Hari ini, ayah mengundang seseorang ke kantornya. Memang tidak sengaja kok, kebetulan aku juga sedang berada di kantornya. Dan kalian harus tahu, bagaimana rupa dari 'tamu' ayahku ini.
Ia seorang laki-laki, berpostur tinggi, memiliki surai hijau lumut yang tertata sangat rapi. Ia mengenakan kemeja putih dan sebuah dasi merah maroon yang menggantungi lehernya, di balut dengan jas cokelat tua dan celana panjang bahan dengan warna senada jasnya. Terlihat seperti orang jenius, berkat kacamata yang menghiasi wajahnya.
Sepertinya, ia baru saja berbicara dengan ayahku. Ia baru saja keluar dari ruangan ayahku. Aku masih tenang duduk di sebuah sofa panjang sambil menunggu ayahku, kebetulan orang itu lewat dan aku memerhatikannya begitu tajam. Sepertinya aku tertarik.
"Hei, kau bocah. Sedang apa di sini?" Shit (yes) akhirnya ia memerhatikan ku juga.
"Ini kantor ayahku. Jadi, terserah aku mau apa di sini." Jawabku terdengar dingin, bahkan aku tidak tahu nada bicara macam apa ini.
"Oh, pantas kau mirip sekali dengan pak Direktur." Ia sempat memalingkan wajahnya, lalu kembali menatapku. "Matamu?" Ucapnya sambil menunjuk matanya sendiri.
"Oh, ini bekas operasi." Aku menutupi mata kiri ku yang notabene beda warna sendiri.
"Begitukah? Sampai nanti." Ia kembali melangkah, menjauh menuju lift.
Dan kenapa aku malah membatu memerhatikan orang itu sampai mengabaikan panggilan ayahku?
.
.
.
Kuroko no Basuke
By Tadatoshi Fujimaki
Trapped
By Author
.
.
.
"Ayah, siapa orang itu?" Tanyaku saat melangkah masuk ke dalam ruangan ayahku.
Tanpa perlu repot menengok, "orang yang mana?"
"Yang tadi baru saja keluar dari ruangan ayah." Jawabku agak gemas sekaligus kesal.
"Oh.. itu Midorima Shintarou. Pemilik Midori medical center. Sekarang perusahaan kita bekerja sama dengannya."
"Ohh.." malas menjawab dan karena aku sudah cukup tahu. "Jadi, untuk apa ayah memanggil ku ke sini?"
"Aku ingin kau mengantar beberapa dokumen ini ke perusahaan 'X'."
Aku langsung merutuk dalam hati, memangnya aku kurir? "Oh, begitukah? Hanya itu saja?"
"Ya, itu saja."
Aku langsung memberi kode kepda supir ku untuk membawa buntelan kertas itu ke dalam mobil. Tak pakai lama, aku segera meninggalkan kantor ayahku, menuju ke perusahaan yang dimaksud.
Semua urusanku hari ini telah selesai sekaligus habis. Waktunya aku istirahat, tidur-tiduran sambil membaca buku. Karena aku sedang malas baca sambil duduk.
Entah kenapa, tulisan di buku ini terlihat kabur. Atau pikiranku yang kabur?
Aku berpikir sekali lagi, memastikan diri sendiri. Apa benar aku tertarik dengan seorang bernama Midorima Shintarou itu? Ah, tidak mungkin. Tapi aku penasaran, apa itu sama dengan tertarik? Sepertinya... tidak juga.
Ah, sial. Aku terlalu penasaran.
.
.
.
"Sei-chan.. Sei-chan...! Kenapa kau melamun?" Akhirnya seseorang menyadarkanku yang sedang melamun.
"Reo, aku tidak sedang melamun. Aku sedang berpikir." Jawabku berusaha sesingkat mungkin.
"Memikirkan apa? Cerita dong, cerita~" Reo merengek menuntut penjelasan.
Hal ini membuat aku tidak punya pilihan lain. "Aku sedang penasaran dengan pemilik Midori Medical Center, apa menurutmu penasaran itu sama dengan tertarik?"
"Arara~ ternyata Sei-chan sedang jatuh cinta rupanya."
"Ah, kalau itu sangat jauh dari tertarik." Jatuh cinta? Kosakata darimana itu?
"Ya, aku tidak tahu sih apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan. Tapi kau terlihat sedang 'ingin tahu' tentang seseorang." Hei, apa Reo sedang berfilosofi?
"Kau bisa membaca pikiran orang juga ternyata?" Tanyaku ga nyambung.
"Sei-chan, jangan mengalihkan topik, kau semakin gampang dibaca."
"Oh, iya, maaf." Rasanya seperti terjebak perangkap sendiri.
"Jadi, kau akan berkunjung ke sana setelah ini?" Reo bertanya lagi.
"Ah, mungkin sekarang." Aku segera berlari keluar gym dan melupakan menu latihan yang notabene sangat penting ini.
Aku mengabaikan teriakan Reo yang menyuruhku untuk menyelesaikan latihan terlebih dulu. Oh, ayolah nanti dia keburu pulang dari sana.
.
Sekarang, saat ini, aku sedang berdiri di lobby rumah sakit, Midori Medical Center. Aku melihat ke sana kemari mencari tahu (sendiri) di mana ruangan pemilik tempat ini. Aku tidak ingin bertanya, karena gengsi.
Biasanya kalau di rumah sakit, ruangan penting tidak mungkin ada di lantai atas, pasti ada di lantai dasar. Dan aku memutuskan untuk menjelajahi lantai dasar.
Sekarang aku bertanya-tanya seberapa besar luas lantai dasar ini, kok lelah ya? Di menit berikutnya, aku melihat ruangan bertuliskan 'Vice President Room'. Mungkin saja itu ruangannya, karena terlihat mencolok.
Mengetuk pintu sebanyak tiga kali, lalu aku membuka pintu. "Permisi?"
Bingo! Aku memang tak pernah salah. Seorang yang sedang ku cari sedang duduk manis di kursi kerjanya.
"Oh, kau anak yang kemarin. Ada apa sampai datang ke sini?" Tanyanya langsung to the point, aku suka sekali orang macam ini.
"Aku hanya ingin mencari tahu sesuatu." Aku berjalan mendekatinya.
"Mencari tahu? Mencari tahu hubungan antara perusahaan ayahmu dengan rumah sakit ku?"
Aku berpikir sejenak. Sepertinya bukan itu yang ingin aku tahu. "Ehm.. maaf, kau salah. Aku ingin bertanya secara personal."
Agak aneh reaksinya. Kenapa ia tidak histeris melihat orang asing yang masuk seenak jidat ke dalam ruangannya. Ia begitu tenang dan merasa tidak keberatan. Apa sebetulnya ia sudah mengetahui siapa aku?
"Aku pikir aku sudah tidak sopan masuk ke sini, apa kau tidak risih?" Aku bertanya kembali, meyakinkan.
"Hmp. Kau memang sama dengan ayahmu. Suka seenaknya saja. Aku sudah tidak bingung."
Merasa sudah diterima dalam ruangan ini, sepertinya kelakuan ku semakin kurang ajar. Aku menempatkan tubuhku di atas meja menghadapnya, ya, di atas meja. Aku duduk di sana. Meja yang malang.
"Aku ingin dekat denganmu, Sensei." Ucapku lugas, tanpa terbata. Dan jangan salah, kata-kata ini keluar setelah sepuluh kali aku berpikir.
Akhirnya, pemuda bernama Midorima Shintarou itu, mengalihkan pandangannya padaku dan meninggalkan sebuntelan kertas yang sempat menyita perhatiannya.
Ia memajukan kursinya mendekati meja, ia menengadah kepalanya, menatapku face to face. "Aku pikir kita sudah dekat sekarang."
Aku menghela nafas, menahan emosi. "Anak umur empat tahun juga tahu, kalau jarak kita sangat dekat saat ini."
"Lalu, yang kau maksud itu apa? Omonganmu memiliki banyak makna kelihatannya."
Pertanyaannya itu, terdengar mengajak berkelahi. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Sensei. Lebih personal."
Ia kembali membetulkan posisi duduknya, ia bersandar pada sandaran kursi. "Jadi, singkatnya, kau ingin mewawancarai ku, begitu?"
Malas menjawab, aku hanya mengangguk antusias. Aku akan memberikan pertanyaan paling jahanam di dunia.
"Boleh aku mulai sekarang?" Aku bertanya kembali.
"Silahkan."
"Siapa namamu? Dan apa profesimu yang sebenarnya?"
"Namaku Midorima Shintarou. Aku seorang dokter. Lebih tepatnya psikiater."
"Kau masih single atau sudah married?"
"Single."
"Kau suka laki-laki atau perempuan?"
"Keduanya."
"Hobimu apa?"
"Main hardcore."
"Hardcore? Apa itu? Permainan baru?"
"Bocah sepertimu tidak akan mengerti permainan itu."
"Aku bukan bocah, aku sudah 17 tahun. Dan aku punya nama, Akashi Seijuro."
"Ya, terserah apa katamu, Akashi. Tapi tetap saja kau tidak akan mengerti."
"Apa maksudmu? Jangan remehkan aku. Aku pasti akan mengerti, meskipun hanya sebagian kecil."
"Siapapun itu, pasti akan sulit memahaminya jika tidak dilakukan secara langsung."
"Kalau begitu, ayo kita coba permainan itu." Ucapku dengan percaya diri. Jujur, aku tidak tahu permainan apa itu.
Tanpa perlu menjawab, tiba-tiba Midorima beranjak dari kursinya. Aku sedikit terkejut dan menatapnya penuh tanya. Dalam waktu singkat, ia menarik lenganku dan menempatkan ku pada kursi yang sebelumnya ia gunakan. Ia meletakkan kedua tangannya di kedua sisi pegangan kursi. Lalu menarik kursi itu untuk mendekatinya, ia menatapku seolah menginginkan sesuatu.
"Apa kau tidak akan menyesal?" Tanyanya kembali.
"Untuk apa aku menyesal." Jawabku dengan yakin.
Ia terlihat meremehkanku sekaligus terlihat senang. Sebenarnya apa yang ia rasakan saat ini?
"Aku akan memberitahu rules nya. Ini permainan antara budak dan majikan. Kau budak dan aku majikan. Kau tidak boleh menyentuhku, barang seujung jaripun. Kau hanya boleh menyentuhku jika aku menyuruhmu."
"Aku menolak. Aku tidak mau jadi budak. Aku adalah pewaris keluarga Akashi dan aku tidak akan menjual reputasiku sebagai budak."
Ia terkekeh geli mendengar penolakanku. "Ya, terserah kau saja. Kau yang meminta untuk memainkan permainan ini, kan? Jadi, ikutilah saja apa kata ku."
Aku berpikir kembali. Jika, permainan ini tidak jadi, aku pasti akan penasaran setengah mati. Tapi, tidak jadi budak juga, kan? Meskipun ini hanya permainan.
"Kau ingin melanjutkannya atau tidak?"
Pertanyaannya benar-benar membuat lidahku terpeleset dan mengatakan 'ya' dengan sangat lancar.
Sebuah senyum terukir di wajahnya setelah mendengar keputusanku. "Aku pinjam ini."
Midorima menanggalkan dasi hitam yang melingkar di leherku. Aku kembali menatapnya, apa maksudnya ini?
Dalam hitungan menit, dasi itu berpindah melingkari kedua tanganku. Midorima mengikat kedua tanganku dengan dasi. Sial, aku makin penasaran, permainan macam apa ini?
"Kau mulai bertanya-tanya, huh?" Ia menanggalkan dasinya sendiri dan membuka kedua kancing teratas.
Tiba-tiba, ia menutup kedua mataku dengan mengikatkan dasinya di kepalaku.
"Sensei, bisa kau jelaskan, permainan macam apa ini?"
"Tenang saja, tidak akan ada yang tersakiti. Kau hanya perlu mencariku saja."
Aku merasa Midorima pergi menjauh dariku. Dan aku tidak punya ide kemana dia pergi, kemana arahnya. Aku tidak tahu.
"Sensei?"
"Cari aku ada di mana."
Aku mulai beranjak dari kursi dan mulai mencari keberadaannya. Aku mendengar suaranya dari arah kiri. Aku langsung melangkah sesuka ku saja. Ingat, aku tidak pernah salah.
"Kau tidak buruk juga."
Aku mendengar suaranya lagi. Sepertinya ia sudah berpindah tempat. Orang ini benar-benar mempermainkan ku.
"Sensei, kau ingin bermain atau memepermainkan ku?" Ucapku sambil melangkah.
"Sepertinya kau menyadarinya. Baiklah aku tidak akan kemana-mana."
Aku kembali melangkah mengikuti suaranya. Jangan remehkan aku, suara nafasmu itu sudah lebih dari cukup untuk pentunjuk.
Entah aku berdiri dimana sekarang, tapi aku sangat yakin bahwa aku sudah berdiri di depannya.
"Baiklah, Sensei. Aku sudah menemukanmu. Aku harus apa?"
"Cari di mana alat vitalku berada."
Apa? Apa katanya barusan? Alat vital? Maksudnya, 'bagian itu'? Yang benar saja. Apa yang ia ingin aku lakukan?
"Sensei, apa maksud-"
Tiba-tiba kedua tanganku ditarik olehnya. "Tidak usah banyak bicara, kau ingin menyudahinya?"
Aku merasakan ada sesuatu yang meraba bagian bawahku. Apa itu tangannya? "Sensei, apa yang sedang kau lakukan?"
Bukan menjawab pertanyaanku, ia malah membanting tubuhku entah kemana. Aku merasakan bantalan empuk sebagai alas berbaringku. Di mana ini? Sofa, kah?
"Aku akan memberikan contoh padamu, nanti kau harus mengikutinya."
Aku merasakan sesuatu lagi meraba bagian bawahku. Perlahan aku merasa celana ku semakin sempit. Sial, apa aku sedang menegang? Aku menggigit bibirku, guna mencegah suara gaib.
Ia menarik kedua tanganku yang terikat ke atas. Apalagi yang akan dilakukannya? "Reaksimu cepat juga."
Aku merasakannya, ya aku merasakannya. Ia sedang mencoba mencoba membuka risleting celanaku. Tanganku pun ditahan agar tetap di atas. Kenapa kekuatanku jadi tidak ada apa-apanya?
Oh, rasanya lega sekali. Tentu saja, ia sudah berhasil membuka risleting celanaku dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Rasanya lega sekaligus mengerikan.
Midorima memijit lembut 'sesuatu itu', memberikan sensasi nikmat tersendiri. Ah, rasa ini, belum pernah aku rasakan.
"Ah.. Sensei.."
"Sepertinya kau menikmati."
Tiba-tiba, gerakannya terhenti. Ah, bukan. Ia memang sengaja menghentikannya.
"Kenapa, Sensei?"
"Ini tidak adil. Kenapa jadi kau yang keenakan? Harusnya, kau yang memuaskanku."
Ia menarik tanganku, aku merasa posisiku telah berubah. Aku merasa, sepertinya tubuhku membentur Midorima.
"Cari di mana milikku berada, dan perlakukan seperti yang aku lakukan tadi."
Posisiku benar-benar memalukan. Aku sedang menungging di atas tubuhnya. Sepertinya aku mulai tahu, dimana miliknya berada. Aku meraba-raba, lalu aku mendengar ia melenguh nikmat.
"Teruskan, Akashi..."
Aku sempat terdiam saat Midorima memanggilku. Rasanya, libidoku semakin naik.
"Sensei, boleh aku minta melepas ikatan tanganku? Agar aku bisa melakukannya dengan leluasa."
Cukup lama mendapat respon, akhirnya ikatan tanganku dilepas olehnya.
"Sekarang, lakukanlah dengan leluasa."
Tanpa disuruh pun, aku sudah membuka risleting celananya dan mengeluarkan sesuatu yang sudah menegang dari dalam sana. Aku memijitnya dengan lembut seperti apa yang ia lakukan barusan.
"Gunakan mulutmu."
Awalnya aku agak terkejut, namun nafsu ini menyuruhku cepat tanggap. Aku segera mengulum benda panjang itu dengan intens. Tak lupa menjilatnya untuk memberi sensasi yang lebih berkesan.
Aku merasa benda panjang itu semakin membesar dan semakin berkedut. Apa dia akan klimaks? Secepat itu, kah?
Benar saja. Semua cairan putih itu menyembur ke dalam mulut. Tiba-tiba mulutku dibekap begitu saja olehnya.
"Telan semua. Jangan berani kau memuntahkannya."
Aku mengangguk pelan dan meneguk habis cairan yang sempat memenuhi rongga mulutku itu. Rasanya... iuh. Aku sempat terbatuk karena tersedak sperma.
"Sensei, apa yang akan kau lakukan lagi?"
Aku merasakan tangannya sedang mencoba untuk menanggalkan celana bahanku. Sial, apa dia akan melakukannya sampai sejauh itu?
"Sensei, aku mohon jangan sampai situ."
"Tidak. Sudah terlambat. Aku sudah tidak tahan lagi."
Celanaku pun berhasil ditanggalkan. Selangkanganku pun dibuka lebar olehnya. Lalu, aku merasakan sesuatu yang lunak dan membasah meraba lubang analku. Aku merasakan sensasi aneh lagi.
Berikutnya, sesuatu yang panjang dan kecil memasuki lubangku. Benda itu beegerak ke sana kemari untuk memperlonggar lubang super ketat itu. Aku mengerang sakit sekaligus nikmat.
"Sensei... ah.."
"Kau sudah siap, Akashi."
Siap? Apa maksudmu? Tunggu dulu, jangan-jangan,
"Ah! Sensei!" Aku mengerang sejadi-jadinya saat sesuatu yang besar masuk ke dalam dan merobek lubang kecil itu. Aku terlonjak kesakitan.
"Sensei, hentikan! Ini terlalu sakit.." aku memberontak berusaha melepaskan diri.
"Kau rileks saja. Jangan berontak seperti itu. Lemaskan otot-ototmu. Percayalah."
Aku merasakan tangannya mengusap pipiku dengan sangat lembut. Tangannya terasa hangat.
"Kau boleh meletakkan tanganmu di sini." Midorima menaikkan tanganku menggantung pada lehernya. Aku langsung memeluknya dan meremas kuat-kuat kemeja yang masih dikenakannya.
"Cengkramlah apa yang bisa kau cengkram. Aku mulai."
Midorima mulai bergerak maju mundur. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan rasa nikmat itu. Aku mengerti sekarang kenapa banyak orang mesum, karena rasanya senikmat ini.
"Ah.. Sensei.."
Semakin lama, semakin cepat. Rasa nikmat menyerang bertubi-tubi. Aku tak bisa menahan desahan nikmat ini lagi. Di menit berikutnya, aku merasakan sebuah cairan hangat memenuhi lubang analku. Ah, ini rasanya klimaks?
Rasa kantuk perlahan menyerang. Tak kuasa menahan kantuk, aku merelakan diriku yang tidur sembarangan di tempat orang.
.
.
.
Samar-samar cahaya melesak masuk ke dalam pengelihatanku. Aku membuka mata perlahan, silau sekali. Aku merasa ada orang yang sedang menghampiriku. Tiba-tiba seseorang itu menyentuhku dengan tidak wajar, agak horor untuk ukuran pagi-pagi begini.
Aku langsung menoleh dengan refleks sambil menutup tubuhku rapat-rapat dengan selimut. Sontak orang tersebut ikut terkejut dengan kelakuan ku.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku ketus, kepada seseorang yang ternyata adalah maid rumah ini.
"Sa-saya ingin membangunkanmu, Tuan. Karena tumben sekali Tuan muda belum bangun jam segini.." jawabnya agak takut.
"Jam?" Aku langsung melihat ke arah jam dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi.
"Sial." Aku berdecak sambil buru-buru beranjak dari ranjang dan pergi menuju kamar mandi hampir berlari. Untung saja aku melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup, jika tidak, aku sudah menerjangnya sampai kepalaku benjol.
.
Entah aku harus menyebutnya pagi yang baik atau pagi yang buruk. Di tengah perjalanan menuju sekolah, aku berpapasan dengan Mibuchi Reo, dan 'terpaksa' berjalan bersama menuju sekolah. Kalian tahu sendiri 'kan bagaimana jadinya jika mulut Reo sudah terbuka, ya sebelas dua belas dengan sebuah sosial media yang mirip kicauan burung.
"Sei-chan, kenapa kau diam saja? Cerita dong bagaimana kesan pertamamu tentang 'dia'?"
Aku langsung menatapnya tidak santai. " 'dia'? 'Dia' siapa maksudmu?"
"Yang kau bilang kemarin, masa kau lupa? Tidak seperti Sei-chan saja. Itu lho pemilik Midori Medical Center."
"Oh dia..." aku terdiam sejenak menimbang keputusan, apa aku ceritakan saja atau ku simpan sendiri? "Reo, bagaimana kalau sepulang sekolah aku ke rumahmu?"
"Maaf, Sei-chan. Kalau kau hanya ingin numpang kabur, aku tidak akan buka pintu."
"Tentu saja tidak. Aku akan menceritakan apa yang terjadi kemarin."
Aku melihat Reo tersenyum sumringah, seakan aku belum siap menceritakan kejadian kemarin. Apa ia akan membongkarnya jika aku menceritakannya? Tidak, tidak mungkin. Aku sangat mempercayai Reo. Tapi tidak sepenuhnya.
.
Sore menjelang malam, langit oranye berganti menjadi biru tua. Setelah sekian lama latihan basket yang begitu menyita waktu, tapi bukan begitu maksudku, aku berkunjung ke rumah Reo untuk urusan penting sebelum pulang.
Reo memang benar-benar sangat memerhatikan seorang tamu, apa karena tamunya adalah aku? Tidak mungkin. Dilarang keras berprasangka buruk pada Reo, nanti dia menangis.
Ia meletakkan dua cangkir teh hangat dengan beberapa kudapan yang di sajikan di atas piring dengan sangat rapi. Aku khawatir kalau Reo bekas transgender.
"Nah, Sei-chan, kau akan memulai ceritanya dari mana." Reo menempatkan diri di sampingku.
Kami duduk di lantai beralaskan karpet, menghadap sebuah meja dengan kaki rendah. Aku hanya memerhatikan permukaan teh merah itu dalam diam. Jujur aku bingung harus mulai dari mana.
"Semalam... aku tidur di kamar ku."
"Oh, ayolah Sei-chan.. itu lelucon yang sangat tidak lucu." Reo langsung menyahut dengan gemas.
"Makanya dengarkan aku bicara sampai selesai." Aku pun menanggapi setengah emosi.
"Baiklah, Tuan muda. Silahkan."
"Awalnya , aku tidak tidur di kamarku." Dengan sengaja aku menggantung kalimatku.
"Dan..?" Reo bertanya menahan rasa penasaran. Terdengar sekali dari intonasinya.
"Awalnya aku tidur di ruangan 'dokter' itu."
"Tunggu, Sei-chan. Maksudmu, pemilik Midori Medical Center itu?"
"Tentu saja. Memangnya kita sedang membicarakan siapa lagi?"
"Ah, baiklah. Jadi, dia hanya mengantarmu pulang ke rumah saat kau tertidur? Tidak buruk juga." Reo terdengar puas dengan jawabanku. Ayolah, Reo, apa kau sebodoh itu?
"Tunggu dulu! Kenapa kau bisa tertidur di ruangannya? Kau tidak diapa-apain 'kan, Sei-chan?" Akhirnya otak Reo berjalan juga.
"Itu yang ingin aku bicarakan. Aku sudah diapa-apakan."
"Maksudmu.. 'itu'...?" Reo saling menyentuhkan kedua telunjuknya, memberi sebuah kode yang sangat dilarang jika disampaikan secara lisan.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan pelan. Rasanya, harga diriku akan jatuh hingga beberapa tahun ke depan.
"Tidak mungkin, Sei-chan...! Kenapa kau mau saja?!" Jadilah Reo semakin terkejut bukan kepalang.
"Itu semua terjadi karena rasa penasaranku." Aku menjawab kembali dengan tenang.
"Kau memintanya untuk melakukan 'itu'?!" sumpah, Reo kalau sudah khawatir heboh setengah mati.
"Awalnya, aku hanya menanyakan hobinya dan tiba-tiba berakhir menjadi seperti itu." Lanjut ku dengan nada datar, seakan itu hal biasa.
"Sei-chan, sebaiknya kau menyerah sekarang juga, daripada kau 'kebobolan' berkali-kali. Itu sangat berbahaya!"
Dan setelah pengakuan dosa yang sangat memalukan itu, Reo terus mengoceh seperti ibu-ibu yang baru mendengar anak perempuannya sudah tak perawan lagi. Bisa dibilang aku diceramahi habis-habisan olehnya.
Sebenarnya aku mengerti, yang dikatakan Reo itu benar. Kalau orang yang baru pertama kali kau temui dan langsung mengajakmu 'berhubungan', 99% orang itu adalah mesum, pedofil, atau semacamnya. Dan sangat tidak baik untuk jiwa dan raga jika kau jatuh cinta pada manusia macam itu.
Tapi, perasaan ku tak bisa dibohongi. Setelah apa yang dilakukan Midorima-sensei padaku, aku malah merindukan sentuhannya. Aku jadi semakin penasaran, apakah ia benar-benar manusia yang digambarkan di atas tadi? Entah kenapa, setelah melakukan 'itu' ada perasaan aneh yang lebih aneh dari sebelumnya mendominasi hati dan pikiranku. Apa yang terjadi padaku?
Mengingat waktu sudah semakin larut, aku langsung pamit pulang kepada Reo. Tumben sekali Reo tidak ingin mengantarku sampai keluar gedung apartmennya, dengan alasan 'Karena Sei-chan curhat aku jadi lupa beres-beres'. Aku pun berjalan keluar dari apartmennya menuju lift. Kebetulan liftnya hanya satu, dan lift itu mengarah ke lantai atas tidak langsung ke bawah, pasti ada orang di dalamnya.
Aku menunggu dengan sabar, sampai pintu lift terbuka dan mengejutkan ku setengah mati. Aku mendapi lelaki bersurai hijau lumut dengan kacamata yang bertengger di wajahnya. Ia mengenakan setelan jas dan celana cokelat tua, dan kemeja cokelat susu di balik jas. Rasanya aku ingin kembali ke apartmen Reo.
"Oh, kau anak yang kemarin. Apa tidurmu nyenyak semalam?" ucap lelaki itu.
'Sialan…'
.
.
.
To be continued.
Another nonsense fic has appear~
wkwkwk merasa udah ga punya utang saya bikin fic baru. Sebenernya cerita ini hampir agak mirip dengan fic saya yang berjudul 'Atarashii'. Sebenernya fic yang Atarashii itu pengen saya bikin jadi begini, eh tapi entah kenapa otak saya belok. Tapi bedanya di sini, Mayuzumi tidak akan ambil peran. Paling lewat-lewat bentar. Itu juga baru kemungkinan.
Tadinya ini fic mau saya jadiin oneshoot eh tapi gegara ada 'nganu'nya jadi panjang begini, terpaksa multichap. Untuk chapternya masih belum tau sampai berapa, ya saya sih agak malas bikin yg chapnya banyak-banyak tapi apa boleh buat jika memang harus begitu.
So.. saya mau mengucapkan WELCOME untuk first reader! Semoga permainan MidoAka saya kali ini berhasil mencuri hatimu~
Sampai betemu di chapter berikutnya! aku tanpamu bagaikan menulis di atas air...
Ja~
