Setelah saya membuat ShuuNao dengan setting Canon (Married Without Love), kini saya mencoba membuat fic mereka dengan setting AU. Semoga, tidak terlalu aneh :3

Fic ini adalah birthday fic untuk salah satu imouto FFn saya—yang siapa itu—masih saya rahasiakan identitasnya XDD. Rencananya… akan saya beritahu di chapter dua fic ini. Tenang saja, fic ini hanya terdiri dari dua chapter kok ;)

Warning: OOC dengan setting AU, aneh, di luar logika, abal. Don't Like, Don't Read.

Genre: Mystery/Friendship

Pair: (hint) ShuuheixNanao

Disclaimer: Bleach tidak akan pernah menjadi milik saya.

Selamat membaca ^^


Serpihan Memoar Lalu

Bleach © Tite Kubo

.

.

a ShuuNao fanfiction by Nagisa Yoriko

Fic ini saya hadiahkan untuk…. (masih dirahasiakan *plak*)


Kulirik jam yang berada di dinding ruang tamu apartemen kami. Masih lama, mungkin sekitar empat puluh lima menit lagi, mereka akan tiba. Kuhempaskan tubuhku ke sofa lalu kulirik kalender ponselku.

Tak terasa… seperti baru kemarin aku mendaftar sebagai mahasiswa baru. Ternyata, itu sudah dua tahun yang lalu. Kembali kuteringat hal-hal yang telah terjadi, saat aku masih menjadi mahasiwa tahun pertama itu. Sebuah memoar yang tidak mungkin akan kulupakan selama hidupku. Sebuah kisah persahabatan yang 'lain'…

.

.

Flashback On (mulai dari sini, kisahnya adalah kisah masa lalu)

"Ah… tidak! Jangan-jangan kita terlambat!" teriakku pada gadis di sebelahku.

Kami berdua tergopoh-gopoh berlari menuju ruang registrasi. Huft… registrasi mahasiswa baru memang merepotkan. Kalian tahu? Universitas Seireitei ini luas sekali, aku dan Isane sampai terengah-engah menuju kemari.

"Lihat! Nanao, kekhawatiranmu itu berlebihan… kita tidak terlambat 'kan?" ucap gadis itu menenangkanku.

Segera kukeluarkan dari dalam tasku—berkas-berkas yang diperlukan untuk registrasi tersebut. Lalu, aku mengantri di deretan mahasiswa baru Fakultas Hukum. Aku sedikit melengos melihat betapa panjangnya antrian ini. Kulihat Isane mengacungkan kepalan tangannya sebagai isyarat untuk tetap semangat.

Isane yang diterima di Fakultas Sastra telah menyerahkan berkas registrasi pada hari kemarin. Hari ini, ia berbaik hati menemaniku.

Akhirnya setelah sekian lama mengantri, aku menghampiri temanku itu sembari membawa beberapa lembar formulir yang harus kuisi.

"Apakah kemarin kau mengantri lama sepertiku?" tanyaku.

"Yah, begitulah. Ayo cepat isi formulirnya! Lalu, kau serahkan kembali pada petugas registrasi."

Segera kuturuti apa saran temanku itu. Formulir ini ada empat lembar, jika aku tidak segera mengisinya maka akan semakin menyita waktu. Kukeluarkan lem kertas dari dalam tasku, untung saja firasatku benar bahwa aku akan membutuhkannya untuk menempelkan pas foto.

"Permisi nona, apakah boleh aku meminjam lemnya?" tanya seorang pemuda tiba-tiba.

Aku mendongak sebentar lalu kembali sibuk mengisi formulir, "Ya, silakan saja."

Namun, aku rasa perlu memperhatikan kembali pemuda itu. Bukan apa-apa, aku merasa sedikit aneh dengan penampilannya. Kulitnya putih sekali, bahkan menurutku pucat. Apakah dia sakit? Tetapi kalau memang sakit mengapa tidak terlihat sakit?

"Kau diterima di fakultas mana?" ucap Isane yang tiba-tiba membuka pembicaraan.

Kulihat pemuda itu tersenyum pada kami, "Fakultas Sastra. Kalian sendiri?"

"Wah sama! Aku juga Fakultas Sastra jurusan Sastra Perancis, kau sendiri?" tanya temanku pada pemuda itu.

Aku tetap sibuk mengisi formulirku meski pemuda itu tengah berbincang bersama Isane. Ah… bagiku formulir ini lebih penting!

"Oh, syukurlah! Aku mendapat teman baru satu fakultas, aku mengambil jurusan Jurnalistik. Uhm, kalau nona?"

Aku sadar bahwa ia mengajukan pertanyaan itu untukku, sebab sedari tadi hanya aku yang sibuk sendiri.

"Jurusan Hukum Ketatanegaraan, Fakultas Hukum," ucapku singkat.

"Ah… sayang, kita tidak satu fakultas," responnya.

Pemuda itu mengucapkan terima kasih lalu ia pergi. Kulihat ia segera mengantri di deretan mahasiswa baru Fakultas Sastra lainnya. Gadis berambut silver di dekatku ini kemudian menggumam, "Nanao! Kau ini… ada kenalan baru kenapa cuek begitu?"

Kuacungkan isian formulir ini sebagai jawaban atas pertanyaannya.

.

.

Akhirnya selesai juga. Aku kemudian meninggalkan antrian. Isane telah menungguku di dekat pintu. Namun, saat kami akan meninggalkan ruang registrasi, tiba-tiba pemuda yang tadi kembali menghampiri kami.

"Hey! Kau sudah selesai?" ucap Isane, menyapanya terlebih dahulu.

"Ya, untung saja bisa cepat. Oh ya! Kalian mau pulang juga 'kan? Keluar sama-sama saja ya!" ajaknya.

Kini kami berjalan beriringan menyusuri jalan-jalan di universitas ini. Sesekali kami menikmati keindahan arsitektur bangunan dan keasrian taman-tamannya.

Pemuda itu berjalan di sebelah kiriku, sementara Isane berada di sebelah kananku.

"Namaku Shuuhei, Hisagi Shuuhei. Aku dari Karakura. Kalian?"

Yah… baru saja tersadar olehku, bahwa sejak awal ia memang belum memperkenalkan diri.

"Dari Karakura? Jauh juga…" respon temanku itu, "aku Kotetsu Isane dari Rukongai, kota yang tak jauh dari Seireitei."

"Kalian dari kota yang sama?" tanya Shuuhei.

Aku mengangguk pelan, "Ya, bahkan SMA yang sama. Aku Ise Nanao, senang bertemu denganmu."

Kulihat pemuda itu merogoh sesuatu dari saku jeans-nya.

"Ah… boleh kuminta nomor ponsel kalian?"

~SHIN~

Pandanganku kosong menatap pemandangan di luar sana. Tidak kupedulikan suara canda beberapa murid SMP yang sedang bersenda gurau di dalam gerbong kereta ini. Kurasa, letih sehabis registrasi inilah yang membuatku malas untuk merespon keadaan di sekitarku.

Terbesit dalam pikiranku perjumpaan dengan pemuda itu, Hisagi Shuuhei. Entah mengapa aku merasakan sebuah keganjilan—yang entah apa itu—ketika aku berada di dekatnya tadi. Aku merasa ada yang aneh dengan dirinya, tapi… apa itu?

"Hey! Shuuhei mengirimkan sms padamu tidak?" tanya Isane yang berhasil memecahkan lamunanku.

Aku terjingkat, "Tidak. Memangnya ia mengirimimu sms?"

Gadis itu mengangguk pelan, dapat kulihat sedikit lekukan senyum di wajahnya.

"Tampan ya?" ucapnya kemudian.

Aku menghela nafas, "Memang sih. Tapi, apa kau tidak merasa aneh dengan… dirinya?"

Mata indah gadis itu menatapku lekat-lekat, "Aneh bagaimana?"

Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku sebagai respon. Isane menatapku heran, lalu ia kembali asyik dengan ponselnya. Hati kecilku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Namun, aku sendiri sulit untuk menjelaskannya.

Aku berusaha untuk menepis semua ini, berharap ini hanyalah manifestasi letihku saja—tidak lebih.

~SHIN~

Beberapa hari setelah itu, terkadang bayangan Shuuhei hadir dalam benakku. Mengapa? Aku tidak tahu, aku semakin merasa takut. Tapi, sama seperti apa yang kukatakan dulu—aku tidak tahu mengapa aku merasa aneh seperti ini.

Kini, seminggu telah berlalu. Aku harus kembali ke Universitas Seireitei karena dari jalur penerimaan mahasiswa baru yang kuikuti, ada berkas yang harus diambil. Aku pergi sendiri, tidak bersama Isane karena ia berbeda jalur masuk denganku.

Aku menatap antrian mahasiswa baru yang berdiri di dekat loket. Sesekali, kumainkan sebuah game yang ada di ponselku untuk menghilangkan rasa bosan. Memang, pada dasarnya aku benci dengan antrian panjang. Nanti sajalah… menunggu antrian itu berkurang, baru aku akan kesana. Aku duduk di sebuah gazebo yang berada seratus meter dari loket pengambilan berkas tersebut.

"Err… hai, Nanao?" ucap seseorang mengagetkanku.

"Ah!" kubenarkan letak kacamata ini, "kau? Shuuhei?"

Ia tersenyum tipis, kemudian pandangannya menerawang ke arah antrian itu.

"Kau sendirian?"

Aku mengangguk pelan, "Ya. Isane diterima tidak di jalur masuk yang ini, tapi yang satunya."

"Oh… begitu. Ternyata kita satu jalur masuk ya? Aku sudah mengambil berkas, yah… antrian di fakultasku tidak sepanjang fakultasmu. Jadi, cepat selesai."

Aku mengamati stofmap yang dibawa olehnya, dilihat sekilas… sepertinya berkas itu tidak begitu banyak. Mungkin semacam formulir isian untuk training khusus bagi mahasiswa baru. Tiba-tiba, sebuah pertanyaan meluncur dari bibirku.

"Mana temanmu? Apakah kau sendirian juga?"

Sesaat, dapat kulihat Shuuhei agak terbelalak mendengar pertanyaanku barusan.

"Tidak. Aku juga sendirian dari Karakura, dua teman SMA-ku ada yang juga diterima disini. Tapi, mereka satu jalur masuk dengan Isane temanmu itu."

Aku hanya mampu ber-oh ria saat mendengarnya. Tiba-tiba kepalaku terasa amat pening sehingga reflek kupegang kepalaku demi menahan rasa sakit.

"Nanao, kau baik-baik saja? Kau sakit?"

Kugelengkan kepalaku sebagai jawaban pertanyaannya. Ah… mengapa disaat seperti ini sakit kepala sebelahku kambuh? Merepotkan…

"Ah… perlu kuantarkan ke klinik kampus?" tawarnya.

Kujawab sembari masih memegang kepalaku yang pening,"Tidak. Terima kasih, aku rasa aku akan baik-baik saja…"

"Oh… ya sudah kalau begitu. Tidak apa-apa kalau aku tinggal pulang?"

Aku mengangguk pelan, "Silakan saja…"

.

.

Kini aku sedang mengantri. Lima orang lagi, maka tiba giliranku. Pikiranku menjelajah di atas alam sadar, tentang hal yang terjadi beberapa saat yang lalu. Sakit kepalaku hilang beberapa saat setelah Shuuhei meninggalkanku. Aku tertawa nyinyir, ini memang tidak ada hubungannya. Apabila dipikir dengan logikapun hasilnya sama saja. Tetapi, hati kecilku tetap tidak dapat dibohongi oleh pemikiran logika tersebut.

Tetap saja aku merasa ada yang aneh dengan pemuda itu, tapi apa?

~SHIN~

"Nanao, makanlah dulu! Ini sudah setengah sembilan malam," terdengar teriakan ibu dari balik pintu kamarku.

Mataku masih terpaku pada monitor tujuh belas inch dihadapanku, "Sebentar lagi bu! Tanggung…"

"Ya sudah, kalau begitu segera makan kalau kau sudah selesai," ucap ibu sebelum berlalu.

Entah mengapa malam ini aku begitu bersemangat menjelajahi dunia maya. Jemariku dengan lincah menari di atas keyboard , sebuah kalimat kuketikan di sebuah mesin pencari populer.

'tidak tenang, maka belum pergi'

Kurang kerjaan sekali aku ini, mengetikan kata kunci yang maksud sebenarnya akupun tak tahu. Alhasil, sederetan judul, kata, dan link yang terdapat deretan huruf membentuk kata 'tidak tenang' maupun 'belum pergi'—terlihat di layar monitorku.

Dengan gesit kugerakan scroll mouse—mencari yang sekiranya menarik. Namun, tiba-tiba aku dikejutkan oleh nada panggilan ponselku. Malas, kuberanjak dan kuraih ponsel yang kuletakkan di atas tempat tidur.

Aku mengernyitkan dahi ketika kulihat nomor tak dikenal tertera di layar ponselku.

"Selamat malam. Maaf, dengan siapa ya?"

"Malam. Nanao? Ini aku… Shuuhei."

"Apa?" kejutku, "eh… maaf, bukannya nomor ponselmu yang angka belakangnya enam sembilan?"

Terdengar suara dari seberang sana, "Ini nomor kerabatku. Maaf, malam-malam mengganggu. Aku hanya ingin tanya, apakah kau baik-baik saja? Ehm, maksudku… sudah tidak sakit kepala lagi 'kan?"

"Tidak, aku sudah baik-baik saja. Lagipula, sudah lima hari yang lalu…"

"Syukurlah kalau begitu… ya sudah, selamat malam."

Aku tersenyum ringan, "Hmm. Selamat malam."

Dan… sambungan teleponpun terputus.

Ternyata ia pemuda yang peduli dengan temannya. Meski kami baru saling mengenal, tapi ia mengkhawatirkan keadaanku sehingga rela menelepon malam-malam begini.

Wajahku menghangat tatkala ingat suaranya melalui telepon tadi.

Eh? Apa-apaan aku ini? Segera kutepuk pipiku agar tidak mengkhayalkan yang bukan-bukan.

~SHIN~

Tak terasa, itu sudah beberapa bulan yang lalu. Dua bulan tepatnya. Syukurlah, karena kesibukkanku sebagai mahasiswa semester satu, rupanya membuatku melupakan pikiran-pikiran yang tidak penting. Perlahan, aku merasa keganjilanku terhadap pemuda itu menghilang, seiring tugas-tugas yang berdatangan dari dosen. Ah… mungkin saja prasangka buruk itu muncul karena kami belum terlalu mengenal pribadi masing-masing.

Dua bulan pula, aku meninggalkan rumah dan memilih tinggal di apartemen bersama Isane. Alasannya sederhana, repot juga apabila setiap hari harus bolak-balik melakukan perjalanan Rukongai-Seireitei. Kamipun menyewa sebuah apartemen yang letaknya berada tak jauh dari kampus. Meskipun fakultasku dan fakultas Isane berbeda tapi tidak masalah bagi kami.

Ruang apartemen yang kami sewa terletak di lantai tiga. Ada dua kamar—yang berada di dekat dapur menjadi milikku, sementara yang berada di dekat ruang tamu ditempati temanku itu.

Aku sedang mengerjakan makalah tentang hukum perdata ketika Isane tiba-tiba masuk ke kamarku.

"Nanao, maaf menganggu. Shuuhei mengajak kita untuk melihat pameran buku besok lusa. Bagaimana menurutmu?"

Sambil terus asyik mengetik di notebook-ku, kuputuskan untuk bersedia menerima ajakan itu. Toh, aku memang membutuhkan referensi hukum untuk tugas-tugas kuliahku.

"Baiklah, ide bagus. Aku mau," ucapku cepat.

Sebuah senyuman terukir di wajah temanku itu, ia terlihat amat senang dengan keputusanku.

"Sip! Aku akan sampaikan pada Shuuhei di kampus besok. Kebetulan, besok aku ingin beli banyak buku sastra."

Setelah gadis itu berlalu, aku kembali berkutat dengan makalah yang harus segera kuselesaikan. Sesekali, ingatan akan pertemuan pertama kami dengan Shuuhei terlintas. Semua terjadi begitu cepat, rasanya seperti baru kemarin. Kini, kami bertiga telah menjadi sahabat yang baik. Yap! Kami bertiga—aku, Isane, dan Shuuhei.

~SHIN~

"Maaf… kami terlambat sepuluh menit," ucap gadis berambut perak di sampingku.

Aku dan Isane memang datang agak terlambat dari waktu yang kami tentukan sebelumnya. Pemuda berambut gelap itu agaknya memang disiplin waktu. Ia sudah berada di halte bus saat kami tiba.

"Yah, tidak apa-apa. Lagipula, aku juga baru datang kok. Hmm… baiklah kita berangkat dengan bus yang datang lima menit lagi, oke?"

.

.

Sesampainya di Seireitei Dome—tempat diselenggarakannya pameran buku itu—kami langsung berburu buku-buku yang kami inginkan.

Kulihat Shuuhei segera mendatangi stand buku-buku korespondesi dan jurnalistik. Isane tetap bersamaku meski sesekali pandangannya terpaku pada barisan buku-buku. Aku sendiri masih mencari buku berbau hukum.

Tempat ini ramai sekali oleh pengunjung, membuatku sedikit kesulitan untuk menemukan buku yang kucari. Kami telah cukup lama berada di sini tetapi belum juga menemukan apa yang diinginkan.

"Hey, apa kau sudah menemukan apa yang kau inginkan?" tanya seseorang yang ternyata Shuuhei.

Aku menggelengkan kepalaku, "Belum. Tempat ini terlalu ramai sehingga aku kesulitan untuk menemukan referensi hukum."

"Hmm… bagaimana kalau ke sebelah sana?" tunjuknya pada stand yang berada di ujung, "tadi kulihat ada buku-buku tentang hukum, di sebelah stand itu adalah stand khusus buku-buku sastra."

"Wah! Benarkah Shuuhei?" tanya Isane berbinar-binar, "ayo! Kita segera kesana!"

Aku menautkan kedua alisku, "Jeli sekali kau, terima kasih ya! Memangnya kau sudah menemukan buku yang kau cari?"

Pemuda itu tersenyum simpul sembari menunjukkan bungkusan yang ia bawa, "Ya. Untung saja aku segera mendapatkannya."

Kami bertiga segera menuju stand yang Shuuhei maksud. Benar saja, di sini lengkap sekali. Aku dapat dengan mudah menemukan aneka referensi hukum yang bagus, Isane segera menyerbu stand di sebelah yang memang menyediakan buku-buku berbau sastra. Agaknya, iapun mendapatkan buku yang ia inginkan.

Setelah berhasil mendapatkan buku yang kami inginkan, kami bertiga memutuskan untuk kembali melihat-lihat stand yang lain sebelum pulang. Namun, gadis di sebelahku tiba-tiba terhenti saat melewati sebuah photo box.

"Isane, ada apa?" tanyaku.

Pandangan gadis itu berbinar, "Kita foto bersama ya? Bagaimana?"

"Ide bagus. Kau mau tidak Shuuhei?"

"Ah! He… tidak usah. Aku sedang tidak ingin berfoto," jawabnya.

Tiba-tiba, kulihat ada yang aneh dengan Shuuhei. Entah mengapa wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi ketakutan. Apa ia paranoid dengan foto? Tapi, itu tidak mungkin… jika ia paranoid dengan foto seharusnya ia tidak mengambil jurusan jurnalistik, dimana foto juga diperlukan untuk sebuah dokumentasi.

.

.

.

Tsuzuku


Yoriko's Corner: Hmm… saya bingung mau bicara apa di Corner ini *dipukul readers* =.= Ah iya! Tahun ajaran baru~ bagi rekan-rekan author dan readers yang hari ini mulai kembali ke sekolah, Ayo semangat baru! XD

Maaf, gaje… entah mengapa terasa amat pusing saat mengerjakan ini. Sebenarnya, saya tidak yakin dengan fic ini.

Note: Jika tidak ada halangan, saya berencana mengapdet fic ini pada hari Sabtu, 17 Juli 2010

.

.

Terima kasih telah berkenan membaca apalagi mereview =)