Bocah tengik.

Karin bergumam menahan emosi yang telah meluap-luap. Seharusnya dia tidak mengizinkan gadis itu untuk pergi ke toilet umum. Karin harus menemaninya dan mengekor ke setiap sudut gadis itu akan pergi. Itulah tanggungjawabnya. Jika tidak kepalanya pasti akan dipenggal. Biasanya Karin akan menemani putri mahkota sampai ke pintu toilet. Namun tidak kali ini. Hari yang mana tingkat hormon Karin lebih tinggi dari hari-hari lainnya dalam satu bulan. Dia akan gila bila terus saja mendengar rengekan putri mahkota yang minta turun karena ingin buang air kecil dan ingin pergi sendiri. Karin tidak curiga sama sekali. Benar-benar tidak menduga bahwa dia akan kabur. Setelah hampir dua puluh menit di toilet umum, Karin mendatanginya. Dan benar saja, putri mahkota tidak terlihat dimanapun. Tidak di setiap bilik toilet bahkan tidak di toilet. Saat itulah Karin sadar bodohannya. Tentu saja Sakura akan terus mencoba kabur.

"Cepat cari Putri Sakura di seluruh penjuru distrik ini! Jangan lapor ke Satuan Pengaman Kerajaan! Satu jam dan kita harus menemukannya!" teriak Karin sembari menekan tombol radio komunikasi yang terpasang di telinganya dan berkata pelan, "Shikamaru, lacak GPS Putri Sakura."

Pengawal lainnya yang berjumlah lima orang berpencar ke beberapa arah mata angin. Dengan cepat mereka berlari menelisir setiap sudut jalan di distrik tersebut.

Karin memijat pelipis kepalanya yang berdenyut. Sakura akan menjadi akhir dari hidupnya. Sudah dua tahun Karin bertugas sebagai ketua tim pengaman Sakura, dan selama dua tahun itu pula dia selalu mendapatkan kejutan tidak terduga setiap harinya.

Entah apa yang dipikirkan anak bungsu dari pemimpin negara tersebut. Jika saja Karin tidak lekas menemukannya, dia pasti akan dihukum. Bukan hanya Karin yang akan dihukum, tetapi Sakura juga. Karin yakin hukuman yang akan diterima Sakura melebihi dirinya. Karin mungkin hanya akan dipukul dan hukuman fisik lainnya. Dia sudah terbiasa dengan luka memar dan darah. Itu adalah bagian dari pekerjaannya. Sedangkan untuk Sakura? Hukuman psikis. Salahkan Sasori, kakak Sakura yang kondisi kejiwaannya tidak stabil dan perlu dipertanyakan.

Hingga nyaris pernah membuat Sakura bunuh diri. Karin tidak menginginkannya. Itu tidak adil bagi Sakura.


disclaimer: Naruto belongs to Kishimoto-san.

.

.

.

.

ran away princess

Because baby, you'll ask for more.

.

.

.

.


Sasuke sedang bekerja menjaga kasir sebuah toko buku kecil di sudut kota. Hari ini seperti hari-hari biasanya, langit biru cerah khas musim panas yang tidak menjanjikan hujan. Peluh menetes dari dahinya.

Sial. Panas sekali hari ini.

Pria itu melirik kipas angin yang enggan bergerak di sudut ruangan. Suaranya seperti bebek sekarat yang tinggal menunggu ajal. Bergerak sangat lambat. Sasuke berani bertaruh pemilik toko buku ini tidak akan memperbaikinya walau kipas itu meledak sekalipun.

Menghela napas panjang, Sasuke melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Dia baru saja pulang kuliah setelah mengerjakan tugas yang menumpuk. Tipikal mahasiswa tingkat akhir yang ingin segera lulus.

Suara lonceng tanda pengunjung memecah lamunannya.

"Selamat datang," ucapnya malas. Menyapa pengunjung yang datang merupakan protokol yang harus dilakukan. Toh, untuk apa keras-keras menyapa pengunjung bila tidak ada jawaban yang diperoleh.

Saat melihat seorang gadis berseragam sekolah menengah atas, Sasuke mengangkat sebelah alisnya. Dia terheran-heran dengan penampilan gadis itu. Memakai jaket dan penutup kepala di musim panas. Lalu kacamata hitam dan masker yang menutupi wajahnya. Tentu pantas Sasuke curiga.

Selama beberapa menit gadis itu berjalan-jalan mengelilingi toko dan sesekali menengok ke luar. Benar-benar mencurigakan.

Berjalan ke utara, berpura-pura memilah buku. Berdiri dan menengok ke luar jendela. Berjalan ke selatan, melakukan hal yang sama. Terus berulang hingga membuat Sasuke semakin kesal. Keadaan toko sedang sepi, hanya gadis aneh itu yang berada di sana.

Sepertinya gadis aneh tersebut menyadari tatapan Sasuke dan menoleh. Gadis itu kaget dan segera mengambil majalah di depannya. Menutupi wajahnya. Ayolah, apa yang harus ditutupi jika wajahnya sudah tidak terlihat seperti perampok profesional.

"Hei, kau," panggil Sasuke. Gadis itu hanya terdiam bingung, lalu jari telunjuknya menunjuk dirinya sendiri. Bertanya apakah pria itu berbicara kepada dirinya.

"Iya, siapa lagi memang yang ada di sini?" Sasuke semakin sebal dengan gadis pendek tersebut. Kemudian gadis itu menghampirinya ke meja kasir.

Merasa tidak enak, Sakura—gadis itu meletakkan majalah yang digunakan untuk menutupi wajahnya tadi di meja kasir dan segera mengeluarkan dompetnya. "Aku beli ini."

Sasuke terdiam. Gadis ini gila, pikir Sasuke.

"Kartu identitas?"

Sakura tersentak kaget. "Untuk apa? Aku hanya ingin membeli buku untuk belajar, mengapa harus mengeluarkan kartu identitas?"

Seratus persen Sasuke yakin bahwa gadis ini gila. Menyeringai kecil, Sasuke mengambil majalah tersebut dan membantingnya kembali di atas meja kasir dengan memperlihatkan sampul depannya. Menampilkan wanita telanjang dada dan bagian intimnya ditutupi oleh buah pisang. Itu adalah majalah dewasa. "Belajar, eh?"

Sakura kaget setengah mati. Dia tidak sadar bahwa buku yang diambilnya adalah majalah dewasa. Dia membuka mulutnya, namun tidak bisa berkata apa-apa seperti ikan yang kehabisan udara.

"Dengar, kami tidak menjual ini untuk anak di bawah umur. Walau alasannya adalah untuk belajar, mengerti?"

Wajah Sakura panas memerah hebat. Dia sangat malu hingga tidak tahu apa yang harus dikatakan. Lalu Sakura dengan cepat berjalan ke rak buku paling dekat, mengambil asal sebuah buku berwarna orange dan meletakkannya di meja kasir. "Maksudku aku ingin membeli ini!" ucapnya kehabisan akal. Sakura terengah-engah. Dia heran mengapa pria di balik meja kasir itu diam saja. Apa dia melakukan kesalahan lagi? Sakura menunduk melihat buku yang baru saja diletakkannya.

Sial. Karma sedang membalasnya karena meninggalkan Karin dan pengawal lainnya.

Buku cukup tebal itu adalah Icha Icha Paradise.

Sasuke sudah merasa cukup dengan omong kosong bocah ini. Sigap dia berjalan memutari meja kasir, ditariknya lengan gadis itu yang terkejut dan meronta untuk dilepaskan. Tetapi Sasuke tidak menghiraukannya. Dia terus berjalan hingga pintu dan mendorong gadis itu keluar dari tokonya. "Jangan pernah kembali," ucap Sasuke.

"Tapi—," sebelum Sakura sempat menyelesaikan kalimatnya, pintu toko itu tertutup dengan keras tepat di depan wajahnya. Dia hanya bisa membulatkan bola matanya dan menghela napas panjang. Tidak percaya dengan perlakuan tidak ramah dari penjaga toko tersebut.

Astaga. Mau ditaruh di mana mukanya jika sampai orang-orang tahu pewaris tahta kerajaan membeli buku porno untuk belajar. Pasti orang-orang akan mengira Sakura adalah gadis mesum yang ingin belajar bercinta.

Dia malu sekali. Rasanya ingin ditelan bumi dan menghilang selamanya.

Sembari menekuk wajahnya, Sakura berjalan menjauhi pintu toko dan duduk di bangku kecil di seberang. Tanpa melepas atribut penyamarannya. Merasa lelah dengan pelariannya selama satu jam terakhir dan perlahan tertidur, menghampiri alam mimpi. Tapi tunggu, dia harus segera melepas semua atribut yang menempel di badannya. Sakura bangun dan berlari menuju trotoar sembari memikirkan cara apa yang akan dilakukan selanjutnya. Dia akan kembali nanti.

.

.

.

.

.

.

Sebuah tamparan mendarat di pipi Karin. Wanita itu tetap tegar berdiri namun tidak berani lancang melihat kepala pria yang menamparnya.

"Apa susahnya mengurus bocah, hah?" bentak Sasori kehilangan kendali akan emosinya.

Karin terdiam. Menjawab Sasori sama saja dengan menyiram api dengan bensin. Atau bunuh diri. Pangeran berusia dua puluh lima tahun itu menatap ke arah enam pengawal pribadi adiknya dengan tajam.

"Maafkan kami Yang Mulia, tiba-tiba saja Putri Sakura menghilang," salah seorang pengawal baru menjawab Sasori. Dia cari mati.

Sasori menendang pria tersebut hingga jatuh tersungkur. "Tiba-tiba menghilang? Gunakan otak kalian!"

Selama beberapa menit ruangan itu hening. Hingga Sasori memandang kelima pria pengawal bersetelan serba hitam, memandang mereka dengan tajam, "Jika dia belum ditemukan malam ini, ucapkan selamat tinggal pada pekerjaan kalian. Enyahlah dari hadapanku."

Kelima pria tersebut bergegas keluar ruangan. Menyisakan Karin dan Sasori yang hanya terdiam. Sasori berjalan menuju sebuah lemari berisi minuman anggur. Menuangkan pada gelas dan meminumnya. Berusaha menenangkan diri. Karin tetap berdiri di sana tanpa bergerak maupun bersuara.

"Jika kau terbukti membantu pelariannya lagi, jangan harap kau dan kakakmu selamat," kata Sasori dingin. Pria berambut merah itu kemudian berbalik arah, memandang ke luar jendela. Hal tersebut menandakan pembicaraan mereka berakhir. Menunduk hormat, Karin mengundurkan diri dari ruangan tersebut.

Setelah sampai di sisi luar pintu, Karin bernapas lega. Pangeran itu memang gila. Namun tidak segila adiknya. Tidak habis pikir mengapa Sakura selalu saja berusaha untuk kabur. Bisakah gadis itu diam dan menurut sekali saja? Ada kalanya Karin membenci kelakuan Sakura tersebut. Karena acara pelarian kecilnya, banyak orang kehilangan pekerjaan. Menjadi pengawal kerajaan merupakan impian banyak orang. Mengabdikan diri untuk kerajaan sama saja mengabdi kepada negara. Gaji besar dan kekuasaan merupakan bonus.

Karin berjalan sepanjang koridor istana sayap kanan. Tempat sebagian besar kegiatan politik dan militer dilaksanakan. Kepalanya benar-benar pening. Dia harus minum hingga mabuk agar bisa tidur.

"Oi, Karin!" suara renyah memecah lamunan Karin. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu mendongak dan mendapati saudara kembarnya—Naruto menyapanya dari kejauhan. Segera dihampirinya pria bermata biru langit tersebut. Naruto juga merupakan salah satu pengawal kerajaan.

"Kau baik-baik saja? Kudengar putri kecil kita melarikan diri lagi setelah pulang sekolah," goda Naruto sembari terkekeh.

Karin mendengus, "Itu tidak lucu, Naruto. Sudah empat jam kami berusaha mencarinya tapi nihil."

"Benarkah? Sepertinya kemampuannya berkamuflase meningkat."

Karin memutuskan untuk mengakhiri basa-basi ini. Jika Sasori mendengarnya, kepalanya akan dipenggal dan dia tidak ingin itu. Besok ada latihan simulasi besar yang ditunggunya selama enam bulan. Simulasi untuk terlepas dari bocah tengik yang selalu saja merepotkannya jika Karin mendapatkan nilai bagus nanti. Ya, simulasi pengamanan raja.

"Kau sudah bersiap untuk besok pagi?" tanya Karin. Naruto mengangguk dan mulai berceloteh bagaimana dia mempersiapkan diri dan belajar beberapa trik keamaan baru yang didapatnya dari teman baiknya yang masih kuliah.

"Sasuke sepertinya lebih cocok jadi pengawal istana dibandingkan denganmu," sindir Karin.

"Apanya, dia sangat membenci keluarga kerajaan. Kau masih ingat kejadian sepuluh tahun yang lalu?" Karin mengangguk.

Tentu saja dia ingat, siapa yang tidak ingat tentang skandal yang menjerat keluarga kerajaan sepuluh tahun yang lalu. Lebih tepatnya skandal yang menjerat Sasori—yang dulu adalah putra mahkota— hingga membuat dicopotnya status Sasori sebagai pewaris tahta. Saat itu Sasori masih berusia lima belas tahun. Usia yang masih sangat belia untuk membunuh orang. Mungkin dengan dicopotnya gelar Sasori sebagai pewaris tahta akan membuat rakyat puas. Namun tidak dengan Sasuke. Teman baik Naruto dan Karin itu masih menyimpan dendam yang mendalam pada keluarga kerajaan yang dengan mudahnya meminta maaf atas kasus tersebut. Tidak menghukum atau memenjarakan Sasori sebagaimana hukum seharusnya. Pangeran muda itu hanya dicopot dari statusnya dan bebas, melanjutkan kesenangan hidupnya tanpa memikirkan bagaimana tindakan Sasori tersebut membuat luka pada sebuah keluarga kecil—keluarga Sasuke. Kakak Sasuke tewas dibunuh oleh Sasori. Sedangkan ayahnya secara misterius mengalami serangan jantung saat berusaha membuktikan kesalahan pangeran muda yang diagungkan seluruh penjuru negeri.

Hukum memang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Miris.

"Naruto."

"Hmm?"

"Ayo duel," ajak Karin.

Naruto pun tersenyum lebar dan meninju bahu adik kembarnya itu. Mereka bersama melangkah menuju gedung satuan pengaman biasanya melakukan latihan.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di sudut kota tidak jauh dari istana, Sasori membanting ponsel pintar milik adiknya yang ditemukan di sebuah semak-semak dekat tempat terakhir kali dia terlihat. Bahkan, GPS yang diletakkan di pakaian adiknya mengarah ke petunjuk palsu. Jaket dan tas adiknya sama-sama dipasangi alat pelacak. Keduanya ditemukan di dua tempat yang berbeda.

Jaket ditemukan dipakai oleh seorang wanita paruh baya. Menurut pengakuan wanita tersebut, ada seorang gadis malang yang ingin menjual jaketnya karena dia sudah tidak punya uang untuk membayar bus pulang dan makan. Merasa iba dengan gadis tersebut, wanita paruh baya itu dengan senang hati membeli jaketnya seharga lima puluh ribu ryo.

Tanpa mengetahui gadis itu adalah putri mahkota dan jaket itu seharga dua juta ryo.

Kemudian tasnya ditemukan di toko penjual barang bekas. Pemilik toko mengatakan bahwa tiba-tiba ada seorang gadis manis datang dengan berlinang air mata. Dia memohon untuk menjual tas beserta buku-bukunya dengan harga yang murah. Gadis itu menceritakan 'pengalaman pahit' hidupnya yang setiap hari ditinggal orangtuanya untuk bekerja. Lalu dia juga mempunyai seorang kakak yang hanya tahu bersenang-senang dan minum-minum tanpa memikirkan keadaan keluarganya.

Well, tidak semua cerita yang dikarang Sakura bohong. Kedua orangtuanya memang sibuk pergi menjalankan tugas negara, yang bisa dikatakan bekerja. Dan kakaknya juga hanya suka minum anggur karena itu ada panggilan jiwanya. Sasori mempunyai sebuah perkebunan anggur, barley, dan gandum. Tentu saja itu adalah bahan baku membuat minuman beralhokol. Pangeran muda itu mengerti bagaimana caranya bersenang-senang dan menghasilkan uang secara bersamaan.

Pemilik toko tersebut merasa tersentuh dan dengan senang hati membeli tas sekolah gadis itu beserta buku-bukunya tanpa menyadari di tas tersebut terdapat lencana Konoha Royal Highschool.

Penipu cilik.

Sasori akan membuat perhitungan dengan Sakura.

Jangan salah, Sasori sangat menyayangi adik semata wayangnya tersebut. Bahkan dia tidak menyimpan dendam ketika adiknya naik menjadi pewaris tahta. Ada sebuah alasan mengapa Sasori menerimanya dengan lapang dada. Apapun akan Sasori lakukan untuk kebahagiaan adiknya. Hanya saja Sakura belum mengerti itu karena usianya masih sangat muda, masih berusia tujuh belas tahun. Oleh karena itu, Sasori turun tangan untuk mengatur kehidupan adiknya agar tidak berantakan. Semua aspek kesehariannya diperhatikan. Bagi Sakura, kakaknya itu mengengkangnya.

"Rahasiakan ini dari media," ucap Sasori tidak spesifik kepada siapa, namun orang-orang di sekitarnya mengangguk. Lalu Sasori berjalan menuju mobil kerajaan. Kembali ke istana untuk mengakhiri hari yang melelahkan ini.

.

.

.

.

.

.

.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam saat Sasuke menutup tokonya. Merapatkan jaketnya dia mulai melangkah pulang menuju rumahnya. Ah, dia tidak sabar menyantap makan malam masakan ibunya. Dia sudah sangat lapar. Langkah Sasuke belum sampai hitungan kesepuluh ketika kakinya berhenti. Di sudut bangunan itu, pada sebuah bangku kayu usang, terdapat seorang manusia yang Sasuke yakin sedang tertidur. Dari perawakannya orang itu adalah perempuan. Apa yang dilakukannya malam-malam seperti ini?

Sasuke mendekat dan berusaha membangunkannya, "Nona, kau baik-baik saja?"

Gadis itu mengangkat kepalanya, hijau emerald bertemu dengan oniks. Kacamata hitam dan maskernya sudah dilepas karena Sakura merasa sesak. Dia mendesah kecil berusaha mengumpulkan nyawanya. "Di mana aku?"

Sasuke mengerutkan keningnya. Ternyata orang ini adalah gadis yang berusaha untuk membeli buku pelajaran tadi sore.

"Kau tidak pulang? Ini sudah gelap."

Sasuke mengamati gadis yang ternyata sudah berganti jaket dan tidak dijumpainya tas yang tadi sore dibawanya. Sasuke hendak bertanya mengenai perihal tersebut, namun suara perut lapar dari gadis itu menghentikannya.

"Kau punya makanan?" tanya Sakura polos.

Tidak tega dengan kondisi anak sekolahan ini. Sasuke akan membantunya. Dia pernah mengalami hal yang sama dulu. Berkatung-katung di jalanan, tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan. Dia akan menanyakan asal usul gadis itu nanti. Entah mengapa ada perasaan bahwa tindakan yang hendak dilakukannya ini akan membuatnya menyesal seumur hidup. Bagi Sasuke, gadis ini adalah gadis aneh dan gila. Atau mungkin saja gelandangan karena tidur di sembarang tempat.

Dari semua dugaan-dugaan tersebut, tidak sekalipun terbesit dipikiran Sasuke bahwa gadis tersebut adalah putri kerajaan negerinya.

"Ikut aku," ucapnya sembari berdiri dan berjalan menuju sebuah kedai ramen di seberang jalan. Gadis berambut merah muda itu bangkit dengan semangat. Mengikuti Sasuke tepat di belakangnya.

Setelah sampai di kedai ramen bernama Ichiraku, kedua mengambil bangku di ujung, jauh dari lalu lalang orang keluar masuk. Sasuke memesan satu porsi ramen untuk gadis aneh tersebut.

Senyum konyol gadis itu semakin lebar, tanpa bertanya atau setidaknya berterimakasih, dia mematahkan sumpitnya menjadi dua dan mulai menyantap ramen. Mungkin dia sangat kelaparan.

Dan benar saja, hijau emerald semakin berbinar. Seolah ramen itu adalah makanan terlezat di dunia.

Apa gadis ini benar-benar kelaparan?

"Belum pernah makan ramen?" tanya Sasuke.

"Namaku Sakura, dan ya, aku belum pernah memakannya! Ini enak sekali!"

Sasuke tertegun mendengar jawaban Sakura. Apa begitu parahnya hidup gadis ini hingga dia tidak sanggup membeli ramen seharga dua puluh ribu ryo? Ayolah, setiap orang di dunia pernah makan ramen. Makanan ini cukup murah dan mudah didapat. Berusaha menelisik kebohongan dari raut wajah Sakura, Sasuke memandangnya dengan tajam. Dan yang didapatinya adalah ekspresi surgawi yang begitu menikmati ramen. Tidak ada kebohongan di sana. Lihatlah bagaimana bibir mungil tersebut menyedot helai demi helai ramen. Sesekali terdengar bunyi menyeruput kuahnya. Bibir gadis itu memerah karena kuahnya yang sedikit pedas dan penuh dengan rempah-rempah.

Tunggu. Sasuke akan tertular sifat gila gadis yang baru ditemuinya ini jika dia tidak berhenti menatap bibir mungil tersebut.

Ah, melihat Sakura makan dengan lahap membuat Sasuke tersenyum tipis. Setidaknya Sasuke membantu Sakura di saat gadis itu kelaparan. Kemudian pikirannya kembali berkutat pada kenangan pahit beberapa tahun yang lalu. Saat dia tidak mempunyai uang sama sekali, bahkan untuk sekedar naik bus ke sekolah dia tidak punya. Jarak lima kilometer harus ditempuhnya dengan berjalan kaki.

"Namaku Sasuke," tiba-tiba saja Sasuke memberitahukan namanya dan Sasuke sendiri merasa terkejut dengan itu. Segera ditutupinya ekspresi terkejut dengan berkata, "Kau boleh memesan lagi jika masih lapar."

Sakura tersenyum mengangguk senang dan berterimakasih pelan. Sasuke membalasnya dengan senyuman kecil.

Setengah jam kemudian, mereka hendak meninggalkan Ichiraku. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Sasuke berpamitan. Merasa urusannya dengan Sakura telah selesai dan gadis itu akan segera pulang ke rumahnya. Dia berjalan menjauh tanpa melihat Sakura yang berdiri mematung kebingungan.

Sasuke memikirkan apa yang harus dimasaknya untuk sarapan besok. Dia harus mampir ke toko serba ada di gang depan. Mungkin satu kotak sereal dan susu. Dia tidak ingin merepotkan ibunya yang bangun petang untuk bekerja. Akan semakin repot jika ibunya membuat sarapan untuk Sasuke sebelumnya.

Pria yang sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah tersebut hanya tinggal bersama ibunya. Mereka tinggal di sebuah rumah susun kecil. Untuk sekedar menyewa rumah itu saja Sasuke dan ibunya harus bekerja membanting tulang. Biaya hidup di Konoha tidaklah murah. Dan lagi mencari rumah sewa semakin sulit dengan harga yang semakin menggila. Keluarga kecil itu pernah merasakan menjadi gelandangan yang tidur di sembarang tempat. Setelah kejadian yang merenggut nyawa kakak dan ayah Sasuke, keluarga tersebut terlilit utang sehingga mereka harus menjual rumah dan segala aset berharga yang mereka miliki. Setidaknya dua bulan Sasuke merasakan tidur di sembarang tempat, sebelum ibunya menemukan pekerjaan dan Sasuke dapat kembali sekolah untuk menata hidup mereka kembali.

Alasan-alasan itu pula lah yang membuatnya tanpa pikir panjang untuk menolong Sakura. Walau hanya semangkuk ramen, setidaknya dia tidak akan kelaparan. Lagi, Sasuke pernah merasakan kelaparan. Itu adalah pengalaman pahit. Jadi, jika memang Sasuke membantu orang karena dia mengerti betul bagaimana rasanya menjadi sampah.

Ponsel Sasuke bergetar di saku jaketnya, melirik sekilas identitas yang tertera di layar, Sasuke mengusap layar ponselnya, "Apa?"

Suara terkekeh Naruto terdengar dari seberang.

"Kau kenapa? Sembelit?"

"Aku tidak ada waktu untuk omong kosong, bodoh."

Sasuke menghentikan langkahnya, melihat jalanan sekitar yang diterangi lampu-lampu. Tidak sengaja dia melihat sekelebat bayangan bersembunyi di belakang tiang listrik yang tidak terkena sinar lampu. Sial.

"Sasuke, aku ingin memberitahu kalau rekrutmen pasukan pengaman kerajaan akan dimulai bulan depan. Kau sudah lulus kan?"

Setelah lulus sekolah, secara misterius Sasuke mendapatkan beasiswa untuk kuliah jurusan pertahanan di Konoha Royal University. Selama ini, Sasuke menduga pihak kerajaan berusaha menjilatnya dan membodohi masyarakat agar melupakan kejadian sepuluh tahun yang lalu dengan memberikan beasiswa kepada Sasuke. Dengan cara berbaik hati kepada Sasuke agar dia diam dan tidak mengungkit kejadian tragis tersebut.

Mengembuskan napas pelan.

"Aku hubungi lagi nanti," Sasuke memutus sambungan telepon, lalu berjalan menuju sosok yang bersembunyi di balik tiang listrik. Menariknya hingga keluar dan menyeretnya hingga berada di bawah lampu. Jika tidak mencari tempat terang, itu seperti tindak kejahatan dan pasti orang yang lewat akan mengira bahwa Sasuke berbuat senonoh di kegelapan.

"Bisa tidak untuk tidak kasar menarikku, orang akan mengira aku ini kriminal," ucap Sakura kesal karena penyamarannya sebagai menyuntit terbongkar.

"Kau mencurigakan, sudah selarut ini kenapa anak sekolah berkeliaran."

Wajah Sakura tiba-tiba saja muram dan menunduk. Sasuke menyesal telah menariknya dengan paksa seketika itu juga. Dia tidak tahu siapa gadis ini. Sakura termasuk kecil untuk gadis seusianya. Dan melihat tatapan sedihnya, Sasuke merasa iba. Menghela napas panjang. Semoga ini bukan kesalahan.

"Di mana rumahmu, aku antar, jika tidak aku akan mengantarmu ke kantor polisi terdekat," kata Sasuke.

Raut wajah Sakura mendadak berubah menjadi wajah ketakutan. Dia mundur satu langkah berusaha menjaga jarak yang aman dengan Sasuke. Dia tidak ingin pulang. Sasori pasti marah besar kepadanya. Sudah lebih dari lima jam dia kabur, dan selama lima jam itu pula Sakura merasakan kesenangan dan kedamaian. Oh tidak, bagaimana dengan Karin? Jika Sakura pulang sekarang, kakaknya itu akan memukul Karin habis-habisan. Sasori tidak pernah memukul Sakura. Namun, karena mengetahui Sakura berhati besar dan menyayangi orang-orang di sekitarnya, maka Sasori menyiksa Sakura dengan menghajar orang-orang di sekitarnya.

"Apa aku boleh ikut kakak?" tanya Sakura lirih.

Sasuke mendengarnya terkejut. Persetan dengan gadis ini. Dia berbalik badan, berniat meninggalkan Sakura. Tetapi sebelum langkah semakin menjauh, geraknya tertahan oleh dua tangan yang menarik lengannya.

"Kumohon, aku tidak punya tempat tinggal. Orangtuaku tidak pernah di rumah dan kakakku selalu main pukul. Kumohon jangan lapor polisi! Aku tidak ingin pulang!" teriak Sakura. Sekali lagi dengan alasan yang tidak sepenuhnya bohong. Menatap Sasuke dengan memelas berusaha meyakinkan pria itu untuk membantunya.

Sasuke mendengus. Diabaikannya keluhan Sakura. Kembali berjalan dengan tangan Sakura yang masih memegang lengannya.

"Kumohon tolong aku!" teriaknya lebih keras. Ini sudah larut. Para penghuni rumah di sekitar jalan itu akan merasa terganggu dengan teriakan Sakura. Sasuke tidak ingin membuat masalah. Membalikkan tubuh dan memegang kedua bahu gadis itu kencang, dia berkata, "Dengar. Aku tidak bisa membantumu. Lebih baik kau ke panti sosial atau melaporkan kakakmu ke kantor polisi."

Tidak, hukum tidak akan pernah menyetuh kakaknya. Sakura kembali berteriak memohon kepada Sasuke untuk membantunya.

Dengan cepat dibekapnya mulut Sakura dengan tangannya, Sasuke sungguh tidak main-main. Dia tidak ingin membuat keributan. Sakura meronta-ronta untuk dilepaskan. Memukul-mukul dada Sasuke dengan tangannya.

"Ada apa ini?" sebuah suara baru terdengar. Sakura menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi kurus, berambut hitam panjang menenteng tas belanja. Mereka sama-sama terkejut dengan kedatangan wanita paruh baya itu. Cengkraman tangan Sasuke melemah dan akhirnya melepaskan Sakura.

Melihat kesempatan bagus, segera Sakura lari mendekati wanita paruh baya itu. Bersembunyi di belakangnya.

"Bibi, tolong aku. Aku diusir dari rumah karena pacarku itu. Dan sekarang dia tidak mau bertanggungjawab!" ucap Sakura sembari menunjuk Sasuke sebagai pacarnya dan mencari perlindungan.

Bagaimanapun caranya, dia harus berhasil membujuk pria itu untuk menampungnya sementara. Dia adalah pria baik. Terbukti saat membelikan Sakura ramen tadi, pria itu tidak menuntut imbalan sama sekali. Daripada Sakura harus terkatung-katung di jalanan, dia percaya bahwa dengan bersama Sasuke dia akan aman.

Wanita paruh baya itu terheran-heran. Mengangkat sebelah alisnya memandang pria yang berdiri beberapa meter di depannya, meminta penjelasan.

Sasuke mengumpat kesal.

"Aku bisa jelaskan ini, Ibu."

...

...

...


Awalnya saya ingin membuat cerita yang sederhana dan manis, tapi di bagian selanjutnya entah kenapa semuanya menjadi gelap.

Drama banget ya, saya sendiri terkejut ini selesai diketik dalam waktu empat jam. Oh, jika kamu membaca fanfiksi ini sampai selesai, bagaimana dengan meluangkan waktu satu menit untuk memberi review? Berikan pendapat, kritik, atau keluh kesah hidup juga boleh. Empat jam versus satu menit, tidak keberatan bukan?

See you next week.

Liebe Grüße,
Fu.