Hola Minna. semoga gak bosen dengan fic baru nan abal saya.
Karena lagi hilang minat ngelanjutin fic yang ada, ini sekadar refreshing aja.
Menuh-menuhin rate m aja deh... wkwkwkwk
DISCLAIMER : TITE KUBO
WARNING : OOC, AU, MISSTYPO(sulit hilang), GAJE, Ide pasaran, Mudah ketebak.
Attention : Fic ini hanyalah fiksa belaka. apabila terdapat kesamaan di dalam fic ataupun cerita lain dalam bentuk apapun, itu sama sekali tidak sengaja. ini hanyalah inspirasi iseng yang nerobos masuk ke dalam kepala saja. mohon maafkan kalau terjadi kekeliruan.
.
.
.
Rukia berdiri di depan kamar hotel itu. Menghela nafas panjang, mempersiapkan hatinya. Selama ini dia biasa saja melakukan hal ini. Bahkan sama sekali tidak pernah ada rasa bersalah sedikitpun. Inilah yang dia inginkan. Tidak ada apapun yang bisa mengekangnya sama sekali.
Sekalipun dia bertindak begini egois, Rukia sama sekali tidak merasa bersalah. Karena yang membuatnya begini egois adalah orang-orang di sekelilingnya yang membuat hidupnya jadi tidak begitu berarti lagi. Membuatnya seperti boneka kayu yang seenaknya dimainkan sepuas hati tanpa memikirkan perasaannya. Yah. Dialah boneka kayu itu. Rukia diperlakukan seakan tidak punya hati sama sekali. Seakan perasaan Rukia begitu tidak pernah dihargai oleh orang lain. Benar-benar menyakitkan. Rasa sakit yang berubah jadi dendam dan rasa muak. Dendam karena memperlakukannya begini tidak adil. Muak karena hidupnya terasa seperti opera sabun murahan yang menjijikan. Jadi salahkah jika Rukia memilih jalan ini? Tidak. dan Rukia tidak akan menyalahkan siapapun. Jika pada akhirnya perbuatannya ini akan menanggung malu.
Rukia mengetuk pintu kamar hotel yang sejak tadi sore sudah dipesankan. Dengan senyum lembut Rukia menanti pintu itu dibuka.
"Kau sudah datang?"
Seorang pria tampan menyambutnya dengan begitu hangat. Rukia masuk dan menyambut uluran tangan kekar itu.
Di kamar hotel itu hanya ada mereka berdua. Dan tentu tak akan ada yang mengganggu privasi mereka berdua. Di meja kecil yang ada di kamar suite room itu tersedia sebuah wine. Pria tampan itu mengangkat dua gelas wine. Satu dia pegang dan satu lagi dia serahkan pada Rukia.
"Bagaimana harimu?" tanya pria itu lembut. Sungguh pertanyaan biasa. Siapa saja bisa melontarkannya. Tapi tidak akan sama jika pria ini yang mengatakannya.
"Biasalah. Jadwal deadline yang mematikan. Apalagi aku sudah harus menyerahkan setumpuk desain musim panas nanti. Benar-benar deh..." keluhnya. Dan jika di rumah nanti, Rukia sama sekali tidak bisa mengeluhkan hal ini.
"Kalau begitu... bagaimana kalau kita menghilangkan lelahmu itu?" bisiknya mesra.
Pria tampan yang akhir-akhir ini menjadi penyejuk hati Rukia mengambil gelas wine yang belum sempat diminum Rukia.
Perlahan namun pasti, pria itu mendekatkan wajahnya pada Rukia. Rukia tak mengelak. Wanita mungil berusia 26 tahun ini diam saja.
Dan ketika sentuhan lembut di bibirnya perlahan melumat habis bibir mungilnya, Rukia tetap diam. Rasanya dadanya begitu sesak. Tapi dia juga tak ingin ini berakhir. Berkali-kali Rukia menekan perasaannya. Sungguh sulit menekannya. Tapi akhirnya dia bisa melaluinya. Kalau dia sudah berkali-kali melaluinya, lalu apa yang sulit kali ini?
Perlahan, lumatan itu semakin liar, bahkan tidak mengijinkan Rukia untuk berhenti. Rukia menarik-narik rambut pendek pria ini untuk memberikannya kesempatan bernafas. Bibirnya terasa begitu hancur ketika pria ini memagutnya begitu nafsu. Lidahnya menjilat-jilat bibir Rukia agar terbuka. Kaki Rukia rasanya ingin meleleh dengan posisi seperti ini.
Pria itu menekan tubuh Rukia, hingga mereka terdesak ke dinding hotel. Rukia langsung melingkarkan tangannya di leher pria yang memagutnya ini agar tidak kehilangan keseimbangannya. Ciuman itu begitu dalam dan terjal. Sungguh tak bisa dihentikan. Terbakar nafsu dan panas.
"Ahh! Tung-tunggu dulu! Ichigo! Ahh... aahh!" jerit Rukia ketika pria tampan bernama Ichigo itu mulai menarik-narik rok ketat Rukia. Sementara menarik-narik roknya, Ichigo menjilati leher putih Rukia dan menggigitnya ganas. Rukia sempat meringis karena sensasi ini. Tapi sungguh... dia juga menginginkan sentuhan ini. Tak sabar, Rukia menarik rambut orange Ichigo agar menghadap wajahnya untuk menciumnya lagi. Bibir mereka kembali bertemu. Rukia kurang begitu menyukai saat bibir Ichigo mulai mengeskplorasi lehernya. Pasti akan banyak tanda bermunculan di sana dan membuatnya tidak nyaman mengenakan pakaian berkerah rendah.
Ciuman mereka semakin memanas, kala rok ketat milik Rukia mulai perlahan turun ke bawah. Lidahnya saling bertautan seolah ingin menelan lidah itu satu sama lain. Kini tubuh bagian bawah Rukia sudah terlepas. Meninggalkan celana dalamnya yang berwarna merah pekat itu. Ciuman itu dihentikan karena keterbatasannya. Kalau tidak dihentikan mungkin mereka akan mati kekurangan oksigen.
"Hhh... Rukiahh... kenapa kau... selalu tidak mau kucium lehermu?" bisik Ichigo sambil menempelkan kening mereka satu sama lain. Rukia menunduk sambil mengatur nafasnya yang memburu.
"Su-sudah jelas kan! Tandanya susah hilang. Dan aku malu kalau... tanda itu terlihat ketika aku... memakai kerah rendah..." balas Rukia menahan wajahnya yang berubah merah padam itu.
"Kalau begitu... boleh kucium bagian lain? Yang lebih... menantang," balas Ichigo mesra sambil berbisik di telinga Rukia.
"Ta-tapi... jangan robek pakaianku lagi ya..."
"Tenang saja."
Sekilas, Ichigo mengecup bibir Rukia singkat dan mulai terburu-buru melepas kemeja Rukia. Demikian Rukia yang melepaskan kaos ketat milik Ichigo itu. Kini mereka sudah bertelanjang dada. Terkecuali Rukia yang sudah terlepas roknya.
Ichigo menekan sekali lagi tubuh wanita mungil ini ke dinding kamar hotel hingga terdesak. Perlahan-lahan Ichigo mengecup kedua kelopak mata Rukia. Lalu turun menuju hidungnya. Bibirnya, dagunya, garis rahangnya, lehernya, puncak bahunya, dan berakhir di dada mungilnya. Bra merah Rukia sudah melayang sejak tadi. Rukia terus menahan dirinya agar tidak bergetar karena sentuhan ini. Rasanya memabukan. Bahkan mereka sama sekali belum meneguk wine itu. Tapi kepala Rukia sudah berkabut dan terasa pusing.
Ichigo mengulum lembut puting dada Rukia. Lagi, Rukia meremas kepala Ichigo karena sensasi ini.
"Ichi... go... ahh... aahh... ahh... hhh... ugghh!" Rukia memejamkan matanya sekuat mungkin karena gigitan Ichigo. Tampaknya pria ini serius ingin memberikan bekas di tubuh miliknya.
Yah... malam itu... sekali lagi mereka lalui dengan... bercinta.
Tanpa tahu, apa sebenarnya yang mereka benar-benar inginkan.
.
.
*KIN*
.
.
Ichigo sudah lama tertidur di samping Rukia sambil memeluk erat perut Rukia. Sedangkan Rukia masih terjaga. Rukia berguling membelakangi Ichigo. Rukia bisa merasakan nafas teratur dari hidung Ichigo mengalun di tengkuknya. Rukia mengelus tangan Ichigo yang melingkar erat di pinggangnya.
Sudah sejak lama mereka saling jatuh cinta. Saling mengasihi satu sama lain. Kalau bukan karena otoriter keluarga Rukia, mereka tak perlu menyembunyikan hubungan ini. Kenyataan bahwa Kuchiki, sangat menentang hubungan mereka ini.
Pasalnya, Ichigo hanyalah seorang model.
Yah. Model.
Bukankah seorang model terkenal adalah impian semua gadis untuk memilikinya? Ayah Ichigo juga seorang kepala rumah sakit. Kalau menilik dari kekayaan, Ichigo cukup, bahkan lebih dari kaya. Tapi, tetap Kuchiki tak pernah menyetujui hubungan mereka. Bahkan kalau dilanjutkan, Kuchiki akan memaksa Rukia pergi dari Jepang dan menetap di luar negeri. Rukia tak mau itu terjadi, sekalipun Ichigo bisa saja mengikuti Rukia. Tapi... tentu dia akan merasa hidup dalam penjara. Entah apa sebabnya Kuchiki sama sekali tidak menyetujui hubungan ini. Jalan satu-satunya, Rukia harus menuruti Kuchiki dan tetap menjalin hubungan ini diam-diam. Dan untungnya selama ini belum ada yang mengetahui hubungan mereka. Karena mereka, begitu pintar menyembunyikannya.
"Apa yang kau pikirkan?" lirih Ichigo. Rukia terkejut. Dia pikir Ichigo sudah tidur. Rukia sedikit menoleh ke belakang dan mendapati Ichigo menciumi tengkuk lehernya.
"Aku... membangunkanmu?"
"Tidak. karena kau belum tidur, aku hanya khawatir. Ini sudah malam Rukia. Kau sudah bilang, tidak bisa pulang 'kan?"
"Ya. Aku sudah bilang."
"Kau masih takut dengan hubungan ini?"
"Tidak."
"Kau takut." Tekan Ichigo.
Rukia kembali bergetar. Ichigo kembali begitu kuat memeluk Rukia dari belakang.
"Aku mencintaimu dan aku takut kehilanganmu. Sangat takut." Lirih Rukia. Matanya mulai basah menahan perasaan ini.
"Berhentilah memikirkan hal itu. Aku tidak akan kemana-mana. Sungguh. Aku akan tetap berada di sampingmu. Yang kau butuhkan hanyalah bertahan. Sampai waktunya tiba."
Yah... sampai waktunya tiba.
.
.
*KIN*
.
.
Rukia sampai di kediamannya. Rumah ini memang mewah dan megah yang berada di kawasan elit. Semua ini adalah milik Kuchiki. Bukan miliknya. Dia hanya terpaksa tinggal di sini. Seharusnya... Kuchiki tidak perlu mengadopsinya. Hanya karena dia mirip mendiang seorang wanita yang pernah jadi Nyonya Kuchiki saja, dia harus dibebankan penderitaan seperti ini. Awalnya Rukia tak ingin hidup dalam kemewahan seperti ini. Tapi desakan terus berdatangan padanya. Mereka mengatakan, bahwa dialah satu-satunya yang bisa menyelamatkan Kuchiki. Dan bukannya Rukia tak tahu terima kasih karena selama ini sudah dibesarkan sejak umur 15 tahun oleh keluarga Kuchiki. Tapi... apa kau tahu rasanya menahan hati?
Dijadikan boneka, rasanya sangat menyakitkan.
"Kau sudah pulang?"
Rukia berhenti di ruang tamu nan mewah itu. Dia melihat seorang pria berkulit pucat tengah menyesap kopi hangatnya sambil membaca koran pagi.
"Ya. Apa kau sudah makan pagi?" tanya Rukia pula.
"Belum." Balasnya singkat.
"Mau kubuatkan sesuatu?" tawar Rukia.
"Tidak perlu. Kau pasti lelah karena lembur semalam. Tidurlah."
Rukia langsung masuk ke kamarnya tanpa mempedulikan pria itu lagi.
Ya kamarnya.
Selama ini Rukia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Tapi tetap tanggapan dingin seperti itulah yang Rukia terima. Rukia tetap tak mengerti apa yang selama ini kurang dari dirinya? Rukia sudah bersikap manis selama setahun ini. Tapi apa? Tidak ada hasil apapun. Seolah pria itu hanya memandangnya sebagai pajangan saja. Apa menurutnya Rukia sungguh tidak seberguna itu? Apa dirinya hanyalah seorang wanita merepotkan yang gila kerja? Tidak.
Bahkan... soal kamarpun Rukia tak mengerti lagi.
Entah bagaimana caranya dia bisa bertahan selama ini kalau bukan karena Ichigo. Kurosaki Ichigo. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya bertahan selama ini.
*KIN*
"Schiffer-san, deadline-nya sudah besok. Apa desain anda sudah selesai?" pinta seorang pegawai di kantor desain-nya itu.
"Ya. Sudah selesai. Oh ya, apa model yang kuminta itu... setuju soal fashion show bulan depan?"
"Ya... Kurosaki-san setuju ikut fashion show itu. Rencananya akan diadakan di Harajuku kan?"
"Ya. Terima kasih Kira-san."
Rukia tersenyum lebar. Akhirnya Ichigo setuju. Sulit sekali membujuknya ikut fashion show ini. Meski mereka saling mencintai, tapi soal pekerjaan tetap berbeda. Itulah salah satu kesepakatan yang mereka buat. Dan untungnya ini sama sekali tidak mempengaruhi pekerjaan mereka. Sebagai desainer, tentu Rukia ingin pakaiannya dipakai oleh model yang sesuai. Dan tak dipungkiri, Rukia terus membayangkan betapa gagah dan tampannya nanti Ichigo mengenakan rancangannya.
.
.
*KIN*
.
.
Rukia duduk di ruang keluarganya sambil menonton TV. Rasanya sudah lama dia tidak menonton TV. Sejak deadline-nya selesai, rasanya bebannya sedikit berkurang.
Hari sudah beranjak malam. Tapi penghuni rumahnya ini belum pulang juga. Apakah memang selarut ini pria berkulit pucat itu selalu pulang?
Rukia menguap lebar. Rasanya sudah tak tahan menahan kantuk. Tapi dia ingin sekali menunggunya pulang. Rukia sadar dia selama ini sudah jarang memperhatikannya.
"Oh, kau sudah pulang?" kata Rukia sambil menguap lebar begitu melihat pria itu sudah masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah. Meskipun lelah, tapi tampangnya tetap datar dan terkesan dingin.
"Kau... belum tidur?"
Rukia mengambil tasnya dan memandang pria itu dengan senyum lebar, walau matanya setengah mengantuk dan basah karena menguap tadi.
"Aku harus menunggu suamiku pulang 'kan?"
"Kau tidak perlu menungguku begitu. Apalagi semalam ini."
Ulquiorra Schiffer. Suami yang sudah menikahinya selama setahun ini. Sejak awal bertemu, Rukia tahu wataknya memang sulit dan sedingin ini. Kuchiki-lah yang mengatur pernikahan mereka. Seminggu berkenalan dan akhirnya diputuskan menikah. Rukia masih tak paham dengan pikiran pria ini. Dia setuju saja menikah dengan Rukia. Bahkan ketika Rukia menolak mati-matian pernikahan ini, Ulquiorra tetap menuruti Kuchiki. Hal itulah yang membuat Rukia kesal.
Bahkan di malam pertama merekapun, Ulquiorra seakan tidak begitu berminat menyentuhnya. Mereka hanya melakukannya satu kali. Dan itupun bukan dasar cinta atau apa. Tidak ada kesan romantis. Semuanya berlalu dengan... datar saja.
Rukia mengikuti Ulquiorra masuk ke kamar. Suaminya sudah berganti pakaian. Sebenarnya, kamar ini adalah milik mereka berdua. Tapi Rukia lebih sering tidur sendirian. Ulquiorra akan tidur di kamar tamu. Itu yang masih membuatnya aneh.
"Sebenarnya... alasan apa kau mau menikah denganku? Ini sudah setahun Ulquiorra! Dan sikapmu masih tetap seperti ini." Akhirnya Rukia tak tahan untuk tidak bertanya.
Ulquiorra diam sambil menutup pintu lemari pakaian itu.
"Kenapa? Bukankah kita sudah sepakat? Kau jalani hidup yang kau suka dan akupun demikian. Aku juga tidak melarangmu melakukan apapun yang kau sukai. Jadi... tidak perlu memikirkan soal pernikahan yang tidak pernah kita inginkan ini."
"Lalu kenapa kau mau menikah denganku!"
"Karena aku tidak mau mengecewakan keluargaku dan keluargamu."
"Apakah kau pikir itu alasan? Apa kau... tidak pernah sekalipun mencintaiku?"
"Apa kau pernah mencintaiku?" balas Ulquiorra.
Rukia tertawa pahit mendengar kalimat terakhir itu. Cinta? Apa pernah Ulquiorra mengatakan cinta padanya? Tidak. meskipun itu bohong. Tidak pernah.
"Kau menggelikan! Sekaligus mengerikan. Kau mengikatku dalam pernikahan konyol ini tapi sama sekali tidak pernah memandangku sebagai isterimu. Apa kau tahu perasaanku? Hah! Kupikir kau tak pernah tahu!"
"Aku tahu. Kau pasti membenciku mati-matian. Aku menikahimu agar Kuchiki bisa selamat dari krisisnya. Setelah Kuchiki stabil nanti, aku akan menceraikanmu dan kau bisa hidup dengan pria yang kau cintai nanti. Jadi kumohon... bersabarlah."
"Kalau pada akhirnya kau harus menceraikanku kenapa kau menikahiku! Kau tidak perlu memikirkan Kuchiki akan jadi apa kalau kau akhirnya memilih untuk menyakiti mereka."
"Ini adalah amanat dari mendiang Kakekku. Agar aku mengabdi pada Kuchiki. Aku tahu kau benci padaku. Kau benci karena aku mengikatmu dan memisahkanmu dengan orang yang kau cintai. Tapi... ini hanya sementara saja. Tidak bisakah kau bersabar?"
"Bukan itu Ulquiorra. Bukan itu! Apa kau sungguh tak punya hati? Saat ini. Aku ini adalah isterimu. Apa sekali saja kau tidak memandangku demikian? Apa kau sunggu-sungguh rela aku berselingkuh dengan orang lain di belakangmu?"
"Ya. Kalau itu membuatmu bisa memaafkanku silahkan saja. Toh selama ini... kita tidak pernah benar-benar menikah. Aku membebaskanmu untuk melakukan apapun yang kau inginkan. Karena itu... jangan pedulikan aku lagi."
Ulquiorra melangkah pergi.
Kenapa kata-kata yang diucapkan suaminya selalu begitu menyakitkan?
.
.
*KIN*
.
.
Sedangkan Ulquiorra masuk ke kamar tamu dan menguncinya. Bersandar pada pintu kamar ini.
Sejujurnya, Ulquiorra sama sekali tidak pernah berniat untuk melukai hati wanita mungil itu. Tapi ini harus dilakukannya. Dia tak mau mengikat wanita yang tidak mencintainya. Sekalipun... akhirnya Ulquiorra sudah jatuh cinta pada wanita itu sejak pertama kali mereka bertemu.
Wajahnya yang cantik dan lembut.
Awalnya Ulquiorra juga tak setuju dengan pernikahan yang diatur seperti ini. Tapi, begitu bertemu Rukia, Ulquiorra langsung setuju saja.
Tapi begitu tahu, ternyata gadis itu mencintai pria lain, rasanya... sesak saja.
Dia tak bermaksud memisahkan Rukia dari pria yang dia cintai. Tapi tekanan keluarga memaksanya melakukan ini.
Kakeknya dulu berhutang begitu banyak pada Kuchiki. Dan ketika Kuchiki diambang krisis, Kuchiki terpaksa melakukan perjodohan ini untuk mengikat keluarga Ulquiorra untuk menyelamatkan Kuchiki. Dan bukankah Ulquiorra tak tahu maksud pernikahan ini. Dia tahu. Makanya... Ulquiorra bermaksud... untuk... bertahan.
Hingga setelah Kuchiki stabil, dia akan menceraikan Rukia dan membiarkannya pergi pada pria yang dia cintai. Sekalipun... itu menyakiti dirinya sendiri.
Sikap dingin yang Ulquiorra bangun selama ini agar dia tak terhanyut terlalu dalam pada perasaannya kelak. Agar nanti, ketika tiba saatnya mereka berpisah, Ulquiorra bisa melepaskan Rukia dengan begitu mudah. Agar Rukia tak menangis lagi. Karena jujur, selama setahun ini, Ulquiorra sering menangkap basah Rukia yang bersembunyi sambil menangis itu.
Karena sekarangpun... Ulquiorra yakin. Wanita bermata indah itu, tengah menangis karenanya. Lebih baik seperti itu. Agar Rukia semakin membencinya.
.
.
*KIN*
.
.
TBC
.
.
*celingakcelinguk*
Hola senpai... adakah yang mengerti cerita ini? jujur saja juga gak ngerti. saya mau bikin... hiks...
apa boleh buat deh. lagi stuck banget. gak tahu kenapa. rasanya semua feel saya hilang! huhuhuh...
mendadak mendapat inspirasi lain setelah mendengar bahwa... final arc Bleach bakal ada! yey!
duh... saya deg deg banget mau tahu semua rahasia Bleach, kelahiran Ichi, kenapa mukanya mirip Kaien, divisi 0, wakhh! saya gila... maaf senpai.
ok deh... seperti biasa... kalau menurut senpai nih cerita layak lanjut bakal saya lanjut. kalo gak bakal saya hapus.
Jaa Nee!
