Mad City

Lee Taeyong - Ten Chittaphon Leechaiyapornkul


1

Kota memiliki arti yang berbeda menurut setiap individu. Menurut wikipedia, kota adalah sebuah kawasan luas dan permanen tempat manusia bermukim. Menurut website dictionary sendiri, city is a large or important town. Kota sudah dianggap sebagai pusat kemajuan suatu negara, bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Jantung dari sebagian besar kekuatan suatu wilayah.

Namun bagi sebagian orang, apa yang muncul di pikiran mereka tentang kota tidak seluas itu. Mungkin hanya satu atau beberapa rangkai kata yang sederhana namun sesuai realita. Sibuk, macet, polusi, bising, kekuatan, kebebasan dan ratusan kosakata lainnya yang mungkin akan muncul dengan sendirinya di dalam pikiran masing masing orang.

Dan menurut Ten sendiri, kota adalah keras.

Hampir setiap hal yang ada di sini terasa penuh persaingan. Dimulai dari hal kecil seperti mencari tempat duduk di taman, menengah seperti bersaing mendapatkan peringkat satu di sekolah dan yang paling rumit, memperebutkan kekuasaan.

Mungkin tidak hanya di kota, di daerah yang masih berusaha keras untuk mendapatkan satu botol air pun tentu saja memiliki persaingan di dalam hidup mereka. Namun disini, semuanya tidak terduga. Terkadang terang terangan menunjukan rasa bersaing dan mengobarkan bendera perang, namun tidak jarang juga menusuk dari belakang.

Perang tusukan dengan akal pikiran masing masing.

Tidak munafik, Ten juga sering terjerumus ke dalam persaingan itu. Persaingan yang terkadang membuatnya kehilangan banyak hal. Waktu istirahatnya, hobinya, temannya, kebebasannya dan banyak lagi. Dan ketika ia menoleh kebelakang, segalanya sudah terlalu jauh dari jangkauannya.

Yang ia tidak habis pikir, bagaimana kedua orangtuanya sepakat untuk mengirimnya jauh jauh menuju negara asing lainnya dengan alasan agar seorang Chittaphon Leechaiyapornkul dapat bersaing dalam memperebutkan pekerjaan yang semakin sulit dicari dan persaingan global yang makin melejit setiap tahunnya.

Mengorbankan anaknya sendiri, waktu kebersamaan mereka.

Oke, Ten tahu ini semua untuk kebaikannya. Tetapi setelah repot repot pindah dari tanah kelahirannya menuju sebuah negara empat musim ini dan berusaha keras mempelajari bahasanya, mengapa ia harus dilempar lagi menuju negara yang lebih jauh lagi?

Saat ia pindah ke Korea Selatan untuk pertama kalinya, ia memiliki orangtua dan adiknya yang bisa menemaninya, menghiburnya ketika ia marah kepada dirinya sendiri yang tidak kunjung menguasai bahasa barunya itu.

Dan mulai hari ini, Ten akan hidup sendirian di negara orang lain. Berkenalan dengan orang baru lagi, menyesuaikan diri lagi, kembali menggunakan bahasa Inggris yang tidak begitu ia gunakan selama ia hidup di Korea Selatan.

Membuang nafasnya, orangtuanya melakukan ini demi kebaikan dirinya dan segalanya akan baik-baik saja.

Ia kembali memutar ingatan kala ibunya mewanti-wantinya agar menjaga diri baik-baik (sudah seperti melepas anak gadisnya sendiri) dan berbuat baik kepada semua orang. Ketika ia sampai, ia harus mencari seorang laki-laki dengan kemeja putih yang kemungkinan memegang papan bertuliskan namanya. Alan namanya. Kalau ia tidak menemukannya, ibunya menyuruhnya untuk mencari taksi menuju alamat tempat tinggal barunya yang sudah ia tulis di memo handphone.

Kedengerannya sih mudah, tapi Ten sudah membayangkan ada berapa puluh orang yang menggunakan kemeja putih di bandara.

Hatinya langsung lega saat mendengar beberapa saat lagi mereka akan sampai di JFK. Setelah penantian panjangnya di dalam pesawat ini berjam-jam lamanya. Setidaknya ia bisa segera keluar dari alat transportasi ini dan menghirup udara bebas sebelum kembali ke realita.

Tidak sedikit juga yang bernasib sama sepertinya, sendirian. Walaupun ia juga masih dapat menemukan beberapa pasangan yang berjalan beriringan, anak-anak yang berjalan dengan semangat ataupun kumpulan orang seumurannya yang berjalan berkelompok.

Ia langsung cepat cepat mendorong troli yang bermuatan dua koper dan beberapa kotak yang ia bawa menuju pintu keluar dari area bagasi. Matanya sudah sibuk mencari Si Kemeja Putih yang membawa papan atau apalah, yang penting bertuliskan namanya atau setidaknya nama keluarganya.

Tetapi kenyataannya nihil.

Ten memutuskan untuk sedikit berkeliling di terminal ini sampai menemukan orang yang ibunya maksud. Harus sekali, ya membayar taksi sendiri demi menuju tempat tinggal baru yang entah dimana itu?

Kalau tidak salah, sudah satu jam Ten menghabiskan waktunya mengelilingi terminal empat seperti anak hilang. Bahkan sampai segelas americano sudah habis satu per tiganya.

Ten langsung menyambar handphone dari dalam saku jaketnya. Mengetik beberapa kata disana sebelum akhirnya berlalu menuju area luar Bandara John F. Kennedy lalu memesan uber.

Ma, aku gak bisa nemuin Alan jadi aku pulang sendiri, oke.


Jalanan New York pagi ini terlihat cukup ramai. Dengan cuaca cerah yang menemani setiap langkah para pejalan kaki, Ten juga dapat merasakan New York yang mungkin sedikit menyambutnya dengan ramah.

Mungkin benar kalau kita tidak pernah bersyukur dengan semua yang telah kita miliki, rasa tidak puas itu akan selalu menetap di dalam diri seseorang. Kalau ia diizinkan memilih, Ten memilih untuk tetap tinggal bersama keluarganya. Kalaupun ia memang diharuskan untuk melanjutkan sekolah di negara ini, apa yang ia harapkan adalah Juilliard University.

Oke, mungkin memang sulit untuk menjadi bagian dari mereka. Namun, apa ia memang tidak memiliki kesempatan untuk sekedar mencoba?

Asramanya berada di Fifth Avenue, Manhattan. Matanya dapat menemukan beberapa museum di sekitar sana yang mungkin bisa ia kunjungi ketika lengang, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya saat berpergian ke negara orang.

Setelah selesai memberikan beberapa berkasnya, Ten langsung bergegas menuju kamarnya. Seingatnya, ia tidak sendiri. Akan ada satu roommate yang sampai sekarang belum ia ketahui siapa orangnya. Sedikit harap harap cemas jikalau mendapat orang yang kurang bersahabat.

Kamarnya berada pada pintu kedua dari pojok. For the first impression, it's good. Ukurannya normal untuk dua orang dan tidak begitu berantakan. Hanya beberapa kaus yang tersampir di atas tempat tidur.

Ia baru mendudukan dirinya saat pintu terbuka, laki-laki tinggi dengan rambut coklat.

"Ah, so you're my roommate?"

Ten mengangguk. Masih tidak begitu masuk dengan segala hal yang ada di sini.

"Well, I'm Johnny." Laki-laki itu tersenyum.

"I'm Ten. Nice to meet you."

Johnny bergantian mengangguk. Tiba-tiba dahinya berkerut.

"Orang Asia?" Tanyanya masih dalam bahasa Inggris.

"Iya. Kenapa?"

"Aku juga campuran Asia. Negara apa?"

Oke, menurut Ten, Johnny adalah orang yang baik. Atau setidaknya mampu mengubah atmosfer canggung di menit menit pertama mereka.

"Thailand tetapi aku tinggal di Korea Selatan. Kamu?"

"Aku juga Korea!" Bahasa yang diucapkan Johnny langsung berubah menjadi Bahasa Korea. Ah, setidaknya ia tidak begitu asing disini. Si Rambut Coklat melanjutkan, "Dulu aku tinggal di Chicago, tetapi malah sekolah disini."

Hal selanjutnya yang mereka lakukan adalah mengobrol dengan dua bahasa yang sama sama mereka kuasai. Namanya Johnny Seo, ia sendiri baru masuk asrama ini kemarin siang dan mendapati kamarnya masih kosong.

"So, its your first time in NYC?"

"Nope. Tapi pertama kalinya sendirian di NYC."

Tangannya masih sibuk mengeluarkan beberapa barang dari dalam kotak yang ia bawa. Meletakannya di atas meja yang ada di kamar itu.

"Sabtu nanti aku dan teman temanku mau meet up, join us?" Tanya Johnny.

"Aku bahkan tidak tau siapa mereka."

"Nanti akan ku kenalkan. Oke, jam 7 harus sudah siap."


Suasana club malam itu cukup ramai, namun tidak cukup ramai untuk membuat Ten merasa sesak di dalamnya. Mengunjungi tempat seperti ini bukan lagi sesuatu yang tak lazim bagi Ten, tetapi tidak sering juga. Mungkin sekitar tiga sampai empat kali.

Namun di New York, semuanya terkesan baru dan asing untuknya. Yang ia kenal hanya Johnny dan dua laki-laki yang seingatnya bernama Yuta dan Hansol. Mereka memang kerap memasukan Ten dalam konteks pembicaraan mereka, namun rasanya tetap berbeda saat ia tidak mengetahui inti atau penyebab dari apa yang mereka bicarakan.

"John, aku kesana sebentar."

Ten menunjuk meja bar dengan ibu jarinya. Setelah laki-laki itu mengangguk, ia segera berlalu.

Mungkin seharusnya ia membiasakan diri, mencari teman sebanyak banyaknya untuk mempermudah segala proses adaptasinya yang entah memakan waktu berapa lama.

Pandangannya beralih ke atas lantai dance. Bagaimana semua orang menikmati setiap dentuman lagu yang menyerang gendang telinga mereka sambil menggerakan tubuh mereka, sesekali menabrakan pinggul atau lengan itu baik dengan sengaja ataupun tidak.

Dan saat itu juga, ia merindukan rasanya menari.

"Bourbon please."

Ten langsung menoleh ke asal suara. Dengan jarak yang tidak cukup jauh darinya, pantas saja ia dapat mendengar suara laki-laki itu dengan baik.

Lebih tinggi darinya namun dapat dipastikan tidak lebih tinggi dari Johnny dengan rambut silver yang dibiarkan berantakan. Ten tidak yakin apa pemesan bourbon barusan adalah seorang asian atau memang warga asli, mengurungkan niatnya untuk sekedar kembali menatap laki-laki itu.

Namun saat ia kembali menoleh, mata laki-laki itu sudah tertuju padanya. Dengan gelas berisi bourbon yang sedang menempel di bibirnya, menatap Ten dengan tatapan tajam.

Memutus kontak mata adalah hal terbaik yang harus dilakukan saat ini. Sudah susah-susah menyelamatkan diri dari situasi canggung teman-teman Johnny, sekarang ia berhadapan dengan situasi canggung dengan stranger.

"Asian?"

Ten langsung menoleh lagi, sedikit ragu dengan pemilik suara barusan. Namun, tidak ada orang lain di sekeliling mereka selain pasangan yang sedang bercumbu dengan panasnya. Jadi Ten hanya mengangguk.

Yang kebetulan juga dibalas dengan anggukan.

Ekspektasinya jauh. Ten kira ia akan menambah daftar teman, kenyataannya yang berhasil terkumpul adalah anggukan.

Memulai pembicaraan lagi, "Well, I'm Ten. Asia juga?"

Laki-laki itu mengangguk lagi. "Lee Taeyong."

Kalau saling mengetahui nama satu sama lain merupakan syarat utama interaksi manusia sudah bisa disebut sebagai pertemanan, maka Ten memang berhasil menambah daftar teman di kota barunya ini.

Dan dia yakin kalau Taeyong seorang Korean, sama seperti Hansol dan sebagian darah Johnny.

Si Laki-Laki Berambut Silver kembali memfokuskan dirinya dengan gelas bourbonnya yang sudah hampir habis.

Menahan diri untuk tidak kembali memutar kepalanya untuk menatap Taeyong dan berakhir dengan tetap melakukannya. Oke, mungkin Ten memang harus belajar untuk menahan diri.

Dengan handphone di tangannya, Taeyong memencet layarnya, mengetik sesuatu.

Dengan hangul.

Ternyata benar-benar orang Korea.

Tapi... astaga. Kenapa aku tidak pernah bertemu laki laki seperti ini saat masih di Korea?

Eh, loh?

Membuka pembicaraan lagi dengan ragu yang menguasai pita suaranya, "Kau orang Korea?"

Taeyong langsung memutus pandangannya dengan benda persegi panjang itu. Saling lihat-lihatan dengan Ten yang menatapnya dengan canggung. Dibarengi gumamannya, laki-laki itu mengangguk lagi.

Di minggu pertamanya, Ten sudah bertemu 2 orang Korea, 1 Korean-American dan 1 orang Jepang. Permulaan yang cukup baik bahkan sebelum kelas dimulai.

"Kau tidak minum?" Kali ini suara Taeyong yang membuka pembicaraan. Masih dengan tatapan tajamnya yang mampu menghipnotis.

Laki-laki yang lebih pendek menggeleng.

"Ada rekomendasi?"

"Some cider, maybe?"

Menghabiskan malamnya bersama orang yang baru saja ia kenal lainnya, Ten pikir Taeyong tidak buruk.

Ten pikir.

.

.

.

TBC

.

.

a/n: I'm back with this!1! Setelah baca suggestion kalian (yea, thankseu!) sebenernya bukan ff ini yang tadinya mau aku tulis melainkan high school life, tapi malah berakhir nulis ff ini. Thanks to New York & The Chainsmokers. Dan maaf banget buat sebagian request yang gak bisa aku wujudkan (?) karena daripada hasilnya tidak maksimal, jadi mungkin aku gak bisa ngebuat requestan kalian *bows*

Lanjut tidak?

Well, sorry for my lacking English skill, masih belajar hehe.

Don't forget to follow, fav & review! Thank you v much!