KIMI NO SEKAI

(DUNIAMU)

.

HUNHAN COUPLE

FANTASY-SUPERNATURAL-SUSPENSE

ALTERNATE UNIVERSE!

.

.

.

E

N

J

O

Y

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"LUHAN!"

Yang dipanggil terlonjak, refleks menutup buku yang sedang ia baca.

"Apa-apaan kamarmu ini?! Betah sekali kau hidup di kapal pecah. Bereskan sekarang juga atau seluruh komik hentaimu Bibi sita!"

Pria itu—Luhan, membelalakkan matanya. Ia mendadak bergidik.

"S-SIAP, KAPTEN FLYING DUTCHMAN!"

"Hah. Kau pikir aku hantu? Kau punya waktu lima belas menit untuk membereskan kamarmu. Kalau sampai aku balik dan belum beres juga, akan aku bakar koleksi komik pornomu itu. Cepat!"

BRAK

Pintu dibanting keras. Luhan masih termangu. Ia meringis. Hancur sudah reputasi inosennya di mata sang Bibi. Ia harus secepat kilat membereskan kamarnya dan meringis karena baru sadar di setiap sudut kamar terserak komik hentai.

Ugh. Lebih baik aku mati saja dari pada semua koleksi hentaiku dibakar habis. Semangat, Luhan.

Seperti itulah pria.

.

.

Luhan, pria yang seminggu lagi berusia tujuh belas tahun. Pencinta manga—khususnya genre hentai. Normal saja, karena aku pria. Pemikiran dangkal memang. Tidak ada melarang ia untuk menyukai hal berbau porno memang, tapi kalau, sebutlah—privasinya tercecer begitu saja, itu sama saja ia seperti memakai topeng bukan?

Dari luar memang inosen, terlihat lembut dan sedikit cupu. Nyatanya? Mesum, gegabah dan memiliki imajinasi tingkat tinggi tentang hentai. Kira-kira seperti itulah sang Bibi akan memandangnya. Mulai hari ini hingga seterusnya. Ia merutuk.

.

.

"Ugh. Mengapa di setiap seri, kau bertambah tampan, huh?"

Kai—sahabat Luhan, hanya menatap jengah ke arah pria imut yang nyatanya autis itu. Luhan tengah menjerit tertahan dengan mata berbinar dan terkadang menciumi halaman manga yang menampilkan karakter kesukaannya dengan brutal kalau halamannya memaparkan ketampanan sang tokoh utama pria.

Kai yang tidak tahan pun menoyor kepala Luhan. "Luhan. Aku bingung padamu. Untuk apa aku menemanimu membaca komik itu sedangkan aku diangguri? Kau pikir enak jadi aku? Obat nyamuk antara kau dan karakter fanamu itu? Mungkin kau harus kuseret ke Psikiater besok. Kadar kewarasanmu makin dipertanyakan. Dan yang lebih penting, lebih tampan aku dibanding siapa—Earth Raito itu. Setidaknya aku nyata."

Kai yakin Luhan mendengar ocehannya itu. Luhan berhenti membaca sejenak. Ia menoleh ke arah Kai yang tengah menatapnya kelewat jengah.

"Kai. Aku peringatkan padamu, Earth Raito ini," Luhan menunjuk wajah karakter tersebut di depan wajah Kai. "Sangat. I-ke-men. Karakter dua dimensi terikemen yang pernah kutemui sepanjang sejarah aku membaca manga ataupun menonton anime. Dan apa kau bilang? Kau obat nyamuk? Hei,"

Kai menanti lanjutan kalimat Luhan dengan tampang nyaris busuk. "kau kan sudah kuberi komik hentai. Ada versi yaoi juga itu. Mengapa kau tidak pernah membacanya? Kau ingin muka dua di hadapanku? Aku heran padamu."

Kai menyingkirkan komik dan tangan Luhan dari wajahnya. Ia menarik tengkuk Luhan hingga jarak wajahnya hanyalah tinggal tujuh senti.

"Aku ini tidak mesum sepertimu, Luhan. Mulai besok dan seterusnya, aku akan absen menjadi pendamping pembaca penggila ikemen sepertimu. Oke."

Luhan menelan liurnya sendiri. Terkejut.

Ampuni aku, Tuhan.

Kai membelalakkan matanya.

Demi Dewa Neptunus?

Pria di hadapannya kini tengah mempersatukan bibir mereka. Kai mengerjapkan matanya tiga kali, lalu tautan mereka terlepas.

"Ugh. Kai, kau sungguhan atau tidak sih dengan perasaanmu terhadapku?"

Mengapa topiknya jadi seperti ini? Kai membatin.

Baru Kai akan bersuara, Luhan berbicara lagi. "Kalau kau serius, kau harus terbiasa dengan sifatku. Aku memang seperti ini. Sangat apa adanya di hadapan siapa pun."

Mengapa bocah ini malah membuatku tersipu, sih?

"Aku tahu kau tidak ingin mengalami friendzone. Maka dari itu, kau harus terbiasa dengan sifatku yang menggilai manga. Belum resmi saja, kau sudah muak, bagaimana kalau sudah resmi? Aku jadi ragu akan perasaanmu padaku."

Luhan menunduk. Manganya sudah tertutup yang mana sedang ia peluk.

Kai mengembuskan napas. Ia merangkul Luhan lalu mencium pipinya.

"Mana mungkin aku tidak serius dengan perasaanku? Aku tulus mencintaimu, Lu. Maafkan aku."

Luhan mengangkat wajahnya dan menoleh. "Seharusnya aku yang minta maaf. Kenapa tidak dari dulu kau mengatakannya? Maafkan aku sudah keterlaluan, Kai."

Kai menggeleng pelan lalu mendekap Luhan. "Tidak. Jika itu kebiasaanmu, teruskanlah. Tapi alangkah baiknya jika kau membaca manga seorang diri bukan? Jika bersamaku, aku hanya ingin fokusmu terhadapku saja. Tidak dengan yang lain, terlebih dengan si Earth Raito itu."

Luhan tertawa, balas memeluk. "Oke, Kai."

.

.

.

.

.

"Ini apa, Bi?"

Luhan jelas mengernyitkan dahinya. Setelah selesai merayakan hari jadi Luhan yang ke tujuh belas—dengan hanya makan malam di luar bersama Kai—sang Bibi menyeret Luhan ke kamarnya.

Di hadapannya kini, terdapat benda persegi berukuran setengah badannya yang tertutup kain putih.

"Suka atau tidak, ini adalah hadiahmu, Luhan."

Bibi Ern siap menyingkap kain putih tersebut.

Satu

Dua

Tiga

"TARA! Bagaimana? Kau pasti suka kan?"

Luhan tergeming. Bibi Ern berkacak pinggang, "Jangan terpesona begitu, Luhan. Keren, bukan? Kau tahu, ini adalah karya turunan keempat Pelukis realisme legendaris, Gustove Corbert. Tidak disebutkan siapa dia. Kata penjual lukisan ini, ia meninggal tepat setelah berhasil menyelesaikan lukisan ini. Kau selain gemar hentai, kau juga menyukai gambar kan, Lu?"

Perlahan Luhan mendekati lukisan tersebut. Ia tak mengindahkan ocehan sang Bibi, tangannya terulur guna menyentuh wajah cat tersebut.

"Mengapa...ini indah sekali, Bi?"

Bibi Ern tersenyum kemudian memegang bahu Luhan. "Jika kau bertanya-tanya siapa orang di lukisan ini, ia adalah putra di kerajaan Light, Jerman pada abad ke-19. Yang penjual tersebut katakan padaku, ia ditembak oleh salah satu anggota keluarga Light. Sejarah Kerajaan Light memang masih dipenuhi misteri. Jarang diketahui." Luhan menahan napas mendengar penuturan Bibinya. Ia menoleh, "D-ditembak? Oh Tuhan, parah tega sekali." Bibi Ern menepuk-nepuk bahu Luhan.

"Memang anak yang malang. Sampai sekarang, tidak ada yang mengetahui namanya. Namanya tidak pernah terpublikasikan. Generasi turunan Gustove Corbert ini melukis ia beberapa bulan sebelum kejadian naas tersebut terjadi."

Luhan tertohok. Entah mengapa ia tidak bisa menerima kejadian yang telah berlalu ratusan tahun tersebut. Pandangannya kembali teralih menatap lukisan.

Ini adalah mahakarya!

Luhan mengamati lukisan setengah badan tersebut. Tangannya meraba halus permukaan kanvas aneka cat ini. Garis wajahnya apik, rahang yang tegas dengan mata tajam nan sipit berwarna cokelat hazel. Dagu runcing, hidung mancung serta alis yang terpulas kokoh. Pria tersebut memakai pakaian khas bangsawan. Kemeja putih yang dilapisi jas mewah berwarna merah marun dan di sisi kanan serta kiri bagian bahu jas terdapat semacam rumbai elegan berwarna emas. Tangan kanannya bersila dada dengan mawar biru di genggamannya. Cincin berkristal biru laut tersemat indah di telunjuknya. Rambutnya berwarna pirang memesona. Dan tak lupa latar lukisan yang polos. Putih. Menurut Luhan, ini merupakan lukisan terealistis yang pernah ia lihat. Lukisan ini benar-benar seperti foto.

"Kusimpulkan, hasil mahakarya dan pelukisnya tidak beridentitas. Woah. Aku takjub. Bagaimana bisa kau menemukan lukisan langka nol eksistensi seperti ini, Bi?"

Luhan beralih pandang. Bibi Ern mengedikkan bahu. "Awalnya aku mengunjungi pameran lukisan tadi siang. Namun aku tak menemukan yang woah. Setelahnya, aku pergi dan menemukan lukisan ini dipajang oleh penjual lukisan di jalanan."

Luhan mengangguk. Ia memandangi kembali lukisan tersebut.

Tampan.

"Jangan berpikiran macam-macam tentangnya, Luhan. Ia memang tampan, tapi setampan apa pun dia, dia tidak akan menyembul dari lukisan dan menjadi wujud nyata seperti kita, bukan? Kau bawalah lukisan ini ke kamarmu, lukisan ini lumayan berat."

Luhan menggaruk tengkuknya. "Bibi bicara apa. Mana mungkin aku berpikiran macam-macam. Aku hanya sangat terpesona dengan polesan apik si anonymous. Kapan aku bisa melukis seperti beliau, ya?"

Bibi Ern mengacak gemas rambut keponakannya itu. "Kau harus banyak berlatih yang jelas." Luhan mengangguk dan tersenyum optimis. Kembali memandangi sang mahakarya.

.

.

.

"He? Lukisan baru, ya?" Luhan mengangguk ketika kekasihnya—Kai baru tiba dan langsung mengamati kamarnya. Ia menyambut Kai dengan memberikan kecupan manis.

"Hadiah dari Bibiku. Indah, bukan?"

Kai mengangguk. Matanya terlihat berbinar takjub. "Seperti asli. Apakah ia salah satu tokoh berpengaruh? Siapa yang melukis?"

Luhan membanting diri ke ranjangnya. Mengedikkan bahu, "Keduanya anonymous. Bereksistensi nol." Kai mengernyit kemudian menoleh,

"Kau serius? Karya seindah ini tidak bereksistensi?"

"Ugh. Akan aku jelaskan lebih lanjut nanti. Kemarilah."

Kai dengan senang hati menurutinya. Ia berbaring di sebelah Luhan. Kai memeluk Luhan posesif. Luhan masih setia memandangi lukisan yang ia letakkan di dinding tengah kamarnya. Menghadap ranjang. Terapit lukisan karya Pablo Picasso dan Vincent Van Gogh.

.

.

.

"Kai. Temani aku ke toko Manga!OhYeah hari ini, ya. Seri terakhir Prince?DokiDoki! sudah diluncurkan lima menit yang lalu. APA KAU BISA MEMBAYANGKAN BETAPA PENASARANNYA AKU."

Kai menjitak sayang kening kekasihnya yang tiba-tiba teriak histeris. Ia menghela napas gusar.

"Ck. Selalu saja heboh. Ya sudah aku temani, tapi sehabis dari sana, kita langsung nonton, ya."

"Iya iya. AYO PERGI SEKARANG, KAI. NANTI BISA-BISA KEHABISAN. KALAU SAMPAI KEHABISAN, AKU BERSUMPAH AKAN MEMBAKARMU DAN MEMBUANGMU KE ANTARTIKA."

Kai mengelus dadanya sabar.

.

.

"TINGGAL SATU YA TUHAN. AH! KUBILANG APA, KAI. PENGGILA MANGA INI SANGAT BANYAK."

Luhan memeluk erat manganya sembari menahan jeritan kesetanannya. Perjalanan yang memakan waktu setengah jam, membuatnya sangat bersyukur; ternyata Tuhan masih menyayangiku.

Kai mengusak rambut kekasihnya gemas. "Untung tidak kehabisan. Nyawaku masih selamat jadinya,"

Luhan terkekeh. "lagi pula, kulihat-lihat hanya manga ini yang genrenya harem. Padahal kau mendeklarasikan dirimu sebagai pencinta hentai, bukan? Membuatku sedikit terkejut."

Luhan mencubit lengan kekasihnya itu. "Kau ini. Ya, menurutmu saja. Aku tidak peduli dengan genre apa ini. Berawal dari keisengan, aku dapat bertemu dengan Pangeran Dua Dimensi terikemen. Karena dia, sudah mencuri hatiku."

Kai menampakkan mimik jengah ketika Luhan mengucapkannya dengan pipi bersemu dan seperti menahan jeritan.

"Ya ya ya. Terserah apa katamu. Si Earth Raito itu juga hanyalah gambar. Nyatanya, aku yang berhasil mencuri hatimu, Pangeran Tiga Dimensi." Luhan berdecak mendengar penuturan percaya diri Kai.

"Kai, kalau Earth Raitoku ada di dunia nyata, pastilah kau kuputuskan. Siapa yang tidak klepek-klepek dengan wajah super ikemennya?" Luhan memeletkan lidah kemudian berjalan ke arah kasir mendahului Kai yang masih membulatkan mulutnya, syok.

"Ya Tuhan, untung aku sayang."

.

.

.

Ternyata aku tidak sanggup hanya dengan memajang dan melihatmu tanpa menyentuh. gu

Aku meletakkan lukisan ini di pahaku. Aku mengusapkan jariku hati-hati, mulai dari rambutnya, hingga berhenti pada bibir merah tipisnya.

Oh, Tuhan. Haruskah aku mengakui bahwa aku telah jatuh cinta pada sosok dua dimensi, selain Earth Raito?

Tapi ia tanpa nama. Itulah yang membuatku kecewa. Katakanlah aku gila, karena aku tengah mengecup kumpulan cat yang membentuk bibirnya saat ini. Tekstur kanvas terasa di bibirku. Aku menjauhkan diri setelahnya.

"Haruskah aku memberimu sebuah nama?"

.

"He? Jadi penyangga lukisan yang kau pesan kemarin untuk dirinya, Lu." Luhan menganggukkan kepala.

Ia masih sibuk memasangkan lukisannya pada penyangga.

"Aku turut senang karena kau ternyata sangat menyukai hadiah dariku, Luhan." Luhan menoleh dan mendapati Bibi Ern tengah tersenyum menatapnya. Ia balas tersenyum.

"Ini merupakan kado terbaik, Bi." Luhan mengecup singkat pipi Bibi Ern. Ia pun mengalihkan pandang menatap lukisannya yang sudah terpasang apik pada penyangga.

Kau akan kuletakkan di sebelah ranjangku. Depan nakas. Agar setiap aku terbangun, aku dapat melihat wajah tampanmu.

.

Dalam keremangan seperti ini, kau masih terlihat jelas. Penuh pesona dan tampan. Kau bagaikan sesosok malaikat tanpa sayap yang terjebak dalam kanvas.

Aku...

Sangat mengagumimu, Putra Tanpa Nama.

.

.

Sampai sekarang, Luhan belum tuntas membaca manga Prince?DokiDoki!nya. Baru setengahnya. Biasanya pada seri sebelumnya, ia selalu menuntaskan itu dalam waktu satu setengah jam—cukup lama memang, karena setiap Earth Raito muncul, ia akan menjerit dan menciuminya lama dengan penuh suka cita. Namun untuk seri terakhir ini? Ia bahkan menjadi tidak fokus membaca semenjak lukisannya ia pindahkan di sebelah ranjangnya. Ia menjerit tertahan setiap kali Earth Raito muncul, karena merasa terawasi oleh sang lukisan. Sudah tiga hari ia absen menciumi rupa Earth Raito dan—katakanlah, selingkuh dengan lukisannya.

Bahkan tiga hari belakangan ini juga, Luhan memimpikan lukisannya. Tidak dalam bentuk lukisan tentunya, namun sama seperti dirinya. Manusia tiga dimensi. Bahkan, Earth Raito sama sekali tidak pernah hadir dalam mimpinya sekali pun ia sangat ingin. Karakter kesukaannya itu memang sangat sulit untuk direalisasikan sekalipun itu hanya di dunia mimpi.

Fakta tak terbantahkan, yaitu keduanya sama-sama berwujud dua dimensi. Namun ia bisa memimpikan lukisan tanpa namanya. Dan anehnya, jantung Luhan selalu bertalu kencang setiap kali terbangun. Di dalam mimpinya, ia melihat lukisannya yang berwujud tiga dimensi tengah melambaikan tangannya dan tersenyum. Jaraknya sangat jauh. Karena ketika Luhan coba melangkah mendekat, ia malah semakin mengecil. Mimpi selanjutnya, ia tengah bergeming. Lalu mengulurkan tangannya ke depan dengan mimik putus asa. Mimpi selanjutnya, ia seperti memohon. Berlatar tempat putih, ia terduduk dan memohon dengan air wajah yang—seperti menyiratkan ketakutan serta kehampaan.

Luhan tidak tahu mengapa alam bawah sadarnya terasa begitu realistis.

.

.

Dendangan petikan gitar instrumental yang dimainkan gitaris kenamaan Sung Ha Jung—twilight, menemani Luhan yang sudah hampir dua jam hanya duduk di pinggir ranjang sembari memerhatikan tumpukan cat di atas kanvas kesayangannya dengan tatapan memuja. Luhan sangat menyadari, bahwa ia sangat aneh akhir-akhir ini.

Terobsesi.

Satu kata mutlak yang menggambarkan dirinya pada sosok sang Tanpa Nama.

"Aku pikir aku sudah gila." Terkekeh setelahnya, kemudian memutus kontak mata yang ia jalin tanpa timbal balik itu satu jam yang lalu. Ia mengalihkan pandangannya ke arah meja belajar. Ia meringis ketika menyadari fakta bahwa dirinya menelantarkan Earth Raito. Prince?DokiDoki!nya masih terbuka di halaman yang sama sejak seminggu yang lalu. Luhan tidak tahu ruh apa yang telah memasukinya sampai ia menelantarkan Earth Raito dan—memacari lukisannya.

Ia bahkan menolak ajakan kencan Kai. Ia bilang pada kekasihnya itu bahwa dirinya sedang berjuang menghabiskan seluruh komik hentai yang belum tuntas ataupun belum sama sekali ia baca. Kai mendengus ketika mendapati alasan gila Luhan.

Kalau Kai menelepon, Luhan akan menjawabnya singkat, jelas dan padat. Katakan lagi ia gila, karena setiap ia menatap rupa sang lukisan, jantungnya menggila. Bertalu keras seakan ingin keluar.

Luhan mengusap wajahnya kasar. Ia berbaring lalu menenggelamkan dirinya pada selimut tebal.

Aku butuh menjernihkan pikiranku. Sial, maafkan aku Earth. Kau kalah saing dengannya.

.

.

Aku tak sejahat itu juga, membeli tanpa menuntaskan. Setengah jam yang lalu aku baru selesai membaca Prince?DokiDoki!. Aku rindu Earthku juga ternyata, haha. Aku masih tergeming di meja belajarku dengan menenggelamkan wajahku pada lipatan tangan. Sesi menuntaskan tadi tidak seperti biasanya. Aku hanya menciumi wajah Earth ketika sang mangaka menggambarkan wajahnya yang menurutku super ikemen saja. Tidak semua. Alhasil, sesi menuntaskan tadi hanya berlangsung setengah jam—aku cukup terkejut.

Aku menyandarkan punggungku pada kursi. Meraih ponselku dan mengeceknya. Banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Kai. Seharusnya aku tidak mematikan ponselku tadi. Aku lumayan rindu juga padanya. Segera aku tekan panggilan cepat untuk Kai. Tak lama kemudian ia mengangkat.

'Akhirnya aku dianggap.'

Itu sapaan atau bentuk sarkasme?

"Hai, Kai. Maaf, tadi aku mematikan ponselku."

'Tidak apa-apa. Aku ke rumahmu sekarang, ya? Aku sudah tidak tahan, Lu.'

"Berengsek memang. Ya sudah, aku tunggu."

Aku memutuskan panggilan. Terkekeh setelahnya. Ak niu antara menyesal dan tidak sebenarnya, menyetujui ajakan Kai untuk uhm bercinta. Memikirkannya saja sudah membuat pipiku memanas. Ugh, damn. Bukan tanpa alasan mengapa aku menyetujui tindakan mesum Kai. Aku hanya ingin merasa rileks dan aku butuh pelampiasan. Akhir-akhir ini, aku merasa diriku abnormal hanya karena sebuah lukisan. Ya, semoga dengan bercinta dengan Kai, pikiranku dapat jernih kembali.

Aku melirik sang tanpa nama. Aku bangkit dan berjalan menghampirinya. Aku mendudukkan diri di tepi ranjang. Tanganku terulur guna mengusap polesan wajah tampannya. Aku mendekatkan diriku pada kanvas. Aku siap mencium bibirnya kalau saja tidak ada sebuah suara menginterupsi.

"Luhan? Apa yang kau lakukan?"

Refleks aku menjauhkan diri dari sang tanpa nama. Aku merutuk dalam hati. Sial. Aku menoleh dan mendapati Kai tengah berdiri di ambang pintu. Ia menatapku dengan pandangan 'Kau gila atau apa?' Aku tersenyum kikuk dan memegangi tengkukku canggung. Ia menghampiriku kemudian duduk di sebelahku.

.

"Ia dapat tempat istimewa sekarang? Woah. Aku sedikit terkejut." Luhan tertawa hambar mendengar ucapan Kai.

"Kau ini. Aku sudah cukup tersiksa kau duakan aku gara-gara Earth Raito itu, Lu. Kau malah menambah penderitaanku. Kau kini menigakan aku karena lukisan tanpa namamu. He, takdir yang kejam atau kau yang gila, Luhan?"

Luhan tidak tersinggung dengan ucapan sok sendu Kai. Ia malah salah tingkah, lantas ia lampiaskan dengan menoyor keras kepala sang kekasih. "Kau berisik. Lagi pula, mereka itu sama-sama dua dimensi." Entah kenapa, setelah ia mengakhiri kalimatnya, ia merasa hatinya mencelus.

Kai terkekeh mendengarnya. Ia menganggukkan kepalanya antusias. "Jarang-jarang kau disadarkan Tuhan seperti ini, Lu. Aku sangat bersyukur."

Lantas, Kai langsung menerjang Luhan hingga sang empunya terbaring di ranjang. Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk Luhan. Semoga saja, setelah bercinta dengan Kai, dirinya dapat kembali seperti semula. Normal.

.

.

.

Ternyata tidak lebih baik. Justru sama saja. Atau bisa dibilang, ini lebih buruk. Ketika Luhan menatap lukisannya, ia tidak lagi memandang memuja. Tapi justru bergairah dengan pipi yang bersemu. Sebelum dan sesudah menyelami alam mimpi, Luhan melakukan ritual dengan mengecup bibir sang tanpa nama lalu membisikkan kalimat aku mencintaimu.

Gila memang. Belum pernah Luhan merasa segila ini. Ia pikir yang bisa membuatnya gila hanya Earth Raito dan uhm adegan itu di komik hentainya.

"Ugh. Haruskah aku ke cenayang dan memintanya untuk membuatmu berwujud tiga dimensi?"

Tidak ada yang lebih gila kecuali ucapan yang sama setiap habis selesai melakukan ritual.

.

Semakin hari berlalu, semakin besar pula keinginanku untuk dapat menyentuhmu secara nyata. Aku mengacak rambutku frustrasi. Aku meraih ponselku dan ada lima pesan masuk dari Kai. Aku membuka pesan pertama.

'Luhan. Maafkan aku sebelumnya karena telah memberitahumu mendadak. Sepupuku yang tinggal di Swiss meninggal, Lu. Aku dan Ibuku mendapat kabar dari Ayahku yang kebetulan sedang bertugas di sana. Saat ini aku tengah di pesawat, siap lepas landas. Maafkan aku karena baru memberitahu. Aku akan kembali sekitar empat hari lagi. Kuharap kau jangan selingkuh selama kutinggal.

Aku mendengus membaca kalimat akhir Kai. Aku pun membalas,

Tidak apa-apa, Kai. Aku turut berduka. Ya, aku menunggumu. Aku tidak akan selingkuh, bodoh.

Setelahnya, aku memilih berselancar di internet.

"Tidak ada salahnya mencari, kan?"

Aku mengetikkan kata kunci 'bagaimana cara menghidupkan karakter dua dimensi?'

Hasil pencarian rata-rata tidak nyambung. Aku terus buka laman selanjutnya dan berharap semoga ada caranya.

Nihil.

Aku mendecak frustrasi. Melirik sekali lagi dan aku menemukan sebuah web bertitel '2D? Is it possible to become a 3D?'

Pupilku membesar kala membacanya. Aku mendongak dan membagi senyumku pada si tampan. Aku menyentuh wajahnya. Aku menunduk lagi guna menekan web tersebut dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku masih setia bertengger di wajahnya.

Saat akan menekan, tiba-tiba aku merasakan sebuah tarikan maha dahsyat. Sangat cepat dan itu membuatku teriak kencang. Aku merasa tubuhku ditarik oleh daya tak kasat mata. Kejadiannya sangat cepat hingga aku tiba di sebuah tempat putih.

.

.

.

Aku merasa kepalaku sedikit vertigo. Aku membuka mataku perlahan.

Putih.

Hanya putih yang kutangkap. Aku merasa tubuhku masih bergetar akibat kejadian dahsyat beberapa detik yang lalu. Aku berusaha duduk. Aku memegang lantai.

Dingin.

Ya Tuhan. Aku baru sadar aku tidak memakai sepatu. Lantainya sangat dingin. Aku merasa akan membeku jika aku terus memegangnya. Aku memerhatikan sekeliling ruangan—aku tidak tahu harus menyebut tempat ini apa.

Hanya warna putih yang kulihat. Aku mencoba bangkit dan sialnya kakiku tak tahan karena dingin. Aku terduduk kembali. Suhu di ruangan ini normal, tapi mengapa lantainya begitu dingin?

Aku menarik napas dalam dan membuangnya. Jantungku berdegup kencang karena keadaan ini.

"Halo?"

Suaraku terdengar sedikit parau dan menggema. Apa mungkin aku baru saja berteleportasi dan terjerembap si sebuah tempat putih? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku ingin meledak.

"Halo? Apa ada orang di sini? Tolong jawab aku."

Tak ada sahutan. Aku berpikir keras. Keringat dingin mulai membanjiriku. Gila saja, terakhir kali kuingat, aku baru saja berselancar di gugel untuk mencari bagaimana cara menghidupkan wujud dua dimensi. Aku ingat, tangan kananku juga memegang lukisan saat itu. Tapi—tunggu,

Aku menggigit bibir bawahku.

Apa...mungkin?

.

.

.

Luhan mendengar gema tepuk tangan samar-samar. Ia mengedarkan pandangannya menatap sekeliling. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Dan yang matanya tangkap hanyalah pemandangan putih, putih dan putih. Luhan mulai berpikir bahwa saat ini ia tengah berada di surga.

"Apa ada orang di sini? Tolong jawab aku!"

Gema suara Luhan kembali terdengar. Kali ini cukup lama karena ia berteriak kencang.

Gema tepukan tangan kembali ia dengar. Kali ini lebih jelas. Luhan bergidik. Ia beringsut mundur namun sadar tempat ini seperti tak berujung. Hanya seperti ini. Terhampar putih.

.

Aku memberanikan diri untuk berdiri. Biar saja kakiku mati rasa karena karena lantai sialan ini yang terlampau dingin. Aku berlari-lari kecil di tempat. Sungguh dingin, serius.

Apa aku harus berjalan menggunakan bokongku?

Membayangkannya membuatku teringat akan hantu film horor salah satu negara di Asia Tenggara yang sebulan lalu kutonton bersama Kai.

Guna mengurangi kadar kedinginan lantai, aku berlari-lari lumayan kencang. Aku berambisi untuk menemukan ujung—jalan keluar.

Aku berlari dan menemukan fakta bahwa tempat ini adalah semacam lorong dengan jarak tak terhingga. Aku juga menggunakan tanganku guna meraba-raba. Tidak ada dinding. Sepanjang aku lari, aku hanya disuguhkan pemandangan putih. Sial, aku jadi benci warna putih.

Aku menggeram kesal. Kesal sekali rasanya. Aku terjelepok. Menjerit minta pertolongan namun hanya gemaku yang terdengar.

Sebuah tepukan lagi. Kali ini terasa...dekat?

Aku berusaha mencari siapa pelakunya. Aku hampir menjerit tatkala mendengar suara tawa.

Gemanya membuatku bergidik. Aku menggigit bibir bawahku. Frustasi memikirkan bagaimana masa depanku nanti, bagaimana jika aku mati di tempat aneh ini, bagaimana jika Bibi Ern dan Kai tidak mengetahui kematianku di tempat aneh ini, bagaimana jika—

"Oh Tuhan, bagaimana jika aku—

"Jika aku apa?"

Bulu kudukku meremang. Aku menahan napas. Degup jantungku kian menggila. Keringat dingin mulai membasahi area pelipisku.

Terlalu nyata dan dekat.

.

Aku merasakan embusan di sekitar telinga kemudian tengkukku. Serius, aku ingin mati. Apa aku harus berpura-pura mati? Aku yakin wajahku sudah pucat nan busuk sekarang. Aku sama sekali tidak berani menoleh ke belakang.

"Jika apa? Kenapa tidak diteruskan?"

Aku rasa jantungku minta akses untuk keluar karena detakanku kian tak waras. Aku memejamkan mataku rapat-rapat.

.

Luhan masih tergeming dengan raut sarat akan ketakutan. Sedangkan suara tawa kecil kembali terdengar.

"Kalau kau terus menutup mata, maka kau akan merasa semakin takut."

.

Aku sudah siap menerima risiko kematianku saat setelah aku membuka mata. Aku mengembuskan napas lamat-lamat. Aku menoleh ke belakang dan tak mendapati siapa pun. Aku yakin wajahku semakin tegang. Aku hampir menjerit tatkala—

"Mencariku?"

—sebuah suara mengejutkanku dari samping. Aku menoleh dan rasanya aku ingin menenggelamkan diri di antartika ketika melihat sesosok yang amat aku kenal.

.

"Wajahmu pucat sekali. Kau menahan buang air kecil atau apa?"

Aku masih senantiasa membelalakkan mataku. Aku menutup mulutku sendiri yang tengah ternganga.

"K-K-K-K-Kau?!"

Sesosok itu terkekeh. Oh Tuhan. Aku tidak tahu hal apa yang lebih membingungkan dari pada kejadian ini.

Jantungku bertalu keras-keras. Ia menarik turun kedua tanganku yang tengah menutup mulutku. Lalu ia genggam.

Ia genggam.

"Apa kau sakit?"

Aku dapat melihatnya dengan jelas. Terlampau jelas. Ia menampakkan air wajah khawatir. Aku tidak bisa berkata-kata.

.

.

"Namamu Luhan, kan?"

Aku mengangguk cepat. Tangannya sudah tidak menggenggam tanganku, tapi aku masih merasakan kehangatan akibat sentuhan kecil tadi.

"Selamat datang di duniaku, Luhan."

.

.

"Bicaralah. Kau tidak tahu betapa senangnya aku ketika tahu bahwa percobaanku berhasil? Kau tamuku, pertama dan terakhir."

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku kalut. Aku masih belum bisa mencerna keadaan ini. Namun entah mengapa, aku merasa ratusan kupu-kupu beterbangan di perutku. Rasanya? Ini memalukan, tapi—aku bahagia.

Kami masih berpandangan. Ia menatapku lekat seolah aku adalah dunianya. Aku salah tingkah dibuatnya. Aku mengalihkan pandanganku.

"A-aku...ini di mana?"

Suaraku terdengar sangat gugup. Ia terkekeh. Ya Tuhan, aku meleleh.

"Tempat ini kuberi nama Hvítur."

Aku mengernyitkan dahiku. Ia tersenyum simpul, "Hanya sebuah kata Islandia yang berarti putih, Luhan."

Mendengar ia menyebut namaku dengan suara baritonnya itu membuat degupanku kian menggila. Ia mendekatkan wajahnya padaku. Aku menahan napas saat telapak dinginnya menyentuh pipi kananku.

"T-tunggu. Apa maksudmu dengan 'percobaan'mu berhasil?" suaraku terdengar sangat gugup. Ya Tuhan. Memalukan.

Ia tersenyum tipis, "Aku memfokuskan diri dengan berkonsentrasi serta merapalkan kalimat dalam hati bahwa kau harus ke sini. Tapi karena kau juga, akhirnya kau bisa ke duniaku. Relaksasiku membuahkan hasil,"

Aku mengernyit. Masih belum mengerti. Perlahan ia menggerakkan ibu jarinya dan mengusap lembut pipiku lalu tersenyum,

"karena kau, rasa cinta dan obsesimu terhadapku yang turut membantu keinginanku agar kau ke sini." Ia kemudian mendekatkan bibirnya pada telingaku.

"Kau indah. Aku bersyukur dapat melihatmu sejernih ini. Tidak seperti biasanya." Bisiknya, lembut. Bulu kudukku meremang mendengarnya.

Aku mengembuskan napas hati-hati. Kemudian ia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Jarak kami sangat dekat. Mata hazelnya mengunci tatapanku.

Sial. Tampan sekali!

Jujur, aku sangat gugup. Tatapannya yang intens itu membuatku seakan tenggelam pada pesonanya. Napasnya menerpa-nerpa hangat wajahku. Aku yakin sekarang wajahku sudah berevolusi dari pucat menjadi semerah kepiting rebus. Kemudian ia tersenyum.

Aku meneguk ludahku lalu bertanya pelan,

"S-siapa...namamu?"

.

.

Ia mendekatkan bibirnya pada telingaku. Aku ingin mati rasanya. Belum pernah aku segugup ini.

"Namaku Earth. Earth Light."

Bisikannya sukses membuatku tergeming kaku.

.

Tunggu.

Mengapa namanya terasa begitu familier?

.

.

Kenyataan ini membuatku semakin bingung. Ia menjauhkan wajahnya. Tangannya menyisir rambut pirangnya hingga menjuntai menutupi sebagian dahinya. Di atas alis. Pirang memesona.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Ini memang mustahil. Tapi kau sudah di sini, bersamaku. Aku adalah anak haram. Earth dari Kerajaan Light."

Aku mengernyitkan dahiku dalam-dalam. Berpikir keras.

Anak haram katanya?

Ia terkekeh. Sepertinya ia tahu apa yang ada di pikiranku. "Mataku sipit. Ibuku orang Korea. Istri simpanan Ayahku."

Aku tergeming. Tidak tahu harus mengatakan apa. Saat pertama kali aku lihat lukisannya, memang aku menyadari bahwa matanya sipit. Namun ketika Bibi mengatakan bahwa ia merupakan putra Kerajaan Light yang notabenenya berkebangsaan Jerman. Aku mengurungkan niatku untuk bertanya. Saat aku mencoba berselancar di internet untuk mengetahui sejarah Kerajaan Light, di gugel malah tertulis 404 not found.

"Nama Koreaku Sehun. Oh Sehun." Ucapnya, beralih menatapku kembali. Tanda tanya besar masih bersarang di otakku.

"Aku tahu pikiranmu pasti berkecamuk. Aku tahu akhir-akhir ini kau terobsesi padaku. Kau menelantarkan Earth Raito dan menggilaiku, bukan? Aku sangat tidak menyangka akan ada manusia sepertimu, yang mencintaku bahkan sampai terobsesi."

Aku tergeming. Jujur, aku merasa otakku melambat sekarang karena tidak bisa merespons ucapannya.

.

.

.

"K-K-K-Kau...namamu—Earth Light? Earth?"

Tanganku terulur guna memegang pipi tirusnya. Oh Tuhan, kenyataan ini membuatku pusing sekaligus bahagia. Ia memakai pakaian yang sama seperti di lukisan. Mawar biru menyembul dari balik saku kanannya.

Kenyataan menakjubkan adalah aku dapat menyentuhnya! Menyentuh Sehun—yang selama ini hanya bertekstur kanvas di telapakku.

"Aku tidak mengerti. Bisakah kau menjelaskan semua ini padaku, S-Sehun? Kejadian ini, tentangmu—"

Jemari Sehun mengusap punggung tanganku yang sedang mengelus pipinya lembut. Kemudian ia mengangguk.

.

.

.

"Menunduklah."

Apa?

Mengapa ia menyuruhku menunduk?

"Aku tidak sempurna."

Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. Mulutku ternganga.

K-kakinya...

Tunggu.

Itu kaki Earth Raito di Prince?DokiDoki!ku. Aku sangat hafal, tentu saja. Aku memerhatikan tubuh Sehun dari bawah sampai atas.

Oh, Tuhan.

Ia nyata hanya sebatas pinggang. Persis di lukisan. Sedangkan kakinya...hanyalah kerangka gambar. Kakinya merupakan kaki komik.

"Heave Light—anak pertama Ayahku, membunuhku satu hari setelah ulang tahunku. Saat itu aku berada di apartemen tempatku dan Ibuku tinggal. Entah ia tahu dari mana apartemen yang dibelikan Ayahku itu. Saat itu aku, Ibuku dan Ayahku tengah merayakan hari jadiku. Sampai kemudian ia mendobrak pintu apartemen dengan membawa banyak pasukan."

Aku memberanikan diri untuk mengulurkan tangan kiriku untuk mengusap pipi tirusnya. Ia pun balas memegang punggung tanganku. Kulitnya sangat lembut.

"Namun nasi telah menjadi bubur. Kejadian tersebut langsung menyebar cepat. Ayahku ditangkap oleh Polisi atas usul Kerajaan Sybernatte—Kerajaan paling dominan saat itu. Lalu aku dan Ibuku dihakimi oleh warga. Para bangsawan lainnya memandang aku dam Ibuku dengan tatapan jijik. Heave Light bersumpah akan membunuhku, tapi ia tidak mengatakan kapan."

Sehun menatapku, "Dan ternyata ia membunuhku sendirian. Di sebuah gedung tua di Berlin. Ia mencekikku lalu siap meluncurkan peluru saat aku merasa di belakangnya ada orang lain. Aku mengamati sekeliling sebelum aku benar-benar mati."

"Aku melihat mawar biru di dekat sepatu orang asing itu. Sesaat sebelum aku benar-benar mati, aku mendengar bisikan-bisikan semacam mantra aneh. Dan kemudian semuanya menjadi gelap."

Aku menahan napasku. Tidak bisa berkata-kata. Ia tersenyum dan kembali melanjutkan,

"Jasadku memang sepenuhnya terkubur. Namun aku sadar, ruhku tidak terbang ke langit, melainkan terjebak di dunia ini. Dua dimensi. Mantra tersebut adalah mantra untuk memerangkap ruhku dalam dunia yang tak terjamah ini."

Ia melepaskan tanganku kemudian menggenggamnya.

"Perihal tubuhku," ia terkekeh.

"Ini analisisku, tapi aku yakin ini 85% akurat."

Aku semakin penasaran. Tangannya menggenggam tanganku erat.

"Orang asing tersebut—cenayang itu, sudah bergaul dengan Heave Light jauh sebelum kematianku. Perihal lukisanku, yang Ayah minta lukiskan pada yang kau sebut anonim—Kinn Corbert. Ia sengaja tak mencantumkan nama pada karyanya karena disuruh Ayah."

Ia mengembuskan napas pelan.

"Pada detik-detik menjelang kematianku, ia mengucapkan semacam mantra agar ruhku terjebak di sini dengan keadaan setengah. Persis seperti lukisanku. Dan perihal kaki komik ini,"

Ia tersenyum, "pada awal aku terjerembap di sini, keadaanku tanpa kaki. Aku ingat, ketika pelatuk siap ditarik, Heave Light membisikkan kalimat dalam bahasa Rusia yang berarti; buat raga ruhnya dalam keadaan tak jelas, berbentuk setengah kerangka torehan pensil yang terhubung masa depan. Kuprediksi, itu mustahil diwujudkan, karena bukan dari awal aku mendapati kaki komikku, namun ratusan tahun setelahnya."

.

.

.

.

.

"Mengapa kau berada dalam lukisanmu, Sehun?"

Sehun membaringkan dirinya. Ia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya agar Luhan ikut berbaring. Luhan salah tingkah, tapi ia menurut.

"Mungkin karena itu yang Heave Light inginkan? Aku juga tidak tahu pasti, Luhan. Aku hidup pada abad ke-19. Dan sekarang sudah tahun berapa? Kau bisa menghitung berapa lama raga ruhku terjebak di sini."

Luhan menatap pria di sampingnya penuh simpatik. Kemudian ia teringat sesuatu.

"Tunggu, Sehun. Aku bisa menyentuhmu...itu berarti, aku merupakan dua dimensi...sepertimu?"

Sehun mengangguk. "Tentu. Kau dapat menyentuhku, itu berarti kau sama sepertiku. Bedanya, raga dan ruhmu masih menyatu."

"Err, Sehun. Aku masih belum mengerti mengapa kau bisa mendapatkan kaki Earth Raito dari manga Prince?DokiDoki!—apa hubungannya? Sedangkan manga tersebut diluncurkan pertama kali tahun 2015. Padahal kau hidup di abad 19. Aku sangat bingung bagaimana cara menyampaikan kebingunganku, yeah—kau tahu."

Sehun menoleh dan menyentil pelan dahinya. Luhan mengaduh pelan.

"Kuberitahu, Luhan. Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Aku yakin, mangaka tersebut tahu tentang sejarah lengkap Kerajaan Light. Namaku tidak pernah terpublikasikan, ingat? Sebelumnya, aku beritahu suatu fakta."

Luhan mengernyit, "Apa itu?"

"Lukisanku hanya ada satu di dunia ini, karena koleksi pribadi. Mungkin lukisanku dibuang dari Jerman dan entah bagaimana bisa berakhir ke penjual lukisan pinggir jalan itu. Sebelumnya, pandanganku hanyalah putih. Sampai pernah suatu waktu aku merelakskan diriku dan hanya fokus menatap ke arah depan. Tak lama kemudian, aku dapat melihat kehidupan luar walaupun masih berkabut. Dibutuhkan konsentrasi dan relaksasi yang dalam untuk dapat mewujudkannya. Kuprediksi, aku hanya dapat melakukannya tidak lebih dari dua jam." Ia menatapku intens. Aku terkunci pada manik hazelnya.

"Sampai aku berada di tanganmu, aku sangat bersyukur. Sebelumnya, aku tidak bisa merasakan sentuhan kulit manusia yang menyentuh lukisanku, namun di tanganmu, aku dapat merasakannya. Kau tahu kenapa? Karena kau telah menaruh hati padaku, bahkan sampai terobsesi. Setiap kau mencium bibirku, aku dapat merasakan bibirku benar-benar tersentuh. Dicium. Sangat nyata. Aku dapat lebih lama melihat ke luar, karena kau sudah terhubung denganku. Aku membutuhkan orang sepertimu ratusan tahun lamanya, batinku menjerit karena terdampar di tempat tak terjamah ini."

Oh Tuhan. Aku menundukkan kepalaku. Aku benar-benar malu. Sial. Ternyata saat aku mencium bibir kanvasnya, ia bisa merasakannya. Aku yakin merah menyebar sampai ke telingaku.

Ia menaruh tangannya pada tengkukku, mengusapnya lembut. "Dalam sebuah teori Yunani kuno tentang romantisme, dikatakan bahwa cinta dapat menghubungkan segala sesuatu yang kiranya mustahil. Kau paham kan maksudku?"

Aku masih menunduk. Tidak berani menatapnya lama-lama. Bisa-bisa aku meleleh. Namun aku mengangguk pelan mendengar ucapannya.

.

.

.

Sehun menjawab rasa penasaranku dengan membenarkan bahwa Earth Raito dan Earth Light adalah sama. Sehun memprediksi, sang mangaka sengaja memberi nama karakter yang dibuatnya dengan namanya. Bedanya hanya pengucapan Light pada orang Jepang.

.

"Ruh memiliki insting dan pikiran yang kuat. Memang tidak seratus persen akurat, tapi setidaknya aku dapat mengetahui yang semula abu-abu menjadi sebuah warna."

Aku terus memerhatikan wajah tampannya selagi ia berbicara.

"Sang cenayang, tentu saja menuruti perintah Heave Light. 'Yang terhubung masa depan.' Terlalu jelas. Sederet mantra yang cenayang itu ucapkan, menjerumuskanku ke dalam suatu torehan pensil. Ya, manga Prince?DokiDoki!mu."

Aku berpikir keras. Sungguh mantra gila.

"Sejarah Kerajaan Light hanya terdapat di perpustakaan tua; Yugoslavia, Ukraina, Serbia, Islandia dan Nepal. Mengapa aku tahu padahal aku sudah mati? Singkatnya, karena aku ruh. Aku bisa memprediksi. Dan gilanya, mangaka itu ke salah satu negara tersebut."

.

.

"Sehun."

"Ya?"

Aku menoleh dan mendapati dirinya tengah menatapku juga. Sial.

"Maaf sebelumnya. Tapi...apakah kau bisa kembali menjadi—normal? Mendapati kaki nyatamu dan kaki komik ini terhapus..."

Sehun mendekatkan dirinya padaku. Sial, aku gugup sekali. Mimik wajahnya tegang.

"Aku sudah memikirkan itu sejak lama, Luhan." Ia menghela napas gusar. Aku menunggu kelanjutannya.

"Sebelumnya, percaya atau tidak, ada orang lain yang pernah terjebak dalam dunia ini. Namun ia masih memiliki raga bernyawa. Manusia sepertimu. Namanya Anstone Quirell. Ia memiliki badan komik. Ia terkurung dalam bingkai foto selama hampir seratus tahun dan bebas sembilan puluh sembilan tahun kemudian. Saat aku masih 10 tahun, aku membaca bukunya. Ya, ia membukukan pengalaman gilanya yang ditentang oleh masyarakat Jerman saat itu. Sihir yang menimpaku dan beliau disebut sihir kyschogar. Merupakan sihir kuno dari suku pedalaman Mesir pada masa kejayaan Ratu Cleopatra."

Aku menatap matanya. Tersirat kerapuhan di sana.

"Heave Light pastilah sengaja, agar aku terjebak sama seperti Tuan Anstone. Aku sudah membaca bukunya sebelum dibakar massal pada masa itu. Aku masih hafal."

"Lalu?"

"Aku tidak tahu ini akan berhasil atau tidak. Berdasarkan gagasannya, ia menjelaskan bahwa orang yang terhubung dengannya harus menggunting karakter komik yang bersangkutan. Setelah itu, orang tersebut harus membakarnya hingga menjadi abu lalu menaruhnya dalam sebuah guci lalu ditebarkan pada wadah wujud dua dimensinya," kemudian ia mengusap kepalaku. "Kau tahu, dunia ini lumayan dekat dengan dunia mimpi. Aku tahu kau pernah memimpikanku. Karena kita terhubung. Aku dapat merasakannya. Pada mimpimu yang ketiga, itu adalah aku sungguhan. Aku memaksa diriku untuk berlari sejauh mungkin dari sini walau aku tahu tempat ini tak berujung. Lalu aku berkonsentrasi dan berelaksasi seribu kali lipat lebih dalam untuk dapat menyambangi mimpimu. Aku sungguh berharap bahwa kau peka. Air wajahku menyiratkan ketakutan."

Aku merasa lantai sudah tidak dingin lagi. Hangat. Sehun mendekapku dan menaruh dagu runcingnya pada pucuk kepalaku.

"Luhan."

"Ya?"

"Apa kau bersedia melakukannya? Untukku."

Aku berpikir sejenak.

.

.

.

"Aku tidak tahu pasti berapa kali kau bisa keluar-masuk lukisanku. Yang jelas, selama kau masih terkoneksi dan terobsesi pada wujud dua dimensiku, bukan hal tidak mungkin bahwa kau bisa menyelamatkanku."

Aku mendadak salah tingkah. Kata terobsesi itu terdengar sedikit—err vulgar.

"Aku sungguh bingung, Sehun. Bagaimana kalau tiba-tiba aku tidak bisa masuk dan gagal menyelamatkanmu? Aku yakin kalau sampai hal itu terjadi, aku akan gila."

Sehun tertawa hingga matanya membentuk bulan sabit. Ya Tuhan, ia berkali-kali lipat lebih tampan. Jantungku berdebar keras. Kemudian ia mengacak rambutku gemas.

"Jangan berpikiran negatif dulu, Luhan. Kau belum mencobanya. Aku juga tidak tahu ini akan berhasil atau gagal. Tapi setidaknya, kau telah berjuang." Ia tersenyum tipis. Aku tersenyum kikuk lalu mengangguk pelan. Tiba-tiba aku merasa bibirku basah.

Ya Tuhan.

Ia tengah menciumku.

Aku tergeming. Tidak tahu harus bereaksi apa. Ia memejamkan matanya lalu bergerak pelan di atas bibirku.

Sial

Ketika aku akan membalas dan ingin memejamkan mata, ia melepas tautannya. Ugh. Aku yakin wajahku sudah memerah mengalahkan kepiting rebus.

"Aku tidak memaksa," Ia menatapku dalam, "itu semua terserah padamu, Luhan." Senyum tipis terpulas. Lalu ia mengecup pelipisku lembut.

"Pikirkanlah."

.

.

"Ini sudah hari ke berapa, Sehun?" suaraku parau karena baru bangun.

Sehun menguap dan memiringkan tubuhnya agar menghadapku. "Sepertinya sudah hari ke empat."

Aku mengangguk. Ada yang aneh.

"Aku tidak merasa lapar dan haus. Hanya mengantuk saja." Ia terkekeh. Kemudian mengusap rambutku—memainkannya.

"Tentu saja kau tidak merasakannya. Saat ini tubuhmu dalam bentuk dua dimensi. Sama sepertiku." Aku mengangkat sebelah alisku.

"Benar-benar gila. Semua ini."

"Tepat."

.

"Mungkin sekarang hari ke tujuh. Kenapa?"

Aku mengembuskan napas. Terasa berat.

"Aku sudah memikirkannya, Sehun." Sehun mengangkat sebelah alisnya.

"Memikirkan bahwa kau akan meninggalkanku selamanya? Aku sudah menebaknya, Luhan. Kalau begitu, aku akan mengajarimu cara relaksas—"

Aku membungkam bibirnya dengan bibirku. Hanya sebuah kecupan setengah basah.

"Aku akan menyelamatkanmu, Sehun."

.

.

"Kau sudah sangat relaks, Luhan. Sekarang, bayangkan kau melihat satu titik. Lama kelamaan, titik tersebut membesar. Terus membesar sampai akhirnya melingkar membentuk kilat cahaya. Kau tertarik oleh kekuatan cahaya tersebut."

Semakin dalam

Semakin kuat

Semakin relaks

'Tunggu aku, Sehun. Aku pasti kembali.'

.

.

.

Aku membuka mataku perlahan. Samar-samar aku melihat langit-langit kamarku.

Apa?

Aku membuka sempurna mataku. Ini benar kamarku! Tapi aneh. Mengapa aku tidak merasakan suatu tarikan saat keluar dari lukisan? Tidak seperti saat pertama kali.

Aku melirik lukisan Sehun di sebelah. Masih sama. Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Kemudian melihat kalender dan ini adalah hari Sabtu. Aku masuk hari Sabtu juga. Tebakan Sehun benar.

Aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Aku menjelajahi isi rumah. Nihil. Aku tidak menemukan Bibi dan Paman. Ke mana mereka?

Aku teringat akan ponselku. Aku langsung berlari menuju kamar dan mengeceknya.

You Have 100 Messages!

Rata-rata dari Kai semua. Oh, Kai.

Apa kabar ia?

Aku tak mengindahkan seluruh pesannya dan langsung menekan panggilan cepat untuknya.

'LUHAN! KAU KE MANA SAJA?! SEMINGGU INI AKU TERUS MENGHUBUNGIMU NAMUN KAU SEPERTI TIDAK ADA TANDA-TANDA KEHIDUPAN. AKU HAMPIR MATI KARENA KHAWATIR!'

Aku sedikit menjauhkan ponselku dari telinga. Aku mengembuskan napas perlahan.

"Kau masih di Swiss, Kai?"

'Ck, iya. Adik sepupuku baru saja menikah. Aku belum tahu akan balik ke Korea kapan. Luhan, kau dari mana saja?'

Aku menggigit bibir bawahku. Apa yang harus kukatakan pada Kai?

.

.

Katakanlah aku pengecut. Aku benar-benar tidak tahu harus memberi alasan apa kepada Kai. Aku memutuskan sepihak panggilannya. Aku langsung mematikan ponsel. Aku mengacak rambutku frustrasi. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sebelas. Aku melirik lukisan Sehun. Aku membawa diriku duduk di tepi ranjang.

"Aku akan menyelamatkanmu, Sehun. Percayalah." Aku mencium bibirnya. Memang bertekstur kanvas, tapi pikiranku melayang mengingat tekstur lembut bibir tipisnya kala di hvitur.

Sial. Mengapa pikiranku jadi mesum seperti ini?

Aku membaringkan diri di ranjang. Rasanya lelah sekali. Aku pun mulai memejamkan mata sambil berpikir bagaimana memberi alasan logis kepada Bibi besok.

.

.

"Kau ini. Lain kali, budayakan izin, Luhan. Tanya Pamanmu. Aku setengah mati khawatir padamu. Aku sampai menelepon Kai terus menerus dan juga para sahabatmu. Kau itu ceroboh, Luhan." Aku menggaruk tengkuk kaku. Menunduk. Aku sedikit merasa bersalah pada Bibi.

"Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu, huh? Kemari."

Bibi merentangkan tangannya, aku pun memeluknya erat. "Maafkan aku, Bi. Aku juga merindukanmu."

.

Untunglah Bibi percaya. Mengatakan bahwa aku diajak berlibur oleh Junmyeon dan tidak membawa pakaian sehelai pun karena sudah disiapkan. Tidak membawa ponsel dan pamit karena terburu-buru.

'Kenapa Junmyeon tidak menghubungiku? Apa dia gila?'

Aku menjawab, 'Ponselnya tercebur di kolam dan rusak saat akan menghubungimu, Bi. Tidak bisa beli ponsel karena di pulau tidak ada yang jual.'

Aku bersyukur memiliki alasan seperti itu.

.

.

.

Luhan bergeming di meja belajarnya. Ia menatap ragu pada tumpukan seri Prince?DokiDoki!nya. Ia galau. Tapi Luhan bertekad akan menyelamatkan Sehun apa pun caranya.

"Ugh. Maafkan aku, Earth. Tapi Earth yang di sana lebih berharga dari pada dirimu." Ia menghela napas berat. Dibukanya laci meja belajar dan diambilnya sebuah gunting.

Luhan mengambil seri pertama. Dari covernya saja, ketampanan Earth Raito sudah terpampang. Luhan semakin galau. Ia membuka halaman pertama. Katakanlah ia idiot, menggunting perlahan sambil menangis.

"Maafkan aku, Earth. Bagaimana pun juga, kau pernah singgah di hatiku. Kau sangat berjasa karena ikut andil dalam misi penyelamatan Earth Light."

Luhan menggunting sesekali mengusap air matanya. Gunting-menggunting Earth Raito hampir seharian karena sang empunya tak tega dan ajang mengusap air mata yang membuat lama. Pada seri ke sepuluh halaman terakhir, Luhan merasa dirinya berdosa sekaligus lega pada saat bersamaan.

.

.

Luhan menangis. Ia tak berani melihat Earth Raitonya tengah menyatu bersama api pemberiannya. Ia memunggungi tempat pembakaran di area belakang rumahnya.

"Bagaimana pun juga, kau satu-satunya karakter manga yang aku gilai, Earth. Sial, mengapa aku seperti seorang gadis yang baru saja diputuskan kekasihnya?"

Ia berdecak. Percikan api di belakang seakan turut membakar punggungnya juga. Luhan berbalik dan memberanikan diri melihat pembakaran. Ia meringis tatkala menyadari si jago merah sudah melahap Earth Raitonya lebih dari setengah tumpukan.

"Kau tetap ada di hatiku, Earth." Gumamnya.

Luhan sadar, ia tidak boleh egois. Justru dengan membakar habis karakter kesukaannya itu, ia dapat menyelamatkan jiwa yang terperangkap dalam dunia dua dimensi.

"Kau akan bebas, Sehun."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC


Lanjut atau tidak?

Awalnya pengen ini oneshot aja, tapi words yang begitu bejibun/? Terpaksa dibikin twoshot:v

Btw, maafkan ide absurdku XD semoga kalian suka/? Dan silakan tinggalkan jejak dengan memberi komen, kritik atau pun saran~

Terima kasih :)