Hari ini adalah tepat satu minggu anakku, Naruto, meninggal dalam kecelakaan mobil. Anak laki-lakiku yang baru saja berusia tigabelas tahun. Kematiannya adalah kejatuhanku yang terbesar, dan saat itu semua kehidupanku berubah.

Dulu atau pun sekarang aku adalah Ibu rumah tangga biasa, dengan usia hampir empat puluh tahun. Suamiku, Minato, bekerja sebagai direktur di Clearwater, perusahan yang memproduksi air mineral. Dia laki-laki kurus-tinggi dan berambut kuning cerah, usianya lebih tua tiga tahun dariku. Tiga belas tahun yang lalu, keluarga kecil kami begitu lengkap ketika hadirnya buah hati kami. Kurama dan Naruto, mereka kembar indentik dan hanya berbeda sepuluh menit.

Anak-anakku tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan. Mereka membuatku serta Minato begitu kagum. Saat Kurama pandai dengan sains, Naruto sangat jago bermain piano. Aku tidak pernah lupa apa yang sering dimainkannya, Fur Elise oleh Beethoven. Mereka suka sekali lagu itu.

Dan tiga belas tahun saat ini, kehidupan keluarga kecil kami banyak berubah. Kurama menjadi sangat murung dan sering menatapku dengan sedih. Dia melakukan banyak hal yang sering di lakukan Naruto. Aku terluka melihatnya, dia pasti merindukan adiknya, dan aku pun sama, juga Minato.

Ketika aku menangis mengingat Naruto dan kelakuan yang berbeda dari Kurama, Minato selalu memeluku. Mengatakan jika aku harus menerima kepergiannya. Tapi ini begitu menyakitkan sehingga terkadang aku begitu gila, dan saat ini pun aku tengah berusaha menutup kenyataan tentangnya.

Terdengar suara piano malam itu. Aku terkejut dan segera bangun dari tidurku. Alunan musik Fur Elise terdengar jelas, dan di sana aku melihat Kurama, bahunya bergetar hebat jelas tengah menangis, duduk sambil memainkan piano milik Naruto.

Aku mendekatinya perlahan, menyentuh pundaknya. Kurama mendongak dengan mata yang sangat merah. Hatiku terenyuh, seperti ada kesalahan yang menyusup dan aku membiarkannya begitu saja.

"Kau belajar piano? Kau pasti sangat merindukannya, kan."

"Okaasan," suara serak itu semakin menghancurkanku.

"Kurama," suaraku bergetar, mengusap kepalanya pelan.

"Aku Naruto, Okaasan," aku terhenyak. Sakit ini semakin menjadi-jadi. Kenyataan ini, aku tidak ingin mendengarnya.

"Ku–"

"Tolong jangan biarkan aku hilang."

Aku menangis. Memeluk anakku dengan erat ketika suara tangisku tiba-tiba meledak. Aku telah menyakiti anakku sendiri – Naruto.

END

Errrr... ada yang ngerti? Ada yang ngerti? Ceritanya, di sini Kurama yang meninggal, tapi Kushina masih ga mau nerima. Jadi, dia nganggep Naruto itu Kurama. Yeah, seperti itu lah..

RCL

NEED! NEED!