NOTE : SUDUT PANDANG DIUBAH JADI SUDUT PANDANG ORANG PERTAMA. READER'S POV.

PERHATIAN! Bagi yang baru baca Fic ini dari awal, gue beritahu, POV diubah jadi POV Reader seluruhnya. Dan, chapter 10 mulai dengan POV Akashi.


I'm Yours?

Kuroko no Basuke - Fujimaki Tadatoshi-san

I'm Yours kupersembahkan sebagai wujud kecintaanku pada Sang Pangeran Merah


Chapter 1 : You're Mine


-Reader's POV-

.

.

Saat itu, di sebuah kelas yang kosong, aku terduduk melamun sembari memangku wajah dengan sebelah tangan. Pikiranku melayang kemana-mana. Entah apa yang sedang aku lakukan disini sendirian sebenarnya. Aku duduk di bangkuku dan memandangi sekeliling ruang kelas.

Tiba-tiba saja, aku mendengar suara pintu kelas di buka dan muncul seseorang di baliknya. Aku refleks menoleh ke arah pintu yang dibuka dan mulai memandangi sosok yang baru saja membuka pintu. Perlahan sosok pembuka pintu itu mulai memasuki kelas—seorang pemuda dengan rambut merah menyala dan pandangan mata tajam heterokromia.

Sejenak aku sedikit terkejut akan kedatangan sosok merah itu. Di saat yang sama, entah kenapa, aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya, seakan ada magnet berkekuatan besar yang mengalihkan semua fokusku padanya. Mulai tenggelam dalam pesona sosok itu, tiba-tiba saja pandangan kami bertemu. Iris mata heterokromnya menangkap iris mataku. Aku tersihir oleh pandangan matanya yang mempesona. Tanpa aku sadari, sosok itu mulai tersenyum nakal. Kenapa ia tersenyum nakal seperti itu? Aku jadi… Dentuman keras bergema di dadaku saat sosok itu tersenyum padaku. Entah kenapa senyumannya sungguh menawan dan bercahaya. Mataku seperti terkena efek cahaya matahari menyilaukan.

Pemuda itu mendekati tempat diriku duduk. Pangkuan tangan yang kutempatkan di wajah mulai berpindah posisi seiring bertambah dekat dirinya. Perlahan sosok itu berjalan, membuat detakan jantung di dadaku semakin menggema keras. Perlahan semakin dekat, dekat, dekat dan hingga pada akhirnya sosok itu sampai tepat di depan mejaku.

Senyuman nakal nan menawannya masih terpampang. Pandanganku padanya penuh dengan efek-efek cahaya berkilat yang membuat sosok itu makin mempesona. Rambut merahnya menari-nari dihembus angin yang masuk lewat jendela kelas. Bola mata heterokromnya tidak lepas dari iris mataku sedikit pun sejak pandangan kami bertemu.

Pemuda itu menundukkan tubuhnya dan menempatkan kedua telapak tangan di mejaku. Posisi wajahnya sudah berada tepat berada di depan wajahku. Dekat sekali. Terlalu dekat hingga membuatku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku terpaku di tempat. Kurasa wajahku mulai memerah merona. Sosok itu tersenyum lagi, kemudian mendekatkan bibirnya ke telingaku kemudian berbisik dengan suara dalam yang menggoda,

"Hei,"

"Hm?"

"Kalau sedang belajar, jangan bengong ya."

"Hah?"

.

.

.

"KALAU SEDANG BELAJAR, JANGAN BENGONG! PERHATIKAN SENSEI-MU!"

Suara teriakan mengganggu mengaum keras di kelas. Asal suara itu dari Sensei yang sedang mengajar di kelasku sekarang. Aku sontak kaget dan terbangun dari,

—lamunan indah itu.

"Setelah jam pelajaran usai, datang ke ruangan saya! Kau harus diberi ceramah," lanjut Sang Sensei yang baru saja memarahiku. Sensei itu kembali ke depan kelas dan mulai melanjutkan materi pelajaran hari ini.

Sial.

Ternyata aku baru saja melamun, toh? Menyadarinya, membuatku malu saja. Aku berusaha kembali ke postur semula karena aku mulai diperhatikan oleh teman-teman sekelas. Lihatlah tatapan dan tawaan meledek itu. Kejadian memalukan seperti tadi sebaiknya jangan diulangi.

Namun, jantungku selalu berdegup kencang setiap mengingat kembali sosok yang muncul di dalam lamunanku tadi. Aku menoleh pada sosoknya yang sedang fokus memandang ke depan. Memperhatikan dengan seksama. Ya, seorang pemuda yang sekarang juga berada di kelas tempatku belajar—pemuda yang tidak bergeming sama sekali saat aku dimarahi Sensei—Sosok pemuda bersurai merah dengan iris mata tajam heterokromia bernama Akashi Seijuuro.

.

.

.

[Ruang Guru]

"Sebenarnya ada apa denganmu? Kau sering bengong di kelas akhir-akhir ini," ujar Sensei—merangkap wali kelasku—yang memerintahkanku untuk menemuinya saat aku melamun tadi. Wajahnya terlihat khawatir.

"Tidak ada apa-apa, sensei. Maaf masalah tadi," jawabku sekenanya dengan nada tegas seperti biasa kulakukan.

Ia mengesah pelan sembari memejamkan mata dan kembali menatapku penuh tanya, "Apa kau merasa bosan pada pelajaran sensei?"

"Tidak, bukan begitu."

"Kalau seperti ini terus, prestasimu bisa menurun. Kalau kau punya masalah, bisa ceritakan ke sensei."

"Tidak, sensei. Aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir."

Setelah mengobrol cukup lama bersama wali kelasku, aku keluar dari ruang guru dan pergi menuju kelas kembali. Maaf, Sensei, aku tau, aku bisa melihat bahwa Sensei kelihatan sangat khawatir pada keadaaanku. Bagaimanapun juga, sebagai wali kelas, dia harus perhatian pada semua siswa-siswinya. Ditambah lagi, aku termasuk dalam jajaran siswa dan siswi berprestasi serta menjadi salah satu anak kesayangan sensei-sensei yang mengajar di sekolahku—membuatku menjadi salah satu siswi yang sering diperhatikan.

Jika mengingat apa yang ditanyakan oleh sensei, entah kenapa rasanya mulai tidak nyaman. Tidak mungkin saja aku menceritakan masalah yang sedang kuhadapi kali ini, karena ini hanya masalah sepele yang tidak jelas apa sebabnya. Oh, tidak. Penyebabnya jelas namun terlalu menggelikan. Semua ini diawali karena mimpiku sekitar dua minggu yang lalu. Mimpi yang hampir selalu setiap hari mampir di dalam tidurku. Mimpi yang dengan sukses membuatku selalu merasakan hal aneh, sering melamun dan menghayal yang tidak-tidak. Mimpi yang melibatkan seseorang.. lalu sebuah kalimat yang disebut secara mutlak.

"Kau adalah milikku."

.

.

.

Setelah itu, aku sampai di kelas. Aku memasuki kelas dan kembali duduk di bangku milikku. Entah mengapa aku merasa semua teman sekelas memperhatikanku, bahkan ada yang tertawa—apa yang mereka tertawakan? Jangan menertawakanku begitu!

"Bagaimana? Kau dimarahi Sensei?" Seorang gadis manis bertanya, ya, ia adalah sahabat baikku di sekolah—Shingawa Kana. Kenapa ia harus bertanya hal semacam ini, apa sebegitunya ingin tahukah dia tentang apa yang terjadi padaku di ruang guru?

"Ah, begitulah, Kana-chan."

"Lagian, kau sedang menghayal apa sih? Sampai-sampai suaramu terdengar dan gerak-gerikmu mencurigakan," serunya seraya mendekat dan duduk di pinggir meja belajar milikku. Tangannya melipat dan matanya melirikku curiga.

"Apa maksudmu dengan mencurigakan?"

"Sensei menyuruhmu untuk menjawab soal di papan tulis, kau malah menjawabnya dengan 'Hm?' yang menggoda sambil senyum-senyum nista," lanjutnya sembari terkekeh geli. Sungguh, hentikan menertawakanku.

"Hah? Aku tidak melakukannya," aku berusaha mengelak, padahal aku sendiri tidak sadar dengan apa yang terjadi karena saat itu aku sedang tenggelam dalam lamunan sialan itu.

"Semua yang ada disini adalah saksi," kepalanya menenggeleng dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas.

Jadi, semua teman-teman melihatnya?

Aku malu setengah mati jika memang hal mencurigakan terjadi saat aku melamun. Jangan-jangan setiap aku melamun, terjadi hal memalukan seperti ini. Habisnya mau bagaimana lagi. Hampir setiap saat aku melamun entah menghayal apa—saat di kelas, saat di bus, saat di perpustakaan, bahkan saat di rumah. Aku juga tidak tahan dengan diriku yang mulai hilang kendali begini.

"—oh, aku tau~" ucap Kana-chan menyunggingkan senyuman nakal. Sepertinya mau menduga-duga.

"Apa?"

"Kau menghayal tentang seorang cowok kan? Pasti! Akhir-akhir ini kau sering bengong dan wajahmu merah seperti udang rebus. Hehe. Iya kan~?"

APA? Ya.. itu.. tapi..

"Apa sih. Bu-bukanlah!" teriakku padanya. Entahlah, merasa dugaannya sangat tepat sampai-sampai serasa ada panah menusuk tubuhku saat ini, tapi aku berusaha mengelaknya. Tentu saja, itu memalukan bagiku. Semua orang melihatku sebagai orang yang bisa dibilang pintar dan cool mana mungkin bisa lepas dari karakter hanya karena menghayal yang tidak-tidak tentang seorang cowok. Intinya sih—aku malu untuk mengakui bahwa aku memang sering bengong karena seorang cowok.

"Ah, Sensei datang. Nanti cerita ya siapa cowok itu."

Cerita?

"O-Oi, Kana-chan.."

Sebelum Kana kembali ke tempat duduknya, ia sempat mengedipkan sebelah mata kepadaku. Apa maksudnya? Jadi, secara langsung, kau memberi tanda bahwa aku harus menceritakannya, begitu? Mustahil.

Pelajaran matematika sedang berlangsung.

Aku mencatat semua apa yang Sensei ajarkan sekarang. Mungkin, dengan fokus belajar, aku akan berhenti memikirkan dan menghayal tentang dirinya. Ya, aku mulai merasa lebih baik dengan berkonsentrasi penuh. Namun aku tidak pernah menyangka, saat aku mulai penuh dengan konsentrasi belajar, tiba-tiba saja,

"Akashi-kun, bagaimana kalau kau kerjakan soal ini?"

Sensei memanggilnya.

"Hai."

Sensei memanggil pemuda yang menjadi masalah buatku—Akashi Seijuuro—siswa terpintar di kelasku bahkan mungkin di sekolah. Akashi-kun juga merupakan kapten tim basket di sekolah bahkan terdengar rumor—nyatanya bukan rumor tapi memang kenyataan—ia termasuk dalam generasi keajaiban—generasi yang muncul dalam selang beberapa tahun yang cukup lama—generasi legendaris tak terkalahkan.

Akashi-kun maju ke depan kelas dan mulai menulis sesuatu di papan tulis dengan spidol berwarna sepadan dengan rambutnya. Aku tidak yakin, yang jelas sosoknya itu… sungguh.. menarik perhatianku. Perhatian penuh pada tulisan yang ada di papan tulis kini teralih padanya. Semua gerak gerik yang dilakukannya benar-benar menyedot perhatian—mengagumkan. Tidak, tidak, tidak. Jangan lagi! Sepertinya, aku mulai terbuai lagi! Aku mengeleng-gelengkan kepala dan menepuk-nepuk pipi agar kembali sadar ke dunia nyata. Bukan saatnya untuk berkhayal yang tidak-tidak!

Remaja bermanik beda warna itu selesai menjawab pertanyaan sulit yang diberikan sensei dengan sempurna, tentu saja, ia adalah siswa terpintar—peringkat pertama—dan sedangkan aku—peringkat kedua. Seberapapun aku berusaha, aku tidak pernah sekalipun mengalahkannya dalam urusan prestasi sekolah. Phrase yang selalu diucapkannya memang kenyataan—aku selalu menang, aku selalu benar.

Saat Akashi-kun membalikkan badan untuk kembali ke tempat duduknya, pandangan kami tidak sengaja bertemu. Hal itu sontak membuatku kaget dan tanpa sadar mengalihkan pandangan ke buku catatan dengan tergesa. Hanya karena kejadian 'tak sengaja saling pandang' ini saja sudah membuatku kewalahan. Ada apa dengan diriku sebenarnya? Jika mengingat lamunan dan juga mimpi itu membuat wajah dan tubuhku mulai memanas. Sungguh, apa arti kata-katanya itu?

"Kau adalah milikku."

.

.

.

[Malam hari, di rumah]

"Nee-chan, kenapa kau bengong? Nanti dagingmu aku makan!"

"Hah?"

Suara adik laki-lakiku membuyarkan lamunan yang menginvasi diriku. Kali ini apa yang sedang aku pikirkan?

Sumpit milik adikku dengan sigap mengambil beberapa potong daging dari pot tempat merebusnya. Perbuatannya membuatku berteriak kencang, "—aaaagrh! Jangan ambil, itu punyaku! Aku yang masukin!" Aku juga tidak mau kalah berusaha menyingkirkan sumpitnya yang mulai merajalela merebut daging milikku.

Lidahnya menjulur ke arahku, "Telat, telat. Habis Nee-chan bengong sih."

Makan malam bersama keluarga dengan menu sukiyaki. Seperti biasanya, jika berhubungan dengan daging, aku dan adik laki-lakiku yang bawel ini akan bertarung memperebutkan daging sebanyak mungkin. Namun sepertinya kali ini aku harus mengaku kalah karena aku sempat bengong di saat yang penting.

"Hei, jangan bertengkar lagi. Sisakan dagingnya untuk Otousan. Jangan dihabiskan," Ibuku berteriak memarahi kami yang sejak tadi berebut daging.

"Touchan belum pulang? Lembur lagi?" tanya adikku polos.

"Iya, akhir-akhir ini Touchan sedang sibuk dengan projeknya," jawab Ibu sembari membereskan beberapa piring dan mangkuk yang tergeletak berantakan di meja makan. Ia mengelap beberapa ceceran saus dan kuah dari Sukiyaki yang menjadi santapan malam kami hari ini.

"Heem.."

"Sudah cepat habiskan makanan kalian. Kaachan ingin cepat cuci piringnya."

"Haaai~"

Selesai makan malam, aku pergi mandi dengan air hangat. Huah, rasanya segar sekali. Sip! Malam ini aku berencana ingin belajar untuk ujian tengah semester yang akan diadakan minggu depan.

Aku menghadapkan lampu duduk untuk memperjelas segala ukiran tulisan di buku catatan dan juga buku paket. Berkonsentrasi penuhlah agar aku bisa menguasai semua materinya dengan cepat—agar bisa mengalahkan orang itu. Benar, orang itu, orang itu, orang itu.

"Argggghhhh!"

ORANG ITU!

Aku teringat lagi tentang orang itu. Pemuda yang sering membuatku bengong seperti orang bodoh—Akashi Seijuuro. Padahal tidak ada yang salah dengannya, ia tidak melakukan apa-apa. Bahkan mungkin ia tidak tau apa-apa. Tetapi, sepertinya, aku sendiri yang terlalu berlebihan menanggapi mimpi yang selalu hadir dalam tidurku tiap malam. Aku harap mimpi itu segeralah berakhir, aku tidak mau merasakan perasaan aneh seperti ini.

.

Seorang pemuda bersurai merah dengan mata heterokromnya tiba-tiba saja memojokkanku ke tembok terdekat. Kedua tangannya berada di sisi-sisi tubuhku, mengunci diriku dalam jangkauannya. Aku tidak bisa bergerak, ia menghalangi jalanku.

Kami saling berpandangan—lebih tepatnya, mata heterokromnya memaksaku untuk terus memandangnya. Tatapan dari iris matanya yang indah membuatku tenggelam dalam dua warna berbeda. Tatapan yang semakin dalam, sampai aku tidak menyadari jarak antara kami mulai berkurang. Aku mulai merasakan debaran hebat di dada. Mungkin saja wajahku pun sama merahnya dengan rambut pemuda ini. Aku berusaha mengalihkan pandanganku darinya namun tangan pemuda itu perlahan menghampiri daguku—memaksa wajahku menghadap kembali ke wajahnya. Pandangan menyihir darinya membuatku kaku ditempat—pandangan dingin namun terasa kuat hasrat memaksa untuk memiliki.

"Kau adalah milikku—"

".."

"—tidak boleh ada yang menyentuhmu selain aku,"

"Aka—"

Belum sempat bicara, bibirku sudah dicegah mengeluarkan kata-kata disentuh jari-jarinya. Semburat merah di wajahku dipastikan semakin meluas.

"Ssttt…Kau tidak bisa mengungkirinya, itulah kenyataan—"

"…"

"—karena aku selalu benar."

Pemuda itu mulai memangkas jarak antara wajahku dan wajahnya. Hembusan nafasnya terasa di sepanjang pipiku yang memerah. Ia melirik ke suatu arah—melirik ke arah bibir merona milikku. Semakin dekat dan dekat—seperti berusaha menempatkan sebuah—

.

.

"Hah, mimpi yang sama lagi."

Aku selalu terbangun—dengan wajah memerah— sebelum adegan pentingnya.

.

.

.

Keesokan harinya,

"Haaah~" Sebuah helaan nafas yang selalu aku lakukan setiap pagi semenjak mimpi itu datang.

Aku bingung. Aku sudah tidak tau harus berbuat apa. Aku takut akan timbul kesalahpahaman akibat mimpi tidak jelas—namun indah itu. Awalnya perasaan gelisah seperti itu tidak pernah ada. Terhadap pemuda itu, aku hanya menganggapnya sebagai rival dalam prestasi sekolah—tidak lebih sama sekali.

"Hei~ kau bengong lagi," seseorang menyapa dan menyenggol tubuhku. Aku menoleh pada pada pemilik suara yang tidak asing itu.

"Kana-chan. A-Aku ti-tidak bengong kok."

"Haha, jangan bohong~"

"Tidak!"

Baiklah, sepertinya Kana-chan tidak percaya dengan kata-kataku. Aku bukan bengong, hanya sedang berpikir, itu saja. Cukup jangan diteruskan!

"Lalu, siapa cowok itu?" tanyanya, menguak kembali momen memalukanku yang tertangkap basah melamun tentang dirinya.

"Hah? A-apaan sih." Aku berusaha menghindari topik memalukan ini. Jika diteruskan, entah, apa yang akan terjadi nanti.

"Kau belum cerita padaku. Kemarin kau pulang duluan meninggalkanku! Ayo, siapa cowok itu?"

Apa sih? Jangan memaksa begitu! Kumohon! Hal ini berada di luar kuasaku.

Kana-chan berusaha bicara agak berbisik. Sepertinya ia mengerti, kalau hal seperti itu bukan hal yang bisa dibicarakan dengan suara lantang.

"Apa sih! Aku bilang, bukan masalah cowok!" sanggahku terhadap dugaan Kana-chan. Sebelum aku berhasil menyakinkan Kana-chan, tiba-tiba sosok yang menjadi masalah memasuki zona berbahaya—dimana pun ia berada maka tempat itu akan menjadi zona berbahaya bagiku. Seperti biasa, pagi-pagi ia terlihat tampan sekali—tidak, sepanjang hari ia selalu terlihat tampan. Tanpa sadar, aku mulai memandanginya lagi sampai ia duduk di bangkunya. Bahkan, aku sampai melupakan bahwa Kana-chan ada di dekatku.

"Hmmm~" Senandung Kana-chan penuh dengan nada nakal. "—aku tau siapa orangnya."

"Hah?" sontak aku menoleh pada Kana-chan yang mulai tersenyum mencurigakan ke arahku. Gadis itu mengganti pandangannya ke arah Akashi-kun seakan member sinyal 'Dia kan orangnya?'.

"Bu-bukan," kataku tergagap sambil menggeleng-geleng.

"—tenang saja, aku bantu."

Kau mau kemana, Kana-chan! Ah, tidak!

"HAH? Cho-chotto—"

Setelah mengatakan itu, Kana langsung menghampiri meja Akashi-kun dan memanggilnya, "Akashi-kun."

AH! Tidak! Jangan!

Akashi-kun menoleh pada Kana-chan dan bertanya, "Apa?"

"Bisa bantu aku?"

"Bantu?"

"Aku tidak bisa matematika dan fisika, bisa ajarkan aku? Sebentar lagi akan ada ujian, aku ingin dapat nilai yang lebih baik. Kau kan peringkat satu, pasti diajari olehmu akan lebih mudah bagiku."

"…"

Akashi-kun menatap Kana-chan dalam diam untuk beberapa saat. Seperti berpikir. Mungkin ia sedang menganalisis maksudnya. Sesuai dugaan, segala tindak tanduknya selalu dipikirkan terlebih dahulu.

Keringat mulai mengucur deras dari pelipisku. Aku tidak tau apa yang akan dilakukan oleh teman baikku itu. Sungguh, ini membuat jantungku tidak ada hentinya berbunyi 'dag dig dug'. Kira-kira, apa yang akan Akashi-kun katakan?

Akhirnya, Akashi-kun menjawab permintaan Kana-chan dengan sebuah kata, "Baiklah."

"Benarkah? Kalau begitu, kita belajar bersama ya. Dia juga ikutan," sahut Kana-chan sembari menunjuk ke arahku.

"HAH?!" Aku berdiri dari dudukku sambil menghentakkan meja saking terkejutnya—kaku di tempat. Ah, gawat. Akashi-kun memandangku heran. Tetapi, pandangan matanya membuat jantungku berdegup kencang. Karena tidak sanggup memandangnya lama-lama, aku berusaha mengalihkan pandanganku sebelum kembali dibuai khayalan bejad.

"Kalau begitu, kalian belajar saja berdua. Tidak perlu aku. Dia kan peringkat kedua. Kupikir, dia cukup untuk mengajarimu," Akashi-kun menambahkan. Kenapa jadi begitu? Ah, itu tidak penting! Aku tidak perduli apa-apa lagi. Pokoknya, aku harus berusaha untuk keluar dari masalah ini, dari pada berubah menjadi rumit.

"I-iya, Kana-chan. Kita berdua saja. Ti-tidak perlu mengajak Akashi-kun," sambungku terbata-bata dengan maksud membenarkan ucapan Akashi-kun.

"Jangan begitu! Aku ingin kau dan Akashi-kun mengajariku. Aku kan super bodoh jadi perlu orang-orang pintar mengajarkanku,"serunya sembari diam-diam mengedipkan sebelah mata. Tidak! Apapun yang kau rencanakan, aku tidak mau!

Aku tidak tahan lagi—dan juga panik.

"Benar Kana-chan! HANYA aku saja yang bisa mengajarimu, tidak perlu Akashi-kun," sahutku dengan lantang. Entah kenapa aku merasa ucapanku itu membuat Akashi-kun menyernyitkan dahi. Aku berusaha tidak perduli dan mengalihkan pandangan lagi.

"Ta-tapi.." Gadis sahabat baikku itu kelihatan kecewa dengan reaksiku. Hah. Asalkan tidak berurusan dengan pemuda merah itu, aku tidak perduli apapun. Untuk saat ini, aku tidak bisa melakukan hal yang berhubungan dengannya.

"Baiklah. Aku juga akan mengajarimu," ujar Akashi-kun sambil menatap Kana-chan.

APA?

Setelah itu, Akashi menatapku tajam. Ke-kenapa ia menatapku begitu?

"Ha?"

"Hehehehe. Arigatou, Akashi-kun. Nanti aku hubungi lagi kapan kita akan belajar. Jaa," Kana-chan tersenyum pada Akashi-kun lalu beralih padaku. Sebelum Akashi-kun kembali pada aktivitasnya, ia sempat melirikku sejenak. Hentikan pandangan matamu itu, sungguh, dada ini rasanya tidak bisa diam dibuatnya. Aku makin khawatir akan apa yang akan terjadi. Hatiku belum siap untuk menghadapinya secara langsung.

Bagaimana ini?

Apa yang harus aku lakukan?

.

.

.

.

TBC?


*Chapter ini sudah diedit menjadi POV Reader.