Aku membencinya!! Jiima. Rivalku. Sial. Kenapa aku harus selalu kalah darinya? Untunglah aku tak sekelas dengannya. Awalnya,aku berpikir begitu. Tapi,nyatanya sial! Tahun ini, aku sekelas dengannya. Bahkan, dia ditunjuk jadi ketua kelas dan aku wakilnya. Benar2 sial. Dia tiap kali melihatku selalu saja tersenyum, seperti meremehkan.
"Nagi, bagaimana laporan uang kas yang semalam kuminta kau buat? Apa sudah selesai?". Huh! Menyuruh orang seenaknya saja!
"Sudah kok. Nih!".
"Wah, kau mengerjakannya dengan baik. Terima kasih, ya."
Huumm. Ternyata dia bisa memuji juga, ah tidak. Dia memang selalu memuji dan tersenyum. Padahal, tidak ada alasan aku untuk membencinya. Aneh.
"Ah, tidak. Memang itu tugas seorang wakil pengurus. Huuhh. Makanya sebenarnya aku tak mau pada waktu dipilih. Membuat repot saja."
"Ha..ha... sepertinya kau tidak suka ya, menjadi wakil pengurus."
"eh, memangnya kau memang berminat pada jabatan ketua? Tak kusangka."
"tidak. Aku menerimanya karena kau yang menjadi wakilnya".
Ee?? Apa maksud orang ini?
"kupikir pasti akan menyenangkan kalau bisa bekerja sama denganmu, dan kurasa, aku tepat."
Bluushh.. sial! Kata2nya benar2 membuatku malu.
"A...apa yang kau katakan?! Dasar bodoh!".
"P...pokoknya kerjaanku sudah selesai. Aku pulang duluan". Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan berjalan cepat dengan muka merah. Saking terburu2nya, kepalaku menabrak pintu kelas.
"Braakkk!!!!"
"aww, sial! Pintu sial!" seruku sambil tetap berjalan cepat. Aku dapat mendengar suara cekikikan Jiima dibelakang. Sial!
"Nagi, apa semalam kau baik2 saja?. Suara benturannya terdengar keras."
"Aku tak apa2. Tak usah khawatir".
Dasar. Kenapa dia harus mengingatkanku kejadian memalukan semalam?.
"Yang lebih penting dari itu, bagaimana menenangkan mereka2 ini?".
Aahh... orang2 di kelas ini ribut sekali. Mereka sama sekali tak memikirkan aku dan Jiima yang berdiri di depan.
"Eee...teman2. mengenai rencana kita untuk pergi ke puncak itu......"
Tak ada seorang pun yang memperdulikanku. Aahh... makanya aku benci melakukan pekerjaan ini.
"Eee..teman2, apa kalian mendengarkanku?".
Aahh...tak ada gunanya. Mereka tetap saja tak peduli.
"Braakkkk!!!!"
"Hei, apa kalian tak mendengar kalau Nagi sedang bicara di depan?! Tutup mulut kalian kalau orang sedang bicara di depan!!".
Siiinggggg.... keadaan kelas langsung menjadi sunyi senyap. Tidak hanya mereka, akupun menjadi terdiam mendengar suara bentakan Jiima.
"Nah, silahkan dilanjutkan, wakil ketua".
"Ah, ii..iya."
Aku hanya bisa terpana melihat Jiima yang tersenyum ke arahku. "orang ini benar2 hebat", pikirku.
"Hei, Jiima. Kau tidak ikut ekskul apapun?".
"Tidak. Memangnya kenapa?".
Hanya tinggal aku dan Jiima berada di kelas. Tentu saja. Soalnya sudah 1 jam berlalu sejak sekolah bubar. Kami mengerjakan laporan kegiatan untuk kegiatan bulan depan.
"Soalnya kau kan berbakat di berbagai cabang olahraga. Aku hanya bingung saja. Banyak kelompok yang menginginkan kau masuk, bukan?".
"Yahh, soalnya malas sih." Dia mengatakannya sambil tersenyum ringan.
Benar2 orang yang santai.
"Aku lebih senang melakukan hal seperti ini, bersamamu." Kali ini, senyumnya benar2 senyum nakal sambil melihat ke arahku dan memangkukan tangannya.
"dasar orang aneh. Padahal kan, kau bisa lebih digemari cewek2 kalau kau menjadi pahlawan di ekskul apapun. Yahh, walaupun sekarang pun penggemarmu sudah banyak."
"Aku tak tertarik dengan hal seperti itu. Aku hanya akan melakukan apa yang aku sukai."
Dia mengatakan itu dengan jujur. Rasanya aku jadi iri. Dia orang yang benar2 jujur pada dirinya sendiri.
Tunggu, kenapa aku jadi memikirkan soal dia? Aah, rasanya aku jadi aneh.
"Aku pulang dulu, ya." Kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. Aku tak mau jadi memikirkan dia lebih jauh diri ini. Nanti aku jadi lebih aneh lagi.
"Sampai besok, Nagi."
"Sampai besok, Nagi." Sosok Jiima yang mengatakan itu sambil tersenyum terus menggaung di kepalaku sambil aku berjalan hendak meninggalkan gerbang sekolah. Rasanya aku jadi senang.
"Aahhhh.... kenapa aku malah jadi memikirkan dia lagi, sih?!"
Saking sibuknya aku menggeleng2kan kepala, menghilangkan pikiran itu, kakiku tersandung batu, dan alhasil....
"Gubraakkk!!!!"
"Aaa...batu sialan!! Kenapa kau harus ada di sini sih?!"
Aku membentak2 batu sial itu, menendangnya sambil mengusap hidungku yang terbentur dengan tanah. Aku tak sadar bahwa Jiima melihatnya dari jendela gedung sekolah dan lagi2 dia cekikikan.
Mata pelajaran keempat. Sejarah. Haahh... membosankan. Tapi, aku harus tetap memperhatikannya. Aku harus bisa mengalahkan Jiima. Aku tak mau selamanya jadi nomor 2. Aku tak mau kalah darinya. Aku melirik ke arah Jiima yang sedang serius menyimak pelajaran. Kami memang tak pernah mengobrol di dalam kelas. Sibuk memperhatikan pelajaran. Yaahh...wajar. Soalnya kami kan murid teladan di sekolah ini. Waktu istirahat pun, kami tak pernah bicara. Jam istirahat artinya jam menyerbu ke kantin. Karena pada jam itu, kantin sudah menjadi lahan perang dunia ketiga. Kalau tidak cepat, dipastikan tidak akan mendapat apa2 kecuali roti nenas dari kios bu Neneng yang rasanya bisa membuat diare selama 2hari. Makanya, waktu kami bisa bicara hanya sepulang sekolah sewaktu mengerjakan tugas sebagai pengurus kelas. Lagipula, hari ini tak ada pekerjaan. Jadi, tak ada alasan untuk aku dan Jiima dapat bicara hari ini. Yaah...aku juga tak terlalu peduli sih, bisa bicara atau tidak dengannya.
"Tess...tesss...."
Wah, gawat! Hujan?! Astaga, aku tak membawa payung ataupun jas hujan. Semoga hujannya sudah berhenti sewaktu pulang sekolah nanti.
"Zaaassssss........"
"Aaahhh...malah makin lebat. Sial!"
Dasar aku bodoh. Padahal ramalan cuaca sudah mengatakan bahwa hari ini akan hujan, tapi aku tak percaya. Sepertinya, hanya aku yang tak membawa payung. Buktinya, sekolahan sudah sepi dan tidak ada orang lain selain aku yang menunggu di depan gerbang menanti hujan reda.
"Hatsyii..!!!"
Aahhh... makin dingin saja. Sebaiknya aku menunggu hujannya mereda di dalam kelas saja.
"zraakk...."
"Eh...?"
Aku kaget. Ternyata sudah ada orang di dalam kelas.
"Jiima? Kenapa kau di sini?"
"Ah...aku tak membawa payung. Soalnya aku tak percaya kata2 ramalan cuaca. Bodoh, ya?! Ha...ha....."
"Ha.... ha..ha..ha..."
"Tidak. Ada 1 orang bodoh yang sama sepertimu." Kataku sambil tertawa geli.
"Aneh ya? Padahal kita 2 orang yang paling pintar di sekolah ini." Katanya sambil ikut tertawa.
"Kau juga menunggu hujan reda di sini?"
"Ah, tidak. Seingatku aku ada menyimpan jaket hujan di laci. Aku sedang mencarinya. Ah, ini dia."
"Heee... ternyata kau menyimpan yang begituan di lacimu? Apa kau tidak takut itu diambil oleh penggemarmu?"
"Yahhh....kalau begitu, tinggal beli yang baru lagi saja, kan?" katanya sambil tersenyum santai.
Aahhh...dasar orang ini.
"Hhmmmsss...ha...ha..ha... kau ini benar2 aneh. Aku benar2 tak bisa mengerti apa yang ada di kepalamu."
"Deg" aku tersentak begitu melihat raut wajah Jiima yang tersenyum melihatku dengan lembut.
"Aku senang kita bisa bicara hari ini. Mungkin aku harus berterima kasih pada hujan, ya."
"A...apa kau katakan sih, bodoh!" mukaku langsung terasa panas begitu mendengar perkataan Jiima.
"oh iya. Apa hidungmu baik2 saja?. Pasti sakit, kan?"
Blluussshhhh......
Di...dia lihat? Dia lihat kejadian memalukan semalam?
Mukaku jadi tambah panas. Sial! Kenapa dia selalu melihatku dalam keadaan memalukan, sih?
"Coba kulihat."
Jiima semakin mendekat ke arahku. Tangannya menuju ke arah wajahku dan menyentuh pipiku. Aku dapat mengetahui, wajahku pasti seperti kepiting rebus sekarang.
Mata Jiima menatap lekat ke arahku.
"Apa? Orang ini mau apa?" begitu pikirku. Belum sempat aku mencerna apa yang sedang terjadi sekarang, wajah Jiima semakin mendekat ke arahku dan bibirnya mendarat di bibirku.
"!!!?"
Kepalaku serasa pusing. Aku tak mampu berpikir apa yang sedang terjadi sekarang. Sekian detik kemudian, aku baru tersadar dan langsung melepaskan diri dari dekapan Jiima.
"Sial!! Apa yang kau lakukan, brengsek?!"
Tidak hanya aku, sepertinya Jiima pun kaget dengan apa yang telah dia lakukan. Setelah terdiam beberapa detik, Jiima mulai tertawa.
"A...Ha..ha..ha.... ternyata begitu ya? Akhirnya aku mengerti sekarang."
"A...apaan?" tanyaku sambil melihat Jiima dengan kesal dan kebingungan.
"Sepertinya, aku menyukaimu, Nagi."sambil tersenyum.
Haahh?? Apa yang orang ini katakan? Aku benar2 nge-hang sesaat. Sepertinya katanya?
Benar2 seenaknya saja.
"Kau gila, ya? Aku ini cowok tahu!!!"
"Terus kenapa?"
"Terus kenapa?! Otakmu sudah tak beres ya? Atau kau benar2 sudah gila? Kau sadar apa yang kau lakukan barusan?"
"Kenapa? Aku hanya mencium orang yang kusukai. Apa itu salah?"
"Jelas2 salah, brengsek!" Aku benar2 marah mendengar perkataannya yang enteng itu.
"Aku tak mau melihatmu lagi!" aku segera beranjak dari tempat itu.
"Nagi, tunggu!!"
Jiima mengejarku sampai gerbang sekolah. Tentu saja aku terkejar. Catatan waktu larinya lebih bagus dariku.
Jiima menutupiku dengan jas hujan miliknya.
"Hujan masih lebat. Kalau kau pulang begitu saja, kau bisa sakit. Besok ada tes. Kau tidak mau kalah dariku, kan?!"
Jiima tersenyum dan berlalu dalam deras hujan setelah mengatakan itu.
"Dia tahu aku menganggapnya sebagai rival. Seharusnya, dia membiarkan saja aku sakit. Dasar bodoh!" Mukaku menjadi merah memikirkannya.
"Jas milikmu kebesaran, bodoh!!" aku sudah seperti orang bodoh yang berjalan di tengah hujan dengan jas hujan yang kebesaran dan muka yang memerah.
Aku mencium bau Jiima dari jas nya dan itu semakin membuatku seperti orang yang terkena demam 40 derajat.
"Sepertinya aku menyukaimu, Nagi."
"Dia pasti hanya mempermainkanku, si sialan itu!!"
Berlanjut di chapter berikutnya......
