Malam yang begitu dingin. Begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh pria berusia lanjut yang tengah menggoreskan penanya ke atas sebuah kertas. Angin malam bertiup cukup kencang di luar sana, ditingkahi dengan butiran-butiran putih yang jatuh dengan derasnya ke bumi.
Sementara itu tak jauh dari tempatnya menulis, seorang gadis kecil berambut coklat berombak berusaha untuk memejamkan matanya. Pria tua bermata hijau emerald itu tersenyum tipis, ia tahu sekali kalau gadis kecil itu sedang kesulitan untuk memejamkan matanya.
"Apa yang membuatmu begitu gelisah, Milla?" tanya pria tua itu akhirnya setelah melihat gadis kecil itu berguling-guling tak karuan di tempat tidur yang berada tak jauh dari si pria tua.
Gadis kecil yang disapa Milla itu menggeliat dan duduk di atas kasurnya. Mata hijaunya menatap lurus ke arah si pria tua. "Kakek, aku tak bisa tidur," ucapnya seraya bangun dari tempatnya duduk dan menghampiri pria tua yang ternyata adalah kakeknya.
Sang kakek membelai lembut rambut coklat berombak milik cucunya itu seraya bertanya. "Lalu? Apa yang kau inginkan, Sayang?"
"Bolehkah aku tahu hadiah Natalku?" Milla menjawab pertanyaan kakeknya dengan pertanyaan lagi.
Sang kakek menggeleng pelan. Sontak saja bibir mungil Milla mengerucut saking sebalnya dia dengan sikap keras kakeknya. Gadis kecil berkulit gelap itu menegakkan tubuhnya dan merajuk pada sang kakek.
"Ayolah, Kek. Aku hanya ingin tahu saja, kok! Jangan membuatku mati penasaran!"
Kakek itu menyibakkan poninya ke belakang. Sejujurnya jika dilihat dari segi penampilan dia masih terlihat cukup gagah, dan masih tersisa ketampanan semasa muda di wajah pucatnya.
"Apa yang harus Kakek lakukan agar kau bisa bersabar, Milla?" tanya pria tua itu yang terdengar seperti sebuah keluhan.
Sebelum Milla sempat menjawab pertanyaan kakeknya, jam dinding telah berbunyi 12 kali pertanda bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 24 tengah malam. Mata emerald sang kakek menatap lurus ke arah iris hijau milik cucu perempuannya itu dan berkata.
"Tidurlah, jika tidak Kakek tak akan memberimu hadiah Natal pada tahun ini."
Milla menghela nafas. "Baiklah, Kek. Aku akan tidur, tapi Kakek harus mendongengkanku sebuah kisah!"
Pria tua itu mengernyitkan alis. "Mendongengkanmu? Apa Kakek berutang padamu?"
Milla mengerucutkan bibirnya. "Kau membuatku menunggu, Kakek!"
Sang kakek tertawa pelan. Dia membimbing gadis kecil itu ke tempat tidurnya dan berujar.
"Baik, akan Kakek ceritakan sebuah kisah. Asalkan kau mau berjanji akan tidur setelah ini, bagaimana?"
"Baik, aku janji, Kek!" sahut Milla riang.
Pria tua itu tersenyum senang. Sejujurnya dia amat bahagia saat orang tua gadis kecil itu menitipkannya di rumah mungilnya ini. Istrinya sudah tertidur lelap sejak matahari terbenam, dan pria tua itu masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai penulis. Bisa dibilang, dibandingkan cuaca dingin di luar sana yang tidak bersahabat... rumah mungilnya ini jauh lebih tenang dan membuat hati tenteram.
Sang gadis cilik sudah tak sabar untuk mendengarkan kakeknya bercerita. Mata hijaunya nampak berbinar-binar tak sabar. Kakeknya hanya tersenyum tipis dan membelai lembut kepala cucunya itu.
"Kakek akan mengisahkan seorang pemuda yang sangat tampan. Pemuda yang tersesat karena terkungkung oleh masa lalunya."
"Kenapa dia tersesat?" tanya Milla tak sabar.
"Ada kejadian pahit dalam masa lalunya yang menyebabkan dirinya terbakar oleh dendam. Dia itu seperti bayangan yang bisa berada di mana saja. Dia bisa berada di tempat yang terang dan juga bisa mengikuti kegelapan," jawab kakeknya datar.
Sejenak pria tua itu mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang tak berkorden. Mata hijaunya nampak tengah menelusuri butir-butir salju yang turun di luar rumahnya. Singkat kata, ia terpukau dengan semua itu.
"Kakek, apakah ini sebuah cerita misteri? Atau..." alis Milla mengernyit. Jelas sekali kalau dia agak ragu mengucapkan kata yang satu itu. Tapi kakeknya memberikan tatapan 'Sudahlah, tak apa-apa!', sehingga gadis kecil itu melanjutkan kata-katanya. "Apa mungkin ini kisah horor?"
Kakeknya tertawa kecil. "Apa menurutmu begitu?"
Milla mengangguk pelan. Dia menopang dagu mungilnya dengan kedua tangannya.
"Kakek, bisakah kau jelaskan padaku seperti apa penampilan pemuda itu?" tanya Milla tak sabar seraya menarik-narik ujung sweater hijau yang dikenakan oleh kakeknya. "Setampan apakah dia?"
"Dia setampan ayahmu. Berambut hitam pekat seperti halnya Kakek semasa muda dulu, bermata biru indah seperti sapphire. Tapi..." pria tua itu berhenti sejenak seraya menatap lekat mata hijau cucunya. "Tak seperti ayahmu yang suka mengenakan pakaian putih, dia lebih suka memakai pakaian ala pendeta atau pakaian serba hitam."
"Kenapa harus hitam? Bukankah itu warna yang buruk?" seru Milla setengah memekik karena terkejut.
Sang kakek hanya tersenyum. "Menurutmu begitu?"
Milla menganggukkan lagi kepalanya dan berseru pada kakeknya kalau warna hitam adalah warna berkabung dan pertanda kematian. Kakeknya setuju akan hal itu, dan meneruskan ucapannya.
"Yah, dia memang sedang berduka. Dan dia juga terkadang lebih suka mengasingkan dirinya dari khalayak ramai."
"Kenapa bisa begitu, Kek?" kejar Milla tak sabar.
"Dia berduka atas kematian seluruh anggota klan-nya..."
The Last Werewolf
Chapter 1 : The Hunter
Disclaimer : Bleach bukan milik saya melainkan punya Tite Kubo sensei, saya hanya meminjam karakter-karakternya untuk kepentingan pembuatan fic ini. Setelah itu saya kembalikan ke pemilik asalnya.
Note : AU, maybe OOC, and sorry for language. (Rate sewaktu-waktu bisa berubah sesuai kondisi)
Pairing : keroyokan, tapi yang utama disorot IshiNemu dan UlquiHime.
Okey, fic ini saya dedikasikan untuk Scarlett Yukarin. (I'm sorry kelamaan buat request-nya) Selamat membaca ya! Don't Forget to Review!
Suara raungan binatang buas terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Sungguh gaduh sekali malam itu, terlebih lagi suara itu ditingkahi suara benda tajam yang saling beradu. Di hutan itu memang tengah terjadi pertempuran sengit antara seorang pemuda berkacamata dengan lelaki bertubuh besar berambut pirang pendek yang ditutupi oleh helm berwarna putih dengan jubah beruang tersampir di bahunya.
Cipratan bunga api yang ditimbulkan oleh benturan senjata mereka bertebaran, sementara masing-masing pemilik senjata memasang wajah sangat serius. Berusaha untuk mengalahkan satu sama lain. Tidak, mungkin lebih tepatnya berusaha untuk saling membunuh.
Pemuda berkacamata itu mundur beberapa depa ketika pria di hadapannya itu memunculkan sebuah senjata berukuran besar dan mengayunkan senjata itu padanya. Pria bertubuh besar dan bermata merah itu berseru marah pada si pria berkacamata.
"Berhenti menyerangku! Aku tak pernah berbuat salah padamu, kenapa kau mengejarku dan memburuku?"
Pemuda berkacamata itu menyeringai tipis dan berkata dingin pada si pria besar. "Jika aku melepaskanmu, akan lebih banyak teror lagi yang kau timbulkan di dunia. Dan lagi..." pemuda itu menghentikan ucapannya sejenak, ia memejamkan mata biru indah yang tersembunyi di balik kacamatanya perlahan sebelum membukanya kembali dan berujar. "Aku tak bisa begitu saja mempercayai Conjurer* amatiran sepertimu yang bahkan tak paham cara menggunakan kekuatan Medium-nya."
"Cih, kau benar-benar tidak memberikanku pilihan, Quiscart*!" seru pria itu marah dan menerjang pemuda berkacamata itu dengan senjatanya yang besar itu. Pria muda berkacamata tadi segera berkelit dengan cepat dan tangan kirinya segera menciptakan sebuah bow gun yang terbuat dari perak. Sebelum pria berambut pirang itu menyadarinya, pemuda berkacamata tadi telah menembakkan ratusan, bahkan ribuan panah perak.
Pria itu tak sempat lagi menjerit. Sementara pemuda berkacamata itu masih terus menghujaninya dengan panah, tubuhnya secara perlahan berubah menjadi serpihan kristal berwarna orange. Pemuda berkacamata tadi menghilangkan bow gun-nya dengan sekali lambaian tangan.
Pemuda itu mendekati serpihan kristal itu, mengangkat tangannya, dan mulai memanjatkan doa. Dia berdoa dengan sangat khidmad. Memohon keselamatan jiwa yang telah direnggutnya barusan.
"Nirgge Parduoc, semoga jiwamu tenang di alam baka," ucap pemuda itu pelan sebelum memasukkan butiran-butiran kristal itu ke dalam sebuah botol kecil.
"Uryuu!" seruan seseorang di belakang pemuda itu refleks membuatnya merandek dan menoleh ke sumber suara. Mata biru pemuda bernama Uryuu ini menangkap siluet pemuda yang nampak seumuran dengannya tengah berlari ke arahnya.
Pemuda itu memiliki tubuh sedikit lebih tinggi daripada Uryuu. Memiliki rambut pendek jabrik berwarna orange cerah. Mata hazel-nya yang indah itu nampak selalu memancarkan semangat dan keceriaan, sedikit berbeda dengan permata sapphire milik Uryuu yang nampak selalu dingin, dan kelam.
"Apakah buruanmu sudah kau bereskan?" tanya pemuda itu pada Uryuu yang nampak sibuk mengemasi botol kecil tadi.
"Ya," jawab Uryuu pendek.
"Tapi sepertinya... dia bukan Conjurer yang mengikat kontrak dengan iblis," komentar pemuda itu seraya memicingkan mata hazel-nya ke arah kristal orange yang ada di dalam botol kecil yang sedang dipegang oleh Uryuu.
"Dia mengikat kontrak dengan setan rendahan yang disebut dengan Ifrit, Ichigo Kurosaki," sahut Uryuu dingin. Pemuda yang bernama Ichigo itu membelalakkan matanya sejenak sebelum kembali normal seperti semula. "Kalau tadi aku berhadapan dengan Conjurer yang kau sebutkan itu dalam keadaan seperti ini, sudah dipastikan aku akan mati."
Ichigo mengernyitkan alisnya tak mengerti. "Bicara apa kamu, Uryuu? Bukankah kamu bisa menghadapinya dengan kekuatan itu?"
Mata biru Uryuu langsung menatap tajam ke arah iris hazel Ichigo, membuat pemuda itu terdiam seketika. Uryuu menusukkan jari tangannya ke dada pemuda itu seraya berkata.
"Jangan pernah kau berani mengungkit-ungkit soal itu, Kurosaki. Jika aku mendengar lagi kau berani mengatakan hal itu di depanku, maka akan kupastikan nyawamu akan berakhir di Schneider*-ku. Kau paham?"
Ichigo tak menanggapi ucapan Uryuu. Dia hanya terdiam seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kedua pemuda itu kemudian berjalan beriringan meninggalkan hutan itu. Mereka tak sadar kalau tindak-tanduk mereka tengah diawasi oleh seseorang...
Cafe Lycoris yang dikunjungi oleh Uryuu dan Ichigo nampak sangat ramai oleh pengunjung yang datang silih berganti untuk mencicipi minuman legendaris yang hanya ada di Cafe itu. Butuh waktu yang cukup lama bagi kedua pemuda berbeda warna rambut itu untuk mendapatkan tempat duduk di sana. Ketika mereka melintas dekat meja kasir, seseorang memanggil mereka berdua.
"Aaah, Ishida-san! Ichigo-kun! Aku sudah menunggu kalian berdua!" seru seorang pria yang mengenakan topi belang-belang dengan pakaian yang didominasi oleh warna hijau.
Uryuu memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas siapa yang memanggilnya barusan. Berusaha untuk mengenali siapa lelaki itu. Nampaknya yang bersangkutan cukup paham dengan kebingungan Uryuu, maka dari itu lelaki yang mengenakan topi belang itu mendekati pemuda berkacamata setinggi 171 cm itu dan berkata.
"Astagaaa! Masa kau lupa sama seniormu sendiri di Akademi Quiscart? Bukankah dulu kita sering bermain kejar-kejaran bersama dan pernah mencuri hotcake di kedai Don Kanonji?"
Uryuu menilik penampilan lelaki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mata birunya melebar, dan ia pun berseru. "Kisuke Urahara-senpai?"
Tiga cangkir kopi telah terhidang di meja mereka, dan pelayan Cafe itu telah menambahkan bonus berupa snack yang paling laris di kedai itu, Dragon Breath Cocktail. Kisuke, Uryuu, dan Ichigo mengambil tempat yang letaknya agak tersembunyi di Cafe itu. Sepertinya apa yang akan mereka bicarakan adalah hal yang cukup serius dan bersifat rahasia.
"Menurut cerita yang beredar, Lucifer telah mengikat kontrak dengan salah satu Conjurer di suatu tempat yang ada di Seireitei. Mungkin jika kau ke sana, kau bisa mendapatkan bayaran yang sesuai dengan harga kepala si Conjurer itu, Uryuu," kata Kisuke di akhir ceritanya.
Uryuu membuang nafas cepat. "Sayangnya, dia bukan targetku, Kisuke-senpai. Dia itu incaran temanku yang memiliki kode nama Wing Knight. Kalau aku mengambil mangsanya, itu artinya aku telah mengkhianati dia."
Kisuke menatap lurus ke arah iris biru Uryuu. "Apa dia juga seorang Quiscart seperti kita?" tanyanya penasaran. Uryuu menggeleng kepalanya cepat. "Apa dia juga seorang Conjurer?" tanya Kisuke lagi. Raut penasaran sangat nampak di wajahnya yang nampak masih sangat muda.
"Dia bukan Conjurer, melainkan seorang Druid yang memilih menyepi di kastilnya yang berada di pinggiran kota Las Noches. Dia juga lumayan banyak membantuku. Kenapa? Kau mencurigai dia memiliki kontrak dengan makhluk gaib?" tanya Uryuu curiga.
Kisuke memejamkan matanya perlahan dan menggeleng pelan. "Hanya saja, aku sedikit penasaran saja dengan temanmu itu," akunya. Uryuu menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan emosinya yang sempat naik beberapa detik lalu. "Apakah dia sama sepertimu?" tanya Kisuke tiba-tiba, membuat Uryuu mengalihkan pandangannya ke arah Kisuke dan menajamkan pendengarannya.
"Maksudnya?" tanya Uryuu tak mengerti.
"Dia itu manusia sepertimu ataukah berasal dari ras lain?" Kisuke mempertegas pertanyaannya, membuat detak jantung Uryuu terasa berhenti seketika. Melihat perubahan wajah Uryuu yang nampak menegang karena pertanyaannya, membuat Kisuke merasa bersalah. "Ah, maaf. Aku mengingatkanmu pada peristiwa yang terjadi 16 tahun lalu itu. Kau tidak apa-apa?" tanya Kisuke.
Wajah Uryuu yang semula menegang mulai melunak. "Tidak, tidak apa-apa. Kau tak perlu merasa bersalah seperti itu, Kisuke-senpai," ujar Uryuu seraya menghela nafas pelan.
Uryuu meneguk habis kopinya dan berdiri dari tempat duduknya. "Aku permisi dulu. Terima kasih atas traktirannya, Kisuke-senpai. Sampai jumpa lagi, Kurosaki. Kuharap kau tidak beraksi lambat seperti beberapa jam yang lalu," ucap Uryuu tanpa emosi.
"Hei, aku kan tidak sengaja! Kau masih marah soal itu, hah?" sergah Ichigo tak terima.
Uryuu mengabaikan protesan Ichigo, dan segera bergegas meninggalkan Cafe itu.
Langkah kakinya yang tak menentu membawanya ke sebuah bukit yang cukup tinggi. Dari atas sana, Uryuu melihat kastil megah Seireitei dengan tatapan penuh kebencian. Bibirnya menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti sebuah ancaman.
"Suatu saat nanti aku pasti akan membalas dendam pada kalian semua atas kematian seluruh klan Lycan*..." Uryuu menyentuh bekas luka yang terdapat di bagian bahu yang tertutup oleh mantelnya. Bekas luka yang cukup besar dan terlihat begitu mencolok. Pemuda bermata biru itu memejamkan matanya perlahan sebelum membukanya kembali dan membisikkan sebuah kata. "...Svartalfer*."
#TBC#
Keterangan :
-Conjurer : magician yang master dalam ritual Bonding / invoking spirit, transformation vessel dan lain-lain. Bonding itu nama lainnya Invoking atau proses memasukkan/menghubungkan spirit ke jiwa dan raga manusia. Conjurer adalah satu-satunya penyihir yang terikat perjanjian dengan makhluk gaib. Semakin kuat makhluk gaib yang jadi medium, semakin kuat pula resiko yang harus ditanggung oleh sang pengikat kontrak.
-Quiscart : Pemburu Conjurer dan makhluk-makhluk gaib yang dianggap mengganggu ketenangan manusia. Bertugas untuk menjaga keseimbangan dunia, dan juga memiliki kemampuan khusus.
-Druid : Penyihir yang dasar ilmunya diambil dari alam (nature), sihirnya bisa berbentuk sihir alam murni atau berbentuk seperti ramuan atau herb atau potion. Hidup damai dengan alam sekitarnya, dan lebih suka hidup menyendiri di tengah-tengah alam bersama tanaman dan hewan.
-Schneider : dari kata Seele Schneider (bahasa Jerman untuk Soul-cutting Sword), merupakan pedang perak yang memiliki kekuatan suci. Biasanya Uryuu gunakan ini untuk menghajar musuh untuk jarak dekat.
-Lycan : Nama lain untuk Ras Werewolf. Namun berbeda dengan werewolf biasa, Lycan memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap rasa sakit (dalam wujud werewolf-nya tentu), dan kebal terhadap serangan senjata. Dalam wujud manusia, tentu saja mereka bisa merasakan sakit dan juga tidak kebal terhadap senjata. Namun, tubuh werewolf mereka bisa dilukai dengan senjata berbahan perak nitrat. Itu sebabnya kaum Lycan menghindari pemakaian benda yang berbahan perak nitrat yang mampu membunuh mereka.
-Svartalfer : Ras Dark Elf atau kaum peri hitam. Mereka tidak bersayap, dan sangat ahli dalam penggunaan sihir juga senjata. Sangat kebal terhadap sihir hipnotis, namun lemah terhadap sihir serangan. Mereka sangat gesit dan mampu bergerak kilat (seperti Shunpo / langkah kilat).
A/N : OMG! Bikin fic MC lagi? Soalnya saya sudah tak tahan untuk menulis ini! Yaaah, walaupun ini baru pembuka, tak apa kan? Ah, iya. Tapi saya tak bisa berjanji untuk bisa mengupdate cepat fic ini. *kesibukan di dunia nyata telah menguras waktu dan kerja otak saya, gomen ne readers. T-T* Hehehe. Ok, untuk permulaan, sudikah kalian menyumbangkan sepucuk review? Mohon saran dan kritiknya. *membungkuk dalam-dalam* Haruskah saya meneruskannya atau menghapusnya? Mohon pendapatnya dan berikan saran kalian lewat Review. *nunduk dalem-dalem*
Jikan The Last Werewolf
Chapter 2 : Arullo
-Tak lama kemudian, terdengar suara gemerisik dari balik semak-semak dan dari sana keluarlah beberapa ekor makhluk bertubuh besar berkulit hijau berwajah seram... Orc. Uryuu berdecak pelan.
-Uryuu menganggukkan kepalanya pelan dan meneruskan kalimatnya. "Kalau begitu Nemu, sebenarnya dari mana asalmu? Kenapa kau mengembara?"
-"Kepala biara bilang, bahwa ayah saya ada di suatu tempat di Seireitei. Mungkin ada alasannya kenapa beliau menitipkan saya di biara. Karena itu saya berusaha berlatih keras dan menjadi seorang Sura untuk menemukan ayah saya. Saya harus tahu kenapa ayah saya pergi meninggalkan saya dan menitipkan saya di biara Capitolina," Nemu melahap sisa onigiri di tangannya, dan melanjutkan perkataannya. "Saya merasa semua jawaban yang saya cari selama ini ada di Seireitei. Karena itulah saya mengembara. Saya harus sampai di sana untuk mengetahui semua yang saya ingin tahu."
-Ulquiorra menghela napas panjang. "Bukannya sama saja denganmu, Garulu? Di sana juga terdapat klan musuhmu, kan? Svaltarfer?"
