Field Service

Disclaimer : Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi

...

Di lingkungan tetanggaku, sekitar dua blok dari rumah, ada sebuah lapangan basket yang terbengkalai. Tanaman-tanaman rambat menghiasi pagar-pagar besinya, banyak retakan menghiasi lapangan bersemen yang warnanya telah pudar tertutup debu jalanan. Anak-anak menghindari tempat itu, mengatakan bahwa lapangan itu angker dan sebagainya, terbujuk oleh hasutan orang tua mereka untuk tidak main ke sana karena lapangan itu sebenarnya dapat memikat anak-anak untuk masuk dan terus bermain di dalamnya.

Aku merasakan sendiri pengalaman itu. Sepulang latihan basket bersama klub Seirin, aku dan Kuroko berpisah jalan di pertigaan seberang lapangan dan aku berjalan lurus ke dalamnya. Setelah menyabit tanaman-tanaman itu dengan kedua tangan, aku masuk.

Hal pertama yang berkesan dari tempat itu adalah berantakan, ditinggalkan, tak terawat. Apa tidak pernah ada sekadar satu atau dua geng yang setidaknya singgah sebentar untuk bermain basket jalanan di sini?

Hal kedua yang berkesan dari tempat itu adalah... horor.

Langit sudah menggelap, katakan terima kasih untuk Kuroko yang mengajakku ke Maji Burger dulu sebelum pulang. Dengan wajah datar, hebat sekali bujukannya itu dapat mempengaruhiku. Tidak penting. Sekarang, aku harus pulang. Sudah cukup lihat-lihatnya.

Hal ketiga yang berkesan dari tempat itu adalah bahwa Aomine Daiki sialan muncul dari balik semak, seakan-akan dia itu Kuroko yang sedang menyamar menjadi ninja. Perpaduan antara Kuroko dan ninja itu... kau tahu sendiri.

"Oi, Bakagami." Cih, dia memanggilku seperti itu lagi. "Apa yang membawamu ke sini? Mau pulang sekarang? Dasar anak mama."

"I'm fucking not," jawabku dalam bahasa asing, supaya dia kebingungan. Nyatanya, ia malah menyeringai dari telinga ke telinga.

"Oh, kau minta disetubuhi?"

"HAH?"

Jadi yang dia dengar cuma umpatan terlarang itu saja?

"One-on-one," ujarnya sambil mengeluarkan bola basket dari tas Touou Gakuen yang tersampirkan di bahu kanannya. "Yang dapat 10 poin duluan, mendapat hak istimewa untuk dituruti keinginannya selama satu minggu."

"Ha. Setuju. Bawa ke mari!"

Langsung saja Aomine mendribel bola dengan kecepatannya yang fantastis. Ya, harus kuakui, sudah lama aku mengagumi pemain basket berkulit gelap ini. Matanya biru tajam, cocok dengan seringaian sombong yang sering terpasang di wajah bosannya. Tubuhnya ramping dan lebih tinggi dari milikku, tapi aku tidak akan semudah itu untuk dikalahkannya.

Pelatih pernah berkata bahwa Aomine memiliki bakat luar biasa dalam agility, semacam kemampuan yang membuat Aomine dapat menguasai kecepatan dan ketepatan waktu berhenti untuk kakinya sendiri. Gelar pemain basket tercepat di Tokyo pun ia sandang; waktu itu aku diceritakan oleh Midorima.

"Ada apa, Kagami? Capek?" tanyanya meremehkan. Sudah lima poin ia skor dan aku masih baru dapat dua. Beginilah seharusnya, bermain dengan Aomine yang menjadi rivalku sejak Interhigh dan Winter Cup tahun kemarin.

Musim panas ini, kami akan bertemu lagi. Kurang dua minggu sebelum penyisihan Interhigh untuk Tokyo, Seirin sudah berjuang keras. Latihan yang ditingkatkan menjadi tiga kali lipat oleh pelatih Aida mendapat respons yang cukup memuaskan dari seluruh anggota tim.

Aku berlari mendribel bola, berharap aku dapat mengalahkannya sekali saja dengan tanganku sendiri. Winter Cup lalu Kuroko membantuku, dan aku juga didukung dengan kemampuan Zone. Saatnya untuk membuktikan kalau aku adalah rival yang cukup berharga diri di depan Aomine.

"Groaaa!" Dunk yang ini harusnya berhasil! "Hyaa!" Nyaris.

Aomine menepis bola di kedua tanganku, hanya dengan satu tangan. Satu tangan, bisa kau bayangkan itu?

"Cih," desisku kesal. Ia mundur tiga langkah dan memberi tempat untukku membungkukkan badan dan menyambung nafasku yang tersengal.

"Kenapa, Kagami? Sudah menyerah?"

"Masih belum!" teriakku balik. Ia menampakkan cengiran itu lagi.

"Ayo," ajaknya. Kami mulai bermain lagi. Ketika kakiku tidak sengaja menginjak salah satu sulur tanaman rambat di tepi lapangan, tiba-tiba aku terjatuh dengan suara gedebuk terkeras dan termenyakitkan yang pernah kudengar.

"Aw! Sulur sialan! Kupastikan akan memotongmu suatu saat!" tunjukku pada sulur yang bertanggung jawab atas hilangnya harga diriku di depan Aomine. Hancur sudah reputasiku sebagai rival Aomine.

"Oi, Bakagami." Sebuah tangan terjulur di depan wajahku. Kuyakini itu tangan Aomine. Tanpa segan, kuambil tangannya dan kutarik, sampai tubuhnya kehilangan keseimbangan dan kini posisi kami berbalik. Aku yang di atas, menampilkan cengiran kemenangan dan Aomine yang menampakkan wajah sebal.

"Dasar tidak tahu terima kasih."

"Terima kasih, Ahomine."

"Cih... kalau terima kasih itu yang benar, Bakagami," katanya dengan mata melirik malas. Aku menatapnya heran dan memiringkan kepala. Bukannya aku tadi sudah bilang terima kasih? Meski tidak ikhlas juga.

Tiba-tiba, tubuhku serasa terbakar. Waktu malam semakin larut dan alarm jam tangan di tasku berbunyi menandakan sudah dua jam berlalu aku berada di lapangan, Aomine melihatku tepat di mata. Wajahku menghangat dan rona merah kurasa menghiasi pipiku, dengan cara yang benar-benar tidak berkeprilaki-lakian dan berkepripemainbasketan.

"Tanggung jawab, Bakagami."

"Huh?"

"Pokoknya aku menang."

"Belum, aho! Ayo lanjut! Akan kukalahkan kau!" Cepat-cepat aku berdiri dan tidak mau repot-repot membantunya. Aku ingin menyelesaikan hal ini dengan kilat. Lumayan juga bisa menyuruh-nyuruh Aomine dalam seminggu.

Aomine memantul-mantulkan bola di tangan kirinya sambil membungkuk. Beberapa waktu kemudian, ia sudah melakukan fake di sisi kiri tubuhku, untuk kemudian berangkat dari arah kanan. Seperti fake milik Himuro, namun lebih lembut dan tidak terdeteksi. Aku mengejarnya dengan kekuatan penuh. Aomine butuh dua angka lagi untuk menang dan aku enam. Betapa jauhnya perbedaan kami, tetapi aku tidak ingin menyerah.

Pemuda berkulit gelap dan berambut biru itu melemparkan bola dari keadaan yang tidak wajar. Lagi-lagi dia banyak gaya. Hampir saja tubuhnya tergeletak di lapangan, bola itu terlempar jauh ke ring. Dengan akurasi luar biasa, bola itu tepat masuk.

"Siaaal!" teriakku sambil terjatuh dengan posisi berjongkok. Jadi aku yang harus diperintah selama seminggu ini? Padahal latihan kami sudah semakin intens! Interhigh sudah menungguku; aku harus melawan lagi Kiseki no Sedai yang sudah berubah. Mereka makin hebat, makin membuatku bersemangat untuk mengalahkan mereka.

"Sepertinya aku yang menang, Kagami."

"Katakan apa maumu."

"Mudah saja." Ia mulai mendekatiku dari arah ring basket. Langkahku menyatakan bahwa aku semakin mundur, menjauhi Aomine dan wajah bodohnya. Aku melihat ke kanan-kiri, merasakan akan ada bahaya yang mendatangiku. "Aku ingin kau datang ke sini setiap minggu. Akan kukatakan apa yang harus kaulakukan sepanjang minggu. Apa sudah jelas?"

Setelah menelan ludahku beberapa kali, aku terpaksa mengangguk kaku.

...

Jujur, aku nggak kepikiran buat masukin AhoBaka dalam pair di fanfic ini. Mungkin harus nunggu selama jalannya cerita dulu kali ya. Tapi aku sudah punya jalan fic ini secara garis besar, terinspirasi dari gambar-gambar indah renovasi lapangan basket oleh pemain-pemain basket fabulous di tiap ending Kurobas S2. Review sangat diapresiasi :3 Terima kasih banyak!

-silmikaasa-