"Terbayangkah kalian bagaimana rasanya terkurung dalam sebuah jeratan yang dinamakan kerangkeng, padahal kalian berada di dunia yang sesungguhnya….tidak terbatas?"


Bayang-bayang Kerangkeng

~Shingatsu wa Kimi no Uso~

Disclaimer : Naoshi Arakawa


Tak pernah terpikirkan dalam sarafku, aku akan mengeksplor dunia yang luas ini semenjak aku dilahirkan. Ah, tidak perlu luas, namun secuil nya saja sudah lebih dari cukup untuk kujelajahi. Hingga, entah suatu waktu, aku tertarik dengan sebuah kerangkeng. Ya, kerangkeng yang berirama menenangkan, hangat, dan…kadang kudengar tangisan dalam nyanyian dari setiap lantunan tuts di dalamnya.

Aku hanya anak kecil biasa, bersurai kehitaman, bermanik biru dan berkulit agak kecoklatan. Bingkai hitam terpasang di rangkaian wajahku. Aku terlatih mendengar suara kerangkeng itu dalam keadaan apapun. Sesunyi apapun. Seramai Apapun. Dan aku ditarik di dalamnya.

Pertama, dengan alunan menenangkan dan tentunya, hangat. Ia selalu berada di sampingku dengan senyuman yang membuatku untuk tetap tersenyum meski kesedihan tergambar di guratan wajahku.

Kedua, ia memasang ekspresi kesakitan. Ekspresi itu membuatku tidak tega untuk membiarkannya berlalu bersama dengan setiap alunan-alunan yang ia mainkan. Aku perlahan-lahan masuk ke dalam dunianya.

Dan yang terakhir, aku benar-benar masuk ke dalam kerangkeng itu. Kerangkeng yang tampaknya bagus, namun berkarat di dalamnya. Namun, semua kepiluannya itu membuatku tidak tega untuk melawan.

Detik demi detik kuhabiskan waktuku di dalamnya. Hanya di dalamnya. Bersama dengan alunan yang tidak lagi kusukai. Alunan yang diperkirakan bagai jam yang setiap detiknya berdetak; monoton. Ya, monoton. Aku bagaikan bahan tontonan di dalam kerangkeng itu. Dan kerangkeng itu? Jangan tanya. Tidak menyadari kalau aku berada di dalamnya. Ah, biarlah. Mungkin kerangkeng itu sedang dalam keadaan lupa.

Namun, semua itu berubah ketika aku memberikannya sebuah alunan yang menurutku indah. Menurutku cantik. Menurutku berbeda, dengan apa yang ia lantunkan.

Ia memberontak dan aku melawan.

Aku melawan untuk menyadarkannya.

Aku melawan untuk membuatnya sadar.

Dan akhirnya, ia pun berkarat. Benar-benar berkarat sehingga membuatku lepas.

He? Apa itu benar?

Apa aku benar-benar bebas melantunkan alunan tuts meski aku tidak berada di kerangkeng itu, karena aku sedang ada di secuil dunia?

Ternyata tidak.

Ia membayangiku. Dengan setiap alunan yang ia lantunkan membuatku selalu mengingat akan keberadaanku di dirinya. Diri miliknya.

Bukan diriku.

Ah, aku tidak bisa seperti ini terus. Aku harus berhenti mengalunkan nada-nada.

Dan aku berhenti. Hingga, perasaan itu muncul. Putus asa. Hilang.

Hei, yang penting aku sudah terbebas kan?

Jawabannya tidak. Aku masih terperangkap dalam bayangannya meski aku tidak berada di dalam kerangkeng itu.

Ia membayangiku, dan aku melarikan diri darinya.

Bilang saja aku pengecut, toh kalian tidak tau rasa ketika berada di dunia terkekang.

Yah, dan ternyata, sebagian orang mencari keberadaanku yang berada di luar kerangkeng.

Memaksaku mengalun. Mengingatnya.

Dan…..

Aku melihat kerangkeng baru.

Kerangkeng? Yang baru?

Bodohnya, aku terpesona pada alunannya kembali meski dengan media berbeda.

Alunan ini, alunan yang indah, terasa bebas dan…penuh keceriaan.

Dan lagi-lagi, aku terpengaruh dengan kerangkeng itu. Astaga.

Aku mendekatinya. Aku menatapnya. Terus mendengarnya. Namun, ternyata ia lebih memilih orang lain untuk masuk ke dalam dunianya.

Aku pun menjauh perlahan, tapi…kenapa ia terus mengalun?

Menggoda?

Memaksaku untuk mengalun bersamanya?

Setiap kalimat-kalimatnya mungkin, bagi orang adalah bisa. Namun, bagiku adalah madu.

Dan aku terhanyut dalam madu itu.

Ah….ia terus datang, meski aku menolaknya. Ia memaksa. Namun, kerangkeng itu tetap memilih orang lain untuk masuk ke dalam dunianya.

Maunya apa?

Ah, mungkin hanya aku yang berharap padanya.

Dan tanpa sadar aku mengalun kembali, meski kerangkeng yang pertama kali kutemui terus menghantuiku.


Perlahan, kerangkeng bersinar yang aku ingin masuki itu pun berkarat.

Karatnya benar-benar mempengaruhiku meskipun aku bukan orang yang ia pilih untuk masuk ke dalam dunianya. Kenapa?

Aku benar-benar tak memahaminya.

Dia tersenyum sekarang, dengan alunan baru. Meski orang yang ia pilih itu selalu berada disisinya. Terperangkap.

Dan aku? Ia menatapku dengan senyuman yang bisa kubilang memiliki arti berbeda.

Aku tak mengerti alur pemikirannya.

"Maukah kau melakukan bunuh diri bersamaku?"

Di ruang yang penuh aroma obat itu, kerangkeng itu..seolah mengajakku ke dalam dunia miliknya dengan arti berbeda.

Dan dengan bodohnya…..

Aku menolak.

"Hei, Kousei, kau bodoh? Bukannya itu dunia yang kau inginkan? Terjebak bersamanya bukan?"

Aku menggeleng. Bukan itu kerangkeng yang seperti itu yang ingin kumasuki.

Bukan.

Ini….mengingatkanku pada kerangkeng pertama.

Dan aku pun memilih untuk menolaknya.

Tidak mendatanginya dimanapun.


Kebodohanku ternyata tak sampai disitu.

Ternyata, meski aku menolaknya, ia tetap berada di dalam benak sanubariku.

Bahkan, ia berada di posisi yang sama dengan kerangkeng pertama.

Aku harus bagaimana?

"Arima –san, giliranmu."

"Ha'i." Anak berkacamata itupun mengangguk.

Langkah demi langkah, ia pun memasuki panggung. Aroma ini…ah, masih sama. Piano di sana? Masih sama. Aku pun perlahan duduk di kursi yang disediakan disana. Bersama anak perempuan kecil. Dan kami pun, mulai memainkan alunan.

Tanpa disadari semua orang, sebenarnya lelaki berjas biru itu terjebak di sebuah dunia fana. Dunia kerangkeng. Dan kali ini…

Bukan kerangkeng ibunya.

Melainkan dari gadis yang bernama Miyazono Kaori.

Sang Violinis aneh.

Ia terus memainkan tuts itu.

Tidak ada kerangkeng yang menjeratnya ke dalam sebuah lautan dasar gelap hitam seperti kerangkeng pertama.

Karena sekarang ibunya berada di dalam hatinya.

Namun...

Kerangkeng yang kedua….ah, luka. Meskipun kerangkeng kedua itu bersinar, tetapi…dibalik sinarnya, menyiratkan berbagai luka yang menghujam dirinya. Tajam. Lebih tajam dari yang ia bayangkan.

Namun, yang Arima tau, ia harus tetap mengalun demi kedua kerangkeng itu.

Agar kerangkeng itu menyadari apa yang ia rasakan.

Agar kerangkeng itu menyadari keberadaannya.

Agar orang-orang yang berada di luar kerangkeng itu dapat memandangnya dengan tatapan terpukau sehingga membuat dirinya akan diambil dari dalam kerangkeng meski ia tidak mau.

Ah, bukan tidak mau.

Arima Kousei hanya tidak mampu.

Ia terus memainkan tuts dari alat musik yang dikatakan banyak orang sebagai piano.

'Waltz' from "The Sleeping Beauty"

Apa suara alat musik yang bagaikan peri ini tersampaikan ke semua orang yang berada diluar?

Atau hanya aku saja yang mampu merasakannya?

Merasakan ini.

Perasaan ini.

Padahal aku sekarang sedang bersama yang lain. Bersama mengalun. Tetapi aku malah..…ah, semoga ini akan tersampainkan.

Aku tidak ingin membuat kerangkeng kedua dipersalahkan.

Aku harus membuat mereka menyadari perasaanku sekarang.


Dan Arima benar-benar tidak tau, kebenaran dari kerangkeng kedua.

Di rumah sakit itu, tampaklah seorang gadis yang sedang...ah...

Memainkan violin.

Violin yang tak terlihat.

Bow nya pun demikian.

Seusai lagu, tampak setetes air mata, jatuh.

Menangis.