Hehe. Kali ini beneran twoshot. XP
Pelampiasan rasa stress-ku. Dan malah bikin Sasuke psycho yang egois. *dichidori*

Disclaimer:

I do not own Naruto.

Warnings:

AU, OOC, Yaoi, Insane, Maniac Sasuke, Psychic content, dll…
Don't like, don't read.

Happy reading, Minna-sama… XD

-

Kotak surat.

Dari dulu kotak surat di flat yang menjadi tempat tinggalnya selalu kosong melompong. Selalu begitu. Ia sudah tahu, dan karena itulah ia tidak terlalu mempedulikan kotak itu. Kotak kelabu yang terbuat dari besi itu hanya tergantung bisu di dinding depan pintu masuk flatnya. Selalu ia lihat setiap hari, namun tak pernah betul-betul ia pikirkan.

Siapa yang ia harapkan untuk mengiriminya surat atau paket? Sejak ia memutuskan untuk berpisah tempat tinggal dengan orangtua angkatnya beberapa tahun yang lalu, tidak ada lagi orang yang akan memasukkan suatu kiriman melalui pos di kotak persegi itu di hari-hari biasa.

Karena sudah ada saat-saat tertentu, beberapa hari istimewa yang ia sebut dengan "hari memeriksa kotak surat". Dan sesuai namanya, hanya pada waktu-waktu itulah ia akan menengok kotak suratnya. Contohnya, hari Natal, hari yang menjadi awal suatu tahun, hari ulang tahunnya, hari ulang tahun orangtua angkatnya, hari peringatan untuk panti asuhan tempatnya menetap dulu, dan sebagainya. Hari-hari yang sudah ia hafal mati, atau paling tidak sudah ia tandai di kalender kamarnya. Saat di mana ia mendapatkan sesuatu yang sangat jarang ia dapatkan.

Kartu pos dan sepucuk surat, atau jika ia sedang beruntung, sebuah paket.

Dan itu cukup. Hanya pada hari-hari semacam itulah ia akan memeriksa kotak surat. Ia tidak akan memeriksa kotak surat setiap hari seperti tetangga-tetangganya yang lain, jika ia sudah tahu kalau ia hanya akan menemukan kotak yang kosong. Ia tidak akan berbuat konyol begitu seperti orang bodoh. Tidak.

Tapi kini, apa?

Ia tercenung di depan kotak berwarna kelabu itu. Kotak surat. Padahal hari ini alamanak mungilnya menunjukkan tanggal 10 Desember. Dan ia sudah mendapatkan kiriman untuk ulang tahunnya dua bulan yang lalu. Hari Natal masih agak lama, dan hari ini juga ini bukan hari yang spesial sehingga membuatnya harus menengok kotak itu.

Ada apa ini? Lima menit sudah ia menatap kotak itu dengan perasaan tidak menentu. Entah kenapa, benda sederhana yang hampir tak pernah ia pikirkan, kini mampu membuatnya begitu gugup. Kenapa?

Sekali lagi ia menelan ludah di dalam mulutnya yang kering. Oh, ia memang merasa sangat kehausan. Di sepanjang perjalanan pulang dari sekolah tadi, ia selalu membayangkan segelas jus jeruk dingin di dalam lemari es-nya, bukan? Tapi di saat ia tengah kalut begini, hal-hal seremeh itu tak lagi bisa terbersit di benaknya. Jantungnya berdegup kencang, seperti saat ia tengah berlari kencang jika ia terlambat pergi ke sekolahnya. Dan ia mulai menggigit bibirnya sendiri.

Kenapa ia merasa setakut ini? Kenapa bulu kuduknya berdiri seperti ini? Kenapa ia menjadi tegang? Ia ingin melihat isi kotak kelabu itu, bukan? Ya, ia ingin. Ia sangat penasaran. Tapi kenapa tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku? Kenapa keringat dingin mulai menetes di kening dan tengkuknya? Kenapa tangannya menjadi begitu dingin seperti saat ia tengah memegang salju tanpa sarung tangan?

Padahal ia tinggal menjulurkan sebelah tangannya untuk meraih kenop kotak suratnya, dan… habis perkara. Lalu kenapa ia menjadi seperti orang tolol begini?

Ia menghela napas panjang sambil berusaha menenangkan setak jantungnya yang tak mau stabil. Lalu tangan yang sedikit basah karena keringat itu pun terangkat pelan, dalam sebuah gerakan lambat menuju kenop kotak suratnya. Giginya masih menggigiti bibirnya sendiri saat ia menyadari bahwa jemarinya bergetar tak terkendali. Tiba-tiba ia merasa malu.

"What. The. Hell…" pemuda itu bergumam pelan. Dan sedetik setelah itu, ia meraung frustasi.

Dengan kasar pemuda itu meraih kenop mungil di depannya, menariknya penuh nafsu. Malu yang tadi sempat menyelimuti perasaannya kini kembali berganti menjadi perasaan takut. Rasa takut yang lebih hebat dari pada rasa takut yang ia rasakan beberapa puluh detik sebelumnya. Tiba-tiba ia merasa sedikit pusing.

Karena di dalam kotak surat yang seharusnya kosong itu, tergeletak sepucuk kertas. Sepucuk kiriman yang akhir-akhir ini menjadi objek ketakutannya. Kenapa benda itu harus ada lagi di kotak suratnya? Ia tak mau. Ia tak mau benda itu terkirim untuknya lagi. Demi Tuhan, ia tak mau!

Setetes keringat kembali mengalir di keningnya saat ia meraih benda tipis dengan warna-warni pucat itu. Dan saat mata birunya benar-benar memandang kertas itu lekat-lekat, jari-jemari dari kedua tangannya kembali gemetar. Ya. Seperti dugaannya, benda ini sejenis dengan benda yang terletak di kotak suratnya dua hari yang lalu. Tepat sama seperti lima hari yang lalu. Sembilan hari yang lalu. Sepuluh hari yang lalu. Tiga belas hari yang lalu. Semuanya sama…

Sebenarnya ini hanyalah sebuah benda sederhana. Biasa orang letakkan di dompet, sebuah pigura, atau pun album. Ya, tidak ada yang salah dengan selembar foto. Ia pun tidak akan begitu ketakutan hanya dengan melihat sebuah foto. Itu benda yang biasa. Sederhana.

Tapi tidak begitu dengan yang ini.

Semuanya akan menjadi begitu berbeda jika kasusnya seperti yang ia alami. Saat di suatu senja, dua minggu yang lalu, kau menemukan sepucuk kertas tersembul dari lubang di kotak suratmu. Ya, orang yang meletakkan kertas itu sengaja tidak memasukkan kertas itu ke dalam kotak secara benar. Lalu saat dengan santai dan tanpa prasangka sedikit pun kau meraih dan melihat isi kertas itu… untuk mendapati gambar dirimu yang tengah mandi.

Telanjang. Tanpa busana sedikit pun.

Ya! Sebuah foto yang dibidik dari atas. Dengan angle yang sempurna, hingga bagian tubuh terpentingmu tidak terlihat. Gambar dirimu yang tengah basah oleh tetesan air dari shower. Memang kau tak terlihat sangat telanjang, tapi bagaimana perasaanmu setelah itu? Apa yang ia rasakan? Mengertikah?

Pemuda pirang itu tahu. Ia dapat menduga di mana foto itu diambil. Kamar mandi umum sekolah, selepas sebuah pelajaran olahraga. Ia, dan juga teman-temannya, memang selalu membersihkan tubuh selepas mata pelajaran itu. Tapi kapan tepatnya? Oleh siapa? Bagaimana caranya? Kenapa? Untuk apa?!

Ia marah sekali malam itu. Murka, dan sedikit takut… Tapi ia tak tahu, harus melakukan apa? Ia kalut dan… bingung.

Lalu rupanya… pengirim jahat itu tak berhenti sampai di situ. Tiga hari kemudian, ia kembali menerima sepucuk foto, yang kini dimasukkan dengan benar ke dalam kotak suratnya. Kala yang kedua itu, gambarnya jauh lebih sopan walaupun masih membuatnya bulu kuduknya menegak.

Foto dirinya yang berseragam, tengah tersenyum manis ke arah lain. Menilik dari langit biru yang menjadi background-nya, ia dapat menebak kalau foto itu diambil saat ia tengah bercanda dengan teman-temannya di taman sekolah yang luas. Tapi sosok hidup di dalam gambar itu hanya dirinya. Itu adalah gambar yang menyenangkan. Dan ia pun pasti akan tersenyum melihat foto itu… jika ia tahu asal-usulnya.

Lagi-lagi… kapan? Di mana? Bagaimana? Mengapa? Oleh siapa?!

Bayangkan… Ia mendapat sebuah foto dirinya secara misterius, dan tidak tahu, tidak mengerti, bagaimana caranya pengirim itu mendapatkan gambar dirinya. For the God's Sake, ia bahkan tidak tahu siapa orang yang meletakkan foto-foto dirinya itu di dalam kotak suratnya sendiri.

Tak ada alamat pengirim. Dan yang membuat nyalinya semakin menghilang… juga tak tertulis alamat rumah—flat—tempatnya ia tinggal. Benar-benar hanya sebuah foto.

Bagaimana benda laknat itu bisa sampai ke sini? Apakah pengirimnya sendiri yang datang ke sini untuk meletakkan foto-foto itu? Mengapa…?

Sekali lagi, pemuda pirang itu menelan ludah. Ini benar-benar sebuah teror… dan ia merasa takut. Apa yang harus ia lakukan? Melapor pada polisi? Ia menggelengkan kepala pelan.

Ia memiliki firasat, kalau masalah ini tak boleh diselesaikan secara resmi. Lalu… bagaimana? Apa yang harus ia lakukan, sementara ia sama sekali tak memiliki petunjuk. Ya Tuhan… apa?!

Pemuda pirang itu menatap foto di tangannya dengan kosong. Di hari yang ke-tiga belas ini, ia tak lagi mendapat foto dengan gambar dirinya yang tengah tersenyum manis, seperti kemarin-kemarin. Tidak. Hari ini ia mendapat foto close-up wajahnya yang tengah murung. Ia melamun. Mata birunya terlihat menerawang jauh… dan kosong. Pipinya juga sedikit cekung ke dalam. Ia terlihat… kurus?

Dengan ibu jarinya, ia mengelus gambar dirinya di foto itu. Ia baru sadar kalau gambar itu sedikit buram, tidak sesempurna yang biasanya. Ia menduga, pasti itu karena zoom-in yang terlalu berlebihan. Pemotretannya dilakukan begitu jauh dari objek. Ya, ia juga jadi menduga kalau gambar itu diambil dan dicetak baru-baru ini. Ia terlihat mengurus karena stress memikirkan teror foto yang membuatnya muak ini, 'kan?

Mungkin ia bisa mengunjungi tempat-tempat percetakan di kota ini untuk menanyakan tentang foto ini. Ya, pasti ada salah satu toko yang akan mengaku mencetak foto ini. Dan mungkin dengan begitu, ia mendapatkan sedikit petunjuk tentang orang brengsek-psycho yang menerornya.

Untuk pertama kalinya setelah dua minggu ini, pemuda pirang itu tersenyum cerah. Senyuman sumringah yang menyenangkan. Mata birunya menelusuri foto itu sekali lagi, sebelum membaliknya tanpa maksud apa pun. Ya, tangannya hanya tanpa sengaja membalik foto itu… ke sisi lain kertas yang sama sekali belum ia periksa.

Jantungnya kembali berdegup kencang. Sisi lain foto itu seharusnya hanya putih polos tanpa noda. Ia sudah ratusan kali melihat sisi putih itu di foto-foto yang lainnya. Tapi apa ini? Beberapa baris kata yang terangkai dengan model tulisan yang rapi terpelajar. Seolah ukiran, huruf-huruf itu juga begitu anggun dan antik. Sebuah model tulisan yang miring, senada di setiap garis lengkungannya, dan halus.

Sepasang mata biru itu membelalak, dan dengan seksama ia membaca barisan huruf di sana. Hanya ada sebuah alamat yang terlampau jelas.

Sekali lagi, bulu kuduk pemuda pirang itu menegang.

-

Malam yang begitu menggigit. Pemuda pirang itu merapatkan jaketnya sambil menggigil. Padahal ia sudah memakai baju berlapis-lapis, ditambah dengan sebuah sweater dan mantel salju. Lalu topi musim dingin, sepasang sarung tangan yang tebal, kaus kaki, dan sepatu boot. Apa itu semua belum cukup untuk melawan hawa dingin ini?

Giginya bergemelutuk. Tapi syukurlah, salju belum terlalu tebal. Ia menggosok hidungnya yang kedinginan berkali-kali, sebelum kembali merapatkan jaketnya. Ia merasakan sebuah benda persegi yang sangat kaku di dadanya, dan itu membuatnya menghela napas panjang. Kepulan karbondioksida hangat itu pun langsung menghilang.

Sebenarnya ia pun menyadari, kalau malam ini ia telah melakukan sesuatu yang sangat beresiko. Kalau ia kembali melakukan sesuatu dengan nekat. Bukankah seharusnya ia takut? Lalu kenapa sekarang ia malah sok berani dengan mendatangi alamat itu sendirian? Pemuda itu menggigit bibirnya pelan. Saat malam hari begini pula…

Sore tadi, saat niat untuk melakukan perjalanan nekat ini timbul, ia merasa begitu tertantang dan semangat. Bahkan saat ia melangkahkan kakinya keluar flat beberapa puluh menit yang lalu tadi pun ia masih merasa begitu berani. Tapi berjalan malam-malam begini di atas jalan setapak yang tertutupi oleh salju putih membuat rasa semangatnya menghilang secara perlahan-lahan. Apalagi dengan lampu sang penerang jalan yang semakin jarang. Astaga…

Pemuda berusia tujuh belas tahun itu menghentikan langkahnya sembari menghela napas panjang. Apakah lebih baik kalau ia pulang saja? Tangan kirinya terangkat dan mengambil posisi bersidekap, sementara tangan kanannya mengepal menopang dagu. Belum lagi dengan adanya kemungkinan kalau sebenarnya ia salah jalan. Selama perjalanan tadi ia sama sekali tidak bertemu dengan orang yang bisa ia tanyai mengenai arah jalan.

Dengan terbersitnya pemikiran horor itu, ia merasakan keberaniannya semakin mengecil. Ia sama sekali tidak bertemu dengan sesosok manusia pun di jalan! Bagaimana bisa ia tidak menyadari hal ini?! Bagaimana kalau ternyata ia memang tersesat? Bagaimana kalau ternyata ia memang salah jalan? Dan bagaimana bisa tadi itu ia, dengan keyakinan tinggi, memilih jalan sepi ini. Apa yang membuatnya yakin bahwa tempat tujuannya memang berada di jalan ini, sementara palang nama jalan tadi sudah hancur? Bagaimana ia bisa begitu yakin?

Pemuda pirang itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia benar-benar ceroboh, bukan? Terlalu termakan emosi sehingga sama sekali tidak memikirkan niatnya ini lebih lanjut. Belum tentu juga rumah pengirim foto misterius itu ketemu. Bagaimana bisa ia begitu tolol?

Menarik napas panjang, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia sadar kalau ia memang tak pernah tahan dengan pengalaman horor yang mengerikan semacam ini. Ia benci, teramat sangat benci dengan dunia mistis berikut kepercayaan-kepercayaannya. Ia benci pengalaman ini. Tapi kalau suatu hari nanti ia bertemu dengan pengirim foto jahat itu, dan memastikan kalau orang itu tidak terlalu bahaya atau mengidap suatu penyakit saraf, ia benar-benar akan menghajar orang itu habis-habisan.

Ia menggeram pelan. Apalagi kalau ternyata pengirim itu adalah salah satu kawannya yang iseng. Uh! Akan ia tinju orang itu sampai setengah sekarat. Karena ini sudah keterlaluan.

Pemuda itu berbalik. Ia berniat untuk kembali pulang, dan keesokan harinya akan bertanya penuh ancaman pada teman-temannya. Tapi benarkah pengirim foto-foto gila itu hanya salah satu kawannya yang iseng? Pergolakan batin pemuda itu terhenti saat matanya menangkap sesuatu. Sebuah rumah yang lumayan besar dan bertingkat dua. Dinding yang menahan pagar tinggi rumah itu terlihat kusam, namun lempengan besi berwarna perak yang terpaku erat di sana masih mengkilat. Dan itulah yang membuat langkahnya terhenti.

St. Mary Mead
Old Halls XIII

Setengah menahan napas, ia mendekati bangunan tua itu. Ini dia. Ini dia bangunan yang alamatnya tertulis jelas di sisi putih fotonya yang terakhir. Betapa beruntungnya dia…

Pemuda pirang itu membuka resleting mantelnya secara berhati-hati, dan kemudian meraih sebuah amplop coklat di sebuah saku dalam mantelnya. Ia membuka lilitan benang yang mengikat amplop itu, mengeluarkan isinya, dan memperhatikan. Enam lembar kertas kaku berukuran tak besar pun telah ia genggam, dengan foto terakhir di bagian paling atas.

Ya. Tepat sama. Alamatnya sudah sangat cocok, dan tidak mungkin ada dua rumah bernama sama di kota ini. Ia menghela napas lega, sebelum kembali menahan napas tegang. Sekarang… tindakan apa yang akan diambilnya setelah semua ini? Memasuki gerbang tinggi berwarna hitam kusam itu dan menghadapi semua bahaya yang ada di dalam sana dengan dagu terangkat, atau… pulang?

Ia tersenyum tertantang sambil melangkahkan kakinya maju. Entah ke mana ketakutan yang tadi sempat ia rasakan, lagi-lagi ia bertindak ceroboh.

To be Continued

-

Maaf atas kesalahan-kesalahan Rai di sini.
Silahkan review dan lanjut ke next chapter. XD