Naruto © Masashi Kishimoto
Mystery of Burned House © Yue. Aoi
Genre : Horror/Mystery
Rate : T
Note : Typo, OOC, AU, Two Shoot, Death Chara.
.
.
Jam menunjukkan pukul setengah empat sore dan bel sekolah baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu. Seorang pemuda bersurai pirang jabrik menutup tas sekolah nya dan menepuk bahu seorang pria bersurai raven yang duduk di samping nya.
"Teme, kau masih ingat rumah lama mu ?", tanya Naruto pada sahabat nya.
"Hn"
"Sekarang tempat itu menjadi rumah angker dan kawasan uji nyali para siswa yang populer, lho."
"Hn"
Naruto merasa jengkel dengan reaksi sahabat nya yang tampak tak tertarik dengan ucapan nya. Pria itu bahkan hendak pergi bila Naruto tidak menahan bahu pria itu.
Suasana kelas sudah sepi dan hanya terdapat Naruto, Sasuke dan tiga gadis lain nya. Para siswa telah meninggalkan kelas beberapa menit yang lalu dan lorong di luar kelas pun mulai sepi.
"Teme, aku juga ingin mencoba uji nyali kesana. Bagaimana bila kau ikut bersama ku ?"
Sasuke tampak ragu dan perlahan menggelengkan kepala, "Maaf, dobe. Namun aku tidak berniat pergi ke tempat itu. Aku harus pulang"
Sasuke mengibaskan tangan kiri nya secara horizontal sebagai pertanda agar Naruto menggeser tubuh nya dan membiarkan Sasuke pergi.
"Teme, maaf bila kau masih memiliki kenangan buruk mengenai rumah itu. Namun kau pernah tinggal disana. Kau pasti lebih tahu mengenai rumah itu dan bisa memandu ku"
"Aku sudah lupa mengenai rumah itu, dobe. Aku tak ingin membahas nya"
Naruto melirik ke arah seorang gadis bersurai merah muda yang sedang mengobrol dengan dua orang gadis.
"Sakura-chan, kau juga ingin ikut uji nyali, kan ? Kemarilah, bantu aku membujuk teme"
Gadis bersurai merah muda bernama Sakura itu bangkit berdiri dan menghampiri sahabat nya yang bersurai pirang jabrik.
"Sasuke-kun, aku tahu ini pasti akan menyakitkan mu. Namun, kau pasti merindukan rumah itu dan ingin kembali, kan? Maka kami akan menemani mu karena kami juga ingin uji nyali di tempat itu."
Sasuke terdiam. Ingatan nya menerawang akan kejadian enam tahun yang lalu saat kedua orang tua dan kakak lelaki nya meninggal serta rumah itu terbakar. Sasuke menggelengkan kepala nya sendiri untuk melupakan ingatan yang tidak menyenangkan itu.
Ya, ingatan itu menghantui Sasuke dan membuatnya tak dapat melupakan peristiwa malam itu. Sejak peristiwa itu Sasuke tinggal di rumah paman nya di Kirigakure hingga kembali ke Konoha beberapa minggu yang lalu setelah paman nya memutuskan kembali ke Konoha.
"Tidak, Sakura-san ! Sebaiknya Sasuke-san tidak pergi ke rumah itu", timpal seorang gadis bersurai indigo dengan iris putih. Bahkan tak seperti biasa nya, kali ini gadis itu sedikit berteriak.
"Hinata-chan, kenapa kau tiba-tiba membela teme ? Kau kekasihku, kan ? Seharusnya kau membela ku"
Gadis bernama Hinata itu terlihat emosional, berlawanan dengan sikap nya yang biasa pemalu, pendiam dan tenang.
"Kumohon, Naruto-kun. Kau akan menyesal bila memaksa Sasuke-san pergi ke tempat itu", gadis itu menatap kekasih nya dengan tatapan serius.
"Uh, Hinata-chan. Jangan menatap ku begitu, dong", Naruto menunduk dan tak berani menatap kekasih nya.
Seorang gadis bersurai blonde dengan iris sapphire yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka kini menghampiri mereka.
"Kenapa ? Bukankah akan lebih baik bila Sasuke-kun ikut ? Kudengar itu adalh rumah masa kecil nya dan akan lebih baik karena dia dapat memandu kita", ujar Ino.
"Rumah itu berbahaya bagi Sasuke-san", Hinata menggelengkan kepala dan menatap ke arah Sasuke.
Kini, Naruto, Ino dan Sakura menatap ke arah Hinata dengan serius. Mereka tahu bila Hinata memiliki indra ke enam dan dapat melihat serta berinteraksi dengan mahluk halus . Namun, selain mereka bertiga dan keluarga Hinata tak ada seorang pun yang mengetahui kemampuan Hinata.
"Kenapa ? Apakah kau melihat sesuatu di tempat itu ? Katakan saja pada kami, Hinata", bujuk Sakura.
Hinata tampak ketakutan dan bulu kuduk nya sedikit meremang, "Pokoknya kalian jangan kesana, apalagi bersama Sasuke-kun. Rumah itu sangat berbahaya"
Sasuke tak tertarik dengan pembicaraan mereka. Ia berjalan ke arah pintu dan hendak membuka pintu sebelum Naruto berteriak.
"Teme, kau mau kemana ?"
"Pulang"
"Teme, pokoknya malam ini kau harus ikut ke rumah itu", ujar Naruto tanpa mengindahkan ucapan kekasih nya.
"Kubilang aku tidak mau"
"Kenapa ? Bilang saja kau takut, kan ? Bagaimanapun itu pernah menjadi rumah mu, teme"
"Aku tidak takut, dobe. Namun aku tidak mau"
Sakura mendekati Sasuke dan menepuk bahu pria itu serta menatap dengan tatapan memohon, "Kumohon, Sasuke-kun. Kali ini saja. Setelah ini bila kau ingin pulang maka kita dapat segera pulang"
Hnata meringis dan berbisik dengan suara pelan, "Tidak, Sasuke-san. Rumah ini dipenuhi kebencian"
Ino melirik ke arah Hinata dan berkata, "Apakah tempat itu begitu menyeramkan, Hinata ? Tenang saja, kami aman bersama mu"
"Ya, Bila terjadi sesuatu kau pasti dapat melindungi kami, Hinata-chan", timpal Naruto.
"Tidak. Aku tidak bisa", Hinata menggeleng.
"Teme, kau ikut, ya. Hinata-chan akan ikut, kok", ujar Naruto tanpa meminta persetujuan Hinata. "Dia dapat melindungi kita"
"Aku ti-"
"Baiklah, aku ikut. Jam berapa kalian akan berkumpul ?", tanya Sasuke.
"Kubilang aku tidak bisa ikut", Hinata berkata dengan suara yang lebih keras dibandingkan biasa nya.
"Hinata-san, ikutlah. Sasuke-kun saja sudah setuju akan ikut", pinta Sakura.
Hinata sama sekali tak berniat ikut, namun ia tak akan membiarkan teman nya pergi sendirian ke tempat itu, apalagi bersama Sasuke. Walau ia tak dapat benar-benar melindungi, setidaknya ia lebih paham mengenai hal-hal spiritual dan lebih siaga bila terjadi bahaya.
"Um… baiklah aku ikut. Aku akan mengajak Neji-nii", ujar Sakura. "Bagaimana bila kita bertemu pukul enam sore"
"Enam sore ? Terlalu sore, Hinata", ucap Ino. "Bagaimana dengan sembilan malam ?"
"Jangan !", sergah Hinata.
"Delapan malam bagaimana ?", usul Sakura.
"Baiklah", ujar Naruto dan Ino serempak.
"Baiklah, kita akan berkumpul di depan rumah itu pukul delapan malam. Kuharap tidak ada yang telat", ujar Sakura.
….*….
Hinata mengenakan jaket dengan hoodie berwarna putih dan celana panjang. Untuk uji nyali, ia membawa senter, sebotol air minum dan pisau lipat untuk berjaga-jaga. Tak lupa ia membawa jimat pelindung dan mengenakan kalung pelindung yang diberikan ayah nya.
Keluarga Hinata memang memiliki kemampuan spiritual dan mampu melihat hal gaib. Ayah nya tampak khawatir saat mengetahui ia akan berkunjung ke rumah angker di komples yang bersebelahan dengan kompleks rumah nya dan sempat melarang nya pergi. Namun, ayah nya terpaksa mengizinkan setelah mengetahui bila teman-teman Hinata memaksa uji nyali di rumah itu.
Jantung Hinata berdebar keras saat mendengar peringatan-peringatan ayah nya mengenai tempat itu. Ayah nya bahkan berjanji akan berkunjung ke tempat itu sendiri bila pukul setengah sepuluh malam Hinata masih belum menelpon untuk memberi kabar.
Bel rumah nya berbunti dan Hinata mendapati Sakura dan Ino yang menunggu nya di depan rumah. Rumah mereka bertiga sangat dekat sehingga Ino dan Sakura memutuskan untuk berangkat bersama Ino.
"Oyasumi, Hiashi-ojisan", sapa Ino dan Sakura ketika melihat ayah Sakura.
"Oyasumi, Ino-san, Sakura-san", jawab ayah Hinata sambil melirik ke arah Ino dan Sakura. "Kalian bertiga akan berkunjung ke rumah di kompleks sebelah itu ?"
"Benar, Hiashi-ojisan"
"Kalian tidak masuk terlebih dahulu ? Bukankah kalian akan berkumpul pukul delapan ?"
"Namun kami khawatir akan terlambat, Hiashi-ojisan"
"Aku akan mengantar kalian"
"Eh ? Bukankah otou-san baru saja pulang kerja ?", tanya Hinata dengan ragu.
"Tidak apa-apa. Otou-san akan menunggu di rumah Minato-san di kompleks itu"
Ayah Hinata segera mengambil kunci mobil dan membuka pintu garasi. Sakura, Ino dan Hinata ikut berjalan menuju mobil dan membuka pintu mobil serta memutar kunci.
"Permisi, oji-san", ucap Ino dan Sakura dengan sopan ketika mereka masuk ke dalam mobil.
Seorang pembantu rumah tangga telah membuka pintu pagar dan kembali menutup pagar ketika mobil ayah Hinata meninggalkan rumah tersebut. Ayah Hinata dengan sengaja mengemudi lebih pelan dibandingkan biasa nya.
"Kalian pergi ke rumah itu bersama siapa saja ?"
"Kami bertiga bersama dengan Naruto-san dan Sasuke-san"
Ayah Hinata megangkat alis nya. Ia mengenal Naruto, kekasih putri nya dan bahkan keluarga pria itu. Namun, ia tidak mengenal Sasuke.
"Berhati-hatilah selama berada di rumah itu. Dengarkan ucapan Hinata dan usahakan untuk tidak berpencar", ayah Hinata memperingati mereka bertiga.
"Baiklah, oji-san", ujar mereka bertiga.
"Hinata, jangan lupa berikan jimat yang otou-san berikan kepada teman mu yang bernama Sasuke", ujar ayah Hinata.
"Baiklah, otou-san"
Ino dan Sakura merasa takut seketika dengan ucapan ayah Hinata. Namun, mereka berusaha memberanikan diri. Mereka berdua terlalu malu untuk mengundurkan diri setelah mereka membujuk Sasuke dan Hinata.
Rumah yang merupakan tempat mereka beruji nyali telah terlihat di kejauhan. Rumah itu telah terbakar enam tahun yang lalu, dan beberapa bagian rumah telah hancur dan tersisa tembok yang telah menghitam.
Selain itu, rumah itu tampak semakin menyeramkan dengan rumput yang meninggi dan tampak tak terurus.
Ayah Hinata menghentikan mobil di depan rumah itu dan Hinata segera turun dari mobil.
"Arigato gozaimasu, Hiashi-ojisan", ujar Sakura dan Ino.
"Berhati-hatilah", ayah Hinata kembali memperingati.
"Baiklah", jawab Sakura dan Ino
….*….
Sakura dan Ino berdecak kesal. Sasuke dan Naruto masih belum datang meskipun mereka sudah menunggu lebih dari lima belas menit.
"Sebenarnya mereka jadi datang atau tidak, sih ? Jangan-jangan Naruto-baka hanya mengerjai kita dan memberitahu Sasuke-kun agar tidak datang", keluh Sakura sambil menekan ponsel nya.
"Ya. Aku curiga mereka hanya menipu kita", timpal Ino.
"Pokoknya, bila dalam sepuluh menit mereka tidak datang maka kita akan pulang", ujar Sakura dengan kesal.
"Aku setuju. Sekarangpun aku mulai ketakutan hanya dengan berdiri di depan rumah ini selama lima belas menit", keluh Ino.
Hinata tak menjawab. Ia semakin merasa takut berada di depan rumah itu, terutama dengan peringatan ayah nya. Ia telah memakai kalung pelindung, namun ia tetap merasa khawatir.
"Hey, Hinata ! Bagaimana menurut mu ? Jawab kami !", Ino sedikit berteriak dan mengguncang bahu Hinata.
Hinata segera menatap Ino dan berkata, "M-maaf. Aku setuju dengan kalian"
Ino dan Sakura menghembuskan nafas dengan jengkel Tak lama kemudian, tampak dua orang pria dengan motor 250 cc berwarna hitam. Naruto turun dari motor itu dan Sasuke memarkir motor itu tak jauh dari rumah itu.
"Kalian lambat sekali, sih ! Bila sepuluh menit lagi kalian tidak datang, kami akan pulang", ucap Sakura dengan ketus.
Naruto menggaruk bagian belakang kepala nya yang tidak gatal dan berkata, "Hehe… maaf, ya. Teme ini sulit sekali dibujuk"
"Membicarkanku, hn ?"
Naruto terkejut dan memekik, "Uwaaahhhhhh ! Kau membuatku takut, teme !"
Sasuke berdecih dan berkata, "Kau meminta untuk berangkat bersama dan kau baru tiba di rumah ku pukul delapan malam"
Hinata meringis dan menempelkan telunjuk di bibir nya, "Tolong diam, Naruto-kun. Teriakan mu dapat mengundang bahaya"
"Hehe…. Gomen ne, Hinata-chan", Naruto mengacak rambut Hinata.
Hinata segera memberikan jimat yang tadi diberikan ayah nya pada Sasuke dan berkata, "Tolong terima ini"
Sasuke memegang jimat itu dengan dahi berkerut. Ia menatap jimat dengan kantung berwarna merah itu dengan tatapan bingung,
"Apa itu ?"
"Jimat. Tolong jangan dilepaskan selama kau berada di rumah itu, Sasuke-san"
"Hn. Arigato"
Sasuke menerima jimat itu dan memasukkan nya di saku celana, "Arigato, Hinata-san"
Naruto menatap Sasuke dengan cemburu dan menepuk bahu Hinata, "Hinata-chan, kau tidak memberikan jimat pada ku juga ?"
"Kau tidak memerlukan nya, Naruto-kun", Hinata menggeleng. Ia beralih pada Sasuke dan berkata, "Sasuke-san, bisakah saat kau melewati pagar ini kau menundukkan kepala dan mengucapkan permintaan maaf pada keluarga mu ?"
Sasuke menaikkan alis nya. Sementara Naruto, Sakura dan Ino tampak heran dengan permintaan Hinata.
"Oh ya, kalau bisa kalian bertiga juga meminta izin pada pemilik rumah ini. Cukup berbisik saja", ujar Hinata pada Naruto, Sakura dan Ino.
Sasuke terlihat tidak nyaman dan mengerutkan bibir nya. Sejak tadi ia merasa ingin pulang dan tak berniat berurusan dengan rumah itu.
"Keluarga ku ?", Sasuke mengulang ucapan Hinata.
"Ya. Khususnya pada seseorang. Kau pasti tahu maksudku", ujar Hinata.
Naruto merasa takut seketika dengan ucapan kekasih nya, begitupun dengan Sakura dan Ino yang mengenggam tangan satu sama lain.
"H-Hi-hinata-chan, j-jangan membuat kami takut, dong", keluh Naruto.
"Pulang saja, Naruto-kun", ucap Hinata dengan serius.
"Tidak mau ! Aku sudah bersusah payah meluangkan waktu ke tempat ini. Aku tidak akan pulang sebelum masuk ke tempat ini", Naruto mengepalkan tangan di udara, berusaha menyemangati diri nya.
Hinata berjalan sambil bergandengan tangan bersama Naruto memasuki gerbang rumah itu. Ia dan Naruto tampak menggumam, 'meminta izin' pada 'pemilik rumah'.
Selanjutnya, tampak Ino dan Sakura yang bergandengan tangan dan Sasuke berjalan di paling belakang serta melakukan saran Hinata walaupun ia tampak kesal.
"Sasuke-san, jangan berjalan di belakang sendirian. ", ucap Hinata. Ia bahkan mundur dan menarik bahu Sasuke hingga membuat pria itu menatap nya dengan tatapan terganggu. "Maaf, Sasuke-san, namun tolong dengarkan aku dan jangan lepaskan rangkulan ku"
Sasuke adalah pria realistis yang tak percaya dengan keberadaan mahluk-mahluk tak kasat mata sebelum membuktikan dengan mata kepala nya sendiri. Namun ia juga bukan tipe orang yang akan mempertanyakan sesuatu yang diminta untuk dilakukan nya sehingga Ia mau tak mau merangkul Hinata walaupun ia merasa bila Hinata memiliki gangguan mental dan mengabaikan tatapan menusuk yang diberikan Naruto pada nya.
Setidaknya, ia yakin dan percaya bila Hinata bukanlah tipe agresif yang mau melakukan sesuatu tanpa alasan. Tentu nya ia takkan 'mencari kesempatan' dengan merangkul Sasuke di hadapan kekasih nya sendiri.
Perlahan, mereka berlima berjalan beririgan memasuki rumah itu. Mereka semua mulai menyalakan senter, namun tidak dengan Ino.
"Pig, kau tidak membawa senter ?"
"Bawa, sih. Namun aku salah mengambil senter. Yang kuambil malah senter rusak", Ino tertawa canggung.
"Ceroboh sekali, sih", desis Sakura. "Pokoknya, jangan berpisah dengan ku, ya"
Hinata merangkul Sasuke dengan erat dan menguatkan gengaman nya pada Naruto. Ia memberanikan diri untuk melangkah terlebih dulu dan membuka pintu utama rumah itu yang masih utuh. Seperti nya, saat itu api tidak menjalar hingga ke bagaian utama rumah.
"Sumima-"
'BRAK !'
Terdengar suara pintu yang dibanting dengan keras hingga berbunyi keras dan menimbulkan getaran.
Wajah Sakura tampak pucat seketika, begitupun dengan Naruto. Hinata, Sasuke dan Naruto segera menoleh ke arah pintu. Tanpa berkata apapun, Sakura dan Ino segera menghambut ke depan. Sakura menggandeng tangan Sasuke dan Ino segera menyelip di antara Naruto dan Hinata.
"Ino, jangan menyela di antara kami berdua, dong", keluh Naruto.
"I-itu tadi-"
"Kalian membanting pintu ?", Sasuke bertanya sambil memandang ke arah pintu.
"T-tidak. S-saat kami baru saja masuk, kami merasakan ada udara dingin dan pintu itu langsung tertutup sendiri", Ino menjawab dengan terbata-bata.
Hinata mengangguk paham. Iris putih nya menatap sesesosok pria di dekat pintu dengan perut berlumur darah menatap mereka dengan tajam dan sinis. Tatapan itu mengejutkan Hinata dan ia terdiam beberapa saat serta fokus ke depan. Sosok pria itu tak mengikutii mereka dan hanya berada di pintu depan.
"H-hinata, a-apakah kau melihat sesuatu ?", bisik Ino.
Hinata berpura-pura menggeleng dan berkata, "Tidak"
Ino memandang dengan takjub interior rumah itu. Sangat aneh, rumah itu terlihat seolah baik-baik saja seolah tak pernah terjadi kebakaran. Terlihat beberapa sofa, meja dan patung serta lukisan penghias dinding rumah.
"Wah… apakah ini benar-benar rumah mu dulu, Sasuke-kun ?", tanya Ino sambil memandang kagum.
"Hn"
Sejak tadi, Sasuke berusaha menahan diri. Ia merasa seolah diperhatikan sejak masuk ke dalam rumah itu dan ia merasa ingin pulang. Namun, harga diri nya sebagai pria menahan nya untuk mengungkapkan ketakutan nya.
"Kurasa kita harus melihat kamar teme terlebih dahulu. Aku ingin tahu seperti apa kamar nya"
"Jangan. Sebagian lantai dua sudah terbakar habis"
"Tidak apa-apa, aku ingin melihat nya terlebih dahulu", desak Naruto.
"Ya, aku juga penasaran dengan rumah ini", ujar Ino.
"Baiklah, kalau begitu lantai dua terlebih dahulu. Setelah itu kita melihat-lihat lantai satu"
Perlahan, mereka mulai menaiki tangga yang terdapat di ruang utama.
Naruto mulai menaiki anak tangga pertama dengan cepat dan tampak bersemangat. Begitupun dengan Ino dan Sakura.
"Chotto matte", ucap Hinata. Ia terdiam dan bulu kuduk nya merinding.
"Eh ? Kenapa, Hinata-chan ?", Naruto mengeratkan genggaman tangan nya.
"Ah… i-itu… k-kita turun saja. Jangan ke lantai dua", Hinata hendak beranjak turun dan Sasuke mengikuti nya.
"Kalian kenapa, sih ? Sudahlah, naik saja. Kita sudah terlanjut sampai disini", keluh Sakura.
"B-baiklah", dengan terpaksa Hinata melanjutkan langkah. Tatapan tertuju pada sosok aneh yang dilihat nya di puncak tangga dan ia tak bisa melepaskan tatapan dari sosok itu meskipun ia merasa takut.
Hinata menarik nafas dan terus berjalan hingga mencapai puncak tangga. Sosok itu memiliki mata merah, besar dengan tulang rusuk yang menonjol, wajah setengah terbakar yang memperlihatkan sedikit garis di dekat pipi dan tubuh yang terbakar. Terlihat aura hitam yang menakutkan menyelimuti sosok itu dan sejak tadi sosok itu terus menatap tajam dan berusaha mendekati Sasuke.
"Teme, itu kamar mu dulu, kan ?", ujar Naruto sambil menunjuk sebuah kamar dengan papan kayu bertuliskan 'Sasuke' dalam huruf katakana.
"Hn"
"Ne, sudah lama aku tidak berkunjung ke kamar ini. Dulu, aku sering sekali bermain bersama Sasuke-kun di kamar ini", ucap Sakura ketika membuka pintu.
Sakura tampak bersemangat memasuki kamar itu. Kamar itu hampir tak berubah sama sekali dibandingkan kali terakhir sejak ia datang. Bahkan, aneh nya ruangan itu sangat bersih seolah tidak pernah ditinggalkan.
Naruto memasuki kamar itu dan Hinata dengan ragu-ragu menoleh ke belakang. Sosok bermata merah itu tampak berusaha memasuki kamar itu dan seolah terhalang.
"Hn. Biasa saja"
Hinata segera menghampiri Naruto yang sedang berbaring di atas kasur. Naruto tampak berguling-guling dan berkata, "Teme, kemarilah. Apakah kau tidak merindukan kasur mu ini ?"
Sasuke dengan ragu mendekati kasur itu. Ia merasa heran dengan kondisi kamar nya. Ia bahkan dapat mencium aroma seprai yang baru saja dicuci dan dipasang di kasur nya.
"Tiba-tiba aku merasa ingin tidur di kasur mu, teme"
"Jangan, dobe. Kau bisa tidur di rumah mu sendiri"
Naruto tampak mengerucutkan bibir. Ia melirik beberapa buku di rak yang terdapat di kamar Sasuke dan membaca isi nya.
"Sudah lama aku tidak membaca komik Ninja Man", Naruto membuka salah satu komik dan memperlihatkan nya pada Sasuke.
Sasuke terlihat tidak nyaman dan tak berniat melihat buku itu. Ia menggeleng dan berkata, "Itu bukan milik ku, dobe"
"Kalau begitu milik Itachi-nii ? Kenapa bisa ada di kamar mu ?"
"Aku tidak tahu, dobe", suara Sasuke sedikit bergetar dan ia tampak gelisah. "Cepat keluar dari kamar ini dan selesaikan uji nyali mu, dobe. Aku ingin pulang"
"Bilang saja kau takut, tem-"
Ucapan Naruto terputus. Terdengar suara hantaman di bagian dinding seperti seseorang memukul tembok dari sebelah ruangan.
"Teme !", pekik Naruto sambil memeluk Sasuke dan Hinata yang berdiri bersebelahan.
"KYAAAAAAAAA !", Sakura berteriak dan segera mendekat kepada Sasuke, Hinata dan Naruto.
Keringat dingin mengalir di pelipis Ino. Jantung nya berdebar keras dan ia mematung.
'BRAK !', terdengar suara hantaman keras di pintu.
"H-hinata-chan. K-kenapa ini ?", ucap Naruto dengan terbata-bata. Sebetulnya, ia tipe orang yang takut dengan hantu dan hal-hal mistis. Namun, ia memasuki rumah hantu itu hanya karena ingin mempamerkan pengalaman pada teman-teman nya.
"Ini…", Hinata terdiam. Ia tak tahu harus melakukan apa.
"Tenanglah, dobe", ujar Sasuke dengan keringat dingin yang membasahi pelipis nya. "Mungkin ada orang lain yang berada di rumah ini dan bersembunyi serta mengerjai kita"
"Tidak mungkin, teme. S-sejak tadi tidak ada orang selain kita"
"Mungkin orang lain yang juga datang untuk uji nyali sesudah kita"
'BRAK !', terdengar suara hantaman yang lebih keras dan gedoran di pintu.
Tubuh Ino menggigil. Seluruh bulu kuduk nya meremang dan ia tak mampu berkata atau melakukan apapun.
'Buk !'
Terdengar suara pukulan di dinding kamar Sasuke.
"T-teme, suara nya dari dinding kamar sebelah kiri, kan ?", tanya Naruto.
"Kurasa begitu"
Suara Naruto memelan dan ia berkata, "Bukankah sebelah kiri kamar mu adalah kamar Itachi-nii, teme ?"
Sasuke terdiam. Keringat dingin mulai menetes dan jantung nya berdebar keras. Ia mengerutkan kening dan berusaha menekan rasa takut nya. Ia berusaha untuk tidak percaya dengan hal-hal mistis.
"H-hinata, sebaiknya kita keluar dari kamar ini saja"
"Jangan", Hinata menggeleng.
"Kita harus pulang, Hinata-chan", ujar Naruto.
Hinata mengeluarkan ponsel nya dan berniat menghubungi ayah nya. Sepertinya, ucapan ayah nya memang benar dan 'terror' baru saja dimulai.
'Tidak ada signal ?', Hinata mengerutkan kening.
Kompleks itu berada tak jauh dari pusat kota dan signal di luar sangat baik. Seharusnya, signal di tempat ini cukup bagus. Namun, taka da signal di tempat ini.
"Apakah di ponsel kalian ada signal ?", tanya Hinata.
"Signal ? Bagaimana mungkin kau berpikir menelpon seseorang di saat seperti ini, Hinata ?", suara Sakura meninggi dan ia menahan emosi.
"Aku ingin menelpon otou-san untuk menjemput kita di dalam kamar ini. Di luar berbahaya"
Ino segera menghampiri Sakura dengan tubuh mengigil ketakutan serta memeluk nya. Perlahan, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan melirik ponsel nya.
"Tidak ada signal", ucap Sasuke.
"Ya, punya ku juga tidak ada", timpal Ino dan Sakura sambil menunjukkan layar ponsel nya. Terdapat tanda 'x' di bagian signal.
Naruto membuka baterai ponsel nya dan melepas sim card kemudian memasang nya kembali. Ia menunggu beberapa detik sebelum ponsel nya menyala dan berusaha memukul handphone nya.
"Lho ? Ponsel ku juga tidak ada signal", keluh Naruto.
Hinata mengerling sesaat. Ia mendapat ide dan berkata, "Bagaimana bila kita melihat kamar di sebelah ?"
"Boleh ! Siapa tahu di saat seperti ini aku menemukan komik Ninja Man di kamar Itachi-nii", Naruto berpura-pura ceria dan bersemangat walaupun ia mulai merasa takut.
Sasuke terdiam dan ia merangkul Naruto. Kini, ia merasa semakin terancam dan merasa tak nyaman. Ia merutuki keputusan nya untuk menuruti ajakan teman-teman nya.
….*….
"Minna-san, aku pulang terlebih dulu, ya", ujar Ino dengan suara pelan kepada teman-teman nya.
Sejak memasuki rumah itu, ia mulai merasa takut dan menyembunyikan nya dengan berpura-pura berani. Rasa takut yang dialami nya semakin menjadi-jadi saat ia menaiki tangga dan tiba di lantai dua.
Ino merasa tidak tahan dan ia memutuskan untuk pulang ketika teman-teman nya memutuskan untuk pergi ke kamar sebelah. Ia tak sudi berada di rumah itu lebih lama.
Ia menggunakan cahaya ponsel nya sebagai senter dan ia menuruni tangga. Ia tak peduli dengan teman-teman nya yang tampak sibuk dan tak mendengarkan ucapan nya.
Ino berlari menuruni tangga secepat mungkin. Ia merasa seolah diawasi dan diikuti sejak mulai berada di dekat tangga. Jantung nya berdegup keras dan layar ponsel nya menggelap seketika. Kini, rumah itu tampak sangat gelap dan ia tak dapat melihat apapun.
'Kuso !', maki Ino sambil menekan layar ponsel nya dan mencoba untuk menghidupkan nya.
Layar ponsel nya tidak menyala. Namun sebuah bayangan hitam muncul di depan nya dan ia kaki nya tersandung sesuatu sehingga ia kehilangan keseimbangan dan tergelincir di atas tangga.
"KYAAAA !", jerit Ino dengan suara keras.
Kepala Ino membentur anak tangga dan ia terguling di atas lantai. Ia menyentuh kepala nya yang terasa sakit dan ia merasakan cairan darah di tangan nya. Seluruh tubuh nya terasa sakit dan kaki nya terkilir.
Ino mencoba bangkit berdiri dan terlihat sebuah tengkorak setengah terbakar dengan bayangan hitam yang menyentuh batang kayu serta memukul selurut tubuh dan kepala nya.
Ino mencoba untuk tidak percaya. Namun, batang kayu dan rasa sakit di kepala nya cukup nyata dan ia merasakan darah mengalir semakin banyak dan mulai membanjiri lantai. Tempurung kepala nya pecah akibat pukulan keras bertubi-tubi dan perlahan kesadaran nya mulai menipis.
-TBC-
Author's Note :
Ne, ini pertama kali nya author-san nulis fict genre horror mystery. Seharusnya, fict ini one shoot. Berhubung terlalu panjang, maka author memutuskan ngebuat fict ini jadi two shoot.
sebetulnya, author sempet ragu pas publish fict ini & ketakutan (apalagi pas ngetik di kamar sendirian). #curhat
Oh ya, apakah fict ini cukup seram atau malah terasa mirip drama ? Author mengharapkan kritik & saran untuk fict ini
