I Talk To The Rain
Author : hikariHARUNO13
Pairing : IchiRuki
Warning : Canon, Ichigo-centric (well maybe)
Disclaimer : kaki shinigami itu pasti Rukia. soalnya Tite Kubo keterlaluan nyembunyiinnya sampe kesel sendiri!
Disclaimer for quotes : Bleach Official Animation Book SOULs dan VIBEs, Ichigo's quotes at chap 181 When the Rain Left Off
Disclaimer for songs : Sakurabito by Sunset Swish, Memories In the Rain by Masakazu Morita and Fumiko Orikasa, Kimi O Mamotte Kimi O Aishite by Sambomaster, Kawaranai Kotoba by Masakazu Morita, Echo by Fumiko Orikasa, Kansha by RSP, Glow by Masakazu Morita and Fumiko Orikasa
kalau ada yang salah, tolong diingatkan -_-
Summary : Tanpa kita ketahui, kita tersambung oleh hujan. Tanpa kuketahui, aku berbicara pada hujan agar dia membiarkan cahaya menyusup melewatinya.
N_N
.
.
.
The rain drags Black Sun down but the rain dried by White Moon
Hujan.
Aku tau. Aku tak pernah suka hujan. Tau kenapa? Karena saat hujan, permainan sepakbola harus dihentikan. Seharian aku habiskan di rumah dan itu menyebalkan. Saat hujan, aku harus menunggu ayah atau ibuku datang membawa payung. Aku memang masih bocah tapi aku tau menunggu itu membosankan. Saat hujan, aku selalu basah sepulang dari dojo. Truk-truk yang lewat tak pernah tau ada aku yang berjalan di pinggir jalan. Dan saat hujan, aku kehilangan ibuku...
Benar, hujan telah merenggut kebahagiaanku. Dia menjatuhkanku ke dalam kubangan dalam tanpa aku tau di mana ujungnya. Memberatkan napasku, membelenggu dadaku. Dia ingin aku mati.
Aku merasa sudah mati.
Until the sound of the pouring rain ceases, there will be no light
Seharusnya hujan hari ini.
Aku bukan peramal cuaca, aku tau. Musim semi tapi udara musim panas mulai terasa. Cuaca secerah ini mustahil jika tiba-tiba muncul hujan. Aku sudah tau itu. Tapi dengan kondisi seperti ini, wajar jika aku mengira hujan akan turun, bukan?
Keluargaku dibantai oleh wujud yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku merasa jantungku berdegup cepat sekali begitu melihat Yuzu terseok-seok ke kamar. Kepalanya berdarah. Dengan suara bergetar dia mengatakan tiba-tiba ada ledakan lalu pingsan. Tubuhku makin menegang begitu melihat ayahku tergeletak berlumuran darah. Pandanganku mulai mengabur begitu melihat Karin berada dalam genggaman besar monster itu.
Aku tak mengindahkan serentetan kalimat yang datang entah dari mana karena aku tak bisa melihat apapun. Aku sudah buta. Aku sudah buta oleh perasaan ngeri, marah, geram...khawatir. Semuanya berubah gelap ketika kakiku terasa seperti berlari. Sepertinya aku berdiri berhadapan dengan monster itu karena seringainya terlihat seakan mengejekku. Lalu tiba-tiba saja mulutku bergerak.
"Coba saja bunuh dan bawa aku!"
Lalu monster itu menatapku lapar. Dia tiba-tiba lari menerjangku.
Bukankah seharusnya hujan datang? Aku sudah akan kehilangan semuanya. Seharusnya hujan turun menertawakanku.
Cih, terdengar seperti aku mengharapkannya!
Tapi yang turun bukan hujan. Bukan tetesan air dingin yang membuat alisku berkedut. Sosok itu melompat, dia melempar tatapannya yang tajam padaku. Itu. Kusebut itu karena dia bukan orang; manusia. Dia roh ― karena entah kenapa dia menyebut-nyebut dirinya shinigami. Aneh memang. Tapi sepertinya katana yang ia genggam bukan mainan.
"Kau sudah tau kau, kau takkan menang hanya dengan kekuatanmu, kan? Atau kaupikir, semua akan selesai begitu kau serahkan jiwamu? Dua-duanya sama-sama bodoh!"
Aku seperti tertampar oleh kata-katanya. Semuanya terlihat jelas kembali di mataku. Aku tak mengerti mengapa dia berlari ke arah monster itu. Membiarkan tubuhnya hampir hancur untuk melindungiku. Aku juga tak mengerti saat dia menodongkan katananya padaku. Dia hendak menolongku dengan memberikan setengah kekuatannya agar keluargaku dan aku selamat. Gila! Tidak ada yang mau melakukan itu untuk orang asing. Shinigami ini...
"Bukan shinigami. Namaku Kuchiki Rukia," paraunya.
Dan di hari itu, dia sudah menyelamatkanku.
Dia sudah mengubah duniaku.
The rain of June only determines life and death
Alasan? Aku tak butuh alasan. Apalagi untuk membunuh pembunuh ibuku di depan sana.
Ya, hollow ― begitu dia mengatakannya sampai aku muak ― di depanku yang selalu menyeringai. Matanya terlihat menyipit. Nadanya ketika berbicara makin membulatkan niatku untuk membantainya habis-habisan tanpa ampun.
Dia yang sudah menodai tangannya sendiri dengan darah ibuku. Kuku-kukunya yang mengambil paksa roh ibuku. Di dalam tubuhnya, entah di mana, ada ibuku. Apalagi hollow itu mencuri memoriku, membuat wajah yang nampak seperti ibu. Menyerangku dengan cara curang seperti itu. Aku muak begitu mengetahui hal itu.
Aku tidak peduli hujan turun. Justru ini membangkitkan nostalgia, hari di mana aku kehilangan ibuku. Jadi aku bisa membunuhnya tanpa ampun, mengingat dia bekerja sama dengan hujan ini untuk mengambil ibu dariku.
Semua rasa benci itu, penyesalanku, kembali membutakan pandanganku. Rasa nyeri di perutku berdenyut-denyut. Aku tak bisa membedakan yang mana denyut jantungku dan denyut dari luka di perutku. Satu-satunya pikiran yang terus berputar di kepalaku hanyalah 'akan kubunuh bajingan ini!'. Tidak peduli jika itu membunuh diriku sendiri. Maka saat pembunuh ibuku itu melarikan diri, aku berteriak memanggilnya untuk kembali. Memanggilnya untuk duel sampai mati.
Sampai ketika sesuatu yang hangat menyentuh dadaku. Menahan tubuhku agar tidak berbuat lebih jauh.
"Sudah cukup! Sudah hentikan!"
Tapi aku terus memaksa untuk mengejar hollow itu tapi dia menahan tubuhku.
"Kau juga dia sudah tidak bisa bertarung! Pertarungan sudah berakhir!"
Suaranya tidak teredam dalam hujan tapi aku tidak bisa mencerna maknanya. Aku terus memaksa. Aku tidak mengindahkan kata-katanya.
"Belum! Dia belum mati! Aku masih bisa bertarung! Aku masih―"
Aku tau dia benar tapi hatiku yang paling dalam tidak mau mengakuinya. Satu-satunya cara untuk menang hanyalah salah satu dari kami mati. Aku harus membunuhnya untuk menang...
Lalu semua berubah gelap.
"Ichigo!"
I remember now... The reason why I wanted to save you so much
Tapi apa dia tau?
Saat aku terbangun, aku bersyukur. Yang kurasakan memang rasa sakit. Tapi aku dapat merasakan rasa hangat menjalar dari luka di perutku. Luka yang sudah sembuh oleh kedua tangan mungil yang sempat menahan tubuhku saat aku pingsan tadi. Jemari lentik yang selalu menekan dada bahkan kepalaku jika tugasku sebagai subsitute shinigami harus dilaksanakan sesegera mungkin. Dia, yang punggungnya menjauhiku, sosok kecil angkuh itu...
Aku merasa bersyukur hujan sudah berhenti. Bahkan aku melihat sesuatu yang lebih indah dari pelangi.
Cahaya.
Even though it was raining, it was obvious you were crying
Aku tau apa saja kesalahan yang kuperbuat selama ini. Aku pernah menangis saat Tatsuki mengalahkanku di pertandingan pertamaku di dojo. Sebagai lelaki, menangis bisa mencoreng harga diri dan aku sudah mencorengnya dengan mudah. Aku juga pernah membuang makanan yang tidak kusuka tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Hei, aku masih bocah. Itu wajar untuk dilakukan, bukan? Aku takkan menghitung membalas tendangan ayah dan meninju berandalan itu adalah kesalahan. Kesalahan terbesarku adalah ketika aku tidak bisa melindungi ibuku. Namun ayahku mengatakan jika aku bersedih maka dia tidak punya muka untuk menghadapi ibu nanti. Aku harus setuju dengan perkataan ayahku itu. Lalu satu lagi.
Saat aku ingin melindunginya tapi malah aku yang dilindunginya. Selalu.
Aku kehilangan dia. Shinigami itu. Aku yang terbaring hanya bisa berteriak agar dia tidak pergi. Aku hanya bisa terbaring di jalan yang basah karena hujan. Ya, hujan. Kebetulan sekali. Hujan itu membawa bau anyir darahku. Aku kesal karena hujan itu berhasil membuatku seperti orang tanpa kekuatan. Hanya terbaring sambil terengah melarangnya. Hanya itu yang bisa kulakukan.
"Jangan bergerak!"
Aku terkesiap. Mendengar dia berteriak. Aku yakin suaranya bergetar saat itu.
"Coba saja bergerak selangkah dari situ! Coba saja mengejarku..."
Aku hanya diam sambil mendengar kata-katanya. Dia menoleh ke arahku. Mata violetnya terlihat samar. Tapi aku tau pasti tatapan apa itu. Bahkan di dalam hujan, aku dapat melihat dia sudah akan menangis.
"Aku takkan pernah memaafkanmu."
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Melihatnya seperti itu... Aku lupa sesaat dengan semua luka yang diberikan shinigami berselendang perak itu. Yang lebih sakit saat itu adalah dadaku. Berdetak tak menentu.
"Cepat atau lambat kau akan mati. Diam saja di situ dan hiduplah lebih lama walau hanya sedetik."
Aku hanya bisa melihat cahaya samar setelah itu. Dan sosoknya yang hampir menghilang dari pandanganku. Hujan pun tidak berhenti saat itu.
Lagi-lagi, aku dilindungi.
Maka dari itu, aku memiliki hutang padanya. Aku berlatih untuk menyelamatkannya. Untuk bisa bertarung melawan shinigami-shinigami yang mengambilnya dengan paksa. Yang sudah membuatnya melindungiku.
Harga diri? Bukan. Ini hutang budi.
Aku tak peduli dengan munculnya orang-orang baru yang akan memburu untuk membunuhku. Aku tak peduli jika tubuhku berlumuran darah dan hampir koyak sampai tidak bisa bangkit berdiri. Aku tak peduli dengan teriakannya untuk melarangku datang menyelamatkannya. Aku tak peduli jika aku ditebas berkali-kali, tersayat pedang di mana-mana. Aku akan pergi ke sana, menyelamatkan dan membawanya pulang. Meskipun itu berarti aku mati.
Aku tidak akan memaafkan siapapun yang membuatnya menderita.
Dan saat melihatnya selamat, saat dia memutuskan sesuatu yang diiinginkannya, dadaku terasa ringan. Melihatnya tersenyum kembali saat itu sangat... Entahlah, melegakan?
"Terima kasih, Ichigo!"
Tidak, seharusnya aku yang bilang begitu.
Terima kasih, Rukia.
Mungkin tanpamu aku takkan bisa melindungi orang-orang yang kusayangi. Terima kasih, sudah memberiku kekuatan. Terima kasih sudah memaksaku habis-habisan agar aku mau melatih kekuatan shinigami-ku. Terima kasih karena ada di sana ketika Kon tidak kubawa di saku. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku meski aku malah lebih mengkhawatirkan dirimu. Terima kasih sudah melindungi dan menjagaku.
Terima kasih...
Thanks to you, I think the rain has stopped
Suatu saat apa yang kumiliki pasti akan hilang.
Aku tau seperti apa rasanya kehilangan itu. Apalagi jika itu adalah sesuatu yang menunjukkan harga dirimu, melengkapi kehidupanmu, pusat kasih sayangmu. Aku pernah kehilangan pusat keluargaku. Dan sekarang aku harus kehilangan kekuatanku. Tidak hanya itu, kini aku tidak bisa melihat hantu menyebalkan yang sehari-harinya selalu kuhiraukan. Dan kehadirannya perlahan-lahan mulai memudar.
"Ini perpisahan, Ichigo."
Tidak. Aku memohon dalam hati agar ini semua hanya mimpi. Aku seharusnya sudah mengetahui konsekuensi dari apa yang kuperbuat saat melawan Aizen. Aku tau benar bahwa jika aku melakukannya maka kekuatan shinigami-ku akan hilang. Dan itu berarti, kemungkinan kekuatan spiritualku ikut menghilang patut diperhitungkan.
"Sepertinya begitu."
Apa yang kukatakan? Tapi kami baru bertemu. Baru saling mengenal. Belum setahun dan sekarang aku sudah tidak akan melihatnya?
"Apa? Jangan sedih begitu. Kalaupun kau tidak dapat melihatku, aku masih dapat melihatmu," candanya sambil melipat tangannya di dada. Aku segera menggaruk kepala sambil menunduk. Diam-diam aku tersenyum. Selalu begitu. Dia seperti pembaca pikiran.
"Apa? Itu sama sekali tidak membuatku senang dan aku juga tidak sedih!"
Sebenarnya aku menyesal. Justru aku merasa dadaku terasa sakit beberapa kali saat dia mengatakan bahwa aku tak bisa melihatnya lagi. Bagaimana caranya aku mengejeknya jika melihatnya saja tidak bisa? Bagaimana caranya aku membalas perkataannya jika suaranya tidak dapat kudengar? Bagaimana caranya aku menggendongnya di punggungku jika menyentuhnya saja tidak bisa? Oh benar, saat-saat seperti itu sudah tidak akan ada lagi. Karena saat aku menatapnya, dia terlihat seperti kertas yang terbakar. Awalnya hanya ujung shihakushou-nya tapi seperti api menjalar sampai badannya.
"Bilang pada semua, aku sudah melakukan yang terbaik," ucapku.
"Ya."
The moment I gaze at your eyes, let it echoes somewhere inside my heart
Aku tersenyum saat dia menengadah, menangkap tatapanku. Perutku bergemuruh saat dia menatapku dengan tatapan seperti itu. Dadaku sekali lagi berdenyut menyakitkan. Aku tak mengerti. Mengapa dia terlihat sedih di saat aku yang seharusnya bersedih?
Sebentar lagi, aku kehilangan dia.
"Selamat tinggal, Rukia."
Aku menutup mataku sejenak lalu menengadah. Tak ada gunanya aku menunduk. Dia sudah hilang dari pandanganku. Hanya pandanganku. Ironis, meskipun mungkin dia masih di sekitar sini tapi aku merasa kosong. Ada yang kosong, entah di mana.
Tapi tanpanya, takkan ada yang mengubah diriku.
"Terima kasih."
Lalu setelahnya, aku akan menjalani hidupku. Dan dia menjalani hidupnya.
.
.
Back to back, we started walking
Sometimes we stubbornly dissagree and refuse to give in, but in the end, you're still very important to me. So even now, I sincerely hope we're together
.
.
.
.
Epilog
.
.
Aku menatap langit dari balik jendela kamar. Aku biarkan pantatku merasa rileks di kasur empuk yang kududuki. Aku melipat kakiku di atas kasur lalu melipat tanganku di dada. Aku kembali menatap jendela begitu aku merasa cukup nyaman dengan posisi dudukku. Biasanya jendela itu selalu terbuka tapi si pemilik kamar malah menutupnya. Hujan, kilahnya. Tapi memang benar. Langit yang tadi cerah tertutup awan keabuan diikuti oleh suara bergemuruh yang berdentum. Aku hanya mengamati perubahan itu. Semuanya terpantul di iris violetku. Angin dingin masih bisa menyusup lewat sekat jendela. Menggelitik kulitku. Wangi hujan dapat kucium bersamaan ketika ritme hujan semakin cepat.
Hujan.
Ya, aku tau. Aku tidak terlalu suka hujan. Di Real World, hujan dipersepsikan dengan cara yang rumit. Dan anehnya hujan malah dimasukkan ke soal ujian. Hujan juga berarti harus menunggu jika aku kelupaan membawa payung. Bagusnya... Aku tidak pernah suka menunggu dan aku kesal jika hal itu terjadi. Dan saat hujan, Kaien-dono...
Aku menutup mataku rapat-rapat. Aku ingin melupakan bagaimana bau anyir darah itu bercampur dengan wangi hujan. Aku juga ingin melupakan saat aku memeluk tubuh Kaien-dono yang roboh dalam pelukanku. Aku ingin sekali melupakan...
Saat Kaien-dono mengucapkan terima kasih.
Untuk apa? Aku tak mengerti. Terima kasih untuk merenggut nyawanya? Itu konyol.
"Sedang apa?"
Aku menoleh dan melihatnya tengah memandangku. Dia, yang berpostur tinggi tegap dengan rambut oranye menyala. Setidaknya itu yang mampu mendeskripsikannya. Aku hanya menatapnya sekilas lalu kembali menatap jendela.
"Sejak kapan kau di situ?"
"Jangan mengubah pembicaraan," ujarnya. Dia mengeluh, seperti biasa. Aku bisa merasakan kasur yang menjadi tempatku duduk sedikit menurun. Dia sudah ada di sebelahku, melakukan hal yang sama denganku. Menatap jendela.
"Kau jadi tidak bisa ke toko binatang ya?" tanyanya.
"Untuk apa?"
"Melihat kelinci."
"Kau mau mengejekku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya dengan gerakan cepat. Lipatan tanganku di dada tidak bergeming. Belum saatnya untuk memukul atau menendangnya.
"Aku cuma mengatakan kalau kau―argh!" Ya, aku memukulnya cukup keras di lengan dan menurutku itu cukup. Pemuda seperti dia hanya bisa mengeluh kesakitan sambil menatapku geram tanpa bisa memukul balik. Ha! Dasar bocah!
Aku bisa merasakan dia masih menatapku. Tapi bukan tatapan geram. Tatapan lain.
"Aku sedang melihat pemandangan," jawabku tanpa menoleh.
"Ini yang kausebut pemandangan?" Dari ujung mataku, aku bisa melihat dia duduk dengan posisi seperti bersandar ke belakang. Menumpukan badannya dengan kedua tangannya yang dijejalkan di kasur, membuat bahunya terangkat. Kakinya yang panjang dia luruskan sampai telapaknya menapak lantai. Aku bisa tau kalau dia juga tidak menoleh ke arahku. Kami sibuk memandang ke depan.
Ada jeda. Hanya pantulan kami di kaca jendelalah yang saling kami tatapi. Aku terhipnotis sepenuhnya pada tetes-tetes air yang berjatuhan ke bumi itu. Sesekali angin meniupnya. Beberapa tetes itu menabrak kaca jendela, membuat irama tersendiri. Baik aku maupun dia, tidak ada yang mau memecah keheningan. Sepertinya, kami sama-sama sedang memikirkan sesuatu. Aku tau apa yang dipikirkannya. Terasa dari reiatsu yang terasa sangat berat. Reiatsu yang dikeluarkannya.
"Rukia," ucapnya memecahkan suasana sepi yang sempat terbentuk.
"Apa?"
"Apa kau―ah tidak."
Aku memejamkan mataku. Aku tau apa yang ingin dikatakannya. Kenapa dia harus menghentikannya di tengah-tengah? Apa menurutnya jawabanku tidak begitu penting?
"Hujan, ya? Aku juga tidak terlalu suka hujan." Aku bisa merasakan dia bergeming. Dia menunduk. Aku yakin mata hazelnya berkilat dengan berbagai emosi. Aku selalu menangkap emosi-emosi itu darinya. Seberapapun dia menyembunyikannya dariku, aku akan langsung tau. Dia tidak bisa berpura-pura di depanku.
"Bukan itu yang ingin kukatakan. Apa kau sudah makan, itu maksudku."
Aku menoleh menatapnya tapi dia menolak menatapku. Pembohong. Aku tau dia berbohong.
"Bodoh," ujarku. Aku bangkit dari tempatku duduk. Ritme hujan melambat. Suasana di balik jendela kini sudah mulai terang kembali.
Dia tidak bangkit dari kasur. Dia hanya memandangku. Sinar matanya hangat.
Seperti matahari.
"Terima kasih," ucapnya.
Sebelah alisku terangkat. "Untuk apa?"
"Untuk tidak memanggilku Ichigo di depan teman-temanku."
Dadaku berdentum beberapa kali. Aku tidak mengerti. Aku tau dia berbohong tapi aku tidak tau apa alasannya dia mengatakan hal itu.
Aku hanya memberikannya senyum sombong seperti biasa. Aku membuka pintu kamar. Tapi sebelum aku keluar, aku balas memandangnya. Dengan nada manja, aku menggodanya.
"Jadi, Kurosaki-kun ingin melihat pelangi atau tidak?"
After the rain, it just glows
.
.
end
author's babbling :
oke, sebenernya hikari's feeling like g6 (gundah gulana galau gajelas gimana gitu) pas ngerjain fic ini. mungkin karena jiwa ichiruki fangirl hikari yang selama ini rehat karena sang nona besar lagi hengkang dari manganya belum nongol juga. grrrr! ini bikin hikari jadi stres nungguin siapa pemilik kaki shinigami itu. kesannya kayak cinderella tapi bukan!
tapi hikari seneng ternyata masih banyak fans ichiruki yang hidup (apa maksudnya sih?) fic ini hikari buat mungkin karena hikari sangat rindu dengan kehadiran Rukia beserta pairing ichiruki. saking kangennya, hikari sampe muter berulang kali lagu kawaranai kotoba, echo sama glow. huaaaaaaaaang! ichiruki, come back please!
hikari agak gimana gitu sama fic ini jadi pleaaaaaaaaaaase sekali tolong berikan kritik atau saran atas fic ini! (motif minta di review)
so IchiRuki fans out there, i'm here too! waiting for Rukia's appearance.
akhir kata, review~ :)))
