.

Title: The Girl and The Librarian
Chapter Title: Meeting (1/7)
Chapter Summary: Di hari yang seharusnya hari liburnya, Add dipaksa untuk bekerja. Pada akhirnya dia tidak akan mengeluh juga.
Pairing: Add/Ara (Mastermind/Yama Raja)
Rating: T (sumpah serapah, courtesy of Add)
Words: 2.756 (tidak termasuk A/N)
Warning: OOC Add (as always), plot cepat, sumpah serapah, diksi berubah-ubah karena lagi mavok
Disclaimer: Beato didn't own Elsword!

.

.

.

Walaupun penghangat sudah dinyalakan, Add tetap tidak dapat menahan dirinya untuk bersin.

Menggerutu pelan, ia meraih satu lagi tisu yang ada di atas mejanya, mengelap hidungnya dengan cepat dan membuang selembar kain tipis itu ke tempat sampah terdekat, mensyukuri kekosongan perpustakaan Elder di tengah badai salju ini.

Kembali menyandarkan punggungnya di kursi resepsionis, laki-laki yang—secara tidak beruntung—diperintahkan menjadi penjaga perpustakaan hari itu meraih buku yang terbuka di atas mejanya. Manik lilac dengan malas menyusuri kata per kata; bukan untuk menikmati, tentunya. Satu tangan sibuk mencatat dengan pulpen merah setiap kesalahan yang ia temui; entah oleh percetakan atau disengaja. Add senang mengirim daftar kesalahan orang lain ke penerbit buku tersebut—hei, menertawai kesalahan orang lain bisa menjadi hobi seseorang, bukan?

Dan entah mengapa hobi bodoh tersebut—setidaknya menurut orang lain—memberikannya gaji tambahan dan sebutan kritikus terhebat sepanjang masa dari media cetak. Bukannya ia akan mengeluh soal itu.

Tentu, Add tidak akan mengeluh soal tambahan makan malam dalam perutnya. Namun izinkan ia untuk mengeluh tentang otak—kalaupun ada—dari atasannya, yang membuka perpustakaan di hari badai salju seperti ini. Perpustakaan memang tempat umum, namun bukan alasan untuk menyeretnya dari acara dokumenter favorit di hari liburnya. Atasan yang disebut sebelumnya mungkin sedang minum kopi di rumahnya, menertawakan sitcom yang tidak bisa dibandingkan dengan perilaku beruang grizzly di musim dingin.

Add bersumpah akan menuntut atasannya untuk tambahan gaji setelah ini.

Sambil menggerutu pelan, tangannya meletakkan pulpen yang sejak tadi ia gunakan dan menutup buku di tangannya. Dengan acuh ia melempar buku bersampul biru tua itu ke ujung meja panjang resepsionis dan meraih cangkir putih berisi cokelat panas yang ia buat sebelum membaca buku membosankan itu. Matanya kembali menyusuri daftar yang tertulis dengan tinta merah, dan otaknya mulai menyusun struktur yang tepat untuk surat yang akan dibuatnya sambil menyesap cokelat yang mulai dingin itu.

Kemudian ia mendengar suara pintu terbuka dan mendongak, mengangkat satu alis pada seseorang yang dengan gila menerobos badai salju untuk mengunjungi tempat ini. Ia mendapati seorang gadis yang cukup tinggi tengah menyapu butiran putih di rambut hitam panjangnya sambil melepaskan jaket hitam panjangnya. Manik amber itu menoleh padanya, dan gadis itu tersenyum.

"Syukurlah tempat ini terbuka." Gadis itu memulai, terkekeh. "Ada tugas yang harus kukumpulkan besok."

Add mengangkat bahu, kembali memfokuskan pandangannya pada daftar di tangannya. "Anak-anak sepertimu seharusnya mencari di internet, bukan?"

Ia yakin mendengar gadis itu menjawab sesuatu, namun Add sudah tidak mendengarkan. Hoffman tidak akan senang melihat editornya bekerja setengah-setengah seperti ini, batinnya sambil menggeleng pada daftar panjang di tangannya. Sang penjaga perpustakaan meletakkan daftar itu di sebelahnya, kemudian mengambil sebuah kertas dan pulpen hitam baru, lalu mulai menuliskan surat yang sudah tersusun rapi dalam benaknya.

.

.

.

"Umm,"

'Kesalahan cetakan Chronicles of Elrios ke-11, yang awalnya ditulis oleh Els Sieghart 27 Desember 20xx silam, baik dalam penulisan-'

"Permisi..."

'-maupun kualitas yang disebar dalam kalangan umum, sehingga mampu merusak popularitas yang telah bertahan dalam beberapa tahun terakhir-'

"K-Kau mendengarku, kan?"

'-sehingga perlu untuk ditinjau ulang. Kesalahan yang sepenuhnya jatuh kepada penerbit tersebut-'

"M-Maafkan aku!"

Add hampir menjerit saat pulpen yang ia gunakan mencoreng sebagian besar kertas yang ia tulis, sebelum kertas tersebut menghilang sepenuhnya dari pandangannya. Maniknya menyipit pada gadis yang berdiri di hadapannya, dan gadis itu tak mengalihkan pandangannya dari tatapan tajamnya, dengan esainya menggantung tak berdaya di tangan gadis itu.

Sudut matanya berkedut, dan ia harus menahan diri untuk tidak melempar pulpennya pada seorang pelanggan—wanita pula. Dengan kasar ia meletakkan pulpen itu di atas meja dan menegakkan tubuhnya di kursi, ekspresinya belum berubah saat menatap gadis yang meringis pelan itu.

"Ada apa, nyonya?" Giginya bergemeletuk saat ia memaksakan nada manis dalam suaranya. "Kalau tidak ada, tolong kembalikan kertas itu padaku."

Bibir gadis itu merapat menjadi sebuah garis lurus. Arah pandangnya mulai menyingkir dari wajahnya. "A-Aku butuh bantuanmu mencari sebuah buku..."

Laki-laki berambut putih itu memutar bola matanya. "Kami punya komputer, dan anda dapat menemukannya di setiap lantai."

"A-Aku masih tidak bisa menemukannya!"

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan keinginan menggiurkan untuk melempar gadis ini membeku ditengah badai salju diluar, dan menggeser kursinya untuk menghadap komputer di sebelahnya.

"Nama buku yang kau butuhkan?"

"British Culture and Society—atau semacam itu."

Ia mulai mengetik. "Penulisnya?"

"A-Aku tidak ingat."

Manik lilac kembali menyipit ke arahnya. "Kami punya ratusan buku tentang itu." Kemudian ia kembali bersandar pada kursinya dan melipat tangannya di depan dada. "Kau ingin aku membawa semua ke tempat ini?"

Gadis itu menggigit bibir bawahnya lagi. "B-Bisakah kau memilihkan yang terbaik untukku?"

Tarik nafas dalam-dalam, lalu buanglah, Add. Ingat, memukul pengunjung bukan hal yang bagus untukmu—dan pekerjaanmu.

Sambil memainkan kalimat psikiater berulang-ulang dalam kepalanya, ia menggali kantung kemeja putih yang ia kenakan, kemudian mengeluarkan enam buah benda berbentuk belah ketupat kecil dan meletakkannya di atas meja. Ia merasakan manik amber gadis itu kembali memperhatikannya saat ia menepuk tangannya. "Baiklah, anak-anak. Saatnya bekerja."

Add mendengar dengungan samar yang familiar, kemudian enam kepingan itu mulai melayang di udara. Gadis itu menarik nafas cepat saat ia memberitahukan posisi rak buku yang ia inginkan, dan kepingan-kepingan tersebut—ia menyebut mereka dynamo—berpencar ke seluruh gedung.

"Barusan—"

"—Sedikit bantuan dari anak-anakku yang manis." Ia memotong cepat. "Biarkan mereka bekerja dan kau akan dapatkan yang kau mau."

Gadis itu masih terlihat ragu saat ia mengangguk, dan Add menggeram lagi, "Sekarang, kembalikan kertas itu padaku."

"Kau akan mengabaikanku, jadi ini akan kupegang sementara waktu." Gadis itu menjawab langsung, melambaikan kertas miliknya. "Aku berubah pikiran tentangmu—kau orang yang baik."

"Lebih pantas disebut gila daripada baik, nyonya muda." Add menggerutu lagi. "Sebaiknya kau kembalikan itu sebelum kau pulang."

Gadis berambut hitam itu kembali mengangguk, dan tepat setelah itu ia melihat enam dynamo-nya kembali, masing-masing dengan dua buah buku di atas mereka. Dynamo-dynamo itu berbaris di hadapannya dengan patuh, lalu memiringkan 'tubuh' mereka dan membiarkan buku yang ada di atas mereka meluncur ke atas meja.

"Kerja bagus." Ia mengulurkan tangannya, dan kepingan tersebut berbaris kembali di atas telapak tangannya sebelum terjatuh ke telapak tangannya yang pucat, seolah mereka kehilangan tenaga mereka.

Gadis itu bertepuk tangan, dan Add menaikkan satu alis ke arahnya.

"Kalau kau menunjukkannya untuk pertunjukan, aku yakin kau bisa mendapat banyak uang!"

Add hanya mengangkat bahu dan memasukkan kembali dynamo miliknya ke dalam kantung kemeja. "Ini buku-buku tentang sejarah dan budaya Inggris yang kusarankan; dari ketepatan dan detail yang cukup, serta mereka memiliki sangat sedikit kesalahan," Ia tersenyum pelan pada tumpukan buku-buku itu. "Mereka juga memiliki ilustrasi untuk melengkapi penjelasan yang sulit dimengerti."

Gadis itu memandangi buku-buku itu, sebelum menyeletuk, "Kau mengatakannya seolah sudah membaca buku-buku ini."

"Dan semua buku-buku yang ada di tempat ini, nyonya muda." Senyumnya berubah menjadi seringai penuh kemenangan.

Andai senyumnya bisa lebih lebar lagi, mungkin ia sudah melakukannya sekarang; ekspresi kaget gadis itu begitu lucu hingga ia hampir tidak dapat menahan tawanya—manik amber melebar, mulut menganga, dan ia benar-benar membeku beberapa detik disana.

Ia menggeleng, tersenyum pahit. "Kurasa aku sudah kalah?"

"Kau tidak punya kesempatan menang sejak awal."

Gadis itu memutar bola matanya, lalu menyerahkan kertas yang ia kerjakan sebelumnya dan mengambil buku-buku sejarah Inggris yang ada di atas mejanya, kemudian berbalik menuju sebuah meja terdekat dan menjatuhkan buku-buku tersebut di atas meja.

Add tidak dapat mengembalikan perhatiannya ke kertas yang ia kerjakan, bahkan hingga ia memutar otak berkali-kali hingga keningnya berkerut dalam, surat yang sudah ia kerjakan dalam otaknya belum juga kembali. Diperparah dengan suara halaman buku yang berganti dengan keras dari gadis yang duduk cukup jauh di depannya yang merusak konsentrasinya, laki-laki itu akhirnya mendesah keras dan bangkit dari kursinya, memasukkan pulpen dan kertasnya ke dalam saku celana. Cokelat panas selalu dapat membantunya.

Gadis itu menoleh ke arahnya, keningnya berkerut. "Perpustakaan akan ditutup?"

"Tidak." Ia menggeleng, meraih gelas putih yang sudah kosong, lalu berjalan menuju pintu yang ada di belakang meja resepsionis menuju dapur tanpa mengatakan apapun lagi.

.

.

.

Add memperhatikan gadis itu dari celah pintu yang terbuka—masih di tempat sebelumnya, dengan kepala menunduk memandangi salah satu buku yang terbuka. Tidak jarang ia mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas meja, sebelum menulis sesuatu di sebuah kertas.

Kemudian ia memandangi dua gelas cokelat panas yang ada di tangannya sendiri; satu untuk dirinya, dan satu lagi—bahkan mengejutkan dirinya sendiri—untuk gadis itu. Add bukan tipe yang suka memperhatikan pelanggan; itu tugas Reina—seorang mantan suster yang baru bekerja beberapa bulan yang lalu—yang selalu bersikap keibuan kepada pengunjung. Dan disini, sebuah benak yang tidak tega melihat gadis belajar seorang diri kedinginan tiba-tiba saja melintas—sangat tidak 'Add', begitulah temannya akan berkata kalau ia ada disini.

Ia mendesah pasrah, mengurungkan niatnya untuk membuang salah satu cokelat panas ke wastafel dan membuka pintu dapur dengan kakinya. Aroma cokelat yang menyebar di perpustakaan pasti begitu kuat hingga gadis itu kembali mendongak menatapnya, kemudian memiringkan kepala.

Add tidak mengatakan apapun saat ia berjalan ke arah gadis itu, dan tidak meminta izin saat ia duduk di hadapannya sebelum mendorong satu cangkir ke arah gadis yang masih terlihat kebingungan itu.

Sang penjaga perpustakaan menyesap cokelatnya sekali, matanya menatap lurus ke arah manik amber di hadapannya. "Atasanku tidak akan senang kalau melihat salah satu pengunjung mati kedinginan di perpustakaan."

Gadis itu mengedip beberapa kali, sebelum menggumamkan terima kasih dan meraih gelas merah muda di hadapannya. Ia mengamati Add dan gelas di hadapannya, sebelum menyesapnya perlahan.

Ia mendengar gadis itu mendesah singkat, lalu meletakkan gelasnya kembali di sebelahnya. "Enak sekali."

Add hanya mengangkat bahu, dan kembali menyesap cokelatnya. Pandangannya tidak pernah lepas dari gadis di hadapannya.

Ia baru bisa memperhatikan gadis itu dari dekat; rambut gadis itu ternyata lebih gelap dari yang ia duga, mengingatkannya akan malam tanpa bintang. Manik gadis yang tengah berkonsentrasi penuh pada buku itu terlihat sedikit kosong dan, saat ia memperhatikan lebih baik, kemerah-merahan—seolah ia baru saja menangis.

"Sudah berapa lama bekerja disini?"

Add mengerjap, tidak menduga pertanyaan akan datang dari gadis yang tidak mendongak padanya, sebelum mengangkat bahu dan meletakkan gelasnya di atas meja. "Sekitar tiga tahun yang lalu." Ia melipat tangan di depan dada, mengingat saat pertama kali ia ditawarkan untuk bekerja disini. "Temanku mengatakan karena aku tidak perlu khawatir tentang nilai-nilaiku, sebaiknya aku membantunya disini. Karena upahnya lumayan, aku memutuskan untuk bekerja paruh waktu disini."

"Tidak perlu khawatir?" Gadis itu mendongak, memiringkan kepalanya. "Kau masih bersekolah?"

"Kuliah. Universitas Elder. Teknik Mesin."

Gadis itu menggumam sambil mengangguk. "Jadi yang barusan itu...?"

"Percobaan untuk tugas akhirku." Ia mengangkat bahu. "Aku berniat untuk membuat yang lain berdasarkan yang ini—hanya lebih besar dan untuk alat-alat berat."

Gadis itu mengangguk lagi. "Kau pasti orang yang hebat." Lalu tersenyum pelan dan kembali menunduk pada bukunya. "Aku iri denganmu."

Add mendengus. Hidupnya bukan sesuatu yang harus diirikan, ingin terucap olehnya—namun gadis itu pasti akan bertanya lebih jauh. Dan ia tidak ingin ditanyai tentang hal yang paling ia benci itu.

Gadis itu tiba-tiba berhenti menulis, lalu mendesah pelan dan tersenyum miris. "Aku terlambat menyelesaikan tugas ini."

Add kembali memusatkan perhatiannya pada gadis itu, namun tidak mengatakan apapun.

Gadis itu tertawa sebentar, sepertinya menyadari kalau Add mendengarkannya dan melanjutkan ceritanya, "Saat guruku memberitahu tentang tugas ini, aku sedang ada di Sander—kampung halamanku, sekedar informasi saja—untuk merayakan pernikahan kakakku." Tawanya berubah pahit. "Aku meminta pada temanku untuk memberitahu guruku dan kalau ada tugas saat aku tidak masuk. Aku percaya padanya."

Ia terdiam sebentar sambil menggigit bibir bawahnya yang bergetar, dan sudut mata Add berkedut. Add tahu gadis itu akan menangis—dan tidak ada yang paling ia benci daripada gadis yang menangis. Add harus menghentikan gadis itu sebelum ia berteriak seperti orang gila—

Namun gadis itu buru-buru menggeleng, menghapus air matanya dengan pergelangan tangannya sebelum melanjutkan dengan senyum dipaksakan. "Guruku bertanya keesokan harinya, 'Nyonya Haan, aku percaya kalau kau adalah murid yang baik. Mengapa kau tidak datang ke kelas hari Jumat dan Sabtu? Tanpa keterangan pula.' Kemudian guruku bertanya lagi kalau aku sudah mengerjakan tugas yang ia berikan atau belum—" Ia menggeleng. "Aku tidak tahu tentang tugas itu karena temanku tidak mengatakan apapun. Guruku justru berkata, 'Kau seharusnya bertanya, nyonya muda.' Dan menyuruhku untuk mengumpulkannya besok. Dia bahkan memberikanku hukuman tambahan pulang sekolah—dan tidak mengizinkanku untuk menggunakan internet sebagai sumber informasiku.

"Dan kau tahu apa lagi yang lucu?" Gadis itu tertawa sekali lagi, seolah ia baru saja menceritakan sebuah lelucon yang tidak menyenangkan. "Saat aku bertanya pada temanku, ia hanya mengatakan, 'Maaf, tapi temanku menceritakan cerita yang lucu hingga aku tidak bisa berhenti tertawa! Dan soal tugas, banyak yang bilang kalau tidak ada yang mau mengerjakannya—hanya tugas sejarah yang bodoh, mereka bilang. Tapi mereka mengerjakannya juga. Kupikir tidak ada salahnya kalau kau tidak mengerjakan tugas sesekali, bukan?' Dan langsung pergi dengan temannya sambil tertawa."

Di saat seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Gadis itu juga sudah kembali dengan tugasnya. Dari cara menulisnya yang berbeda—lebih kasar dan cepat—Add dapat menduga kalau gadis itu tidak ingin mengangkat lagi masalah ini. Namun ia merasa harus mengatakan sesuatu.

Karena Add tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu. Ia merutuk masa sekolahnya karena itu.

Pada akhirnya Add berdeham, membuat gadis itu mendongak padanya—kumpulan air mata sudah menggantung di sudut manik amber yang merah itu—dan berkata, "Manusia itu brengsek. Tapi manusia seperti itu seharusnya mati membusuk di tempat sampah."

Dan Add mengatakannya bukan untuk menghibur, melainkan bahwa ia benar-benar mengerti dan berharap penuh dari setiap kata-katanya. Ia melihat gadis itu tersenyum—meski masih terlihat payah menurutnya—dan mengangguk keras. "Mereka memang brengsek." Gadis itu tertawa pelan. "Baru pertama kali ini aku menyumpah. Kakakku tidak akan senang."

"Jangan dibiasakan, kalau begitu." Add mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa melampiaskan marahmu tanpa menyumpah."

Gadis itu balik mengangkat bahu. "Memang tidak bisa."

"Kau benar-benar nyonya muda yang payah."

"Aku tidak ingin mendengarnya darimu, penjaga perpustakaan antisosial."

Mereka saling menatap beberapa lama, kemudian tertawa.

.

.

.

Gadis itu meletakkan pulpennya dan menutup bukunya, kemudian meregangkan tubuhnya. Add memalingkan wajahnya saat melihat kaus jingga yang terlalu memeluk tubuh gadis itu sedikit terangkat, kemudian mendengar, "Terima kasih sudah menemaniku. Namaku Ara."

Ia menoleh, melihat gadis itu sudah menjulurkan tangannya dan tengah menantinya untuk menyambut ulurannya. Ia menggenggam tangan yang lebih kecil darinya dan mengguncangnya sekilas, "Add."

Untuk tangan seorang gadis yang sudah melewati badai salju, tangan Ara terasa hangat. Mungkin karena ia sudah berada di perpustakaan ini cukup lama—atau Add mulai berlebihan karena ia kekurangan tidur akhir-akhir ini. Add tidak tahu alasan mana yang lebih baik ia pilih.

Ia melepaskan tangan gadis itu saat merasakan sang gadis tak lagi menggenggam tangannya. Gadis itu berdeham sekali, pipinya bersemburat kemerahan. "Jadi, erm,"

"Ya?"

"Boleh aku datang lagi?"

Add mengangkat satu alis, "Kenapa tidak? Ini tempat umum, kau tahu?"

"Bukan itu maksudku." Gadis itu memilin ujung rambut hitam yang mengurung sisi wajahnya dengan satu tangan, manik amber meliriknya sekilas, kemudian menatap cover buku yang tertutup. "Kau tahu, mengobrol lagi denganmu tidak terlalu buruk."

"Tentu saja." Kalimatnya meluncur sebelum ia dapat memikirkannya ulang—dan entah mengapa, ia tidak menyesal mengatakannya. Mengobrol dengan gadis ini menyenangkan pula untuknya—dan Add tidak akan mengatakannya dengan keras. "Aku bekerja dari hari Selasa sampai Sabtu."

Ara mengangkat satu alis. "Ini hari Senin, kau tahu?"

"Anggap saja atasanku yang menyebalkan menyuruhku untuk bekerja. Di hari libur."

Ara tertawa sekali lagi, menghapus sisa air mata yang menggantung di sudut matanya sambil tersenyum. Tak lama ia berdiri dan berjalan menuju pintu masuk dari kaca dan meraih jaket yang menggantung di sebelah pintu masuk. "Badai sudah berhenti, tapi salju masih turun."

Laki-laki berambut putih itu berdiri, kemudian berdiri di sebelahnya, menatap salju yang perlahan turun dari langit yang gelap. Kemudian ia menoleh pada Ara, "Kau baik-baik saja pulang sendiri?"

"Diluar bersalju. Lagipula," Gadis itu menekuk lengan kurusnya dan tersenyum bangga, "Aku bisa mengurus diriku sendiri!"

"Aku hanya melihat tulang-tulang disana."

"Tulang-tulang ini bisa membuatmu berbaring di rumah sakit seharian, kau tahu?"

Ia hanya mengangkat bahu, memperhatikan gadis itu mengenakan kembali jaket hitam panjangnya—baru Add menyadari kalau jaket itu hampir menutupi seluruh tubuhnya, hanya menyisakan kepala dan sebagian kecil kaki yang ditutupi kaus kaki putih—dan mendorong pintu masuk hingga terbuka. Add sedikit menggigil saat merasakan angin musim dingin melaluinya, namun memutuskan untuk tetap memandangi Ara yang mulai berjalan keluar.

"Jadi?" Gadis itu sudah ada di luar, menahan pintu kaca agar tidak menutup dengan kepala tertoleh ke arahnya.

Add memutar bola mata, tetapi tersenyum juga. "Tentu. Sampai jumpa."

Ara tersenyum balik, dan menutup pintu kaca di belakangnya dengan pelan. Add memperhatikan hingga punggung gadis itu menghilang di ujung jalan yang gelap, tanpa sadar masih tersenyum seperti orang bodoh.

—Bola kertas di kantungnya terlupakan—namun untuk sekarang, biarlah ia tidak melihat keburukan sebuah buku dulu. Ia ingin melihat lebih jauh tentang Ara; baik dan buruk, dan berharap gadis itu melihat yang sama tentangnya.

.

.

.

to be continued


honestly, saya udah kebanyakan fic on-going dan masih bikin lagi (woAo)w

ok fic ini sebenarnya saya bikin dari prompt aneh berdasarkan lagu yang saya denger (Chopin - Etude in A minor Op.25 [Winter Wind] dan Vivaldi - Winter [dari Four Seasons]), dan sambil ngeliatin buku-buku di depan saya. kemudian voila! selamat, fic gejes! #dor

Elsword Sieghart yang jadi penulis pernah saya sebut di fic saya yang lain, dia udah menulis dua buku sebelum Chronicles of Elrios. Sebenarnya itu untuk bahan fanfic ElsAi yang nggak pernah saya selesaikan. Di fic ini juga ada Reina (dia bukan OC, loh), yang sebenarnya Rena ganti nama. Mungkin suatu saat akan ditulis. Suatu saat. ha ha

Secara teknis ini bukan on-going; lebih tepatnya kumpulan fanfic yang jumlahnya 5, termasuk yang ini. Empat sisanya mungkin ditulis kalau saya ada waktu, karena waktu ospek sebentar lagi. (:3/

oke, sepertinya saya kepanjangan curhat. sampai jumpa di chapter selanjutnya (?)!