'PRAAANG!'
"Hideki!" seorang perempuan molek berambut pirang sontak berteriak begitu didengarnya suara barang pecah dari arah lantai dua. "Kalau kau tidak berhenti memecahkan barang, Bibi tidak mau lagi mengijinkanmu main kemari!" ancamnya keras. Si nyonya rumah yang berprofesi sebagai jurnalis itu kemudian beralih menghardik ibu muda yang tengah menemaninya minum teh di teras depan, "Aku heran, Hinata. Kenapa tidak kau rantai saja kaki anakmu itu? Tiap minggu kalian datang kemari dan tiap minggu juga perabotanku berkurang satu!"
Hinata Hyuga hanya bisa menghela napas pasrah. Sambil mengulurkan secangkir teh dengan dua balok gula perempuan berperangai kapas itu menuturkan, "Aku minta maaf, Temari. Biar nanti barang yang pecah aku ganti."
Temari mendengus. Makin lama ia makin penasaran, sebenarnya dosa macam apa yang pernah Hinata perbuat hingga si guru TK yang terkenal serba kalem itu bisa melahirkan kutu loncat seperti Hideki? "Terserah padamu saja," katanya sembari menerima uluran secangkir teh dari sulung Hyuga yang sudah dikenalnya sejak tujuh tahun lalu itu. Tepatnya sejak kedua perempuan tersebut sama-sama berniat menjalani inseminasi buatan di Rumah Sakit Konoha, meski dengan alasan yang berbeda. Temari memilih untuk mendapatkan keturunan dengan cara tak alami karena putri keluarga Sabaku itu tak pernah percaya pada institusi sakral bernama pernikahan, sesuatu yang wajar adanya mengingat sudah sejak masih belia ia sibuk memperjuangkan nasib kaum hawa yang menjadi korban kekerasan rumah tangga. Sedangkan Hinata nekat memilih jalan inseminasi buatan karena tak lagi percaya pada kaum pria yang selama ini hanya menganggapnya sebagai pewaris keluarga Hyuga yang kaya raya. Benar saja, begitu Hinata memutuskan untuk melepas statusnya sebagai pewaris, para lelaki yang tadinya mati-matian mengejar hati perempuan itu mendadak tak pernah terdengar kabarnya lagi.
"Hai, Temari! Hai, Hinata!" sapa manis terdengar melantun dari arah gerbang. Disusul suara klakson dan bunyi mesin mobil yang berbelok mendekat. Temari dan Hinata sama-sama menoleh, kemudian melihat sebuah mobil berwarna beige berpenumpang dua orang yang salah satunya tengah melambai-lambaikan tangan kirinya ke arah teras tempat kedua orang tua tunggal itu berada.
"Sakura?" Temari meletakkan tehnya lalu berdiri. "Ino? Tumben sekali kalian datang kemari," tuturnya begitu sepasang penumpang mobil itu turun menghampiri.
Sakura Haruno, si dokter berambut merah jambu dengan sepasang mata hijaunya yang berkilat riang lantas berjalan setengah melompat ke arah Temari. Senyumnya terkembang lebar sewaktu berkata, "Aku sudah tidak sabar ingin memberi tahu kalian!" Raut wajahnya begitu sumringah. Berbanding terbalik dengan rona cemberut yang ditampilkan rekan semobilnya, Ino Yamanaka.
Aneh, pikir Temari. Biasanya kedua sahabat karib itu selalu berbagi rasa. Jika salah satu tengah bergembira, yang satu lagi pasti ikut tersenyum. Jika salah satu bermuram durja, yang satupun akan ikut menekuk muka. "Memberi tahu apa?"
Dengan tinggi nada ekstra Sakura mengumumkan, "Sasuke melamarku!" Tak lupa gadis itu mengangkat tangan kiri yang jari manisnya dilingkari sebuah cincin bermata zamrud.
"Wah, benarkah?" Hinata ikut sumringah. Diraihnya jemari Sakura sambil memuji, "Cincinnya cantik sekali. Kau sungguh beruntung, Sakura."
"Tentu saja, Hinata!" Sakura memeluk teman sekolahnya itu seraya berjingkrakan. Kemudian diciuminya kedua pipi Hinata yang semulus marmer. "Aku bahagia sekali!"
"Selamat, ya," tutur Temari sebelum beralih pada Ino. "Tapi kenapa kau cemberut begitu? Masa temanmu bertunangan kau tidak ikut senang?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Sakura dan Sasuke," elak Ino. Gadis rupawan berambut pirang panjang yang dikenal selalu bisa menarik perhatian pria itu melempar kunci mobil Sakura ke atas meja dan menghempaskan dirinya ke atas kursi yang sebelumnya diduduki oleh Temari. "Aku sudah tahu kalau mereka akan bertunangan sejak jaman anjing masih berkaki tiga," lanjutnya ketus.
"Lalu kau kenapa?" tanya Temari.
Ino tak menjawab. Membuat si penanya ganti melempar pandang ke arah Sakura. Kemudian tanpa suara dokter muda itu menggunakan jemari kanannya untuk menunjukkan angka lima, empat dan satu.
541. Sai. Nama pemilik perusahaan cat Raven Paints yang kini tengah tersangkut kasus perusakan lingkungan hidup dengan Ino sebagai saksinya.
"Persidangan kemarin tidak berjalan mulus?" tebak Temari.
Ino malah meledak. "Si Mayat Hidup itu benar-benar menyebalkan! Tersenyum seperti manusia tanpa dosa tapi menyerangku seperti singa!" Tambahnya seraya bersungut-sungut, "Pengacaranya juga memuakkan! Semua perkataanku diputarbalikkan semaunya! Aku benci! Benci! Benci!" Aktivis lingkungan hidup bermata biru itu sampai memukul-mukul pahanya sendiri karena kesal.
"Jangan begitu, Ino," tegur Hinata halus. "Kalau kau sampai kelepasan di depan juri, bisa buruk akibatnya."
Temari menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sekarang ia malah khawatir Sai akan membungkam Ino dengan segala cara. "Apa perlu kuminta adik-adikku menjaga rumahmu?"
Sosok cantik putri tunggal keluarga Yamanaka menggelengkan kepala. "Aku sudah terlalu sering merepotkan Kankuro dan Gaara."
"Sabarlah dulu," Hinata menyarankan. "Mau kubuatkan teh?" Kali ini Ino mengangguk. "Kau juga mau teh, Sakura?"
"Nanti saja, Hinata," tolak Sakura. "Lagipula ada yang harus kubicarakan dengan kalian berdua."
"Soal apa?"
"Soal Hideki dan Shouhei."
Hinata dan Temari sama-sama terkesiap mendengar nama buah hati mereka disebut. "Hideki dan Shouhei kenapa?" tanya Temari.
Sakura tak segera menjawab. Ditolehnya ke kanan-kiri, mencari kursi untuk diduduki. Ketika dilihatnya satu di sudut teras, gadis itupun menariknya sebelum menerangkan, "Dua orang pendonor sperma menghubungi rumah sakit tiga hari lalu. Mereka adalah pendonor yang masing-masing menyumbang untuk inseminasi Hideki dan Shouhei."
Raut wajah Hinata berubah cemas. Seperti termakan paranoia dibayangkannya kalau ayah biologis Hideki berniat meminta hak asuh, kompensasi material atau semacamnya.
"Jangan buru-buru pucat begitu, Hinata," tukas Sakura. "Sesuai regulasi yang berlaku, para pendonor sperma tidak memiliki hak apapun di hadapan hukum atas anak biologis mereka." Sesuai regulasi yang berlaku pula Temari dan Hinata tak pernah diberitahu siapa ayah biologis Shouhei dan Hideki. "Mereka bahkan tidak boleh menemui kedua anak itu kalau kalian tidak mengijinkan."
"Kalau begitu mereka menelepon untuk apa?" Hinata bertanya.
"Mereka hanya ingin bertemu Shouhei dan Hideki. Itu saja." Tambah Sakura seperti berusaha meyakinkan, "Dua orang ini bukan pendonor biasa, Temari. Mereka hanya mendonorkan sekali. Penerima donornya juga cuma kalian saja. Wajar kalau mereka ingin tahu rupa anak biologis mereka seperti apa."
Temari dan Hinata saling berpandangan. Bingung harus bagaimana. Karenanya Ino ikut bersuara, "Kebetulan saja Sasuke kenal dengan dua orang itu. Kalau kalian setuju, ikutlah berakhir pekan di Kumo minggu depan. Biar Shouhei dan Hideki bisa bertemu mereka di sana."
Seorang Sabaku dan seorang Hyuga masih bungkam.
"Bagaimana?" tanya Sakura. "Kalian setuju tidak?"
Hinata tak berani memutuskan. "Terserah Temari saja. Kalau dia pergi, aku ikut pergi juga."
Maka kompaklah tiga pasang mata menatap ke arah Temari penuh pinta. Desahan ringan meluncur dari sela bibir perempuan pirang tersebut sebelum ia berujar, "Tanyakanlah sendiri pada anak-anak. Mumpung kau di sini, Sakura."
Sakura mengangguk. Kemudian berdiri disusul Hinata, Ino dan Temari. Berempat mereka melangkah masuk ke dalam rumah, menaiki tangga ke lantai dua dan mengikuti arah yang ditunjuk ujung jari Temari menuju ruang bermain yang maha berantakan tiada dua.
Tidak, ruangan itu tidak mirip kapal pecah. Ruangan itu lebih mirip kapal pecah yang diinjak-injak massa sebelum dilempar dan tenggelam di dasar samudera. Piring-piring kue yang isinya sudah amblas tampak terbelah berkeping-keping, sementara kepingan-kepingannya berserakan di sekujur meja. Karpet yang tadinya sewarna jerami kini berubah berbelang-belang hijau ditumpahi minuman yang gelasnya menggelinding hingga ke bawah jendela. Kertas-kertas dan pensil crayon tercecer di sana-sini, bergumul ria dengan noda coklat yang entah berasal dari mana. Sebuah televisi terlihat menyala meski tak ketahuan yang ditampilkan itu acara apa, mengingat layarnya penuh coretan spidol aneka warna.
Dua orang anak berumur enam tahun menghuni ruangan itu. Salah satunya sibuk berlarian dengan taplak meja terikat di leher menyerupai jubah terbang tokoh pahlawan super paling popular di dunia, sementara seorang anak lagi sibuk menirukan kegiatan beruang kutub di masa hibernasinya.
"Halo, Bibi Sakura! Bibi Ino!" sapa ceria si anak bertaplak meja terdengar memekakkan telinga. Bocah berambut pirang jabrik itu memamerkan cengiran lebar yang sekaligus memperlihatkan barisan gigi bernoda sisa gula.
"Hideki, kau ini bandel sekali," Ino menegur. Dengan kedua tangan diangkatnya tubuh Hideki dan didudukkannya di pangkuan sambil melihat kertas-kertas yang berserakan di atas meja. "Apa ini?" tanya Ino sembari menunjuk selembar kertas gambar yang tak lagi kosong.
"Itu gambarku!" seru Hideki bangga.
"Iya, tapi kenapa kau menggambar setan begini?"
Hideki mengkerut. Setengah tak terima karena hasil gambarnya dibilang setan, setengah lagi merinding karena mendengar kata bernada seram. "Itu bukan setan, Bibi Ino. Itu Mama Hinata!"
Sang ibu hanya tersenyum mendengarnya.
Sementara Sakura yang pada dasarnya memang malas berurusan dengan anak kelebihan tenaga memilih untuk menghampiri Shouhei. Anak laki-laki Temari itu harus ia goyang-goyangkan beberapa kali sebelum menggeliat malas, menguap dan akhirnya membuka mata. "Ayo bangun, Shouhei," rayunya. "Hideki saja sudah menggambar Mama Hinata. Apa kau tidak mau menggambar Bunda Temari juga?" Lalu Sakura menoleh ke arah rak buku yang dipenuhi barisan buku dongeng di sebelah kiri. "Atau kau mau Bibi bacakan cerita?" Sang dokter meraih salah satu buku berjudul Cinderella sambil meneruskan, "Nah, yang ini cerita kesukaan Bibi waktu masih seumuranmu dulu."
Si kecil berambut gelap melirik sebentar. "Tidak mau, Bibi." Tambahnya seraya menguap lagi, "Buku itu berbau penipuan."
Sakura heran. Sejak kapan anak usia enam tahun bisa menggunakan kata 'penipuan' dengan begitu luwesnya? "Maksudmu bagaimana, Shouhei?"
Shouhei menarik buku cerita tadi dari tangan Sakura. Dengan malas dan setengah hati dibukanya beberapa halaman sampai ke sebuah bagian yang kemudian ditunjuknya dengan jari. "Disini diceritakan kalau Cinderella memakai sepasang sepatu kaca yang melekat sempurna di kedua kakinya—" si anak membuka lagi beberapa halaman, "—lalu di sini tertulis bahwa sang pangeran menemukan Cinderella bukan cuma karena sepatu yang dibawanya pas, tapi juga karena Cinderella memiliki sepatu yang sebelah lagi di kantung bajunya." Sampai di sini Shouhei berhenti sebentar, memberi efek hening selayaknya pengacara handal yang tengah membangun argumen di persidangan. "Kalau memang sepatu itu sedemikian pasnya, bagaimana bisa jatuh dan tertinggal sewaktu Cinderella berlari keluar dari istana? Kenapa pula Cinderella dengan sengaja mengantongi sepatu yang tinggal sebelah kemana-mana?" Tanpa menunggu sampai Sakura berhasil mencerna maksud perkataannya, Shouhei melanjutkan, "Bukankah dengan begini jelas terlihat bahwa Cinderella secara sengaja meninggalkan sepatunya untuk menjebak sang pangeran agar menikahinya sebagai istri? Menurut hukum yang berlaku di negara kita, Cinderella bisa dituntut atas tuduhan penipuan dengan ancaman hukuman antara lima hingga tiga puluh tahun penjara."
Sakura melongo. Seakan berusaha menutupi kedutan di dahinya gadis itu asal saja menebak sambil tersenyum kaku, "Wah, Shouhei pasti bercita-cita jadi pengacara. Iya, kan?"
"Siapa bilang, Bibi?" Shouhei lagi-lagi menguap sebelum menjatuhkan kepalanya ke atas permukaan meja. "Aku mau jadi petani."
-x-
-x-
Disclaimer:
That I need one is a dead giveaway.
Warning:
AU, chara death(s), possibly OOC. No chara bashing purpose. Don't like don't read.
Summary:
Jika mati itu mudah, maka membunuh itu lebih mudah lagi. Yang sulit adalah menemukan seorang pelaku di antara delapan korban yang salah satunya tak lagi bernyawa.
-x-
-x-
-x-
A Blasting Death
-x-
-x-
-x-
-x-
-x-
Sebelah alis Temari terangkat naik ketika melihat pegawai baru di bengkel mobil langganan yang ia datangi siang itu bersama Ino dan Hinata. Bukan main betapa miripnya pegawai bernama Deidara itu dengan Ino, mulai dari panjang rambut pirang hingga warna kulitnya. "Kalian ini saudara kembar atau apa?"
Ino membalas dengan tawa sarkastis, "Ha. Ha. Lucu sekali." Kemudian ditanyakannya pada Deidara, "Mobilku sudah jadi, 'kan?"
Deidara mengangguk. "Sudah." Sebuah kunci lalu diulurkannya pada Ino sambil berkata, "Ada di sana," seraya menuding arah timur dengan ujung dagu. "Ambillah sendiri."
"Oke," Ino menerima uluran kunci mobilnya tadi dan bergegas menuju sisi timur bengkel.
Temari mengeluh tidak senang, "Kami ini pelanggan, Deidara. Harusnya kau bawakan mobil itu sampai sini."
Deidara terkekeh saja. "Ah, sudahlah," kilahnya. "Ngomong-ngomong, kalian mau kemana?"
"Ke Kumo," jawab Temari. "Seorang teman mengundang kami berakhir pekan di rumah danau tunangannya."
"Oh."
"Apa kau tahu kira-kira butuh berapa jam untuk sampai ke sana?"
"Dua atau tiga jam, mungkin." Deidara menambah, "Tenang saja, kalian pasti sampai sebelum senja."
Temari mengangguk paham. Kemudian menoleh ke arah Hinata yang tengah menelepon Hideki dengan ponselnya. Kedua anak mereka memang sudah sampai di Kumo lebih dulu karena dijemput langsung dari sekolah oleh Sakura.
"Hideki sudah makan?" tanya Hinata.
"Belum, Mama," jawab si anak setengah mengadu dari seberang sana. "Bibi Sakura memasaknya lama sekali."
"Yang sabar, Sayang. Hideki makan saja dulu bekal yang Mama siapkan tadi pagi. Masih ada, 'kan?"
"Hu-um." Dari tempatnya berdiri sekarang Hinata bisa menebak kalau putranya itu pasti menjawab pertanyaan tadi sambil mengangguk-anggukkan kepala. Meskipun ia tahu si ibu tidak bisa melihatnya. "Mama, bagaimana kalau masakan Bibi Sakura tidak enak?"
"Hideki jangan pilih-pilih makanan," Hinata menasehati. "Bibi Sakura 'kan sudah berusaha keras. Nanti malam biar Mama yang masak."
"Mama kapan sampai sini?"
"Sebentar lagi," jawab Hinata. Setengah berbohong, memang. Mengingat paling cepat mereka baru bisa sampai jam tiga nanti. "Hideki tunggu saja. Jangan nakal, ya. Kalau barang-barang Bibi Sakura sampai ada yang pecah, Hideki tidak akan Mama beri es krim sampai minggu depan."
"Iya, ya."
Hinata lantas menjauhkan ponsel dari telinganya untuk sesaat. Menempelkan benda berwarna putih itu di pundaknya sewaktu bertanya pada Temari, "Kau mau bicara pada Shouhei tidak?"
Temari menggeleng. "Anak itu paling-paling sedang tidur."
Hinata mengangguk paham. Sekali lagi diangkatnya ponsel tadi ke telinga. "Hideki, Mama tutup dulu teleponnya, ya. Jangan lupa ajak Shouhei makan siang kalau sudah siap nanti."
"Bagaimana caranya, Mama?" Yakin benar Hinata kalau anaknya tengah merengut sekarang. "Shouhei sama sekali belum bangun sejak pulang sekolah tadi."
Suara mobil Ino yang berjalan mendekat mengalihkan perhatian Hinata. Segera setelah itu Temari terlihat sibuk memasukkan barang-barang bawaan mereka ke dalam bagasi. "Hideki, Mama pergi dulu, ya. Sampai jumpa, Sayang."
"Hinata, ayo naik!" panggil Ino.
'Klik.' Ponsel ditutup. "Iya, sebentar!" Hinata menyahut sambil bergegas masuk ke dalam mobil seraya menenteng tas tangan yang berisi baju ganti Hideki. Begitu ia menutup pintu, Ino membunyikan klakson satu kali sambil melambai singkat ke arah Deidara yang balas melambai sebelum berbalik.
Kemudian Chevrolet biru yang dikemudikan Ino itupun meluncur keluar dari halaman bengkel, melaju di jalan raya yang menghubungkan Konoha dan Kumo.
Selama hampir dua jam ketiganya berkendara, melewati tiga jalur lingkar berbeda dan hamparan ladang tebu yang menghampar di sepanjang jalan lintas kota. Ketika posisi matahari mulai menjauh dari ubun-ubun, mereka sudah tiba di hadapan gerbang tinggi bermotif awan yang menandakan bahwa mereka telah meninggalkan wilayah Konoha.
"Kau yakin tidak mau kugantikan menyetir?" tanya Temari.
"Supaya mobilku bisa masuk bengkel lagi? Tidak usah," tolak Ino.
Sementara itu Hinata yang memang tidak bisa menyetir jadi tersenyum lemah karena merasa bersalah. Andai saja dia berhasil lulus ujian mengemudi, Ino pasti tidak perlu jadi supir kemanapun mereka pergi.
"Bisa tidak jangan mengungkit-ungkit urusan bengkel lagi?" Temari gerah juga. "Yang penting 'kan aku sudah membayar biaya perbaikannya."
Sekitar tiga puluh menit kemudian Temari mulai melihat samar hijau warna air danau dari kejauhan. Dilihatnya juga julangan pinus yang aroma manisnya terbawa angin hingga beradu dengan aroma daun jati di perkebunan milik negara. Ino membelokkan kemudi, menyusur masuk ke sebuah rumah yang berdiri persis di tepi Danau Raikage. Niatnya, gadis itu ingin memberhentikan mobil di samping sebuah Porsche putih yang ia kenali sebagai mobil Sasuke. Tapi sayang gerakan tangannya kurang cepat jika dibandingkan dengan laju Ferrari kuning yang tiba-tiba muncul dan menyerobot slot parkir tersebut. Segera dibantingnya setir ke arah lain, namun kali inipun Ino didahului oleh sebuah mobil berplat nomor S 41 yang menyalip dari arah samping.
"Ah, sudahlah!" Putusnya sebal, "Kita turun di sini saja."
Temari dan Hinata manut. Sewaktu keduanya turun dari mobil, Sakura dan Sasuke terlihat berjalan menghampiri dari arah teras tempat mereka sebelumnya menunggu bersama Hideki dan Shouhei. Temari lantas tersenyum simpul. Sepertinya ia berhutang tepukan tangan pada Sakura yang sukses menemukan cara jitu untuk membuat Hideki duduk diam, yaitu dengan memberinya bermangkuk-mangkuk ramen. Sakura juga terbukti berhasil menemukan metode untuk membuat Shouhei terjaga tanpa menguap malas. Metode itu bernama kubus rubiks, papan puzzle dan balok lego.
"Hey, Ino." Tanya Sakura, "Apa jalanan macet? Kalian lama sekali."
"Macet apanya?" Temari yang menjawab, "Ini karena Ino menyetir seperti siput."
"Eh, yang penting itu berkendara aman, bukan berkendara cepat," Ino membela diri. "Cara menyetirmu itu ugal-ugalan sekali." Kemudian ia melempar kunci mobilnya pada si tuan rumah. "Sasuke, tolong pindahkan mobilku, ya."
"Hn?" Si bungsu Uchiha berparas dewa menangkap lemparan kunci tadi dengan sebelah alis terangkat naik. "Kau pikir aku tukang parkir?"
"Sekali ini saja." Kilah Ino, "Lagipula ini salah tamu-tamumu yang suka menyalip orang."
Sasuke menarik napas sebentar. "Sebagai gantinya kau dapat giliran mencuci piring nanti malam."
"Iya, iya," ujar Ino setuju.
Sasukepun berjalan menuju mobil Ino. Sambil lalu disapanya dua penumpang Ferrari kuning yang tadi menyerobot gadis itu. Salah satu dari dua penumpang tersebut dikenali Temari sebagai Naruto Uzumaki, pemain sepak bola profesional yang sudah tiga tahun ini menyandang ban kapten Konoha Templars. Namun bukan pria berambut pirang itu yang menarik perhatian Temari, melainkan sesosok adam lain yang muncul setelahnya. Sesosok adam berambut gelap yang menguap lebar dengan kedua tangan tersembunyi dalam saku celana.
Namanya Shikamaru Nara. Temari mengenali lelaki bertampang malas tersebut karena Shikamaru sempat menjadi perhatian publik beberapa waktu lalu. Persisnya setelah ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai ahli strategi Biro Intelijen Konoha menyusul penolakannya terhadap salah satu misi besar yang berpotensi mengundang skandal. Misi itu sendiri berakhir gagal total dan memakan ratusan korban jiwa. Media makin gencar mengekspos berita tersebut sebab Shikamaru adalah putra semata wayang Shikaku Nara, pejabat Departemen Pertahanan yang saat ini menduduki kursi Under Secretary of Defense for Intelligence.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Temari menoleh mendengar pertanyaan bernada menyalak yang baru saja dilontarkan oleh Ino. Tanpa sempat bertanya, Temari mengalihkan pandangannya mengikuti arah pelototan sepasang mata biru si pirang Yamanaka. Disanalah Temari melihat Sai, tersenyum penuh makna dilatari pucat kulitnya yang tanpa rona.
"Selamat sore, Nona Cantik," sapa Sai tak peka situasi. "Senang sekali bisa bertemu lagi denganmu."
Ino menautkan alisnya dan mencecar tanpa jeda, "Apa yang kau lakukan di sini, Mayat? Tidak puas mencemari Sungai Senju kau mau mengotori danau ini juga? Atau kau cuma kemari untuk berusaha menyuapku se—"
'BLAAAM…DUAAARR!'
Suara ledakan yang begitu keras memaksa tujuh kepala untuk menoleh dengan kecepatan yang tak biasa. Empat belas bola mata melebar seketika menyaksikan sebuah mobil Chevrolet biru terlahap api bersama raga Sasuke Uchiha yang terpanggang di dalamnya. Temari tak sempat mendengar jerit panik Sakura, tak sempat mendengar pekik ketakutan Hinata, tak sempat pula ia mendengar teriakan Shouhei dari arah teras sana, sebab—
'DUUAARR…DUUUAAARR…DUUAAARRR!"
—satu ledakan tadi segera memicu ledakan tiga mobil lainnya yang memang terparkir berdekatan. Temari hanya sempat melihat bulatan besar si jago merah yang membumbung ke udara sebelum sepasang lengan menerjangnya ke atas tanah, menghindarkan jurnalis berambut pirang itu dari panas jilatan api dan pecahan material yang melesat ke segala arah.
-x-
-x-
-x-
TBC
-x-
-x-
-x-
a/n: Salam kenal, semuanya. Terima kasih sudah membaca fic saya ini. Kalau berkenan, silakan tinggalkan review di bawah sana.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
