Mayat-mayat telah dia lindas, pekat darah selayu menggenangi jalanan.

Dia tidak peduli dengan negara yang diremehkannya sebagai negara budak, negara jajahan, atau apapun itu.

•••

"Lalu, kauanggap apa, pada kami semua?"

Sebilah bambu berujung runcing teracung lagi, badan bergoreskan puluhan luka itu tegak, berdiri kembali. "Sampah? Seperti itukah kauanggap perjuangan kami?"

Sang personifikasi Indonesia; Prathamaputera Aditya Hardikasuro, tanpa tersirat dan tersurat benang kegentaran menantang sosok oriental berperawakan kurus, namun tetap tegap dan berwibawa di depannya.

"Jawab!" Telah habis, rasa sabar.

Satu batang bambu disasarkan, acungan mengancam teralamatkan saat itu, Aditya tidak main-main dengan pertanyaannya. "Budak bawahan yang hina..."

Jawaban si lawan bicara ternada begitu enteng, seolah mempermainkan perasaan: marah, sedih, benci.

Sebuah siap, sepersekian milimeter lagi, bambu runcingnya segera menyobek kulit leher tipis'nya'.

Sekejam inikah, penjajahan itu?

Bungkamnya Aditya menoreh seringai di bibir'nya'. "Mengapa diam, Indoneshia? Ayo, tikam saja leherku hingga kaupuas. Buat darah mengalir dari sini..." Ditunjuk'nya' dengan angkuh posisi nadi pada leher.

Berdetak-detak, kuat, pompaan yang mengedarkan darah ke paru-paru, juga seluruh tubuh.

Aditya memaku.

Desiran darah mempercepat.