Sakura Haruno bungkam, lidahnya terasa kaku membantah ucapan pemuda di depannya.

"Aku takkan membiarkan sahabatku menanggung sendiri kesalahan kalian, Sakura. Apalagi kau meninggalkan mereka demi Uchiha brengsek itu. Tidak akan pernah, Sakura."

"Gaara―"

"Kau emang egois," serunya sebelum beranjak pergi.

"―aku tidak bisa, karena aku tak mencintainya, Gaara," gumam Sakura.

Tes.

Air mata itu menyeruak dari tempatnya tanpa bisa ia bendung.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto


Izinkan Aku Mencintaimu


Sang surya sudah kembali ke peraduaannya sejak beberapa menit yang lalu, tapi nyatanya mereka belum beranjak dari tempat duduknya. Duduk saling menatap di sebuah café di tengah hiruk pikuknya kota Konoha.

"Sakura..."
Bibir yang sedari tadi terdiam kini melafalkan nama gadis yang tengah menatap sendu ke arahnya.

"Kalian bertengkar lagi?" tebak sang pemuda.

"Gaara tak merestui hubungan kita, Sasuke-kun." Ia menghela nafas berat, "―dan tanpa restunya kita tak mungkin menikah karena ia satu-satunya keluargaku selain nenek di Suna," lanjutnya sedih.

Uchiha Sasuke turut menghela nafas, ia tak mengerti mengapa saudara kembar kekasihnya―Gaara tak pernah menyukai hubungan mereka. Jujur, ia tak pernah membuat masalah dengan pemuda berambut merah itu. Tapi kenapa ia merasa dianggap pengganggu.

"Sasuke-kun."

Sebuah genggaman tangan sang kekasih membuyarkan lamunannya.

"Hn?"

"Aku harus pulang sekarang, Sasuke-kun. Maaf tidak bisa menemanimu," ungkap Sakura.

"Hn."

Sang gadis beranjak dari duduknya, sebelum ia bawa kakinya melangkah genggaman tangan Sasuke menghentikan niatnya.

"Aku antar kau pulang, Sakura," pinta Sasuke.

Dan senyum sang Haruno kini mengembang.


Cengiran itu tetap seperti 4 tahun yang lalu, tetap penuh kekonyolan dan tetap bodoh menurut Gaara. Tapi nyatanya pemuda yang kini ada di depannya tetap pemuda yang ia kagumi―Uzumaki Naruto.

Setelah lama mereka tak bertemu―hanya berhubungan lewat telepon kini sepasang sahabat karib tengah melepas rindu dengan sebuah pelukan.

"Hei, hentikan Gaara. Kau memelukku seperti sepasang kekasih tahu," kelakar sang Uzumaki.

Kedutan emosi hinggap pada diri sang pemuda berambut merah. Lengkap dengan lirikan maut ia melepas pelukannya, tak ayal Uzumaki Naruto tertawa karenanya.

"Berhenti menertawaiku, Naruto," sengit Gaara.

"Hahaha...hmmpf...maaf...maaf Gaara. Kau tahu ekspresi kesalmu itu mengingatkanku pada waktu SMA dulu. Hahaha..." Tawa Naruto membahana di depan pintu kediaman Haruno.

Gaara tersenyum miris mendengar penuturan Naruto.

"Ya, sebelum kau meninggalkan kami dengan membawanya, Naruto," lirihnya.

"Ehh?" Naruto menghentikan tawanya menatap Gaara yang seperti mengucapkan namanya.

"Aku hanya menyesalkan kenapa kau kabur dengan membawanya, Naruto," ungkap Gaara.

Uzumaki Naruto terdiam, bibirnya seakan tak mampu melafalkan sebuah pembelaan.

"Gaara, aku―"

Belum sempat Naruto berucap, sebuah mobil berwarna hitam menginterupsi ucapannya. Ia menoleh ke arah mobil dan kembali menoleh ke arah Gaara yang terlihat seperti menahan amarahnya. Dan entah kenapa melihat itu semua berlomba-lomba detak jantungnya meningkat.

"Sa―sakura," lirihnya kemudian.

.

.

.

.

Sakura turun dari dalam mobil, melambaikan sebelah tangannya ketika mobil itu mulai menghilang dari pandangannya. Hari ini sangat melelahkan. Mulai dari kuliahnya yang tengah padatnya, pertengkaraan dengan saudara kembarnya, tapi ia bersyukur ada Sasuke yang selalu menemani dan mendukungnya. Beruntungnya ia memiliki kekasih seperti Sasuke.

Perlahan ia berbalik, melangkah ke arah pintu rumahnya. Tapi itu semua hanya rencana awalnya karena sebelum melangkah ia telah membatu di tempat. Menatap kosong ke arah pemuda berambut pirang yang juga tengah menatapnya lekat.

Ia kembali.

Sang masa lalu telah kembali.


"Kenapa kau tak memberitahuku kalau dia ada di Konoha, Gaara," tuntut Sakura penuh amarah.

"..."

Sakura mendengus kesal mendapati saudara kembarnya enggan menjawab.

"Jawab, Gaara. Jawab aku. Kenapa kau selalu merusak kebahagiaanku," teriak Sakura kalap.

Kepala merah itu mendongak, menatap penuh mencela ke arah Sakura. Gaara bangkit dari duduknya, sepasang bola matanya menatap lekat Sakura. Ia mendekat semakin mendekat hingga hidung keduanya seakan bersentuhan.

"Bukan aku yang menghancurkan hidupmu, Sakura, tapi keegoisanmu," bisiknya kemudian.

Wajah Sakura mengeras ketika alunan suara Gaara mampir dalam pendengarannya. Ia diam, tetap diam meskipun orang yang mengucapkannya telah pergi.


Haruno Sakura memulai paginya dengan berantakan. Terlambat pada mata kuliah yang penting, hambir terjatuh karena melamun di tengah jalan dan yang terpenting Gaara yang tengah mendiamkannya bahkan enggan untuk menoleh atau hanya sekedar bertegur sapa. Jujur saya, Sakura merindukan Gaara yang dulu. Gaara yang selalu ada ketika ia berkeluh kesah, Gaara yang selalu membantunya, bukan Gaara yang kini ingin menghancurkan kebahagiaannya―bersama Sasuke.

"Sakura-chan."

Sakura menoleh, mendapati teman satu jurusannya tengah berjalan ke arahnya. Ehh, mata emerald Sakura menyipit mendapati jemari Hinata tengah bertautan dengan jemari mungil bocah laki-laki yang tengah bersamanya.

"Boleh kami gabung di sini, Sakura-chan," tanya Hinata.

"Tentu." Senyum sang Haruno mengembang.

Hyuuga Hinata menarik kursi dan dengan telaten mendudukkan bocah laki-laki itu sebelum ia menggambil tempat duduknya sendiri. Dengan berbinar-binar ia menatap bocah laki-laki yang tengah bersamanya. Mengabaikan Sakura yang tengah menatapnya heran.

"Ah, Sakura-chan, kenalkan ini Shiro anak dari itu...ano..." Mendapat gelagat teman satu jurusannya yang tengah bersemu merah dengan kedua ujung jari yang saling bertautan, Haruno Sakura terkikik geli.

"Aku tak menyangka laki-laki pujaanmu adalah om-om, Hyuuga Hinata. Kukira cowok sekelas keluarga Uchiha atau anak pejabat lainnya, bukan malah om-om genit yang suka daun muda," kelakar Sakura sembari tertawa.

Hyuuga Hinata merengut kesal, "Dia bukan om-om, Sakura-chan. Umurnya masih 21 tahun―"

"―dan aku harus mengatakan kalau dia membawa sebuah paket dalam hidupnya. Bukan begitu, Hinata-chan," lirik Sakura. Dalam hati ia tengah menahan tawa mendapati tingkah putri Hyuuga itu tengah salah tingkah karenanya.

"Hahahahaha..." Tawa Haruno Sakura tak tertahan lagi, "Hinata, jangan diambil hati, akukan hanya bercanda. Hahaha..."

"Sakura-chan, kau menyebalkan," sungut Hinata.

"Maaf...maaf...hehehe..." Sembari menahan tawa Sakura melirik ke arah bocah laki-laki yang entah kenapa terasa familiar di mata Sakura.

"Namamu Shiro ya, kenalkan aku Haruno Sakura," kata Sakura menatap penuh ke arah bocah berumur 4 tahun itu.

.

Sakura menyernyit heran ketika tak mendapati respon dari sang bocah. Untung Hinata yang mengerti situasi langsung mencairkan suasana yang entah kenapa terasa tegang.
"Ah, maafkan Shiro, Sakura-chan, dia memang sulit berinteraksi dengan perempuan apalagi perempuan seumuran kita," jelas Hinata. "Mungkin karena sejak bayi Shiro hanya dirawat oleh ayah jadi dia hanya terbiasa dengan laki-laki," jelasnya lagi lengkap disertai senyum manisnya.

"Oh gitu ya," hela Sakura. Ia merebahkan tubuhnya pada kursi yang tengah ia duduki.

"Aa."


Untuk kesekian kali ia melirik bocah laki-laki itu, entah kenapa ia begitu nyaman ketika dua pasang iris yang ternyata berwarna serupa tengah bersirobok. Mata itu begitu menggemaskan menurut Sakura.

'Anakku nanti punya mata seperti itu tidak ya?' pikirnya senang.

"Sakura-chan, kau melamunin apa sih?" tanya Hinata. Iris lavenderna menelusuri arah mata teman satu jurusannya.

Shiro.

Senyum sang Hyuuga mengembang kala mendapati Sakura, teman yang selama ini ia tahu tak terlalu suka anak kecil. Kata Sakura anak kecil itu merepotkan.

"Aku tak tahu kau ternyata menyukainya, Sakura-chan," kikik Hinata.

Sakura menoleh bingung, "Maksudmu?"

"Shiro. Aku tak tahu kau ternyata menyukai Shiro," tebak Hinata antusias.

Pipi Sakura terasa memanas, entah kenapa ia merasa tertangkap basah. Apalagi mendapati bocah itu tengah menatap ke arahnya juga.

"Hihihi...tidak usah kau tutup-tutupi Sakura-chan, aku rasa kalian ini begitu mirip," Hinata menyeruput jus jeruk di depannya dan kembali menatap Sakura, "apalagi dengan sikap keras kepala dan sikap meledak-ledak kalian. Dia begitu mirip denganmu," sambung Hinata.

Sakura tak tahu harus berkata apa, ia merasa begitu senang ketika disamakan dengan bocah laki-laki itu. Meskipun kesamaan itu sikap buruk Sakura, dan ia yakin banyak orang mempunyai peringai seperti itu di luar sana.

"Hmm..."

"Oh ya Sakura-chan, kami harus pergi. Kurasa ayahnya pasti tengah mencarinya," ungkap Hinata sembari merapikan roknya.

"Tentu―"

"Hinata-chan. Shiro...!"

Ketiga orang itu menoleh ketika sebuah pangilan melengking membahana di ruang kantin itu.

Seorang pemuda dengan senyum 100 watt melangkah menuju mereka.

"Ayaaah..."

Kini Sakura membisu, hanya pandangannya tak mau lepas dari pemuda yang dengan senyum lebar mengangkat sang anak dalam gendongannya.

"Sakura-chan, perkenalkan dia ayahnya Shiro." Sentuhan tangan Hinata mengembalikan kesadarannya.
Ia mendongak, menatap wajah yang tengah memamerkan cengirannya. Tangan kokoh itu terulur ke arah Sakura.

"Uzumaki Naruto," katanya kemudian.

Sakura tak merespon, hanya butiran air mata yang entah kenapa meluncur turun membasahi pipinya.

PLAAAK

Tangan Sakura menggantung di udara, dengan secepat kilat ia mengusap air matanya. Wajahnya mengeras penuh amarah.

"Brengsek kau, Naruto," makinya sebelum pergi.

Dan kini Uzumaki Naruto hanya menatap nanar sosok Sakura yang semakin menghilang dari penglihatannya.

.

.

Bersambung