Ini adalah fanfiction KHR pertama yang saya buat :) maaf kalau banyak kesalahan dan OOC karakter ^^


For My Family


Summary : Bagaimana jika cincin Vongola yang sebenarnya (yang ada di Future Arc saat Giotto muncul di hadapan Tsuna) sudah berada di tangan Tsuna sejak dulu? Tidak ada yang aneh dari kehidupan Tsunayoshi Sawada—selain masa lalunya yang merupakan anak kandung dari Vongola primo. Terkirim ke masa 400 tahun setelah masa ayahnya, saat Giotto Vongola tewas setelah mengunci kekuatan cincin Vongola dan memberikannya pada Tsunayoshi. Bagaimana jika bukan Tsuna yang menjadi kandidat dari Vongola Decimo karena ia hanya dianggap sebagai anak angkat dari Iemitsu yang merupakan keturunan dari Vongola Primo—tetapi saudara angkatnya?

Disclaimed : KHR © Amano Akira

Rating : T

Genre : Family/Friendship

Warning : Semi-AU, OOC

.

Chapter 1, Our Life

.

Suara langkah kaki kecil yang tampak terdengar pelan itu terdengar menggema di koridor sebuah mansion yang cukup besar itu. Nafasnya tampak terengah-engah, saat berada di depan sebuah pintu yang ada di depannya saat itu.

Senyumannya tampak mengembang sebelum akhirnya membuka perlahan pintu yang ada di depannya saat itu.

"Papa, ini Tsuna!"

Memberikan senyuman paling lebar, melihat kearah seorang pria berambut kuning yang tampak duduk di sebuah kursi dan membelakangi anak itu yang baru saja masuk.

Saat mendengar suara anak berambut cokelat itu, tampak suara kursi yang diputar perlahan. Menunjukkan seorang pria yang mirip dengan anak itu, berambut kuning dengan mata biru langit. Tersenyum—memberikan gestur pada anak itu untuk mendekatinya.

"Bagaimana harimu hari ini Tsunayoshi?"

"Seperti biasa—Hayato-nii dan juga Ryouhei-nii bertengkar, lalu Takeshi-nii mencoba untuk melerai mereka," tampak duduk di pangkuan ayahnya, menceritakannya dengan semangat tentang apa-apa saja yang dilakukan olehnya hari itu, "Lambo menangis karena Hayato-nii memukulnya, karena berisik Kyouya-nii jadi marah dan karena Mukuro-nii menggodanya—malah membuat mereka berdua bertengkar…"

Menghela nafas berat—ayahnya tampak memaklumi apa yang terjadi di mansionnya—yang sudah menjadi kegiatan sehari-hari dari tempat itu.

"Kau tidak terluka bukan Tsuna?"

"Tidak—lagipula menyenangkan melihat mereka kalau bersama seperti itu," tertawa dan melihat ayahnya yang tampak hanya tersenyum tipis, "tetapi kenapa akhir-akhir ini papa tidak bisa bermain bersama dengan Tsuna?"

"Karena papa harus menyelesaikan sesuatu terlebih dahulu—" menghela nafas dan menepuk kepala Tsuna, ayahnya tampak sedih dan juga menyesal karena sesuatu, "—tetapi kalau semua itu sudah selesai, papa akan bermain bersama dengan Tsuna lagi."

"Janji?"

"Tentu saja—" menggendong pelan dan mengecup pelipis dari Tsuna serta menggelitik pelan perut Tsuna hingga anak itu tertawa pelan karena apa yang dilakukan oleh ayahnya.

TOK TOK TOK

Suara pintu itu tampak menghentikan pembicaraan Tsuna dan juga ayahnya—dan saat pintu terbuka, terlihat pria berambut merah pucat hampir pink yang tampak mendekati mereka.

"Giotto, sudah saatnya untuk berkumpul—" ayahnya, Giotto tampak terdiam—senyuman seketika itu terhapus dari wajahnya dan menatap sang tangan kanan sekaligus Storm Guardiannya itu dengan tatapan sedih, "—hei Hayato, Tsuna ada disini!"

"Eh, benarkah—" suara anak kecil lainnya terdengar sebelum langkah dari luar terdengar cukup keras dari dalam. Menunjukkan anak kecil berambut perak yang tampak mirip dengan pria berambut magenta itu, "—Tsuna aku dan yang lain mencarimu kemana-mana!"

"Ah, maaf Hayato-nii—aku ingin bertemu dengan papa…"

"Seharusnya kau menjadi anak yang baik seperti Tsunayoshi, Hayato!" pria berambut magenta itu—G, tampak menatap Hayato.

"Tidak mau kakek tua—untuk apa bersikap baik padamu," melihat bahwa ayah anak itu akan bertengkar kembali, pada akhirnya Tsuna mencoba untuk turun setelah memberikan ciuman di pipi pada ayahnya dan segera mendekati Hayato.

"Ayo Hayato, semuanya pasti juga cemas—"

"Baiklah, aku pergi dulu kakek tua!" walaupun tampak tidak ikhlas, Hayato mencoba menarik celana ayahnya—membuat G membungkuk sebelum Hayato memberikan ciuman singkat juga di pipi ayahnya.

BLAM!

Suara hening setelah pintu tertutup rapat meninggalkan kedua orang dewasa itu sendirian.

"Apakah kau yakin akan melakukan ini Giotto—" G menatap sang Don Vongola yang terdiam tidak menatapnya, "—saat ini aku tidak mungkin berbohong padamu, tetapi—jujur aku tidak menganggap semua ini mudah untuk mengorbankan kebersamaan dengan anak kita…"

"Bukan masalah timbal balik yang akan terjadi pada kita—tetapi apa yang akan terjadi pada mereka—"

"Aku mengerti G," walaupun tampak berat untuk meninggalkan ruangannya, tetapi Giotto mencoba untuk berjalan menjauhi ruangan tempatnya bekerja, "aku sangat bisa mengerti apa yang kau rasakan, karena aku tidak ingin meninggalkan Tsunayoshi…"

G hanya bisa diam dan menghela nafas panjang—

"Tetapi, Vongola semakin menjauh dari kata 'kelompok Vigilate' dan aku tidak ingin mereka terlibat di usia yang sangat muda seperti sekarang," membuka pintu, G menunggu Giotto untuk keluar terlebih dahulu, "satu-satunya cara yang terfikirkan olehku—hanyalah mengunci kekuatan cincin Vongola yang sebenarnya…"

Delapan orang—duduk di sebuah kursi yang mengelilingi meja panjang disana. Delapan orang pemuda berusia 30 tahunan, dan seorang kakek tua yang tampak mungkin memiliki usia diatas 90 tahun.

"Jadi—kita bisa memulainya bukan?"

Semua orang mengangguk, dan mereka menatap kearah kakek-kakek di sisi kanan Giotto itu.

"Tabolt—kau benar-benar bisa menjamin kalau apa yang akan kau lakukan akan berhasil bukan," Giotto mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak akan ada yang terjadi pada anaknya, "kalau sampai semuanya gagal, aku tidak akan bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Tsunayoshi dan juga yang lainnya…"

"Ini adalah hal yang serius Vongola Primo—aku sudah memperhitungkanya dengan tepat apa yang akan terjadi setelah—" jeda panjang yang tercipta karena aura di sekeliling tempat itu tampak drop dan semua orang tampak terdiam, "—setelah kematian kalian…"

"Kalau sampai semua itu gagal, akan kupastikan Hayato membunuhmu pertama kali Tabolt," G menatap Tabolt dengan tatapan tajam.

"Kuharap tuhan selalu melindungi Ryouhei apapun yang terjadi disana," Knuckle menghela nafas berat dan tampak sedih karena itu semua, "kematian adikku sudah cukup membuatnya down…"

"Kuharap Takeshi akan bisa melatih lebih keras ilmu pedangnya," Asari tampak tersenyum walaupun tampak sedikit dipaksakan, "bagaimanapun itu akan berguna di lingkungan tanpa adanya kita!"

"Aku khawatir dengan Lambo, bukan masalah mental karena ia masih berusia satu tahun—tetapi karena tempat yang tidak jelas akan ia tempati," Lampo, untuk sekali ini tampak tidak terlihat malas dan berbicara dengan nada serius tentang Lambo.

"Kyouya akan baik-baik saja, karena dia bukan herbivore—" Alaude menyilangkan kedua tangannya di dada dan menutup matanya.

"Nfufufu—aku akan menjalankan peranku untuk menjaga mereka terakhir kalinya. Dan untuk Mukuro, ia tidak akan kalah dengan anak Alaude, jadi ia juga akan baik-baik saja," Spade tampak terlihat tenang, Alaude tampak menatapnya dengan tatapan tajam.

"Ia akan baik-baik saja, Tsuna akan baik-baik saja dan aku percaya itu…"

"Baiklah, aku akan mengunci kekuatan cincin Vongola dengan menyerap flame kalian sedikit demi sedikit," Tabolt tampak tidak senang dengan apa yang dilakukan olehnya, "saat cincin Vongola itu terkunci sempurna—maka jiwa kalian juga akan terkunci dan kalian akan—"

"Akhir-akhir ini sepertinya papa dan juga yang lainnya jarang bermain dengan kita," tampak kecewa, pemuda berambut cokelat yang mirip dengan ayahnya itu cemberut saat duduk dan sedang berbincang dengan keenam anak lainnya itu, "rasanya seperti papa menjauh saja dari Tsuna."

"Jangan berkata seperti itu Tsuna, kakek tua itu juga jadi jarang muncul dan selalu mengalihkan perkataan saat aku menanyakan tentang alasannya," Hayato tampak mencoba untuk menenangkan Tsuna yang akan menangis.

"Maa maa—begitu juga dengan Oyaji yang selalu saja menolak saat aku mengajaknya untuk berlatih pedang," walaupun nadanya tampak riang begitu juga dengan raut wajah Takeshi, tetapi bisa dirasakan perasaan sedih dari anak laki-laki itu.

"PAMAN KNUCKLE JUGA SEKARANG JARANG MENGAJAKKU UNTUK BERLATIH! BAHKAN IA LEBIH SERING MENGHABISKAN WAKTU DI GEREJA!" Ryouhei tampak berteriak seperti biasa dengan nada protes.

"Hn—ayahku seperti berubah menjadi herbivore yang tidak ingin bertarung lagi denganku," menggerutu pelan, tampak bad mood karena pembicaraan ini, "dan itu membosankan…"

"Kufufu, kalau begitu bukan hanya ayahku yang bersikap aneh akhir-akhir ini," Mukuro mencoba untuk bersikap biasa walaupun saat ini dahinya tampak berkerut sedikit menunjukkan ketidak senangannya dengan apa yang terjadi pada ayahnya.

"Siapa yang bersikap lain dari biasanya," suara itu membuat ketujuh anak itu menoleh untuk menemukan para orang tua mereka mendekati mereka.

"Papa!" Tsuna tampak senang dan segera menghampiri Giotto, memeluk kakinya dengan erat, "apakah papa sudah selesai bekerja?"

"Begitulah, untuk 1 bulan ini—" tersenyum lebar dan menepuk kepala Tsuna yang tampak terkejut.

"Tanpa pekerjaan?"

"Yep, hanya untuk Tsuna!" benar-benar membuatnya terkejut mendengar hal itu, karena baginya—bahkan 1 minggu tanpa ayahnya bekerja adalah satu hal yang sangat langka.

"Kalau begitu Tsuna akan terus bersama dengan papa!"

"Kita akan menghabiskan waktu bersama Tsuna—" Giotto membawa Tsuna pergi dari sana untuk memulai menghabiskan waktunya selama 1 bulan bersama dengan Tsuna.

…Flash Back…

"Cincin inilah yang akan menjadi pengganti cincin Vongola kalian," menunjukkan sebuah cincin yang mirip dengan cincin yang mereka kenakan—oleh Tabolt, "sama seperti cincinmu, cincin ini mengandung darah asli darimu Vongola Primo. Dan tentu saja yang dibutuhkan setelah itu hanyalah flame milikmu yang akan mengunci kekuatannya hingga waktu yang tepat…"

"Berapa lama waktu penguncian itu?"

"Satu bulan—maka, usahakan untuk meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk mereka selama itu…"

"Jadi, apa yang akan kita lakukan terlebih dahulu Tsuna?"

Duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu, memangku Tsuna yang tampak memikirkan apa yang menjadi pertanyaan dari Giotto itu.

"Ah, Tsuna lupa menunjukkan sesuatu untuk papa!" menepuk dahinya sendiri, Tsuna tampak tertawa dan tersenyum lebar sambil menatap Giotto.

"Menunjukkan apa?"

"Tsuna sudah bisa mengeluarkan api seperti papa!" Giotto menatap dengan mata yang melebar dengan apa yang dikatakan oleh anaknya itu. Saat akan menanyakan lebih lanjut, Giotto bisa melihat flame berwarna orange, walaupun tidak seterang miliknya muncul di tangan Tsuna, "lihat papa!"

"Bagaimana kau bisa melakukannya Tsuna?"

"Uhm—Mukuro-nii menunjukkan ilusi saat papa bertarung, ketika ikut dengan paman Daemon misi bersama papa, dan Tsuna mencoba sangat keras untuk mengeluarkannya!"

"Kenapa Tsuna ingin melakukannya?" Giotto menaikkan sebelah alisnya dan menatap Tsuna yang lagi-lagi memikirkan pertanyaan ayahnya.

"Hanya ingin seperti papa—karena Tsuna ingin membantu papa menyelesaikan pekerjaannya," mendengar perkataan polos dari Tsuna, rasanya saat itu juga ia ingin memeluknya dan tidak ingin melepaskannya selamanya, "ada apa papa?"

"A—ah tidak apa-apa, bagaimana kalau papa ajarkan beberapa teknik padamu?"

"Eh, benarkah—papa mau mengajarkan Tsuna?" Giotto mengangguk, dan itu cukup membuat Tsuna merasa sangat senang mendengarnya, "kalau begitu sekarang saja!"

Dua minggu lamanya sudah berjalan semenjak Tabolt memberikan cincin itu, dan satu minggu juga ia melatih Tsuna menggunakan flame sky yang sudah bisa dikeluarkan oleh anaknya itu.

Selama itu, ia juga merasakan tubuhnya yang cepat lelah dan juga rasa pusing serta mual yang sering muncul secara tiba-tiba. Bahkan sering kali membuat tubuhnya susah untuk bergerak apalagi mengeluarkan flame dalam jumlah besar.

"Papa—" pagi hari, Tsuna mencoba untuk membuka kamar untuk menemukan ayahnya yang masih tertidur di atas tempat tidurnya. Waktu memang masih menunjukkan pukul 7 malam, tetapi biasanya ayahnya sudah bangun dan membangunkannya sebelum para maid.

Berjalan ke dekat ayahnya, melihat ayahnya yang tidak terbangun.

"Papa, sudah pagi—ayo bangun dan berlatih lagi!" mencoba menepuk tubuh ayahnya, tidak ada respon yang diinginkan oleh Tsuna membuatnya melengkungkan bibirnya hingga membentuk kurva maksimal. Tetapi, sepertinya Tsuna juga sadar akhir-akhir ini ayahnya sedikit aneh, dan menganggap kalau ini adalah karena ia kelelahan.

"Baiklah, selamat tidur lagi papa," mengecup dahi ayahnya dan menyadari sesuatu saat mendapati tubuh ayahnya sangat panas. Bergerak mundur, menyadari nafas ayahnya yang tampak panas dan juga memburu, "—p-papa? Papa, bangunlah papa!"

"Pa—paman Knuckle, Tsuna harus memanggil paman Knuckle!" baru saja akan berbalik dan berlari saat sebuah tangan langsung mencengkramnya dan menghentikan langkahnya.

"Tsuna—apa yang kau lakukan disini?" suara yang serak dan terlihat pelan itu menunjukkan sosok ayahnya yang terbangun dan melihat kearahnya.

"P—papa tidak apa-apa? Badan papa panas sekali—d-dan papa tidak bangun saat Tsuna membangunkan papa," Giotto melihat mata Tsuna yang mulai berair menandakan kalau anak itu akan menangis kapanpun itu, "T-Tsuna kira, papa akan meninggalkan Tsuna seperti mama…"

"Shh—" mencoba untuk menenangkan Tsuna, sedikit bangkit dan berada didalam posisi duduk. Melingkarkan tangannya dan memeluk kepala Tsuna, "—tidak apa-apa Tsuna, papa tidak akan meninggalkanmu…"

"Hari ini Tsuna akan merawat papa," melepaskan pelukan Giotto, Giotto bisa melihat Tsuna menghapus air matanya yang sudah mengalir di sudut matanya, "karena papa sakit, Tsuna akan mencoba merawat papa sampai sembuh!"

"Hm, papa tidak apa-apa—bagaimana kalau hari ini kita bermain diluar saja?"

"Tidak mau—papa harus beristirahat, Tsuna akan mengambilkan makanan untuk papa!" tanpa bisa menjawab apapun, Giotto hanya bisa melihat Tsuna yang berlari keluar dari ruangan Giotto, "hh—"

"Giotto, kau tidak apa-apa?" suara yang familiar itu terdengar beberapa saat kemudian, dan saat menoleh ia menemukan sang storm guardian yang tampak menautkan alisnya dan menatap bingung Giotto.

"Tidak terlalu baik," memegangi kepalanya sendiri, bahkan G bisa melihat wajah Giotto yang memerah karena demam, "rasanya seperti energiku terserap sangat banyak hingga tidak tersisa…"

Suasana disana hening, baik Giotto maupun G tampak tidak bisa berkata apapun.

"Bagaimana keadaan Hayato?"

"Tch—karena kondisiku akhir-akhir aneh, ia memaksakan diri untuk menjagaku saat aku sudah tertidur," sedikit terbatuk, Giotto juga melihat wajah G yang sedikit memerah, "ia memaksakan diri untuk menungguku tertidur…"

"Kau sama saja dengannya—" tertawa, Giotto menatap G yang wajahnya semakin memerah mendengar perkataan darinya.

"Papa, Tsuna membawakan makanan untuk papa!" suara Tsuna membuat mereka berdua terkejut dan menoleh, menemukan Tsuna yang sedikit kepayahan membawa sebuah nampan berisi sepiring bubur dan segelas air putih. G yang melihat itu mencoba untuk membantunya, "papa harus banyak makan supaya cepat sembuh!"

"Baiklah-baiklah," Giotto tertawa dan mulai memakan makanan yang dibawakan oleh Tsuna. Sementara Tsuna sendiri tampak duduk di sebelah Giotto dan menunggu ayahnya selesai makan.

Suara batuk lagi-lagi terdengar dari G, membuat Giotto sedikit khawatir dengan keadaan sahabatnya itu.

"G, kau benar-benar tidak apa-apa?" Tsuna dan juga Giotto melihat kearah G yang tampak membelakangi mereka.

"Aku tidak apa-apa Giotto, baiklah sebaiknya aku kembali sebelum bocah itu marah padaku karena bergerak dari tempat tidur," menghela nafas dan hanya diam sambil berbalik serta meninggalkan ruangan itu.

"Ayo sekarang papa makan lagi!"

"Baiklah-baiklah Tsuna—" tertawa pelan dan memakan bubur itu hingga habis.

"Papa—" malam harinya, Tsuna yang tidur di samping ayahnya tampak menoleh kearah ayahnya yang belum tertidur dan balas menatapnya, "—kenapa Tsuna selalu melihat api seperti milik Tsuna keluar dari cincin milik papa selama beberapa minggu ini?"

"Itu karena—papa harus melakukannya agar cincin itu tidak hancur, tetapi paling lama hanya akan papa lakukan satu bulan ini—" tersenyum, mengusap pipi Tsuna dengan sebelah tangannya. Tsuna tampak menatap ayahnya, memegang tangan yang mengusap pipinya.

"Entah kenapa Tsuna merasa kalau papa akan meninggalkan Tsuna," menutup matanya, mencoba untuk tidak menangis, "Tsuna selalu takut saat terbangun dan tidak melihat papa…"

Giotto menatap Tsuna dengan mulut sedikit terbuka tanpa bisa mengatakan apapun.

"Papa tidak akan meninggalkan Tsunakan?"

"Sampai kapanpun, walaupun Tsuna tidak melihat papa, papa akan selalu ada di samping Tsuna—" mendekap lebih erat Tsuna, menenggelamkannya di pelukannya dan menutup matanya sambil mengusap rambut cokelat Tsuna, "—jangan khawatir, kalau kau menghadapinya dengan tersenyum—semuanya akan baik-baik saja…"

Suara langkah lagi-lagi terdengar tergesa-gesa saat itu—dimana berbeda dari sebelumnya, Tsuna tidak menunjukkan senyuman sedikitpun saat berhenti di sebuah pintu yang ada di depannya.

"Papa!" Tsuna tidak menunggu panggilan dari ayahnya untuk bergerak dan segera menghampiri Giotto. Melihat anaknya yang tampak terburu-buru dan panik, membuat Giotto dengan segera mengalihkan perhantiannya pada Tsuna.

"Ada apa Tsuna?"

"P—Paman G!"

Melihat ekspresi dan apa yang dikatakan oleh Tsuna, dengan segera Giotto bangkit dan berjalan cepat menuju ketempat G berada.

"Aku tidak pernah mengerti apa yang kau fikirkan kakek tua!"

Suara Gokudera tampak terdengar dari kamar itu saat Giotto dan juga Tsuna berhenti di depannya. Belum sempat Giotto membuka pintu saat tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar dan tampak Hayato yang berlari dengan segera melewati Tsuna dan juga Giotto.

"Hayato!" Tsuna yang melihat Hayato berlari dengan segera mengikutinya, sementara Giotto tampak terdiam menatap Hayato sebelum menghampiri G yang tampak memalingkan wajahnya dari pintu keluar itu. Menghela nafas, duduk di samping tempat tidur yang ditiduri oleh G itu.

"Kau mengatakannya pada Hayato?"

"Aku bisa merasakannya," suara G yang tampak pelan dan juga nafasnya yang tampak pelan dan juga memburu itu membuat Giotto membelalakkan matanya dan menatap flame yang semakin mengecil di cincin yang dipakai oleh G, "kurasa—aku harus akui kalau ini lebih berat dari yang kubayangkan…"

"G—aku akan memanggil Hayato," Giotto akan berdiri dan mencoba untuk melangkah keluar sebelum tangan yang terasa dingin itu menahannya untuk keluar.

"Aku tidak ingin ia kemari karena terpaksa Giotto—"

"Tetapi—" menatap sahabatnya yang tampak membalas tatapannya itu dengan wajah serius walaupun tampak sangat lemah dan juga pucat.

"Kumohon…"

"Baiklah," menghela nafas dan kembali duduk sambil melihat keadaan sang tangan kanannya itu. Rasa sakit dan juga sedih—membuatnya merasakan satu perasaan lagi yang baru ia rasakan sekarang.

"Apakah yang aku lakukan ini salah G?"

"Kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih pilihan lain—dan yang bisa kita lakukan, hanyalah menyelamatkan mereka bukan," G menatap Giotto yang hanya menundukkan kepalanya, "maaf—"

"Kenapa kau yang harus meminta maaf?"

"Karena aku tidak bisa menjadi kuat untuk lebih lama bersama denganmu dan yang lainnya—" Giotto menatap G sebelum menundukkan kepalanya lebih dalam lagi menyembunyikan ekspresi yang ia tunjukkan saat itu, "—sudah lama tidak melihatmu seperti ini…"

Tangan G tampak mengusap wajah Giotto dan menghapus air mata yang sudah jatuh begitu saja di wajah Giotto. Tersenyum, mengusap dan membelai kepala Giotto sebelum menepuk kepalanya.

"Aku tidak menyangka waktuku secepat ini—tetapi tidak apa-apa," tertawa dan masih mencoba untuk menenangkan Giotto, "karena sampai akhir, aku masih bisa melihatmu hidup…"

"Hayato-nii," melihat dari sela pintu sebuah ruangan, Tsuna mencoba untuk mencari sosok dari Hayato yang berlari dan berakhir di tempat ini. Menemukannya berada di bawah piano hitam di ruangan itu, pada akhirnya Tsuna memutuskan untuk mendekatinya, "Hayato-nii, kau tidak apa-apa?"

"A—aku tidak mau," suaranya tampak kecil dan juga lirih, berbisik hampir membuat Tsuna tidak bisa mendengarnya, "kakek tua itu akan pergi kalau aku ada disana—aku tidak mau…"

"Pergi—kemana?"

"Tempat yang jauh—tempat yang tidak bisa kudatangi," memeluk lututnya semakin erat, menutup matanya erat saat Tsuna mendorong kursi piano untuk memberikannya ruang di sebelah Hayato, "bukan hanya kakek tua itu, paman Giotto, semuanya…"

"Papa akan pergi?" Hayato hanya diam dan menatap anak laki-laki di sebelahnya yang tampak terdiam. Tetapi ia bisa merasakan tubuh Tsuna yang sama gemetarnya dengan tubuhnya, "pa—papa memang tidak pernah mengatakannya…"

Suara Tsuna terlihat lebih pelan dan juga datar, tatapannya juga sama—kosong…

"Tetapi Tsuna tahu, papa tidak akan bohong saat berkata kalau ia akan selalu ada di sampingku—" tersenyum tipis dan menatap Hayato yang menautkan alisnya sambil menatap sang bocah, "—meskipun Tsuna tidak bisa melihat papa, Tsuna tahu kalau papa akan selalu ada di samping Tsuna seperti mama!"

"Kakek tua itu mengatakan hal yang sama—tetapi, apakah itu benar?"

"Kau harus percaya pada paman G Hayato-nii, karena ia sangat menyayangimu seperti papa menyayangi Tsuna," walaupun suaranya tampak sedikit bergetar, Tsuna menepuk kepala Hayato pelan sebelum tersenyum, "ayo—paman G pasti membutuhkanmu sekarang Hayato…"

"Papa—" kematian dari sang Storm Guardian sepertinya benar-benar berdampak pada Giotto. Kesehatannya semakin menurun, dan Tsuna hanya bisa diam saat ayahnya terkadang tidak merespon apa yang ia lakukan padanya. Ia juga bersedih saat mengetahui kalau satu minggu yang lalu—sesaat setelah ia mengajak Hayato untuk menuju ke kamar G, ternyata adalah saat terakhirnya melihat pamannya itu.

Terutama, saat mengetahui bahwa Hayato juga menghilang setelah itu…

Walaupun ayahnya berusaha terlihat kuat di depan semuanya, Tsuna mengerti apa yang akan terjadi pada ayahnya. Membaringkan tubuh kecilnya di samping ayahnya, memeluknya erat seolah tidak ingin melepaskannya sama sekali.

"Tsuna—" suara yang lirih dan juga pelan itu terdengar hingga membuat Tsuna membuka mata dan menoleh kearah sumber suara, "—ada apa, kenapa kau belum tidur?"

"Untuk hari ini, Tsuna akan menunggu papa tidur," seolah intuisinya mengatakan ia tidak akan bertemu dengan ayahnya setelah ini, apapun yang terjadi ia akan bersama dengan ayahnya hingga ayahnya menutup matanya.

"Kau yakin?"

"Ya—" Tsuna meremas pakaian Giotto lebih kuat, benar-benar tidak menyukai perasaannya saat ini. Perasaan akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Tetapi, semenjak perkataan Hayato padanya, ia mencoba untuk meyakinkan diri untuk tidak menangis didepan ayahnya hingga terakhir kali ia akan melihatnya, "—papa…"

"Ada apa Tsuna?"

"Papa—akan pergi seperti paman G bukan," pernyataan dari Tsuna sudah cukup untuk membuat Giotto terdiam dan tubuhnya menegang. Mencengkram pelan tangan Tsuna yang ada di atas tubuhnya, merasakan tubuhnya semakin melemah dan flame di cincin itu semakin kecil. Meskipun ia tidak bisa mengatakannya, ia tahu ini adalah terakhir kalinya ia bisa bertemu dengan Tsuna, "dan Tsuna akan menghilang seperti Hayato-nii…"

"Tsuna—"

"Kalau itu membuat papa tidak sakit lagi—tidak apa-apa," Tsuna membenamkan wajahnya di lengan ayahnya, menutup matanya erat dan mencoba untuk menyembunyikan air mata yang sudah keluar saat itu, "—T—Tsuna hanya tidak ingin melihat papa sakit…"

"Hei-hei—" memiringkan badannya, menatap kearah Tsuna dan menghapus air matanya dengan jempol tangannya, "—bukankah papa sudah bilang kalau papa tidak akan meninggalkanmu? Meskipun kau tidak bisa melihat papa…"

Tsuna bisa melihat wajah ayahnya yang pucat dan juga keringat dingin yang menetes di wajah ayahnya. Giotto mengecup dahi anaknya itu, melepaskan cincin yang ada di tangannya dan menaruhnya di telapak tangan Tsuna. Menggenggam erat tangan Tsuna tidak ingin melepaskannya.

"Jagalah baik-baik cincin ini—" mengecup dahi Tsuna sekali lagi, mendekapnya sangat erat, "—suatu saat, kau akan bertemu dengan Hayato dan juga yang lainnya. Papa yakin, kau bisa menghadapi semua yang terjadi di depanmu selama kau menghadapinya dengan senyuman Tsuna…"

"Tsu—Tsuna akan menjadi anak yang baik," isakannya tampak semakin terdengar, tetapi Giotto tidak berusaha untuk menenangkannya, membiarkan air mata itu jatuh begitu saja, "Tsuna akan menjadi lebih kuat—dan melindungi semuanya…"

"Itu baru anakku," tertawa lemah, menepuk kepala Tsuna dan membenamkannya. Batuk terdengar cukup keras dari Giotto, membuatnya sedikit menjauhkan diri dari Tsuna.

"Pa—papa!"

"Ti—tidak apa-apa Tsuna," Giotto mencoba untuk menyembunyikan darah yang keluar dari mulutnya. Walaupun Tsuna sudah terlanjur melihatnya dan menggigit bibir bawahnya sebelum mengambil sesuatu dari dalam laci di sampingnya. Saat Giotto kembali berbaring, Tsuna mencoba untuk mengelap darah yang ada di tangan Giotto dan juga sudut bibir Giotto.

Fai la nanna principino,

Fai la nanna cuoricino,

Mendengar suara nyanyian dari Tsuna, Giotto menatap anak laki-lakinya itu yang bernyanyi dengan suara berbisik dan bergetar.

Dormi bene nel lettino,

Che la mamma e' qui vicino.

Chiudi gli occhi dormi tanto

E vedrai tutto e' un incanto.

Rosso, verde, azzurro e oro

Son piu' belli, mio tesoro.

Viola, arpa e mandolino:

Tutto e' suono per il mio bambino

"Tsuna—"

"Mama sering menyanyikan lagu ini kalau Tsuna ingin tidur," suaranya tampak mulai tidak bergetar, tatapannyapun tampak menjadi lebih tenang. Malah sekarang Giotto yang tidak bisa berkata apapun dan bingung akan berekspresi seperti apa, "tidak apa-apa papa—tidurlah, Tsuna akan baik-baik saja…"

Merasakan cairan hangat itu meluncur begitu saja dari matanya, Giotto tampak terdiam sejenak sebelum memeluk Tsuna dan meletakkan kepalanya diatas kepala Tsuna.

"Tsuna sayang papa—sampai kapanpun," tersenyum, merasakan kantuk yang luar biasa dan juga pandangan yang semakin mengabur. Cahaya putih tampak mengelilinginya, Tsuna tidak bisa mempertahankan kesadarannya lebih lama lagi saat kehangatan ayahnya tidak bisa ia rasakan, dan hanya kegelapan yang menyertainya.

'Papa juga menyayangimu—Tsunayoshi… Sampai kapanpun…'

"…na…Tsuna…"

Suara itu terdengar di telinganya, semakin jelas dan jelas hingga kegelapan itu berakhir tergantikan dengan cahaya lembut yang berasal dari kamarnya. Mengerjapkan matanya sejenak, menemukan dirinya yang berada di sebuah kamar yang memiliki cat putih dan lampu yang tidak terlalu terang.

"Tsuna!" matanya melebar saat melihat seseorang yang memiliki wajah yang hampir sama dengannya dengan rambut berwarna kuning dan mata berwarna biru—seumur dengannya berada di jarak yang sangat dekat dengannya.

"HIEEE! T—Tsuki, jangan mengagetkanku!" terjatuh dari kasurnya dan memegangi kepalanya karena terbentur lantai, pemuda bernama Tsuna itu tampak mencoba bangkit, sementara pemuda berambut kuning tampak tertawa melihatnya.

"Salahmu sendiri karena susah untuk dibangunkan," menjulurkan lidahnya, membuat Tsuna cemberut dan menepuk badannya, "lagipula, apa yang kau impikan Tsuna? Lagi-lagi kau menangis…"

"A—ah, aku lupa—tetapi memang selalu seperti ini beberapa hari ini," mengusap wajahnya yang masih memiliki sisa air mata disana, "ini hari Sabtu kan? Kenapa kau bangun pagi sekali?"

"Entahlah, kaa-san bilang aku akan diberikan tutor untuk meningkatkan pelajaranku—padahal kukira kau yang akan mendapatkannya," menghela nafas panjang, Tsuna hanya tertawa dan merasa simpati pada saudaranya itu, "hei bagaimanapun nilaiku masih diatasmu Tsuna!"

"Mungkin kaa-san punya rencana lain?"

"Sudahlah, aku akan menyusul—aku ingin ganti baju dulu!" Tsuna mendorong dengan segera Tsuki keluar dari ruangannya dan menutup pintu kamarnya. Terdiam, menghela nafas dan menutup matanya sambil mengeluarkan sesuatu dari laci yang ada di sebelah tempat tidurnya.

Sebuah cincin dengan lambang Vongola di tengahnya…

"Kenapa aku bermimpi tentangmu lagi papa—" menggenggam erat cincin itu, pemuda berusia 13 tahun itu tampak meletakkan cincin itu di sebuah kantung kecil yang memiliki tali yang bisa digunakan sebagai kalung.

…Tsuna's POV…

Namaku adalah Tsunayoshi Sawada, anak pertama dari keluarga Sawada. Yang berada di kamarku tadi adalah Tsuki Sawada adikku yang berusia 1 tahun dibawahku. Kalau melihat kemiripan dari kami berdua, pasti semua orang tidak akan percaya kalau aku bukan kakak kandung dari Tsuki.

Ya, aku adalah anak angkat dari keluarga Sawada yang sudah mengadopsiku sejak usiaku 6 tahun. Cincin yang sudah ada sejak aku muncul adalah milik ayah kandungku—Taru Giotto yang hidup 400 tahun yang lalu.

Memang terdengar tidak masuk akal, tetapi memang itulah yang terjadi—karena kekuatan cincin Vongola—kelompok yang dibuat oleh ayahku bahkan sebelum aku lahir itulah yang membuatku bisa melakukan perjalanan waktu.

Saat ayah mengunci kekuatan Vongola di cincin ini dan tewas, saat itu aku langsung terkirim dan menghilang seperti yang terjadi pada Hayato-nii.

Beruntung keluarga Sawada sangat baik dan memperlakukanku seperti anak kandung mereka sendiri, seperti papa dan mama memperlakukanku dulu, dan seperti mereka memperlakukan Tsuki.

Aku terus menunggu dan menyembunyikan cincin itu dari orang lain termasuk keluarga Sawada, menunggu hingga aku bertemu dengan Hayato-nii dan juga yang lainnya seperti yang ayah katakan sebelum ia wafat.

…End of Tsuna's POV…

"Aku penasaran, kapan itu akan terjadi—" menghela nafas dan memakai kaos berwarna merah dengan jaket berwarna putih. Tidak menyadari seseorang berada di luar dan mengawasinya.

"Jadi, dia anak angkat Iemitsu yang dikatakan olehnya—" bayi berpakaian jas hitam dengan topi fedora tampak mengawasi Tsuna dari kejauhan, "—memang benar, sangat mirip dengan Tsuki dan juga Vongola Primo…"

"Sepertinya aku juga harus mengawasinya—"

…To be Continue…