"Kau dan Potter—"

"Hanya teman."


.

.

Friends

.::.

Tom Riddle x Harry Potter

High School/Academy AU

I don't own Harry Potter series

.

.


Ketika Tom membuka matanya pagi itu, hal pertama yang diterima reseptor inderanya adalah bebauan khas di dekat hidung. Campuran susu, vanila, dan sesuatu yang manis. Tom merasa kalau dia telah lama mengenal harum itu, bertahun-tahun yang lalu, sejak dia masih kecil sekali. Reaksi impulsif Tom adalah mengeluarkan helaan napas yang damai dan senang, lalu membenamkan hidungnya kembali kepada sumber wewangi familier itu… yang ternyata adalah sekumpulan helai-helai berantakan milik seseorang.

Tunggu, tunggu. Ada yang aneh—

Sepasang biner cokelat muda yang kabur karena kantuk tampak dibalik kelopak yang membuka cepat, dan entah kenapa, Tom tidak heran ketika pandangannya disambut dengan warna hitam dari rerambut seseorang di hadapannya.

Astaga, tidak lagi.

Tom menahan sebuah erangan, merasakan salah satu lengannya hampir mati rasa ditindih tubuh padat di atasnya, dan memanggil dengan suara serak, "Harry. Harry, bangun."

Gumpalan daging di depannya, seperti biasa, hanya meregangkan badan sebentar, lalu kedua tangannya yang melingkar pada tubuh Tom kembali mengerat seperti seekor gurita posesif. Tom tidak repot-repot menahan geraman tak sabarnya kali ini, meskipun sebenarnya dia tidak keberatan berlama-lama di atas kasur sambil menghirup harum badan Harry yang menyenangkan. Bocah itu barangkali terlalu sering meminum susu sehingga bau tubuh alamiahnya berubah seperti susu vanilla yang diminumnya. Yah, bukan berarti Tom komplain.

"Harry," Tom mencoba lagi, menggoyang tubuh Harry dengan cukup keras. "Kau harus bangun." Harry bergeming, atau mungkin hanya pura-pura tertidur. Tom mencoba jurus jitunya kali ini, sebuah teknik menggelitik perut Harry dengan jari jemarinya yang dingin. Usahanya tidak gagal, karena berjarak beberapa detik kemudian, Harry segera merintih dan berguling menjauh dari Tom.

"Tooooom… Ini masih pagi," Harry merengek sambil mengusap matanya, lalu menguap lebar-lebar. Bila ini adalah hari libur, Tom pasti sudah menikmati momen-momen menggemaskan Harry dengan suka hati.

"Tidak terlalu pagi bagiku," timpal Tom yang baru saja melempar selimutnya ke samping. "Kau harus pergi dari sini sebelum ada yang melihat."

Permusuhan antara asrama Gryffindor dan Slytherin bukan lagi sesuatu yang baru untuk murid Akademi Hogwarts. Makanya, Tom semula bermaksud untuk sebisa mungkin merahasiakan pertemanannya dengan Harry—mereka tidak terpisahkan sejak balita—tetapi segala upayanya hancur karena Harry sendiri tidak memiliki niatan yang sama. Ini juga bukan kali pertama Harry menyelinap ke kamar Tom di asrama Slytherin. Setidaknya, Harry cukup lihai dalam penyusupannya sehingga dia tidak pernah tertangkap basah murid Slytherin manapun.

Yah. Harry aman selama ini, sebab Tom selalu membangunkan Harry lebih awal dan memberinya waktu lebih banyak untuk menyelinap keluar dengan aman. Kasusnya akan berbeda kalau keduanya sama-sama tertidur sampai siang.

Tom tidak akan bisa menghadapi teman-teman Slytherin-nya lagi jika mereka tahu Tom-si-murid-teladan selama ini tidur dengan seorang Gryffindor.

"Cepat," desis Tom. Sebuah bantal dilemparkannya kepada si Gryffindor ketika yang bersangkutan terlihat seperti hampir ambruk kembali ke atas kasur. "Kalau kau terlihat seseorang, aku tidak punya pilihan selain melarangmu menginjakkan kaki lagi di sini."

"Jahat," Harry mengerutkan dahi. "Padahal aku sudah berbaik hati menemanimu setiap kali kau meminta ditemani tidur—"

"Terakhir kali aku meminta itu, aku berumur sebelas tahun."

"Tetap saja." Harry menjulurkan lidahnya dengan penuh ejekan kepada Tom. "Andai saja budak-budak Slytherin-mu tahu sisi lainmu… Bayangkan wajah mereka ketika tahu kalau kau suka memelukku seperti boneka beruang saat tidur."

"Itu tidak akan terjadi," Tom memasang senyum yang terlalu lebar, terlalu horor, dan Harry menelan ludah. Dengan nada menyenangkan, Tom memberi gestur kepada pintu kamarnya. "Nah, kalau kau tidak keberatan, Harry. Keluar. Sekarang."

"Oke, oke, aku keluar." Harry melemparkan kedua tangannya ke atas, lantas berdiri dengan enggan. Tiga langkah kemudian, Tom benar-benar mengira bahwa Harry akan pergi tanpa lebih banyak komplain, tetapi yang bersangkutan justru menghentikan langkahnya. Memutar arah, dan memilih berjalan menghampiri Tom.

Tom yang baru saja akan merapikan tempat tidurnya menahan keinginannya untuk menghela napas. Sepuluh menit lagi, janjinya, aku akan meladeni Harry sepuluh menit lagi, dan sesudah itu, Harry harus benar-benar pergi.

"Tom," Bibir bawah Harry yang kenyal digigiti dengan cemas. Dia terlihat seperti anak anjing yang baru saja ditendang. "Apa menurutmu—"

"—kau bisa lolos seleksi pemain inti sepak bola? Kau sudah bertanya itu berapa kali semalam? Seratus kali?" Tom menggelengkan kepalanya. "Serius, Harry. Kalau aku berkata kau bisa, maka kau bisa."

"Tapi, bagaimana kalau aku terlalu gugup nanti? A-Atau kalau Malfoy—Draco, maksudku—diam-diam memasang jebakan sehingga sepatuku rusak, atau semacamnya?" Harry mendongak menatap Tom dengan dua mata hijaunya yang berkaca-kaca, dan Tom—seorang Tom Riddle—hampir tidak tega untuk membentaknya. "Tom, apa yang harus kulakukan?"

"Hal pertama yang harus kaulakukan, Harry, adalah menenangkan diri." Sebelah tangan Tom naik, merayapi lengan Harry, dan berakhir pada pundaknya. "Dengar. Kau bisa melakukannya. Aku sudah bersamamu sejak kita anak-anak, dan jika ada orang yang mengetahui kemampuanmu, aku salah satunya. Percayalah padaku, Harry. Kau bisa."

Harry mengerjap, berbisik dengan suara penuh harap, "Benarkah?"

"Benar." Tangan Tom di atas pundak Harry bergerak lagi, kali ini naik menuju rahang Harry dan menetap di sana. Tom hafal dengan segala tabiat Harry—termasuk betapa temannya itu sangat menyukai ketika Tom menangkup wajahnya. Ibu jari Tom membelai selembut mungkin, dan Harry seketika membalas involunter dengan memejamkan mata dan meresapi sentuhan itu. "Kau adalah Harry-ku. Kau harus bisa melakukannya."

"Aku tidak tahu apakah kau berniat menyemangati atau mengancam, Tom," Harry tertawa kecil. "Tapi terima kasih. Aku jadi mengganggu belajarmu semalam dengan datang ke sini…"

Tom tidak mengatakan apapun, tetapi pegangannya pada rahang Harry sedikit mengencang penuh ancaman, sebelum tangannya merosot kembali ke samping tubuhnya.

"Um, Tom." Harry menatap Tom dari balik poninya dengan kedua mata berkilau itu lagi, dan bertanya lirih, "Maukah kau… menontonku nanti?"

Mulut Tom hampir berkhianat dan mengiyakan permintaan Harry, tetapi dia berhasil menahan diri di detik terakhir. "Kau tahu aku tidak terlalu suka olahraga, Harry." Dan, dia juga punya imej untuk dipertahankan di antara rekan-rekan Slytherin-nya. Apa kata mereka bila Tom datang ke lapangan sepakbola, yang biasanya berisi murid-murid kekar Gryffindor, untuk mendukung teman masa kecil Gryffindor-nya? Jika itu terjadi, maka usaha Tom untuk menanamkan teror dan dominasi di dalam asramanya selama ini sia-sia.

"Aku tidak suka olahraga, Harry." Harry merendahkan suaranya dan berpose melipat dada dengan sombong, sebuah tiruan Tom Riddle yang sangat buruk. "Aku harus menggiring budak-budak Slytherin-ku, Harry. Aku hanya mau di dekatmu saat tidak ada yang melihat, Harry. Aku tidak mau berteman dengan Gryffindor, Harry."

"Kurang ajar." Tom mengacak rambut Harry dengan brutal, menyebabkan teman masa kecilnya menjerit karena dia paling benci bila harus merapikan rambut acak-acakannya. "Kau tahu kalimat terakhir sangat tidak benar, Harry."

"Tapi kalimat lain benar?" Harry mendengus benci.

"Ada benarnya," koreksi Tom, tertawa ketika Harry menggeram tidak terima. "Jangan bertingkah seperti itu, Harry. Dari semua orang, kau seharusnya yang paling tahu."

Gerakan jemari Tom di atas kepala Harry melambat, melembut, berubah menjadi sebuah gestur mengelus yang sangat menenangkan. Harry memalingkan wajah, lalu mendongak dengan sebuah ekspresi penuh afeksi yang membuat Tom seakan ingin meleleh. "Aku tahu, Tom. Aku tahu." Kemudian, dengan gerakan yang cepat, Harry berjinjit untuk melayangkan sebuah kecupan pada pipi Tom dengan suara 'mwah' yang sangat keras. "Tom Marvolo Riddle, kau orang paling jahat yang pernah kukenal. Tapi terima kasih, sekali lagi. Aku menyayangimu."

Jika yang mengecup pipinya adalah orang lain, Tom akan memastikan bahwa orang itu akan mendapatkan… balasan atas kelancangannya.

Hanya saja, ini adalah Harry. Bocah berisik yang sudah ada sejak Tom kecil duduk sendirian di halaman belakang kediaman Riddle yang sangat luas. Bocah yang rasanya selalu ada untuk merusuhi kehidupan Tom.

"Bocah," geram Tom.

Pemuda yang dipanggil hanya menyeringai, lalu melesat menuju pintu kamarnya dengan sebuah, "Sampai jumpa!" yang sengaja dikeras-keraskan.

Bocah Gryffindor sialan. Tom tidak akan membelikannya es krim jika dia lolos seleksi nanti.

XOXO

"Tom, kau yakin dirimu dan bocah Potter itu hanya teman?"

Tom menghentikan langkahnya untuk menoleh kepada Alphard dengan sebuah alis yang dinaikkan, seperti bertanya 'apa-maksudmu' dengan tatapannya. Saudara tertua dari Orion dan Walburga Black itu kurang memiliki filter otak dan mulut sejak Tom pertama mengenalnya, dan dia terkenal di dalam lingkaran pertemanan mereka sebagai orang yang paling berani menceploskan pendapatnya pada seorang Tom Riddle.

Di sebelahnya, Abraxas Malfoy memucat.

"Kalau kau belum sadar," Tom menjawab lambat-lambat, mencoba sejauh mana Alphard akan terus mendorong, "jawabannya adalah ya, Alphard, kami teman."

Abraxas memberi lirikan tajam, sebuah sinyal agar Alphard menutup mulut dan meninggalkan diskusi mereka di situ, tetapi harapannya kandas ketika Alphard kembali menyahut.

"Bukan itu, Riddle." Alphard menggaruk belakang kepala ketika ketiganya melewati lapangan rumput tempat tim sepak bola Hogwarts sedang melakukan seleksi pemainnya. "Maksudku—kalian memang terlihat akrab, tapi… lebih lengket dari teman selazimnya, kau tahu? Kalian sering saling sentuh—dan maksudku adalah sentuhan yang, err, mesra? Dan cara si Potter memandangmu! Aku yakin bola matanya berubah jadi hati setiap dia bicara denganmu!"

Sorakan dari grup lelaki di atas lapangan mengalihkan perhatian ketiganya untuk sesaat. Tom menyaksikan dengan sebuah jengitan tidak suka ketika sekumpulan Gryffindor melompat dan berjoget girang, sebagian mencoba menggendong rekannya dan melemparkannya ke atas. Beberapa anak Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin juga terlihat, tetapi hanya sedikit dari mereka yang terlihat girang.

Ah, pikir Tom, pengumuman seleksi?

Di antara murid-murid Gryffindor bodoh itu, Tom menangkap segelintir kacamata bundar familier, serta wajah gembira sosok yang mengenakannya, dan dengan sedikit enggan, Tom mengakui bahwa dia merasa sedikit senang untuk temannya. Setidaknya, malam ini Harry tidak akan menangisi kegagalannya di dalam kamar Tom.

"Riddle?"

Panggilan Abraxas menarik Tom kembali kepada kenyataan. Di sebelahnya, Alphard terlihat hampir meledak dengan rasa penasaran karena pertanyaannya tak terjawab. Tom membawa diri, berdeham untuk menata pikiran, dan mengangguk kepada kedua kawannya.

"Mungkin lebih baik jika kita melanjutkan… perbincangan macam apapun setelah kita tiba." Murid-murid Slytherin berencana untuk mengadakan semacam kegiatan belajar kelompok—yang sebenarnya adalah acara 'keakraban' untuk saling mengenal kekayaan teman yang lain—dan Tom adalah tipe orang yang tidak suka terlambat. "Dan Alphard," Tom tersenyum simpul, "Jika aku menjadi dirimu, aku lebih memilih untuk menyimpan pertanyaanku. After all, curiosity killed the cat."

Jawaban Alphard adalah anggukan kaku dan cicitan, "Y-Yes, sir."

Setelah melalui perjalanan yang tak terlalu panjang, Tom akhirnya tiba pada kantin yang terlihat cukup lengang. Sebagian besar murid memilih untuk pergi menonton seleksi tim sepak bola, meskipun Tom yakin mereka akan kembali ke gedung sekolah tak lama lagi. Di sebuah meja yang telah diklaim Slytherin sejak lama, Tom melihat Lucius, Bellatrix, Barty, Rodolphus, dan Rabastan, yang masing-masing telah mendudukkan diri dengan nyaman. Melihat sosok favoritnya datang, Bellatrix menurunkan kedua kakinya dari meja dan melambai dengan pekikan antusias. "Sebelah sini, Lord Riddle!"

"Di mana yang lain?" Tom bertanya selagi dia mendudukkan diri dan meletakkan tas selempangnya di atas meja. Semua gerakan itu dilakukannya dengan elegan, yang membuat mata Bellatrix semakin bersinar penuh rasa hormat.

"Akan segera menyusul," Lucius menjawab dengan tenang, memberikan anggukan sebagai salam kepada Abraxas, kakaknya. "Draco sedang mengikuti seleksi tim sepak bola, kurasa."

"Seleksinya baru saja selesai," timpal Alphard. "Mungkin kita tidak perlu lama menunggu."

"Kuharap Slytherin mampu menunjukkan wajahnya di dalam tim sepak bola," sahut Barty, yang membuka-buka buku catatannya tanpa rasa tertarik.

"Menurutku sebaiknya tidak," Rodolphus menyela, mendongak dari permainan Hangman-nya di kertas dengan Rabastan. "Kau tahu di tim itu selalu banyak Gryffindor. Aku takut kalau anak Slytherin terlalu lama dekat dengan para idiot itu, mereka akan terkontaminasi."

Terkontaminasi. Tom menahan dengusannya. Kalau saja Rodolphus tahu betapa sering Tom menghabiskan waktunya dengan seorang Gryffindor kurang ajar…

"Well, mungkin tidak ada salahnya jika kita bertukar kabar?" Tom mengusulkan dengan nada diplomatik. "Aku ingin tahu apa yang terjadi di sekitar sekolah akhir-akhir ini."

Perbincangan grup itu baru berlangsung beberapa menit ketika pintu kantin dijeblak dengan keras dan tidak sopan. Melihat mimik tidak suka pada wajah rekan-rekannya, Tom berani bertaruh bahwa segerombol Gryffindor baru saja masuk. Yang berarti adalah kemungkinan terjadinya perkelahian, pertengkaran, adu mulut, atau secara umum, kekacauan.

Tom mengusap dahinya dan mengambil napas dalam-dalam. Dia benar-benar tidak ingin menghabiskan tenaganya untuk melayani bocah-bocah Gryffindor, dan bila memang bisa, dia ingin menghindari perseteruan macam apapun dengan grup singa berisik itu. Tidak semua orang mengisi waktu luang mereka dengan bertingkah bodoh dan mencari ribut dengan orang lain—Tom, misalnya, punya banyak sekali pekerjaan sebagai prefek yang harus segera diselesaikan.

"Tooooom!"

Napas Tom terempas keluar ketika sebuah beban—seseorang—menyeruduk dirinya dari belakang, membuat tubuhnya terdorong ke depan dengan tidak elit, dan Tom baru saja akan melemparkan siapapun idiot yang berani menyentuhnya ketika sepasang tangan melingkari lehernya dengan erat.

Oh. Otot-otot pada tubuh Tom mengendur. Hanya ada satu orang yang memiliki pelukan sekuat ini, hanya satu—

Kepala Tom menoleh pelan sekali, setengah berharap bahwa siapapun yang berada di belakangnya bukanlah sosok yang sama dengan dugaannya. Tentu saja, takdir tidak membiarkan kehidupan Tom berjalan dengan begitu mulus.

Dan, benar saja. Yang disaksikan Tom di balik punggungnya adalah rambut hitam acak-acakan, kacamata bundar, dan mata hijau cemerlang yang terlalu dihafalnya.

Oh, sial.

Di belakang Tom, Harry Potter memberinya sebuah senyuman inosen. Sekujur tubuhnya terasa lembab dan berbau sabun, indikasi bahwa dia baru saja selesai mandi usai seleksinya. Tom berusaha untuk tidak memikirkan bagaimana hangat kulit Harry menembus pakaian yang mereka kenakan.

"Harry." Tom berusaha untuk memunculkan senyuman senatural mungkin sambil mencoba keras untuk menekan kepanikannya. Baiklah, Tom Riddle, kau harus tenang. Kau harus memikirkan cara untuk membuat Harry pergi dari sini agar dia tidak memalukanmu di depan teman-temanmu. Kau telah menaklukkan seisi Slytherin, kau bisa melakukan ini—

Oke. Seringai pada wajah Harry merupakan pertanda buruk.

"Aku berhasil!" Harry mengeratkan pegangannya di sekitar leher Tom, membuat yang bersangkutan hampir terbatuk. Selanjutnya, seakan orang-orang di sekitarnya tidak eksis, Harry tanpa malu menempelkan pipinya pada pipi Tom.

Rekan-rekan Slytherin-nya mengeluarkan suara kaget dengan dramatis.

Tom sendiri merasakan sekujur tubuhnya mematung, karena tidak—Harry tidak boleh melakukan ini, dia tidak boleh menyentuh Tom di depan teman-temannya—

"Aku berhasil, Tom! Aku masuk tim!"

Kemudian, tanpa pernah memisahkan dirinya dengan Tom, Harry menjerit girang sambil mengatakan sesuatu yang hanya terdiri dari perulangan kata-kata 'aku berhasil' dan 'masuk tim' dan 'aku senang sekali'.

"Kerja bagus, Harry." Tom merasakan ujung bibirnya berkedut. "Aku senang dengan pencapaianmu—"

"Tentu saja! Kalau kau tidak ikut merasa senang, aku akan marah." Harry tersenyum lebar-lebar, membenamkan pipinya lebih dalam pada rambut Tom. "Kau tahu, Tom, kurasa aku bisa melakukannya karena kau ada untuk menyemangatiku semalam!"

Harry. James. Potter.

Kau akan membayar tindakanmu nanti.

Dari sudut matanya, Tom melihat Bellatrix membuka mulutnya sambil menggumam, "Semalam?" sambil memasang wajah seseorang yang baru saja tersambar petir.

"Baiklah." Tom menepuk puncak kepala Harry dengan gerakan kaku. Rekan-rekannya masih menatapnya, dan mereka terlihat bimbang apakah dia harus memisahkan Harry atau membiarkannya menempel pada Tom. "Aku tahu kau gembira, Harry, tapi kita lanjutkan nanti, mengerti? Setelah semua pekerjaanku selesai. Aku akan membelikanmu—"

"Es krim?" Kedua mata Harry melebar penuh harap. Tom menelan ludah, dan dia bersumpah bahwa Harry pasti tahu betul betapa dirinya sangat lemah menghadapi dua mata hijau lebarnya yang berkaca-kaca.

"Apapun. Setelah pekerjaanku selesai," Tom berjanji dengan nada lembut. Dia menyadari, dengan sedikit terhibur, bahwa kedua teman dekat Harry—Granger dan Weasley—tengah berdiri dengan canggung di dekat pintu kantin. Sama-sama ragu apakah mereka harus ikut mendekat. "Pergilah. Jangan membiarkan kedua temanmu menunggu."

"Kau yang terbaik!" Harry tergelak dengan suara renyah yang menyenangkan. "Terima kasih! Aku sayang Tom!"

Sayangnya, ketika Tom menduga bahwa Harry akan segera memutar tubuh dan hengkang dari sana, remaja itu justru memilih untuk memutar paksa tubuh Tom hingga mereka berhadapan, dan dengan gerakan cepat, Harry menunduk, kemudian—

Dia mencium Tom. Pada bibirnya. Di depan semua rekan-rekan Slytherin-nya.

Dan sebelum Tom sempat pulih dari keterkejutannya, Harry menarik wajahnya mundur, mengecup pipi Tom dengan suara 'mwah' keras yang menyebalkan itu, lalu berlari pergi dengan kerlipan jahil pada matanya.

Samar-samar, Tom mendengar teriakan melengking Bellatrix yang gagal teredam di tenggorokannya.

Keheningan yang tidak mengenakkan itu dipecahkan dengan oleh suara inosen Alphard yang bertanya, "Tom, kau benar-benar yakin kalau kalian hanya teman?"

Dan, ketika Draco datang dengan pertanyaan, "Kenapa kalian bertingkah aneh?" beberapa menit kemudian, tak ada yang berani menjawab. Termasuk Tom, yang kini merasa bahwa separuh harga dirinya telah hancur.

.

.

"Kau dan Potter, kau tahu—"

"Kami hanya teman."

"Tapi siang ini, di kantin, kalian berciu—"

Gadis Hufflepuff yang bertanya kepada Tom terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi satu pelototan mengerikan kemudian, dia memutuskan bahwa keselamatan dirinya lebih penting daripada bahan gosip yang panas.

.

.

"Hei, R-Riddle? Aku tidak tahu kau mengencani Har—"

"Kami. Hanya. Teman."

.

.

"Tom! Selamat, selamat, aku dengar kau akhirnya telah resmi jadian dengan Harry."

"…"

Sejak kapan Slughorn ikut menggosip dengan muridnya?

.

.

Hari itu, Tom memutuskan bahwa dia membenci semua orang di dalam sekolahnya.

(Kecuali Harry, mungkin, walaupun dia adalah biang kerok dari semua ini.)

.

.

End?


Fik kecil untuk memberi diri sendiri asupan.

Tom dan teman-teman segerombolannya kira-kira berumur 15/16 di sini. Harry dan temen seangkatannya setahun lebih muda dari Tom. Di sini, Alphard Black jadi kakaknya Sirius dan Regulus. Abraxas juga jadi kakaknya Lucius dan Draco. Saya pingin explore AU ini lagi di masa mendatang, jadi kemungkinan bakal ada chapter baru. Tapi untuk sekarang, tamat dulu ehehe.