Seorang lelaki paruh baya berlari tergopoh-gopoh menuju ruangan penyimpanan. Ruangan itu terletak di ujung lorong rumahnya, selain pintunya terbuat dari besi baja, temboknya pun terbuat dari beton. Sangat kuat dan tidak mungkin dibobol atau diselundupi oleh perampok profesional sekalipun. Ia sesekali melirik ke belakang. Bunyi gesekan pedang yang sengaja dibenturkan ke dinding atau lantai marmer, masih dapat terdengar dari kejauhan.

Lelaki itu semakin panik. Ketakutan yang melanda dirinya serasa nyaris memecahkan ubun-ubun kepalanya. Sebelum ia mencapai gagang pintu ruang penyimpanan yang terbuat dari besi baja, ia mendengar suara gesekan bilah pedang yang semakin lama semakin mendekat disertai bunyi tapak kaki seseorang yang berjalan tenang di tengah kegelapan pekat. Lelaki itu lekas menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ia berdoa, memanjatkan mantera yang difokuskan pada sang pencipta langit dan bumi, berharap malam ini adalah malam keberuntungannya, meskipun kematian tengah menari-nari diluar sana hendak mengejarnya.

Trang!

Bunyi gesekan pedang kembali terdengar, menyentak ke'kusyuk'an doa yang sedang dipanjatkan lelaki itu. Tubuh kurusnya yang berkeriput bergetar dengan cucuran peluh yang mulai membasahi seluruh piyama bagian atasnya. Ia merangkak pelan-pelan menuju sudut ruangan dan meringkuk seperti seorang tahanan yang akan menjalani eksekusi mati sesaat lagi.

Trang! Sreeeekkk...

Ia menutup telinganya rapat-rapat, bunyi gesekan logam tipis diatas permukaan lantai membuat telinganya serasa ngilu. Tapi, perlahan suara itu mulai menjauh dan menghilang. Lelaki itu berpikir mungkin pria di luar sana sudah menyerah untuk mengincar nyawanya. Ia akan keluar keesokan pagi, tepatnya beberapa jam lagi. Karena melalui malam yang mencekam dan penuh ketegangan ini, ia sampai tidak sadar arloji digital di lengan kirinya sudah menunjukan pukul 02.00 dini hari.

Tak lama ia tertegun. Surat kematian yang dikirimkan ke alamat rumahnya tertulis, bahwa si pembunuh akan datang tepat tengah malam, lalu bermain-main dengannya sebelum mengantarkan dirinya ke neraka tepat di jam 02.02 dini hari. Yang artinya... 2 menit lagi? Haha, orang itu pastilah hanya bergurau saja. Mana mungkin dia bisa membobol pintu berbahan solid seperti itu lalu menerobos masuk ke dalam sini.

Suara kekehan kecilnya yang serak terdengar jelas ditengah keheningan ruangan itu. Dan saat ia melirik arloji yang ada ditangannya, ia lekas membeku. Arloji itu bersinar dan menunjukan waktu 02.01 pagi, tapi bukan itu yang membuatnya bergetar dengan tubuh kaku layaknya mayat. Melainkan sosok seseorang yang kini terpantul pada permukaan kaca arloji miliknya. Seorang lelaki bertopeng rubah dengan tubuh yang berjongkok diatas permukaan meja kayu. Dia tidak mengeluarkan suara selain bunyi yang dihasilkan pelatuk senjatanya yang ditarik pelan ke belakang.

Pria itu kian membeku. Ia tidak menyadari kehadiran si pemuda bertopeng rubah, mendengar suara atau merasakan hawa kehadirannya saja tidak. Lagipula... Dari mana dia masuk jika tidak melewati pintu? Pupil matanya melirik keatas langit-langit, dimana sebuah plafon yang berada diatas sana telah berlubang seukuran postur tubuh pemuda bertopeng rubah itu. Si pria meneguk ludahnya susah payah. Ia terlalu bodoh untuk mengabaikan hal sepenting ini dan terlebih lagi ia meremehkan kemampuan pembunuh handal yang dijuluki 'Kitsune si rubah pembunuh berdarah dingin' tanpa memperhitungkan segala hal. Kini ia harus menelan bulat-bulat penyesalannya beserta dosa yang telah ia lakukan selama ia hidup.

"Kau…," Suaranya mencicit layaknya binatang pengerat yang ada di lubang saluran pembuangan air. Lagi-lagi ia menelan ludahnya susah payah.

Sosok itu menggerakan jari telunjuknya untuk menekan trigger pistol. Tapi, sebelum itu ia sempat mengeluarkan suaranya hanya untuk mengucapkan sebuah kalimat yang selalu ia ucapkan untuk mengantar kepergian para korbannya. "Sayonara—" Trigger pistol akhirnya ditarik.

Dor!

Bunyi yang cukup nyaring dengan sebersit asap mesiu yang keluar dari moncong pistol, mengiringi ambruknya tubuh renta yang tak lagi bernyawa maupun bernapas.

"—baby," Ia meniup ujung senjatanya yang masih mengeluarkan sedikit asap panas dengan sekali hembusan. Senyum dinginnya yang dipenuhi aura kebengisan tersembunyi dari balik topeng rubahnya.

Pemuda itu lekas berdiri, membersihkan sedikit pakaiannya yang tertimpa debu dari atas plafon yang ia bobol diam-diam. Ia memasukan pistolnya ke balik jubah hitamnya yang terbuka lalu menurunkan tudung jubah yang menutupi seluruh helaian rambutnya yang sudah basah akan keringat. Lensa biru yang menggelap ditengah remangnya cahaya ruangan, menatap angkuh sosok pria yang kini telah mati dengan kepala yang berlubang dan mata yang membelalak lebar dari balik celah topengnya. Sedetik kemudian ia tertawa kecil. Berjalan santai menuju pintu ruangan dengan menginjak mayat si pria yang mulai mendingin dengan kubangan anyir berwarna merah pekat disebagian lantainya.

Ia bersenandung riang. Membuka kunci yang terpasang pada dahan pintu besi, dan menarik tungkainya tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Sebelum melangkahkan kakinya keluar ia sempat menoleh, memandang mayat pria itu sekali lagi. Bibirnya mengeluarkan suara decihan jijik. Pria tua itu bernama Suzumiya Kotaro. Berusia 56 tahun. Pebisnis dunia hitam yang telah banyak merenggut sebagian hak para rakyat kecil. Bukan hanya itu saja, tetapi lelaki biadap itu sudah banyak membunuh nyawa yang tidak berdosa dan melakukan transaksi ilegal perdagangan wanita untuk memperkaya dirinya sendiri. Benar-benar makhluk yang paling menjijikan untuk dibiarkan hidup.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Criminal Fall in Love © Nagisa Yuuki

.

.

Pagi ini kantor kepolisian tampak heboh dengan pembunuhan berantai yang terjadi di kediaman seorang pria paling berpengaruh di Jepang. Ironisnya pria itu adalah pria licik yang kebal akan hukum karena jabatan serta kekuasaan yang dia miliki. Rumah itu dijaga ketat oleh puluhan penjaga dan bodyguard yang masing-masing memiliki kemampuan bertarung yang terlatih. Tetapi yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri adalah mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah di setiap sudut pekarangan rumah maupun bagian dalam bangunan yang menyerupai sebuah kastil.

Seorang pria yang menjabat sebagai Jenderal kepolisian di kota ini, pada pagi hari ini, terlihat sangat berang. Berita yang baru saja disampaikan oleh anak buahnya benar-benar menurunkan mood hariannya yang mudah sekali berubah hanya karena faktor berita. Ia menghempaskan surat laporan yang ada di tangannya kemudian mengumpat dengan suara keras.

"Bagaimana mungkin bisa?!" teriaknya marah. Si bawahan yang menyampaikan berita itupun hanya diam tak berkutik. Ia melirik wajah murka sang Jenderal lalu mendaratkan perhatiannya pada seorang pemuda blonde yang nampak asyik bermain video game di sofa paling ujung. Pemuda itu seakan tidak terganggu dengan suara teriakan keras sang ayah yang memiliki pangkat tertinggi dan juga paling disegani oleh seluruh unit kepolisian.

"Seharusnya kalian bisa memprediksikan hal ini terjadi!" Sang Jenderal menghempaskan dirinya di kursi kebesaran miliknya. Sebelah tangannya memijit kening dan sebelahnya lagi mengepal diatas meja. "Pria busuk itu harusnya diadili dan mempertanggung jawabkan dosa-dosanya terlebih dahulu," Ia mengumpat lagi dan menatap nyalang pada lantai yang ia pijaki. "Siapa yang membunuh si Suzumiya brengsek itu beserta puluhan pengawalnya?"

Sang bawahan tersentak lalu menegakkan punggungnya seraya menjawab tegas. "Kitsune si rubah pembunuh, Jenderal! Sekitar tengah malam tadi, dia mendatangi kediaman Suzumiya-san kemudian membantai seluruh penghuninya."

"Kitsune?" gumam Sang Jenderal geram. Nama itu sudah tak asing lagi. Pembunuh yang sering disebut-sebutkan telah membunuh orang-orang kebal hukum diluar sana. Seseorang yang tidak diketahui ciri fisik maupun identitasnya. Untuk sebagian masyarakat yang memuja dan mengagung-agungkan nama Kitsune pasti akan menganggapnya sebagai pahlawan, karena orang itu telah banyak berjasa menyingkirkan penjahat yang tidak bisa diringkus oleh pihak kepolisian. Akan tetapi, yang namanya pembunuh tetap saja pembunuh. Negara ini memiliki hukum yang kuat dan tidak bisa dilecehkan seenaknya begitu saja.

Kepalan tangan si pria memadat dengan deru napasnya yang tiba-tiba serasa memanas. Dihantamkannya kepalan tangan itu hingga mendarat di atas permukaan meja dengan bunyi berdebum keras. Kali ini tak hanya sang bawahan yang tersentak, tetapi pemuda blonde yang sedari tadi hanya diam memainkan game miliknya juga ikut menoleh terkejut. Namun ekspresi si pemuda tidak sekaget sang bawahan, melainkan malah mengerutkan alisnya kemudian mendengus jengkel.

"Cari tahu tentang si rubah brengsek itu dan temukan sedikit petunjuk dari rumah Suzumiya!" perintahnya mutlak yang segera dilaksanakan oleh sang bawahan yang kini telah beranjak pergi setelah sebelumnya menunduk hormat pada sang atasan.

"Tousan," panggil si blonde. Lelaki itu menoleh walau ekspresinya masih terlihat kesal. "Tidak perlu sekesal itu kan? Bukankah bagus Kitsune sudah melenyapkan pria terkutuk itu? Tousan sendiri tidak bisa kan mencari bukti-bukti kejahatannya lalu mengadilinya dengan hukum negara kita?"

"Naruto—"

"Ya, ya, ya," Si anak memutar kedua bola matanya sembari beranjak dari sofa. "Ini mengenai soal harga diri dan nama baikmu lagi kan?"

"Bukan itu…," sanggahnya, "Tapi ini mengenai hukum. Pembunuh tetap saja pembunuh. Dia tidak bisa main hakim sendiri, Naruto."

"Tapi dia membunuh penjahat."

"Dan orang yang membunuh juga adalah penjahat," sahut sang ayah dingin.

Naruto mematri iris biru sang ayah yang serupa dengan miliknya. Ekspresinya mendadak datar, terkesan dingin, namun menyembunyikan banyak dendam. "Yeah, begitu juga dengan pria yang telah membunuh Kaasan," Suara berat Naruto menyentak sang ayah yang kini menatapnya kaget. Ini bukan pertama kalinya Naruto membahas soal mendiang ibunya, tetapi melihat ekspresi serta nada suara Naruto yang dingin adalah suatu hal baru bagi dirinya.

"Naruto—"

"Tousan terlalu lemah," sela Naruto yang lagi-lagi memotong ucapan sang ayah. Ia melirik papan nama yang tertera diatas meja kerja ayahnya, Namikaze Minato, begitulah yang tertulis disana. Bibirnya seketika menyunggingkan senyum beku. "Jika Tousan kuat, tidak mungkin pembunuh itu masih berkeliaran sampai sekarang. Dan Tousan malah sibuk mengurusi Kitsune yang jelas-jelas telah membantu tugas orang-orang sepertimu."

Minato sedikit tertohok dengan ucapan Naruto, apalagi ketika putra semata wayangnya menyebut kalimat 'orang-orang sepertimu' dengan suara yang lebih dingin. Minato tahu Naruto masih membenci pihak kepolisian yang dinilai lamban menangkap pembunuh ibunya 10 tahun lalu, termasuk dirinya yang menjabat sebagai Jenderal di kepolisian. Tetapi itu semua bukan karena kinerja para polisi yang lemah, melainkan karena si pembunuh adalah ketua organisasi paling dicari di seluruh dunia. Penjahat Internasional yang memiliki sebuah kelompok organisasi mafia terbesar, Shadow. Yang bahkan nama dan identitasnya masih berada di balik bayang-bayang kegelapan seperti nama organisasi itu sendiri.

"Tousan tahu kau masih terpukul akibat insiden itu Naruto," Minato kembali bersuara setelah lama terdiam. Ditatapnya sang putra yang kini telah beranjak dewasa. Ada sedikit rasa sakit dan sesal karena membiarkan putra tercintanya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. "Tetapi suatu saat Tousan janji, Tousan akan menangkap dan menghukum mati pria brengsek itu."

Naruto mengukir senyuman sinis di bibirnya. Ia sudah bosan dengan janji-janji itu karena sekarang dia bukanlah sosok bocah kecil yang bisa dibohongi lagi dengan sebuah janji manis konyol serupa. "Aku ragu. Bisa saja justru si Kitsune itulah yang menangkap dan membunuh pria itu Tousan."

Serasa ada belati tajam yang menembus jantungnya saat ini. Minato hanya diam dengan wajah shock-nya yang kentara. Putranya sendiri bahkan meragukan kemampuannya dan malah mendukung pembunuh yang berlindung dalam topeng yang mengatasnamakan keadilan layaknya Kitsune.

"Aku tidak akan kaget dan justru malah akan merayakan hal itu jika seandainya benar terjadi," Sembari mengatakannya Naruto meraih tas ransel yang ia letakan diatas sofa kemudian berlalu pergi menuju pintu ruangan. Hari ini ia ada kuliah siang, jadi memang sudah biasa Naruto berkunjung ke kantor Minato jika ia merasa bosan di rumah bersama puluhan pelayan. Sekaligus ia ingin mengetahui progress kepolisian dalam menyingkap dalang pembunuhan ibu tercintanya 10 tahun lalu. Walaupun Naruto harus menelan kekecewaan ketika kabar yang ia nanti tak kunjung datang hingga sekarang.

"Naruto..." panggil Minato sebelum Naruto menutup pintu. Lelaki itu menunduk saat mengetahui Naruto tak juga berbalik untuk memandangnya. "Berhati-hatilah nak... Sekarang..., Tousan hanya memilikimu. Tousan tidak ingin kehilanganmu juga," Ucapan lirih Minato membuat Naruto membeku.

"Ya," Naruto berbalik kemudian memahat cengirannya yang biasa. "Aku akan menjaga diri," Dan hal itulah yang selalu membuat perasaan sedih Minato terkikis sepenuhnya. Dia mencintainya putranya sama seperti ia mencintai istrinya, Kushina.

Naruto adalah hartanya. Harta yang ditinggalkan Kushina dengan pertaruhan nyawa.

.

Suasana rumah sederhana di salah satu desa kecil terlihat sangat ramai dan hangat. Puluhan anak kecil berlari-lari riang diantara pekarangan rumah yang hanya dibatasi oleh pagar tipis di sekeliling bangunannya. Bagian samping rumah itu hanyalah sebuah lahan kosong yang dipenuhi rumput serta pepohonan rindang.

Salah satu anak yang memiliki rambut hitam berkuncir kuda mendekati seorang wanita paruh baya yang terlihat masih cantik di usia senjanya. Wanita itu memiliki rambut pirang yang diikat dua kedepan lalu mata coklat keemasan yang begitu indah. Wanita itu berjongkok di depan anak perempuan itu, bibirnya mengulum senyum ramah.

"Ada apa Hana-chan?" tanyanya lembut, khas suara seorang ibu yang penuh kehangatan dan kasih sayang.

"Hana memetik bunga di taman untuk Kaachan," sahut Hana dengan tangan mungil yang terulur memberikan sekuntum bunga matahari pada si wanita.

Wanita itu tersenyum. Tangan kanannya menerima bunga itu lalu menggerakan tangan kirinya untuk mengusap poni rambut Hana yang sedikit berantakan. "Terima kasih Hana-chan. Bunganya sangat indah, sama seperti senyummu sayang."

Anak-anak yang lain mulai bermunculan memberikan bunga beraneka ragam dan jenis pada wanita yang memiliki nama lengkap Senju Tsunade itu. Mereka semua tersenyum bahagia melihat pengasuh mereka sejak bayi yang juga merangkap sebagai ibu pengganti, tersenyum penuh keharuan mendapatkan banyaknya hadiah bunga dari anak-anak panti asuhan lindungannya.

Pemandangan indah tersebut tak luput dari mata hitam sewarna jelaga milik seorang pemuda berambut raven. Ia berjongkok di atas sebuah dahan pohon tertinggi dengan pandangan kosongnya yang tanpa ekspresi menatap wajah-wajah familiar di depan sana. Ia ingin menyapa, ingin melihat senyuman wanita itu dari dekat, tapi apa daya ia tak mungkin bisa. Perjanjian tetaplah perjanjian dan ia tidak ingin mengingkari hal itu. Jika ia tetap nekat, maka sama saja ia menghancurkan tawa bahagia mereka dengan sebuah kematian menyakitkan.

"Sasuke…," Suara sopran yang memanggilnya dari bawah mengalihkan fokus perhatian si pemuda. Ia melongokkan kepalanya ke bawah sana, mendapati dua orang pemuda dan seorang wanita yang tak lain adalah rekannya itu telah menunggunya sejak tadi. "Tugas," tunjuk wanita dengan surai merah sepinggang pada gulungan kertas yang mencetak lokasi denah bangunan besar.

Pemuda bernama Sasuke itu berdecih, masih dengan tampang stoicnya yang minim ekspresi. Ia melompat turun tanpa menggunakan tangga atau apapun, hanya mengandalkan kekuatan kakinya yang kini mendarat sukses ke tanah rerumputan. Pemuda itu mengenakan jaket hitam bertudung tanpa lengan, bagian depannya sengaja tidak di kancing hingga memperlihatkan kaos putih tanpa lengannya yang mencetak lekuk-lekuk tubuh mempesonanya. Kedua telapak tangannya yang terlapisi sarung tangan hitam, mulai menguraikan gulungan kertas itu kemudian menelitinya sebentar.

"Kau tidak ingin menghampiri mereka dulu, Sasuke?" tanya rekannya yang memiliki rambut silver sebahu, gigi runcing layaknya ikan hiu, serta bola mata sewarna violet, Suigetsu Hozuki.

Sasuke menggumam tanpa makna sebelum menutup gulungan itu dan menatap balik wajah Suigetsu. "Tidak."

"Kau yakin Sasuke? Jika hanya sebentar, 'pria tua' itu pasti tidak akan tahu," ucap pemuda di sebelah Suigetsu. Pemuda yang memiliki warna rambut oranye terang bernama Juugo.

"Tidak perlu. Bagiku nyawa mereka terlalu berharga untuk dipertaruhkan," jawab Sasuke tanpa nada. Ekspresinya yang datar menyimpan banyak kerinduan serta luka akibat kehilangan. "Kita berangkat sekarang. Karin, siapkan mobil dan peralatan."

Satu-satunya gadis dalam kelompok itu segera mengangguk patuh dengan semburat merah di kedua pipinya. Karin lekas berlari menuju mobil mini van yang terparkir tak jauh dari sana, sementara ketiga pemuda tampan itu berjalan santai sembari berpikir mengenai sesuatu.

Sasuke sempat menengok ke belakang, memperhatikan puluhan anak kecil yang berlari riang tanpa beban di punggungnya. Ia hanya tersenyum kecut. Saat ini tugas sedang menantinya dan ia harus fokus demi keberhasilan misi. Tugas merampoknya malam ini cukup berbahaya dan lagi Sasuke harus menyimpan banyak tenaga untuk menjalankan misi dari Shadow besok lusa.

.

Pintu ruangan diketuk, tak lama sosok seorang pemuda menyembul dari balik dahan pintu berwarna coklat tua.

"Dokumen yang kau minta, Komandan," kata sang bawahan sembari melangkah masuk dan memberikan setumpuk berkas yang diminta sang Komandan ke atas meja. "Ada lagi yang kau perlukan?"

Lelaki itu menggeleng tanpa mengalihkan perhatiannya dari setumpuk berkas yang baru saja ia minta. "Tidak, Kisame. Terima kasih."

Setelah mengatakannya pria itu kembali diam dan meneliti setiap cetakan huruf yang berbaris rapi dalam lembaran kertas putih. Beberapa foto korban beserta identitasnya tengah ia teliti, lalu ia membalik halaman itu satu persatu hingga sampailah pada berita perampokan yang sering terjadi dalam waktu sepekan ini.

"Ku dengar… Di kepolisian kita terdapat mata-mata," kata Kisame yang belum pergi dari ruangan itu dan malah menarik kursi untuk duduk.

"Yeah, dan itu cukup menggemparkan sampai membuat Jenderal marah," dengus lelaki berambut hitam legam sepunggung itu. Perhatiannya kini terpaku pada wajah Kisame yang sedang berpikir sambil menopang dagu.

"Menurutmu siapa yang pantas dicurigai Itachi?" tanyanya, menanggalkan sikap formalnya pada Itachi hingga membuat sang Komandan mendengus geli mendengarnya. Itachi tidak marah, justru beginilah yang ia inginkan jika hanya berada berdua dengan sahabat satu pelantikannya dulu sewaktu menjalani program militer beberapa tahun silam.

"Entahlah, aku belum bisa menebak siapa yang paling mencurigakan. Pihak penegak hukum di kota ini sudah banyak yang disuap, melakukan aksi kotor dengan membantu para kriminal besar, membocorkan informasi, serta banyak lainnya. Benar-benar ironis."

"Tapi kalau dibiarkan terlalu lama, aku takut ini akan membahayakan kepolisian kita."

"Aku pun juga berpikir begitu," Itachi menutup berkasnya kemudian menaruhnya di atas meja. Ia menghela napas lelah sembari bertopang dagu. Pekerjaannya bulan ini semakin bertambah sulit dengan banyaknya perampokan serta pembunuhan yang dilakukan organisasi hitam. Tapi, tidak satupun dari laporan yang ia terima mengatasnamakan organisasi terbesar bernama Shadow. Mereka ternyata jauh lebih licin dan rapi dalam setiap melakukan tindakan.

Itachi meraih sebuah pigura foto yang menampilkan keluarga lengkapnya dulu. Keluarganya yang masih hidup sebelum dibunuh oleh Shadow keparat itu. Pancaran kelam matanya yang semula tenang berubah menjadi penuh dendam dan ambisi. Cengkeramannya menguat, namun tatapannya mengosong dengan ekspresi pedih yang dalam. Kisame memperhatikan hal itu dan ia cukup tahu untuk tidak menanyakan apa yang sedang dipikirkan oleh Itachi, karena ia sudah mengetahuinya sendiri. Itachi selalu merasa marah dan sedih setiap kali teringat seluruh keluarganya tewas dihabisi dengan keji.

"Laporan Komandan!" teriak salah satu bawahan setelah mengetuk pintu lalu masuk dengan tergesa-gesa. Itachi memberikan gestur 'melanjutkan' lewat kedikan matanya, dan bawahan itu kembali membuka suara. "Unit 2 telah melaporkan bahwa ada perampokan serupa dengan minggu lalu."

"Team Taka?" tanya Itachi serius.

"Dilihat dari jumlah serta segi kemampuan, kali ini memang benar mereka, Komandan."

Kisame segera bangkit begitu juga dengan Itachi. Keduanya mengangguk dan bersiap untuk meluncur ke tempat kejadian. Namun sebelum Itachi melangkahkan kakinya ia sempat memandangi wajah-wajah yang terpotret dalam pigura foto miliknya. Wajah seorang wanita cantik yang sedang menggendong bayi mungil berusia 5 bulan, lalu dirinya yang berusia 7 tahun berdiri disebelah ibunya bersama sang ayah yang tengah merangkulnya.

"Aku pasti akan membalaskan dendam kalian. Tenang saja, Ibu, Ayah, Sasuke. Semoga dugaanku benar dan aku bisa secepatnya menangkap bajingan brengsek yang telah menghancurkan keluarga kita."

Matanya yang berapi-api telah tersaput cairan tipis transparan yang hampir saja menetes. Itachi menegarkan dirinya lalu benar-benar berlalu, menyusul Kisame dan pasukannya untuk meringkus para perampok yang diduga memiliki keterikatan hubungan dengan pemimpin Shadow. Organisasi hitam yang menjadi target incarannya sejak dulu.

Sedikit lagi... Itachi membatin sembari mengepalkan kedua tangannya. Sedikit lagi maka rahasia mereka akan segera terkuak.

.

Naruto tampak sibuk berpikir mengenai issue yang tengah beredar di kepolisian setempat. Saat mengunjungi ruangan ayahnya pagi tadi, ia tak sengaja mendengar dua orang petugas membicarakan hal itu. Mengenai adanya kabar polisi pengkhianat diantara pasukan kepolisian yang dipimpin oleh Minato. Gara-gara kabar itu pula lah seharian ini Naruto jadi tidak bisa fokus mengikuti materi perkuliahannya dan ia hanya melamun sepanjang hari ini dengan otak yang terus sibuk memikirkan siapa gerangan yang telah menyusup ke dalam kepolisian lalu menjadi mata-mata musuh. Terlebih lagi, Naruto sendiri tidak tahu pihak penjahat mana yang menaruh salah satu komplotannya di divisi sang ayah.

Di sepanjang lorong, Naruto terus saja diam dan berpikir. Langkah kakinya menapak tanpa menciptakan sedikitpun suara seperti ia sudah terbiasa dengan hal itu. Kedua tangannya tenggelam di dalam saku dan kepalanya tertunduk ke bawah dengan kusyuk. Sesekali Naruto harus berpura-pura ceria saat seseorang menegur dan menyapanya ketika mereka berpapasan, setelah itu Naruto akan kembali memasang wajah seriusnya. Menunduk. Mengerutkan dahi seolah ia sedang berpikir keras mengenai berbagai kemungkinan yang tiba-tiba saja melintas di dalam benaknya.

Ketika telah sampai di area parkiran, Naruto menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Terlalu banyak berpikir membuat dirinya nyaris gila. Ia bahkan hampir mati kebosanan karena sibuk menyendiri dan mengabaikan teman-temannya sejak siang tadi. Ia mengacak surai keemasannya sedikit frustasi lalu tak lama Naruto mengeluarkan kunci mobil miliknya dari dalam saku celana. Tapi gerakan tangannya lekas terhenti saat ia menyadari ada seseorang yang sedang mengintainya dari belakang. Aura yang tidak mengenakan segera membungkus raganya yang kini hanya mampu terdiam.

Pelan-pelan matanya melirik kearah kaca jendela mobil yang berwarna gelap. Terdapat bayangan asing yang ikut terpantul di belakang punggungnya. Naruto mengurungkan niatnya untuk mengeluarkan kunci mobil dan malah memasukannya kembali ke dalam saku. Sementara sosok itu semakin mendekat dan mulai melakukan suatu gerakan yang sebelumnya telah diprediksikan oleh Naruto. Pinggir bibirnya berkedut dan membentuk sebuah seringaian misterius, namun kilau mata birunya menggelap dan dipenuhi oleh rencana-rencana tersembunyi yang hanya Naruto-lah yang tahu.

Tidak ku sangka bahwa dia sendirilah yang akan menunjukan topengnya padaku. Bahu Naruto bergetar menahan tawa, dan ia melihat bayangan itu semakin mendekat dan sesuatu yang keras tiba-tiba menghantam leher belakangnya hingga Naruto terpaksa memejamkan mata lalu ambruk begitu saja diatas tanah. Orang itu tidak mengetahui bahwa segala niatnya sudah diprediksikan oleh Naruto dan justru dialah yang terjebak dalam pemainannya sendiri.

.

Dor... dor... dor... Lahan kosong tak berpenghuni itu menjadi sasaran adu tembak. Puluhan peluru berdesing nyaring dan melesat secepat kilat kemudian menembus apa saja yang dilaluinya. Seorang pemuda bersurai raven tengah terduduk di balik pohon besar yang melindunginya dari serbuan peluru pihak kepolisian. Ia memegang dua buah senjata, melemparkan magazine yang telah kosong dan mengisi selongsongnya dengan yang baru. Kilatan kelam yang terpancar dari bola matanya terlihat tajam dan penuh kepercayaan diri tinggi.

Sesaat ketika bunyi tembakan di sekitarnya mulai berhenti, Sasuke segera melempar diri keluar dari tempat persembunyiannya dan mengarahkan tiga tembakan beruntun kearah tiga orang polisi yang keberadaannya tertangkap dalam kornea matanya. Polisi-polisi itu nampak terkejut, tapi tidak mampu mengelak saat timah panas yang diberikan cuma-cuma oleh Sasuke telah bersarang disekitar bahu dan ada juga yang mengenai paha atas bagian kanan. Sasuke memang menghindari titik vital, bukan karena tembakannya meleset atau kurang tepat, melainkan karena ia tak ingin membunuh sembarang orang.

Meski sudah ditumbangkan berkali-kali, para polisi yang datang untuk menyergapnya seakan tidak juga habis. Sasuke mendecih kesal. Kalau saja Suigetsu tidak gegabah dengan memakai peledak untuk menghancurkan brankas baja, mungkin saat ini mereka sudah berhasil kabur dan membagi barang jarahan mereka yang cukup bernilai tinggi sama rata lalu berpesta semalam suntuk untuk merayakannya. Tapi kenyataannya ia justru malah harus terdampar di tempat ini lebih lama. Sasuke memang sengaja membiarkan ketiga rekannya pergi lebih dulu untuk mengamankan barang curian mereka. Kalau tidak, saat ini Suigetsu pasti akan mengacau lagi dengan membuat masalah atau kecerobohan seperti biasa. Ia menghela napasnya dalam-dalam berusaha untuk tetap berpikir tenang dalam situasi terjepit seperti sekarang.

Suara-suara tembakan di luar tempat persembunyiannya mulai berhenti kembali, tetapi unit kepolisian yang mengepungnya bertambah banyak dua kali lipat. Kali ini Sasuke tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengumpat. Tubuhnya dengan gesit berguling dan berkamuflase di tengah kegelapan malam, ia menghitung jumlah pelurunya yang tersisa lalu menguranginya sesuai jumlah tembakannya tadi. Ia memang tidak memiliki cadangan peluru dalam jumlah banyak karena Suigetsu-lah yang membawa ransel berisi seluruh senjata serta amunisi maupun peledak. Giginya menggertak pelan disertai suara decihan yang sama ringannya seperti hembusan angin.

Telinga Sasuke menangkap suara tapak kaki di atas rerumputan kering. Sangat pelan. Penuh kehati-hatian tapi sedikit terdengar ragu. Sasuke memakai kesempatan itu untuk menerobos 4 orang polisi yang hampir mengarahkan moncong pistolnya ke kepala Sasuke. Pemuda raven itu mengelak, membiarkan peluru yang ditembakan polisi pertama mengenai tubuh rekannya sendiri. Setelah itu ia melompat dan merebut pistol polisi ketiga untuk menumbangkan polisi keempat. Sasuke terus menghindar dan menembak saat ada kesempatan hingga ia berhasil melewati situasi sulit dan zona berbahaya dengan sangat baik.

Tetapi ketika berada di penghujung taman, sekelompok polisi ber-atribut lengkap sudah menanti kedatangannya. Sial! Ini lebih menyusahkan dari situasi terjepitnya.

"Keluarlah! Kau sudah terkepung!"

Samar-samar Sasuke mendengar suara baritone dari salah satu pohon besar di belakang sana. Orang itu mengatakan sesuatu yang tak mungkin dituruti oleh Sasuke begitu saja. Dalam hati Sasuke mengejeknya setengah mati. Namun berkat perkataan orang itu ia jadi bisa memprediksikan dimana letak persembunyian orang itu.

Suasana tiba-tiba menjadi sunyi, hanya ada bunyi gesekan daun serta rintihan lemah para polisi yang tumbang akibat tembakan peluru dari Sasuke. Setelah menghitung sampai 5 di dalam hati, Sasuke lekas keluar dan lagi-lagi membanting dirinya begitu saja di atas tanah. Berguling-guling cepat. Mengarahkan pistol dikedua tangannya dan mengacungkannya ke depan. Dua buah tembakan meluncur saat ia melihat sebuah objek bergerak yang rupanya adalah sosok pemilik suara baritone rendah yang tadi memintanya untuk menyerah.

Kedua lelaki itu melindungi dirinya dengan bersembunyi saat tembakan pertama nyaris mengenai tubuhnya dan tembakan kedua mereka justru saling beradu dan meletus begitu saja di udara.

Sial! Orang itu sangat terlatih rupanya. Raut sang Komandan terlihat gusar saat mengisi amunisinya kembali. Magazine yang telah kosong lagi-lagi dicampakan begitu saja dan mendarat tanpa daya di atas bebatuan.

Suara sirine mobil polisi beserta suara ledakan bom di kejauhan sana menyentak lamunan kedua pria yang masih sibuk bersembunyi dan mulai bergerak keluar dari tempat persembunyiannya. Satu unit kepolisian rupanya sudah meluncur dan mengepung tempat dimana Sasuke berada. Namun hal itu tidak juga membuat Sasuke merasa tersudut ataupun terlihat panik karena raut wajahnya masih tampak tenang dan datar.

"Kau sudah terkepung! Menyerahlah dan jangan bergerak!" teriak salah satu bawahan polisi. Kedua tangannya terancung di depan dada ketika menggenggam sebuah pistol.

Sasuke meliriknya sebentar lalu melempar pistolnya kearah tanah. Ia mengangkat kedua tangannya memberikan gestur menyerah seolah-olah ia takut dengan kepungan polisi-polisi itu.

DUARRR!

Ledakan besar yang menyentak para polisi itu secara tiba-tiba menurunkan batas kewaspadaannya terhadap Sasuke. Pemuda raven itu memutar malas kedua bola matanya. Seharusnya ia sudah bisa menebak kebodohan para rekan teamnya yang selalu saja bertindak ceroboh dan gegabah. Bukankah tadi ia sudah memerintahkan mereka untuk pergi lebih dulu? Mengapa mereka kembali lagi ke tempat ini.

"SASUKE!"

Dan, oh! Teriakan nyaring itu sangat dihafal Sasuke luar kepala. Itu suara melengking Suigetsu. Tanpa berbalik ke arah suara teriakan itu berasalpun ia sudah tahu.

Sasuke melirik salah satu polisi yang terlihat lengah layaknya orang yang tersentak akan sesuatu. Ia tak menyia-nyiakan hal itu kemudian melesat ke balik pepohonan besar untuk menangkap sesuatu yang dilemparkan Juugo padanya. Benda itu adalah senjata pamungkasnya, sebuah katana dengan bilah pedang tajam mengkilap. Sasuke lekas membuka sarung pedang miliknya kemudian menebaskan pedang itu untuk melumpuhkan para polisi yang tersisa.

Jeritan serta pekikan sakit di sekitar tidak menyurutkan langkah Sasuke menuju arah rekannya. Hingga ia berhadapan dengan seorang polisi berpangkat paling tinggi, memiliki surai hitam pekat sepunggung dan berkuncir rapi ke belakang, mata yang sama hitam dengan rambutnya, wajah tegas yang mengeras, namun meski begitu orang di hadapannya ini masih bisa bersikap tenang walau dihadapkan dengan bilah pedang yang mengkilap tertimpa cahaya rembulan malam.

"Minggir!" desisnya. Sang polisi hanya merespon ucapan itu dengan menarik pelatuk pistol.

Dua mata jelaga bertemu pandang dalam kesunyian dan kegelapan malam.

"SASUKE! CEPAT!" Teriakan Suigetsu lagi-lagi membuat Sasuke mendengus dan memutar kedua bola matanya. Tapi berbeda dengan sang polisi yang kembali tersentak hingga gagal fokus. Dan pada akhirnya dia harus menelan bulat-bulat serangan kilat Sasuke yang tak mampu terprediksi oleh kerjapan mata.

"Komandan!" pekikan salah seorang bawahan mengiringi langkah kaki Sasuke. Penjahat itu meninggalkan sang Komandan Kepolisian yang baru saja ia tumbangkan dalam sekali serang. Namun bukan berarti mereka bisa lolos semudah itu, karena pada kenyataannya team gabungan kepolisian sudah menyergap mereka dari segala arah.

"Kita berpencar," titah Sasuke sembari mengambil amunisi lengkap di dalam ransel hitam.

"Jangan bodoh, Sasuke! Kau pikir untuk apa kami kembali kalau bukan untuk menjemputmu!" sembur Suigetsu memanas.

"Hn."

"Hei! Mau kemana kau bodoh!" Suigetsu kembali berteriak melihat Sasuke yang sudah berlari di tengah kegelapan malam, sejurus kemudian ia akhirnya mengumpat. Ketua teamnya memang selalu seenaknya sendiri. Sudah susah payah mereka memutar balik arah untuk menjemputnya, tapi setelah mereka menyelamatkan nyawa Sasuke, pemuda itu justru memerintahkan untuk berpencar.

"Ayo kita pergi," kata Juugo santai, seperti sudah memahami tabiat ketua teamnya.

"Hoi! Tapi Sasuke—"

"Sudah jangan bawel! Sasuke itu seratus kali lipat lebih hebat darimu, Sui!" sindir satu-satunya wanita dalam team. Wajah wanita itu terlihat merona meski sedang marah-marah. Jelas sekali ia sedang mengagumi tingkah Sasuke yang sok keren itu, batin Suigetsu miris. "Cepat kita pergi dari sini!"

Mau tak mau akhirnya Suigetsu menuruti ucapan Karin. Selain karena mereka sudah terkepung dan sulit menghindari pasukan kepolisian yang tiba-tiba membludak, ia juga tak ingin menjadi daging kemasan dadakan oleh Karin. Wanita itu jika sedang mengamuk sangat mengerikan baginya.

.

Di sisi yang berbeda, Sasuke nampak kesulitan menghindar dari kejaran para polisi yang menggunakan sepeda motor serta tembakan. Ia menggunakan gang-gang sempit sebagai bentuk pelarian agar para polisi-polisi itu kesulitan untuk menangkapnya. Sasuke melompati dinding-dinding pembatas gang untuk mengambil jalan pintas secara acak. Bibirnya menarik senyuman sinis saat tahu tak ada lagi suara sirine nyaring atau tembakan melengking yang mengejarnya di belakang sana. Sepertinya rencananya telah berhasil mengecoh polisi-polisi sialan itu.

Sasuke hendak memanjat dinding terakhir saat sebuah peluru panas berdesing tanpa suara di telinganya. Peluru itu menancap ke dalam dinding hingga menciptakan lubang dalam kecil yang menguarkan asap panas. Rupanya tak hanya satu peluru yang mengincar kepalanya, namun ada tiga. Sasuke harus bergerak gesit untuk menghindari timah-timah panas itu, lalu ketika ia hendak menarik bilah pedangnya yang terselip di balik ikat pinggang, sebuah logam dingin yang ia ketahui sebagai pistol telah menyentuh sudut keningnya secara tiba-tiba.

"Aku pasti akan mendapatkan hadiah yang besar karena telah menangkapmu, anak muda."

Dengusan sinis Sasuke mengalun di tengah deru napasnya yang memburu. Seorang polisi berusia kepala empat telah mengunci pergerakannya dari belakang. Untunglah wajahnya masih tersembunyi di balik tudung jaket, sehingga pria itu tidak sempat melihat ekspresi dinginnya yang mengancam.

Satu unit mobil kepolisian berhenti tepat di gang kumuh itu. Tak lama seorang polisi berambut biru sebahu keluar dari balik kemudi sambil menyorongkan pistolnya ke arah kening Sasuke.

"Kau menangkap seorang Taka?" tanya pria itu lurus menatap rekannya yang nampak mengernyitkan dahi.

"Taka? Maksudmu salah seorang anggota Taka?" kata si pria tak mengerti.

Lelaki berambut biru sebahu itu mendecih. Genggaman pada pistolnya begitu pasti, seakan ingin menarik triggernya tanpa takut mengenai tubuh rekannya sendiri. Dan memang benar ia menarik trigger itu hingga membiarkan peluru itu menembus kepala sang rekan yang kini membelalak tak percaya dipenghujung kematiannya.

"Kau seperti tidak merasa berdosa atas hal ini."

"Memangnya kenapa? Sejak dulu aku tidak menyukai lelaki bermulut besar itu. Aku puas sudah berhasil menembak kepalanya, lalu sekarang adalah giliranmu."

Letupan-letupan nyaring itu membahana di gang sunyi tersebut. Sasuke bergerak lincah menghindari serangan timah-timah panas yang mengincar tubuhnya. Ia dengan cekatan menarik pegangan pedang kemudian memotong peluru terakhir yang disarangkan polisi itu hingga terbelah menjadi dua.

"Wow! Refleks yang sangat bagus untuk seorang kaki tangan Shadow sepertimu."

Sasuke memicingkan matanya. Jelas sekali polisi yang sedang menyerangnya ini bukanlah orang biasa. Dia pasti bukan sekedar polisi yang bekerja untuk alasan negara. Sasuke yakin orang itu adalah salah seorang mata-mata yang ia curigai berada di pihak kepolisian Jepang.

"Malam ini aku mendapatkan dua lotre sekaligus! Hahaha!" Orang itu tertawa keras. Melancarkan tembakan beruntun yang semuanya tertuju ke arah Sasuke. Namun saat ia menyadari tak ada satupun pelurunya yang berhasil menggores kulit lawan, ia mulai gentar sendiri. Terlebih ia mampu menangkap kilat tajam dari sepasang mata hitam yang tersembunyi di balik tudung hitam itu. Dia semakin kelabakan saat tahu Sasuke sudah melesat cepat sambil menebas peluru yang ia tembakan kemudian menikam jantungnya dalam sekali serang.

Suara raungan tertahan yang diiringi oleh percikan darah kental mewarnai gang sepi itu. Hanya ada deru mesin mobil yang masih menyala serta Sasuke yang nampak dingin menatap mayat pria dihadapannya.

"Ya ampun aku lupa menginterogasimu. Padahal aku ingin tahu bos bodoh macam apa yang memiliki bawahan rendah sepertimu ini," hujatnya pada mayat itu. Sasuke tanpa sadar melepas sifat irit bicaranya ketika berhadapan dengan seorang penjilat menjijikan seperti pria dihadapannya ini.

Perhatiannya tak lama lekas tertuju pada suara bising dari lorong gang yang mendadak terang oleh lampu sorot mobil. Sasuke tahu polisi-polisi itu takkan menyerah sebelum menangkapnya hidup-hidup. Tapi untungnya saat ini ia sudah menemukan kendaraan untuk kabur. Mobil dinas si pria bermuka dua itu pastinya bisa ia gunakan untuk melarikan diri. Tanpa menunggu banyak waktu lagi, Sasuke segera membajak mobil itu dan menginjak pedal gasnya kuat-kuat. Sekali lagi ia beruntung karena mesin mobil itu masih menyala jadi ia tak perlu repot-repot menstarternya lagi.

"Berhenti!"

Terdengar teriakan lantang dari alat pengeras suara yang dipakai seorang pihak kepolisian.

"Sial!" Sasuke berdecak sambil merajai jalanan sepi yang begitu legang. Ketika mengintip dari kaca spion tengah, Sasuke sukses mengumpat. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari kehadiran seorang sandera di dalam mobil polisi? Yang benar saja! Sasuke tidak akan berani menyimpulkan hal itu jika ia tidak ingat kedok asli si polisi mata-mata, dan juga karena keadaan sandera itu sendiri yang terikat borgol di belakang sana.

"Siapa kau, Dobe! Kenapa kau bisa ada di dalam sini?!" hardik Sasuke emosi. Belum lagi suara seruan dari alat pengeras beserta tembakan peluru yang membabi buta menyerangnya. Sasuke semakin tak dapat menahan kekesalan hatinya ketika salah satu peluru itu berhasil menembus kaca depan mobil.

Pemuda sandera itu mengguman dengan mulut yang terbungkam plester hitam. Kakinya yang terikat tali menendang kursi kemudi Sasuke dari belakang. Sungguh orang bodoh tak berakal mana yang dengan berani menantang seorang kaki tangan mafia seperti dirinya.

"Diam! Kau tahu aku bisa membunuhmu dengan mudah. Jadi kuperingatkan kau untuk tidak bertindak macam-macam!"

Ancaman Sasuke rupanya membuat sang sandera sedikit gentar. Bersamaan dengan itu Sasuke menarik tuas rem tangan hingga mobil patroli itu berputar 90 derajat. Dua buah senjata sudah teracung di kedua tangannya kemudian menembaki ban-ban mobil polisi yang berniat mengejarnya sejak tadi. Sasuke tersenyum miring saat mengetahui tembakannya tak ada satupun yang meleset. Dengan segera ia mengembalikan posisi mobil yang melaju terbalik akibat aksi nekatnya tadi sembari melirik sang sandera yang seperti membelalakkan mata mengalami kejadian mendebarkan barusan bersamanya.

"Apa yang kau lihat?" Seakan baru tersadar sesuatu, tangan Sasuke menyentuh wajahnya sendiri yang tidak lagi terhalangi oleh tudung jaketnya. Ia mengumpat berkali-kali saat tahu kalau pemuda pirang yang menjadi sanderanya di belakang sana telah mengetahui sosok asli dirinya. "Sial!"

.

.

Tbc

.

.

Fic baluuuuuu ululululu puja kerang ajaibbbbb! Dengan ini bertambah satu lagi utang ane di ffn. Hahaha...

Buat yang merasa kenal dengan plot cerita fic ini. Tenang aja itu memang juga karya saya cuma pairnya aja yang beda. Karena fic yang dulu udah saya hapus, jadi saya ganti fic ini dengan alur dan diksi yang berbeda.

Emang beda jauh kan? Tapi pasti ada beberapa scene yang mengingatkan kalian dengan fic itu. Tapi itupun kalau kalian juga pernah membaca fic yang dulu itu sih. Hehehe...