Sabtu ini, Sabtu yang tiba-tiba jadi kelabu. Beberapa detik yang lalu, suara desah napasnya masih terdengar. Suara denyut nadinya masih terasa, dan jari jemari tangannya, meskipun tak kentara, masih bergerak-gerak. Cukup mengejutkan bahwa semua itu bisa hilang hanya dalam hitungan detik.
Tik. Tik. Tik.
Jarum jam penunjuk detik masih setia bergerak, menimbulkan suara tik-tik menyebalkan yang seolah menertawakan ketidakberdayaan tiga manusia di bawah naungan atap ruangan bernuansa putih yang dipenuhi dengan bau khas obat-obatan ini. Baru tadi pagi, tubuh mungil gadis bersurai pirang sependek itu mencerna tiga tangkup pancake penuh sirup maple—yang tak henti-hentinya ia puji dengan kata-kata "Enaknya maksimal!"—buatan kakak keduanya, pemuda berkacamata yang kini terduduk lemas di atas lantai keramik dingin. Baru tadi pagi, hangat tangan Lily Williams menyapa pergelangan tangan kakak pertamanya, sang pemilik surai cokelat dengan satu helainya yang mencuat dan melengkung pada ujungnya, yang kini hanya bisa terdiam tanpa suara dengan satu tangan menggenggam tangan kiri Lily, sang adik yang sangat disayanginya.
Seiring dengan jalannya waktu, kehangatan yang ada di tangan itu perlahan sirna bersama dengan suara degup jantung dan desah napas. Menyisakan hanya satu tubuh tak bernyawa, selongsong kosong tanpa jiwa—substansi esensial yang menunjukkan eksistensinya di dunia. Pagi yang mereka lewati bersama hampir mendekati status sebagai ilusi jika dibandingkan dengan kenyataan yang harus mereka hadapi saat ini. Kenyataan yang ada di depan mata Feliciano dan Matthew Williams saat ini, dan mau tak mau harus mereka terima sebagai takdir.
"—Lily…?"
Yang menjawab adalah suara detik dari jam dinding.
Pergi. Ya, Lily Williams sudah pergi, mengendarai kendaraan bernama takdir menuju tempat peristirahatan yang abadi. Meninggalkan kedua kakaknya yang sibuk mengutuki takdir dalam hati seolah Lily bisa kembali dengan tindakan seperti itu. Tapi bagaimanapun juga, mereka hanyalah manusia yang tak bisa berbuat apa-apa jika urusannya adalah dengan rantai takdir yang mengikat mereka tanpa ada celah sedikitpun untuk melarikan diri.
"Makanya aku benci kata 'takdir',Kak."
In a Circled Maze
Hetalia: Axis Powers © Hidekazu Himaruya
mengadaptasi latar dari Mawaru Penguindrum © Ikuhara Kunihiko & Brain's Base Studio
ditulis untuk challenge "World and Beyond" dari Ferra Rii
warning: OOC. Pairing belum jelas. Lebay, dengan bumbu unsur surreal dimana-mana. Rude words. Plot ngalor-ngidul. OK? Jika OK, silakan lanjutkan.
[ tidak ada keuntungan materiil yang diperoleh dalam penulisan fanfiksi ini ]
CHAPTER 1
The Bell of Fate Tolls
Matthew Williams membenci kata 'takdir'.
Baginya, kata takdir terlalu sering disalahgunakan sebagai alibi untuk tidak bersyukur atas apa yang sudah kita dapatkan dalam hidup ini. Kata takdir adalah kata yang paling sering disalahkan atas nasib buruk—padahal bisa jadi nasib buruk itu adalah kesalahan manusia itu sendiri—dan kata takdir juga adalah kata yang sering dibanggakan atas nasib baik—bilangnya mungkin takdir, niatnya mungkin pamer. Konsep takdir sendiri bagi Matthew, adalah suatu ketidakjelasan. Hanya bayang kabur di tengah kepulan asap yang tebal. Bayang kabur yang membuat Matthew mempertanyakan eksistensinya—apakah yang nyata itu kebetulan, takdir, atau keduanya? Jika keduanya benar nyata, Matthew tak pernah berpikir bagaimana kedua hal yang saling berkontradiksi itu bisa berjalan dalam satu rel yang sama, saling meleburkan diri sehingga konsep dan definisi dari masing-masing mereka berada dalam area remang.
"Selamat pagi, Kak Matthew!"
"Pagi, Lily. Kau mau kubuatkan apa untuk sarapan hari ini?"
Meskipun begitu, Matthew sendiri mengakui kalau hidup yang dijalaninya sekarang juga takdir. Terlahir sebagai putra dari keluarga Williams—sebuah keluarga yang bisa dibilang hidup berkecukupan untuk ukuran penghuni tanah Vancouver, ia tak pernah merasakan kekurangan harta, meskipun kekurangan afeksi orang tua sering ia rasa. Ditinggalkan orangtuanya bepergian ke luar negeri mengurus bisnis keluarga—bahkan kali ini pun, orangtuanya lebih memilih mengurus bisnis mereka di Jepang dibanding sekadar mengobrol dengan putra-putrinya—adalah hal biasa. Namun tentu saja, ia tak kesepian—karena ia punya dua saudara yang membuat hari-harinya penuh warna meski tanpa kehadiran orang tua.
"Umm… aku mau pancake~ sirup maple-nya yang banyak ya, Kak!"
Matthew mengiyakan permintaan adiknya itu dengan sebuah anggukan singkat. "Oke, satu porsi pancake dengan sirup maple ekstra segera datang… tapi sebelum itu, lebih baik kau bangunkan dulu Kak Feli—"
"Aku sudah bangun, veee~!" satu kalimat itu datang bersamaan dengan sebuah pelukan erat secara tiba-tiba yang nyaris membuat Matthew menjatuhkan wajan teflon yang sedang ia pegang, namun untunglah kemampuan Matthew untuk mengontrol tubuhnya membuat wajan teflon itu urung mencium lantai keramik dapur yang licin dan dingin—siapa yang tak terbiasa untuk mengontrol keseimbangannya jika diberikan pelukan tiba-tiba, macam petir yang menyambar, setiap hari? "Mau buat pancake ya, Matt? Aku juga mau dong, ve~"
Matthew mendesah pelan, kedua lengan sang kakak masih setia melingkari lehernya. "Ya, ya… nanti kubuatkan. Tunggulah di ruang makan dengan tenang, dan sebaiknya kau cepat kerjakan PR Matematikamu sebelum Miss Hedervary menghukummu lagi, Kak."
"Iya~iya~ kau bawel sendiri seperti ibu-ibu, ve~"
"Ugh! Jangan peluk aku semakin erat, nanti aku ketularan virus pemalasmu, Kak!"
Feliciano Williams. Kakak kembar Matthew yang sifatnya jauh lebih kekanakan dan pemalas dibanding Matthew, dan sifatnya yang kekanakan itu membuat Lily memanggil Matthew "Kak Matthew" dan Feliciano dengan "Feli" saja. Jika Matthew lebih senang memasak di dapur atau mencuci pakaian, Feliciano lebih senang tidur-tiduran santai di depan televisi sehabis makan, mengacuhkan peringatan Lily kalau ia bisa berubah menjadi sapi karena terlalu sering bermalas-malasan. Sifat malas akut Feliciano itu disebut Lily dan Matthew sebagai "virus pemalas Feli" dan sering mereka gunakan sebagai satir demi meminimalisir kemalasan sang anak sulung, namun satir itu hanya sampai pada saluran telinga pemuda bersurai cokelat dengan ahoge melingkar itu.
Lincah, tangan Matthew menuangkan adonan pancake ke dalam wajan teflon yang sudah dipanaskan di atas api sedang dan menguarkan aroma mentega cair yang khas. Suara desis mentega yang bertemu adonan menggema di dalam dapur, menjadi musik tersendiri bagi telinga Matthew. Senyum kecilnya terulas ketika telinganya pun turut menangkap suara Lily yang tengah bercanda ria dengan Feliciano di ruang makan—yang sebetulnya bukan ruangan karena bersatu dengan pantry tempat Matthew memasak ini.
Memiliki Feliciano dan Lily sebagai saudara, merupakan takdir yang sangat membahagiakan bagi Matthew. Ia bisa tertawa bahagia hanya jika bersama mereka. Ia bisa bangkit dari keterpurukan karena kata-kata berharga dari kedua saudaranya. Meskipun Feliciano jauh lebih kekanakan, meskipun Lily terkadang manja dan cerewet, mereka adalah orang yang sungguh sangat berharga bagi Matthew. Dua orang yang dengan merekalah ia ingin bisa selamanya bersama.
"Dua porsi pancake dengan sirup maple ekstra segera datang~"
"Horee!"
Kebahagiaan itu ternyata memang sangat sederhana.
Hanya dengan melihat Lily berseru "Selamat makaaan!" dengan girangnya, cukup untuk membuat Feliciano dan Matthew tersenyum gemas atas tingkah laku sang putri bungsu. Matthew sendiri betah melihat ekspresi bahagia adiknya ketika melahap potongan pancake-nya, sampai ia nyaris lupa untuk memakan pancake miliknya sendiri.
"Seperti biasa, enaknya maksimal!"
Entah darimana Lily mendapatkan ide untuk melontarkan pujian dengan kata-kata itu, namun setiap hari itulah yang dikatakan Lily ketika memakan makanan buatan Matthew. Ia tak bosan memuji dengan kata itu, dan Matthew pun tak pernah bosan mendengar pujian yang bisa terlontar tiga kali sehari dari mulut Lily. Bahkan, kadar kebahagiaan Matthew saat mendengar pujian itu makin bertambah setiap harinya.
Feliciano memutar mata sambil mengunyah pancake-nya. "Kau tahu, aku bisa memasak lebih baik daripada Matt bahkan dengan mata tertutup ve," gumamnya dengan artikulasi tidak jelas karena mulutnya masih sibuk melumat substansi padat manis beraroma sirup maple itu.
"Oh ya? Aku tak tahu apakah aku harus percaya omongan orang yang bicara sambil makan." kini giliran Lily yang memutar matanya dengan ekspresi satir. "Feli kan cuma bisa masak pasta instan, buat omelet saja masih sering hangus—"
"Eeeh, saat itu aku kan ketiduran ve!"
"Koki macam apa yang ketiduran saat memasak?"
"Aku kan bukan koki ve."
"Nah, kalau Feli sendiri mengakui kalau Feli bukan koki, berarti Kak Matthew jauh lebih hebat daripada Feli~" Lily segera mengambil kesimpulan dalam kesempatan emas untuk "menjatuhkan" pernyataan Feliciano tadi. "Soalnya bagiku, yang bisa mengalahkan masakan Kak Matthew hanya koki-koki luar biasa yang bekerja di restoran bintang lima, yang sering aku lihat di televisi itu lho! Aah, sekali-sekali aku ingin makan makanan buatan mereka~"
"Lho, kita kan pernah makan waktu itu, Lils," sahut Matthew usai menelan suapan pertama pancakenya. "Kau ingat ketika Mom dan Dad mengajak kita makan malam saat perayaan ulang tahunku dan Kak Feliciano yang ke-13? Kak Feliciano kan memaksa Mom dan Dad agar kita makan malam di restoran bintang lima hanya karena orang-orang bilang pasta disana enak—"
"Hei, masa lalu jangan diungkit-ungkit lagi ve!"
"Oh iya, aku ingat!" seru Lily dengan wajah cerah. "Waktu itu kan Feli sampai tak bisa makan lagi karena kekenyangan, siapa suruh pesan porsi orang dewasa, double pula…"
Feliciano hanya bisa cemberut mendengar suara tawa Matthew dan Lily yang ditujukan padanya, meskipun di dalam hati sebetulnya ia ingin tertawa juga. Ternyata benar kata orang, kalau kau tidak melakukan suatu hal yang memalukan kau tidak akan punya hal yang bisa kau tertawakan bersama orang lain di masa depan.
"Bicara soal jalan-jalan keluarga…"akhirnya tawa Lily reda, dan intonasi yang dipakainya untuk mengatakan kalimat barusan menandakan kalau ia ingin memulai pembicaraan serius. " …sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan sebagai keluarga, iya kan, Kakak-kakak?"
Feliciano mengangguk-angguk sembari mengingat-ingat kapan terakhir kali mereka berwisata ke suatu tempat sebagai satu keluarga—satu tahun yang lalu mungkin? "Benar juga, ve…"
"Kau ingin pergi ke suatu tempat, Lily?" tanya Matthew sembari membereskan piring-piring kotor di atas meja makan dan dibawanya ke mesin pencuci piring yang terletak di dekat pantry.
"Aku ingin melihat penguin…"
"Hah?" Matthew mengangkat alisnya. "Penguin?"
"Katanya di kebun binatang sekarang ada penguin, aku ingin lihat…"
"Boleh, boleh saja sih…" Matthew mengiyakan, tanpa bertanya lebih jauh lagi mengapa harus penguin, bukannya binatang lain. "Tapi jangan hari ini ya, hari ini kan kami—"
"—YA AMPUN! SEKOLAH!"
Lily menguap malas mendengar tiga kata itu keluar bersamaan dari mulut kedua kakaknya yang kini sudah mulai panik karena jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat, tidak habis pikir kenapa kedua kakaknya itu bisa melupakan kewajiban mereka bersekolah hanya dengan percakapan sederhana di atas meja makan. Matthew cepat-cepat menghabiskan pancakenya sementara Feliciano menyambar kotak susu dari lemari es dan meminumnya cepat-cepat.
"Kakak! Jangan minum susu dari kotaknya! Kebiasaan, deh!"
"Ini kan situasi darurat! Salahmu sendiri karena tidak menyiapkan cangkir untuk susu ve~!"
Tanpa sadar Lily tersenyum sendiri melihat tingkah laku kedua kakaknya itu.
"Kami berangkat ya, Lils!"
"Matt! Aku lupa menyalin PRmu ve!"
Namun di balik senyumannya, salah satu sudut hati Lily seolah tersayat pisau. Perih. Luka sayatan yang sebetulnya sudah lama, namun tetap saja terasa perih.
"Hati-hati di jalan, kakak-kakak…"
Ah, betapa Lily merindukan rasanya pergi ke sekolah.
"Ah, lihat penguin yang di sana itu, Kak! Lucu sekali ya~!"
Energik sekali Lily hari ini. Feliciano dan Matthew meluangkan akhir minggunya untuk berjalan-jalan bertiga bersama Lily ke kebun binatang, dan Lily senang sekali. Begitu memasuki gerbang kebun binatang, gadis bersurai pirang sepanjang bahu itu langsung melesat menuju tempat penguin sampai-sampai Matthew harus mengejarnya untuk mengingatkan agar tidak berlari-larian, namun peringatan Matthew itu masuk telinga kiri keluar telinga kanan bagi Lily. Anak itu tetap lincah berlari kesana-kemari, suatu hal yang tak akan dilihat Matthew di kehidupan sehari-hari.
Yah, sekali-sekali mungkin tidak apa-apa.
Lagipula Matthew sendiri rindu melihat Lily berlari-lari lincah seperti itu.
"Feli mana, Kak?" tanya Lily usai mengambil beberapa foto penguin-penguin itu dengan kamera ponselnya. "Aku tidak melihatnya sejak masuk—"
"Ya ampun, kau sampai tak memperhatikan keberadaan Kak Feliciano saking girangnya, ya?" Matthew tersenyum geli sambil mencubit pipi Lily gemas. "Tadi dia mampir ke kedai gelato yang ada di dekat kandang beruang…"
"Eeeeh? Kenapa tidak ajak-ajak aku?" rajuk Lily sambil menggembungkan pipinya.
"Memangnya kau boleh makan gelato, Lils?" goda Matthew.
"Uuuuh…" Lily memajukan bibirnya beberapa senti. "Sekali-sekali boleh, kan…"
Matthew menghela napas, dan akhirnya tersenyum simpul. "Sekali-sekali saja oke?"
"Eh? Kakak mau mentraktirku gelato?"
"Asal jangan bilang-bilang pada Dokter Kirkland, nanti aku yang akan diomelinya."
Binar bahagia berpendar di kedua manik zamrud Lily yang kini melonjak kegirangan. "Asyiik!"
Langkah kaki kedua bersaudara itu kini beriringan dalam suatu destinasi yang sudah tetap—kedai gelato tempat Feliciano bersantai dengan segelas cioccolato all'arancia sambil mengamati tingkah beruang Alaska yang kandangnya tepat di depan kedai itu. Lily terus-terusan mengutarakan dilemanya dalam memilih rasa apa yang sebaiknya ia beli untuk asupan gelato-nya hari ini—apakah chocolate irish mocca gelato atau limone gelato yang segar—sementara Matthew mendengarkan ocehan adiknya sekaligus memberikan saran rasa lain yang bisa Lily coba. Ocehan Lily tentang dilemanya itu terhenti ketika manik zamrudnya mendeteksi tiga sosok aneh di dekat tempat sampah yang dijumpainya di jalan menuju kedai gelato.
Rasa penasarannya mengalahkan rasa hausnya akan gelato, dan rasa penasaran itu menjadi rem tersendiri bagi kakinya untuk berhenti dan mengecek tiga sosok mencurigakan itu. Matthew turut mengerem langkahnya, mengernyitkan dahinya heran melihat sang adik yang berjalan mendekati tempat sampah itu.
"Ada apa, Lily?"
"Duluan saja, Kak," jawab Lily. "Tadi aku melihat sesuatu yang aneh… nanti aku menyusul, kok!"
Matthew menghela napas. Adiknya itu memang punya rasa ingin tahu yang besar—rasa ingin tahu yang kadang menyebalkan. Rasa ingin tahu yang terkadang menjadi alasannya bertindak. "Baiklah, jangan lama-lama ya. Langsung temui aku kalau sudah, oke? Jangan kemana-mana dulu!"
"Iyaaa, Kak Matthew berisik sekali sih, pantas Feli bilang Kakak seperti ibu-ibu."
"Huh."
Sambil sedikit mengumpati Feliciano—yang mulai meledek Matthew seperti ibu-ibu sejak usia mereka 12 tahun—Matthew mendengus dan berjalan meninggalkan Lily yang kini sedang sibuk menginspeksi tiga buah tempat sampah yang berderet itu dengan seksama dalam radius sekitar satu meter dari letak tiga tempat sampah itu. Lily tak pernah tidak mempercayai penglihatannya—dokternya sendiri, Dokter Kirkland, yang bilang penglihatan Lily adalah hal tersehat dalam tubuhnya—sehingga ia yakin betul ada sesuatu di dalam ketiga tempat sampah itu.
Kedua kaki Lily membawanya mendekat, dan ketika ia sudah semakin dekat, tiga tutup tempat sampah itu terbuka dalam waktu yang bersamaan dan dari sana tersembul tiga buah kepala—
—kepala penguin.
"Heee?"
Gadis itu mundur setengah langkah karena terkejut. Bahkan di televisi yang penuh absurditas dan anomali pun, ia tak pernah melihat penguin—tiga ekor penguin—muncul dari tempat sampah. Dan satu diantara tiga penguin itu memakai semacam… oke, jepitan rambut, dengan hiasan bunga lili putih.
Penguin dengan jepit rambut lili putih itu (tolong jangan dipikirkan bagaimana caranya penguin bisa memakai jepit rambut, karena penguin yang muncul dari tempat sampah saja sudah terhitung kejadian absurd) keluar dari tempat sampahnya, lalu berjalan pelan mendekati Lily yang terpaku di tempatnya, melepas jepitan lili putih itu dan menyodorkannya pada Lily.
"…Eh?" Lily mengernyitkan alisnya. "Ini… untukku?"
Suara kursi yang digeser membuat Feliciano mengalihkan pandangan dari layar ponselnya yang sudah lima belas menit ditekuninya untuk menyelesaikan beberapa level game Angry Birds, dan segera berteriak protes melihat Matthew—yang kini duduk di depannya—mengambil sendok dan menyuap sesendok dari cioccolato all'arancia miliknya.
"Hei, itu punyaku ve~!" protes Feliciano sementara Matthew memasang tampang cuek sambil menyendok kembali gelato dengan rasa perpaduan cokelat dan jeruk itu.
"Aku tahu, kalau bukan punyamu mana berani aku ambil," ujar Matthew kalem. "Enak juga. Ternyata kau memang punya selera bagus soal gelato, Kak."
Feliciano mencibir. "Harganya juga "enak", tahu. Beli sana sendiri, ve."
"Nanti, tunggu Lily."
"Eh?" alis Feliciano terangkat mendengar penuturan adiknya barusan. "Memangnya dia kemana? Bukankah dia selalu bersamamu sejak awal, ve?"
"Tadi dia berhenti sebentar di depan tempat sam—"
Ucapan Matthew terpotong oleh suara ribut-ribut yang tiba-tiba terdengar dari luar kedai. Karena Feliciano memilih untuk duduk di tempat duduk outdoor, mereka bisa mendengar dengan jelas suara ribut-ribut dan melihat dengan jelas orang-orang berkerumun di satu titik. Matthew menoleh penasaran kepada kerumunan orang yang tampak penasaran itu, dan telinganya tanpa sengaja mencuri dengar percakapan antara dua orang yang berada di dalam kerumunan itu.
"Ada apa?"
"Ada seorang anak perempuan pingsan di sana…"
"Orangtuanya?"
"Entahlah, mungkin ia terpisah dari orangtuanya. Katanya denyut nadinya pelan sekali…"
Deg. Firasat buruk menjalari batin Matthew, namun Feliciano tak butuh firasat buruk untuk melompat dari kursinya lalu berlari secepat kilat menuju kerumunan itu, sambil berteriak kesal.
"Sudah kubilang jangan jauh-jauh dari Lily, Matthew!"
Nama "Matthew" yang dilontarkan Feliciano barusan merupakan indikasi kalau Feliciano marah padanya—rasanya sama ketika kau mendengar orangtuamu memanggilmu dengan nama lengkap—dan rasa bersalah segera menjalar dalam batin Matthew.
"Grr… oke, maafkan aku!"
Ia pun turut berlari menyusul kakaknya, dan ternyata firasat buruknya memang benar.
(Semuanya berawal ketika umurnya 13 tahun, dua tahun yang lalu. Adikku Lily terserang demam yang tak sembuh dalam dua malam—butuh satu minggu. Satu minggu penuh adikku terserang demam. Saat itu orangtuaku sedang dalam urusan bisnis di Manhattan, dan tentu saja, sebagai anak sulung, akulah yang bertanggung jawab atas keadaan adik-adikku. Aku membawa Lily ke rumah sakit, menembus hujan deras yang sudah tiga jam tak reda.)
"Penyakit… langka?"
Dokter dengan alis berlapis enam di hadapan Feliciano itu hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Feliciano barusan.
"…belum ada obatnya?"
"Untuk saat ini belum," gumam Dokter Kirkland sambil menggelengkan kepalanya. "Memang, untuk saat ini dunia kedokteran sudah terbilang maju, tapi masih ada banyak sekali penyakit yang belum bisa kami ketahui obatnya. Riset untuk penyakit ini sendiri masih berjalan, dan sering sekali menemukan jalan buntu."
Keheningan menyeruak di ruang sempit dengan cahaya remang itu. Hanya desis dari mesin X-ray yang terdengar dalam keheningan tersebut. Feliciano tertunduk, pandangannya terpusat pada kepalan tangannya yang ia letakkan di atas paha. Tetesan air dari rambutnya yang basah jatuh ke atas kepalan tangannya yang bergetar.
"Kira-kira… berapa lama lagi?"
Ia gemetar. Ia takut. Ia marah.
"…tidak akan lebih dari dua tahun, saya rasa."
(Aku takut kehilangan Lily, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa… aku sangat membenci diriku sendiri saat itu.)
"Kakak…"
"Lily, bertahanlah…"
Feliciano memegangi tangan kiri Lily dengan erat, seolah jika ia melepaskan genggamannya, Lily akan pergi. Matthew berada di ujung lain ruangan dengan ponsel di tangan, tengah menunggu orangtuanya mengangkat teleponnya. Ini sudah kali ketiga Matthew mencoba menghubungi orangtuanya, namun tetap saja hasilnya percuma. Suara pip-pip dari elektrokardiograf menggema dalam keheningan ruangan itu, membuat Matthew terserang paranoid—alat itu bisa saja mengeluarkan bunyi piip panjang pada waktu yang tak terduga…
Pip!
"Halo, Mom?"
Untunglah percobaan keempat Matthew untuk menelepon orangtuanya tak berakhir sia-sia.
"Mom, Lily sedang di rumah sakit—apa? Belum bisa pulang… tapi Mom sudah janji hari ini akan pulang! Ada urusan tambahan? Mom, kau punya anak yang sedang sekarat di rumah sakit, please! Ah—ah… iya. Maafkan aku. Ya. Oke, aku minta maaf. Jadi… benar tidak bisa ya… Oke. Bye."
Helaan napas pasrah Matthew dan Feliciano terdengar bersamaan dalam sebuah harmoni. Sulit memang. Di saat seperti ini, Lily juga butuh orangtuanya. Matthew menghampiri ranjang Lily yang terbaring lemah, berusaha mempertahankan kesadarannya—karena ia masih ingin mendengar kedua kakaknya bicara padanya, melihat mereka tersenyum dan tertawa bersamanya, demi merekalah Lily berusaha untuk tetap bertahan hidup. Meskipun itu sulit. Meskipun tubuhnya sudah kalah oleh penyakitnya, tapi jiwanya tidak.
"Mom dan Dad… tak bisa pulang… ya?"
Pertanyaan lirih itu terlontar dari bibir mungil Lily yang mulai memucat. Matthew menelan salivanya gugup, membasahi kerongkongannya yang kering sembari otaknya berpikir keras bagaimana sebaiknya menjawab pertanyaan Lily barusan—apakah harus ia jawab apa adanya atau dengan dusta.
"Emmm…"
"Mereka… pasti sangat sibuk, ya…" Lily bergumam di sela-sela hela napasnya yang tersengal. "Kalau mereka pulang nanti… bilang pada mereka kalau aku sangat berterima kasih pada mereka ya, Kak…"
"Li—"
Piiiiiip.
Suara yang paling tidak ingin mereka dengar dari elektrokardiograf itu pun akhirnya terdengar.
"Makanya aku benci kata 'takdir', Kak."
"Meskipun begitu tetap saja kita tak bisa melakukan apa-apa, Matthew. Belajarlah menerima kenyataan…" Feliciano merogoh sakunya dan mengambil ponselnya. "Yang penting sekarang lebih baik kita hubungi dulu Mom dan Dad, lalu mengurus pemakaman—"
Belum selesai kalimat Feliciano barusan, sebuah bogem mentah mendarat di pipinya sampai pemuda itu terjengkang dari kursinya. Belum sempat Feliciano menyadari apa yang terjadi, Matthew sudah menarik kerah kemeja Feliciano sampai kakaknya itu bisa melihat dengan jelas kilat amarah di kedua mata Matthew.
"Bisa-bisanya kau bersikap sesantai itu—tidakkah kau sadar kalau Lily sekarang—sekarang—"
"Aku sadar, makanya aku bisa bilang seperti itu!" seru Feliciano kesal sambil menyingkirkan tangan Matthew yang tengah mencengkeram kerah kemejanya. "Buka matamu. Belajarlah hadapi kenyataan, jangan bertingkah cengeng dan pengecut seperti ini. Lily juga tak akan senang melihatmu bertingkah seperti ini, tahu."
Lutut Matthew yang bergetar lemas jatuh ke lantai, wajahnya pucat dan matanya berair. Belum pernah seumur hidup ia merasa seterpukul ini.
"…ku… benci takdir… Kak…"
"Aku juga… tapi aku sudah bilang kan, kita tidak bisa berbuat apa-apa…"
Waktu Lily memang sudah habis, dan tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mengembalikan waktu tersebut. Karena bagaimanapun juga, orang yang sudah mati, tak bisa hidup kembali—
.
"SURVIVAL STRATEGY~!"
.
Alunan musik elektropop mendadak menggema dalam ruangan yang tadinya hening dan suram, membuat Feliciano dan Matthew terlonjak kaget. Ruangan yang tengah mereka tempati saat ini mendadak seolah terhisap ke dalam sebuah lubang tak kentara, digantikan dengan dimensi penuh warna-warna ceria seperti kuning dan merah muda. Penuh pola bintang, taburan konfeti, dan boneka-boneka teddy bear dwiwarna. Kini di bawah kaki Feliciano dan Matthew terhampar lantai dengan ubin transparan yang disusun mengarah pada suatu benda mirip singgasana yang dikelilingi oleh tiga ekor penguin, seolah belum cukup absurditas yang dimiliki dimensi ini.
.
"IMAGINE~!"
.
Memang belum cukup.
Alunan musik elektropop tersebut berhenti dan tiba-tiba tangan Feliciano serta tangan Matthew masing-masing terborgol oleh sebuah borgol putih yang entah datang dari mana. Belum selesai kebingungan mereka, mereka sudah bisa melihat Lily—ya, Lily Williams adik mereka, dengan keadaan tak kurang suatu apapun—duduk di atas singgasana dengan kostum yang tidak akan pernah mau dipakai Lily seumur hidupnya meskipun ia dibujuk dengan satu pabrik gelato sekalipun. Matthew sendiri melongo melihat Lily memakai pakaian semodel pakaian renang sekolah dengan renda di sana-sini, sepasang sarung tangan hitam dan semacam rok yang mengembang di bagian belakang namun tidak menutupi bagian depan kaki Lily sehingga tungkai mungilnya bisa terlihat dengan jelas. Sebuah jepitan rambut berbentuk bunga lili putih tampak tersemat di sela-sela surai pirangnya. Sementara Feliciano menyadari warna mata Lily yang berubah—dari zamrud cemerlang menjadi cokelat bercahaya.
"Lily" yang duduk di depan mereka kali ini tidak memberikan waktu bagi Feliciano dan Matthew untuk beradaptasi terlebih dahulu dengan situasi yang serba asing (dan absurd) ini.
"Hei, rakyat jelata yang tak akan pernah bisa jadi berharga," serunya lantang, sambil menunjuk tepat ke arah dimana Feliciano dan Matthew berdiri. "Kalau kalian ingin adik brengsek kalian selamat, berikan padaku Penguindrum."
"Lils!" Matthew menyahut, tampak sangat gusar dengan kata-kata adiknya barusan. "Aku tidak pernah mengajarkanmu untuk bicara kasar—"
"Ck, cerewet."
Sepatah kata setajam belati bagi Matthew.
"Dengar ya, aku sama sekali bukan adik brengsekmu ini," Lily—yang entah sedang kerasukan apa—bangkit dari duduknya dan berjalan ke tempat Williams bersaudara berdiri. "Aku bukan adik kalian. Aku adalah Tujuan dari Takdir kalian. Akulah yang membuat tubuh ini bisa bergerak kembali—bahkan aku bisa menghidupkan adik kalian kembali. Dengan satu syarat."
Emfasis di kalimat terakhir dari sang entitas tak dikenal yang kini mendiami tubuh Lily itu membuat Matthew bergidik tanpa alasan.
"Berikan padaku Penguindrum, dan adik kalian yang tak berguna ini akan selamat."
"..tt? Matt?"
Sebuah guncangan pelan yang diterima Matthew di bahunya membuat pemuda itu tersadar. Kepalanya pening—seolah ia baru bangun dari tidur panjang selama lebih dari dua belas jam. Matthew butuh waktu sekitar satu menit untuk menyadari dimana dirinya sekarang—di kamar rumah sakit Lily, duduk di atas kursi di samping ranjang dengan kepala tertelungkup di atas kedua tangannya yang ada di sebelah tubuh Lily, posisi yang sama dengan posisimu ketika kau tidur di ruang kelas.
Yang tadi itu—cuma mimpi?
Matthew melihat sekelilingnya, dan suara pip-pip teratur dari elektrokardiograf membuatnya kaget. Baru saja ia memutuskan untuk menerima kenyataan bahwa Lily sudah meninggal, ia kini dihadapkan pada tubuh Lily yang—menurut alat-alat monitor yang bekerja di sekelilingnya—masih bernyawa. Yang mana yang ilusi dan yang mana yang kenyataan?
"Tadi aku mimpi—"
"Kalau kau mimpi melihat Lily meninggal lalu hidup lagi, membuat kita terjebak dalam sebuah dimensi norak penuh warna dan tiba-tiba Lily bicara kasar pada kita, aku juga melihat mimpi itu ve."
Matthew terdiam.
"Yang benar saja…"
Bukan suatu hal yang wajar jika kau melihat "mimpi aneh" itu dan kakak kembarmu juga melihat "mimpi" yang sama. Terlebih ketika Dokter Kirkland pun turut memberitahu mereka kalau mereka baru saja melihat keajaiban—Lily benar-benar mati lalu hidup kembali, bahkan dengan kondisi yang jauh lebih stabil dibanding sebelumnya. Cukup untuk membuat Feliciano dan Matthew sampai pada kesimpulan kalau kejadian di dimensi penuh warna tadi bukanlah sebuah ilusi.
Suara Lily, yang dirasuki entitas yang mendefinisikan dirinya sebagai "Tujuan dari Takdir" mereka, masih setia bergema dalam pikiran Matthew.
("Berikan padaku Penguindrum, dan adik kalian yang tak berguna ini akan selamat.")
Semua itu terlalu nyata untuk disebut ilusi.
.
.
to be continued
.
a/n: Kepanjangan kah? Masalahnya memang chapter 1 ini nggak bisa dibagi dua… ;w;
Saya memutuskan buat ngebut project ini dan rencananya selesai sebelum 2013, soalnya tahun depan saya pasti udah sibuk nyiapin UN dan SNMPTN. Fanfic multichap saya yang lain pasti dilanjutin kok, tapi abis SNMPTN uwu
Dan… MawaruPenguindrum!AU. Well, saya memang ada misi tersendiri bikin fanfic Hetalia dengan setting ini, yaitu menyebarkan virus Penguindrum /OI Tapi suer loh, ini anime bagus tapi jarang banget orang yang tahu. Padahal ga rugi loh nonton anime satu ini orz /promosi
