibumu sebentar sampai-sampai menggebrak meja begitu? Itu tidak sopan, kau tahu!?" hardik Fugaku yang balik memandang anaknya kesal. Ya, ayahnya sadar akan hal yang mungkin menganggu ketetapan anaknya itu. Sasuke memang memiliki watak yang tenang, dewasa, perfeksionis dengan wajah yang mendukung semua wataknya. Namun di balik itu semua, dia hanyalah seorang ehem...!

Anak mami.

"I-iya! Bu-bukan begitu, kok! Aku hanya..." Sasuke tak dapat melanjutkan pembantahannya. Ia menatap arah lain, menyembunyikan semburat merah di pipinya. Entah karena malu, atau menahan marah.

"Ayahmu benar, Sasuke. Ibu dan ayah dulu sudah janji dengan orangtuanya Naru, Shika, dan Gaara. Kalau kalian sudah besar, kami akan menyekolahkan kalian di sana. Membebaskan kalian untuk hidup di sana, karena kebetulan juga kalian seumuran. Kehidupan di desa juga asyik, kok!"

'Apanya yang asyik dari tinggal di desa, Bu? Apalagi hidup dengan si bodoh dobe, si malas Shika... Dan siapa itu satunya lagi? Uhhh...'

Tidak ada yang membelanya. Ibunya bahkan sudah sepakat dengan ayahnya untuk mengirimkannya ke desa yang bahkan saat ia search di google map pun, tak dapat ia temukan letak desa itu. Lebih parahnya lagi, setahun menetap di sana tanpa ditemani ibunya.

"Kalau aku tak mau, bagaimana? Atau... apa Ibu atau Itachi-nii tak bisa menemaniku di sana?" tanya Sasuke lagi, yang sudah sedikit tenang. Namun tetap saja wajahnya masih tertekuk.

"Kalau kau tak mau, silakan. Tapi semua fasilitas yang ada padamu seperti kartu kredit, handphone, motor, laptop, PC, dan game-gamemu—pokoknya semuanya akan ayah sita!"

"Ayah demi apapun NO!" Sasuke kembali menggebrak meja, melotot ke arah sang kepala Uchiha. Tanpa memedulikan anaknya yang kembali liar itu, kepala direktur perusahaan gadget Uchiha Group pergi ke kamarnya.

"Ibu..."

"Maaf, Sasuke. Tapi ibu tidak bisa memberi keringanan, apalagi mengikutimu ke Konoha. Ikuti saja kata ayah dan semua akan indah pada waktunya. Oke?" ujar sang ibu, Mikoto lembut sembari mengelus kepala sang anak. Sasuke terdiam, mencoba menikmati setiap sapaan dari jari lembut sang bunda yang membelai rambutnya.

"Tenang saja, Sasuke. Ibu akan rutin mengirimkan uang untuk keperluan makanmu di sana. Dan kalau sempat, ibu akan mengunjungimu juga," lanjut Mikoto yang berlalu dari hadapan Sasuke dan mengikuti Fugaku masuk ke kamarnya. Sasuke hanya menatap nanar kepergian ibunya.

'Entahlah, Bu. Aku hanya berfirasat kalau ini takkan jadi hal indah seperti kata Ibu tadi.'


Esok lusanya, terlihat empat mobil mewah terparkir rapi di halaman luas kediaman Namikaze. Masing-masing sopir dari pemilik mobil yang juga dibantu oleh beberapa security di kediaman Kepala PM Jepang ini terlihat sibuk mengangkut koper-koper yang diperkirakan milik majikan mereka ke dalam mobil masing-masing.

Ya, tentunya hari ini keempat remaja lima belas tahun yang menjadi pusat fiksi ini sudah tahu akan dibawa kemana mereka dengan mobil-mobil mewah tersebut.

"Yosh! Barang-barang Naruto sudah dimasukkan semua! Apa yang lain juga sudah selesai?" Minato berseru mantap sembari menatap mobil Lamborghini Veneno-nya yang tampak ramai dikelilingi oleh pelayannya yang telah memasukkan semua barang Naruto yang akan dibawa ke Konoha. Sebenarnya barang tersebut tidak sebanyak yang dipikirkan, karena Kushina hanya menyuruh Naruto untuk membawa keperluan penting yang dibutuhkan Naruto selama menetap di sana.

"Barang-barang Shikamaru juga sudah siap. Ayo, sayang, kita naik!" ujar Shikaku kemudian mengajak istrinya masuk ke dalam Koenigsegg-nya. Dia duduk di samping kursi kemudi, sedangkan istrinya duduk di belakang bersama Shikamaru yang pastinya sudah terlelap sejak tadi. Tampak mobil sporty yang sebenarnya tidak cocok dengan kepala keluarga Nara ini sesak oleh barang-barang yang akan dibawa anaknya.

"Berapa lama Ibu akan menginap di Konoha?" tanya Sasuke memecah keheningan yang terjadi antara dia dan ibunya sejak masuk ke dalam Maybach Exelero. Mikoto yang sedari tadi terdiam—tampak memikirkan sesuatu—langsung menatap Sasuke lembut.

"Hmm... Karena ayahmu sibuk dan harus kembali ke Jerman secepatnya, mungkin besok lusa kami sudah kembali ke Tokyo. Kalian masih ada waktu lima hari sebelum masuk sekolah. Bersenang-senanglah saat sampai di sana, oke?"

'Ibu, jangan memandangku seperti itu, dong! Aku jadi terlihat seperti anak kecil yang tak mau menjauh darimu sekarang.'

Ckckck, dasar anak mami.

"Sudah jam delapan. Sebaiknya kita bergegas!" suara lantang Rasa dari luar mobil membuyarkan kegiatan Sasuke dan yang lain. Tak lama kemudian, ia bersama Gaara masuk ke dalam Lykan Hypersport miliknya. Sudah saatnya Gaara dan ketiga anak lain berpisah dengan Tokyo dan kehidupan mewah yang selama ini mereka rasakan.

Mari ucapkan selamat datang pada kehidupan membosankan, merepotkan, dan jauh dari kata mewah di Desa Konoha.

Dan ucapkan sampai jumpa setahun lagi—mungkin, pada kehidupan serba ada yang selalu mereka rasakan di Tokyo.


Setelah kurang lebih sepuluh jam melakukan perjalanan dengan mobil dan satu setengah jam dengan lima delman(?), akhirnya empat keluarga ini sampai di Desa Konoha.

Disambut dengan pepohonan hijau nan lebat di sekelilingnya. Jalan setapak dengan tanah kuning yang sudah sejak satu setengah jam lalu mereka tapaki, nampak berlanjut hingga ke wilayah desa. Dengan dibatasi oleh gapura bertuliskan Konoha, sudah dapat dipastikan bahwa kini mereka telah benar-benar sampai di desa itu.

"Haah... sudah lama tidak pulang ke sini! Sudah berapa lama, ya, hmm? Mungkin sebelas tahun? Aaah, benar-benar udara yang segar!" cerocos Minato dari delman yang ia tumpangi. Ia hanya berdua dengan Naruto dan kusir delman itu karena sopirnya bersama ketiga sopir lain menjaga mobil tuan-tuannya di perbatasan hutan. Sedangkan Kushina sendiri memang tidak ikut karena ia sedang ada lomba maraton. Sungguh ibu-ibu yang (hiper)aktif.

'Segar, sih, segar! Tapi gila aja naik lewat hutan pakai delman sampai malam begini! Serem, tauk!' batin Naruto yang entah kenapa sejak setengah jam lalu jadi benar-benar tidak bisa menikmati perjalanan jauhnya ini. Bukan cuma karena harus melewati jalan setapak yang dikelilingi hutan dengan delman untuk sampai di Konoha, tapi juga suasana yang—mendukung—menggelap karena memang mereka sudah kesorean ketika sampai di perbatasan.

Sasuke memandang sekeliling yang tampak gelap. Tidak ada penerangan di sepanjang jalan. Hanya lampu senter yang terpasang di delman-delman itu saja yang menerangi jalan mereka semenjak sampai di hutan tadi.

Ia melirik orang yang duduk di sampingnya—lebih tepatnya tertidur pulas di pundaknya, Shikamaru. Entah bagaimana bisa ia malah duduk bersama teman nanasnya ini. Sementara orang tua mereka masing-masing menaiki delman yang berbeda.

Sasuke kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mulai tampak rumah-rumah penduduk yang sangat khas dengan suasana pedesaan. Tak banyak dari rumah-rumah itu yang memiliki lampu penerangan di teras rumahnya. Membuat rumah-rumah tersebut terlihat seperti rumah kuno nan mistis.

"Ayah, kau yakin aku akan tinggal di tempat seperti ini?" Naruto mendelik tajam ketika terdengar suara aneh dari semak belukar yang ia lewati. Jalanan di Desa Konoha memang masih ditumbuhi semak belukar, rumah-rumah yang bejejer tidak terlalu rapat. Memungkinkan setiap rumah memiliki kebun atau sawah kecil di samping rumah mereka.

Hanya saja keadaan yang gelap membuat Naruto agak takut bahkan untuk sekedar memandang ke arah samping yang didominasi oleh kegelapan. Apalagi delman yang ia naiki berada di barisan terdepan, membuatnya cukup tak bernyali untuk menatap jalanan di depannya.

"Ayah," Gaara memecah keheningan yang terjadi antara ia dan ayahnya. Dia yang hanya pergi dengan ayahnya itupun membuka kembali mulutnya, "Rumah keluarga ibu dimana? Apa nanti aku akan tinggal di sana?"

"Oh, ibumu tidak punya keluarga di sini. Kedua orangtuanya sudah meninggal sejak ia berusia sepertimu. Dan ia anak tunggal, tak memiliki saudara. Terakhir ditinggal juga, rumahnya dibiarkan kosong tak berpenghuni."

Jleb! Gaara tertegun mendengar penuturan ayahnya. Ia tak pernah mengetahui masa lalu ibunya. Ibunya tak pernah membahas apapun tentang keluarganya. Yang ia tahu hanyalah ibunya yang menjadi penyanyi amatiran di sebuah live house lalu bertemu ayahnya di ibu kota dan menjalin hubungan asmara. Hingga menjadi penyanyi sukses, menikah dan melahirkan tiga orang anak berbakat seni termasuk dirinya.

"Tapi nanti kalian akan tinggal di rumah ibumu. Kepala desa sudah memastikan kalau rumah itu kosong dan masih layak huni meskipun keadaannya berantakan. Sebelum ini ayah sudah menyuruh orang untuk mengecek dan membenahi rumah itu agar bisa kalian tinggali," jelas Rasa sambil memandang anaknya yang hanya termangu, masih memikirkan tentang desa ini dan perkataan ayahnya tentang ibunya.

Hampir sejam mereka tempuh, akhirnya sampailah mereka di depan sebuah rumah kayu sebesar rumah kontrakan yang dari luar tampak tua, reot nan angker. Meskipun dibilang bahwa rumah itu sudah dibenahi, tetap saja ada rasa aneh tersendiri ketika keempat remaja ini melihatnya. Maklumlah, mereka tak pernah melihat yang seperti ini di perkotaan.

"Shikamaru, cepat turun dan kemasi barangmu! Kita sudah sampai," suruh Sasuke sembari mengguncang-guncangkan tubuh game depelover muda yang masih terlelap di sampingnya. Shikamaru masih tak bergeming, Sasuke pasti tahu kalau cara biasa memang tak bisa membangunkan zombie tukang tidur ini.

Sasuke yang entah kenapa kesambet apa, tiba-tiba saja memikirkan ide busuk untuk membangunkan Shikamaru. Segera ia ambil sesuatu dari dalam ranselnya dan menempelkan—menyayatkan benda itu ke lengan Shikamaru.

"Itta! Apa, sih? Ah, tanganku berdarah!" spontan saja Shikamaru bangkit dari tidur nyenyaknya dan melirik tangannya demi mendapati tangannya yang telah berdarah oleh benda yang kini dipegang Sasuke.

Pisau lipat.

"Kalau kau tidak bangun, mungkin aku sudah menyayat urat nadimu, nanas," ujar Sasuke dingin. Dia memang terkenal dingin, apalagi jika berhadapan dengan hal-hal menyebalkan seperti kebodohan Naruto dan Shikamaru yang sangat susah dibangunkan. Meskipun mereka bertiga adalah teman sejak jaman baheula.

"Sasuke, sudah berapa bekas yang kau torehkan ke tubuhku hanya untuk membangunkanku? Kau ini benar-benar sadis... Hoahmmm..." Shikamaru dan Sasuke bangkit dari duduknya. Segera ia bersihkan darah yang mengucur dari luka kecil di lengannya dengan tisu dan menghentikan pendarahannya dengan tempelan plaster. Sasuke hanya diam, tak sedikitpun menoleh ke remaja di sampingnya.

Untung saja keadaan gelap dan semua sedang sibuk mengangkut barang mereka, sehingga tidak ada yang menyadari kejadian tadi. Segera saja mereka berdua membawa barang mereka masuk ke dalam rumah. Delman-delman yang mereka pun pamit undur diri, menyisakan empat keluarga yang kini sibuk dengan bawaannya.

Shikamaru mengambil koper terakhirnya yang masih tertinggal di luar. Dia baru saja ingin melihat-lihat sekeliling karena daritadi ia hanya tidur saja di sepanjang perjalanan. Hawa dingin menusuk kulitnya ketika angin bersemilir lewat. Mengedarkan pandangannya, Shikamaru melihat sebuah bangunan krem bertingkat dua yang cukup besar dan dipagari besi, berjarak beberapa puluh meter dari tempatnya sekarang. Hanya itu yang dapat ia lihat selain jalan setapak, semak belukar, beberapa rumah warga yang gelap dan sepi, dan kegelapan.

"Ini baru jam delapan dan rasanya sudah sepi banget. Ah, mungkin karena ini pedesaan? Entahlah, merepotkan," gumam Shikamaru pada dirinya sendiri. Sambil lalu iapun membawa kopernya masuk ke rumah dan menutup pintu setelah memastikan tak ada lagi yang tertinggal di luar.

"Baiklah, malam ini kita istirahat dulu di rumah ini. Besok baru kita melapor ke kepala desa bahwa kita sudah datang," ujar Fugaku ketika semua pendatang itu telah berkumpul di sebuah ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang tengah. Hanya ada dua kursi kayu di sana. Tidak ada sofa, meja, dan penghias apapun seperti yang biasa mereka temukan di rumah mereka.

"Hanya ada dua kamar tidur di sini. Untuk malam ini, Yoshino-san dan Mikoto-san tidur di kamar dekat dapur dulu. Lalu anak-anak tidur di kamar itu. Kami para ayah akan tidur di ruang tamu," jelas Rasa, sambil menunjukkan kamar-kamar yang bisa mereka gunakan.

Setelah memasukkan barang masing-masing ke kamar dan menata ruangan agar cukup untuk ditiduri dalam jumlah melebihi kapasitas seharusnya—selain kamar para ibu, mereka akhirnya melepas lelah dengan memutuskan untuk tidur.

Naruto memandang seisi kamarnya. Ia masih belum bisa tidur. Masih jam sembilan lewat pun, pikirnya. Terlihat Sasuke masih merapikan pakaiannya, menandakan ia sudah resmi akan menempati kamar ini, dan Shikamaru yang langsung terlelap di futon bahkan tanpa mengganti bajunya.

"Oi, teme! Gaara kemana?" tanya Naruto yang tak menemukan sosok lelaki yang akan jadi teman seperjuangannya mulai saat ini.

"Mandi," hanya itu balasan Sasuke. Naruto mendengus kesal. Membayangkan akan serumah setahun dengan lelaki irit bicara seperti Sasuke saja sudah membuat naik darah.

"Cih! Aku tak bisa membayangkan akan hidup serumah denganmu, teme!" kesal Naruto, membalikkan badannya membelakangi Sasuke. Sasuke hanya melempar selimutnya ke arah Naruto, ikutan kesal.

"Aku juga, dobe! Kau pikir aku mau apa, serumah denganmu di desa yang tak jelas begini?" sahut Sasuke yang sudah selesai mengemaskan barangnya. Ditariknya selimutnya dari Naruto, lalu membaringkan diri di samping Shikamaru. Jelas ia tak mau tidur di samping Naruto, mengingat betapa 'heboh'-nya lelaki pirang itu saat tidur.

Tak selang beberapa menit kemudian, masuklah Gaara yang baru saja selesai mandi, sudah lengkap dengan celana dan kaos lengan panjangnya. Diliriknya para penghuni kamar tersebut yang sudah terlelap. Hanya ia dan lampu lima watt yang masih setia dengan heningnya malam. Ia menghembuskan napas berat, lalu mengambil posisi di samping Sasuke.

"Hah... Semoga yang kulihat di dapur tadi hanya halusinasi," gumam Gaara pelan sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tipis yang ia bawa dari rumah. Mencoba memejamkan matanya, ingin melupakan suatu hal yang telah terjadi saat ia melewati dapur tadi.

'Bisa gila aku kalau terus berhalusinasi buruk selama tinggal di sini!'

x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x

~ To Be Continued ~

x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x

Hai hai~ bertemu lagi dengan saia di sini dengan ff abal yang baru hehe~

Maafkeun, bukannya ngelanjut ff Sensei Sehari, malah bikin ff baru. Tapi tenang aja, ff itu bakal diapdet beberap hari lagi kok hehe~ /timpuked

Ide ff ini pasaran banget sih. Tapi saia akan berusaha buat bikin ff yang segar dan beda dari ff sejenis huhu cry

Btw, sebenarnya ff ini mau dibikin humor, tapi ada unsur misteri dan horornya dikit yang bakal membumbui kisah humornya. Tapi entahlah.. mungkin ntar hal mistiknya bisa aja jadi lebih menonjol. Dan saia belum pernah bikin ff mistik(?) sebelumnya. Jadi mohon maaf kalo ff ini gak greget :")

Intinya saia masih labil bakal bikin jalan ceritanya gimana. Yah, ikutin alur aja deh. Toh sejauh ini misteri sama humornya gak keliatan samsek /nangis

Btw lagi, mungkin ff ini apdetnya gak bakal berkala atau sering, atau ntar ujung-ujungnya bakal bernasib sama kek ff multichap lama saia. Tapi akan saia usahain apdet secepat yang saia bisa kok!

Terakhir, silakan krisarnya di kotak review. Makasih buat yang udah mampir ke ff ini. Sampai jumpa di next chap~~