Akhir untuk Awal
Oleh: Jogag Busang
Disklaimer: 5 Centimeter per Second karya Makoto Shinkai
Saya tidak mengambil keuntungan materil dari fanfiksi ini
#Fullovestrong: Takaki/Akari
.
.
"Aku benar-benar lelah, Takaki. Kau mungkin juga. Kita sudahi saja, ya?"
-Akari Shinohara-
.
Kertas itu kembali dilipat. Tidak mengikuti pola kertas sebelumnya yang rapi, melainkan lipatan yang asal-asalan. Sebagaimana saat menulis sulit yang membutuhkan melubernya perasaan, membacanya pun juga memancing banyak emosi pada pikiran.
Takaki menyandarkan punggungnya di kursi, berusaha menahan tubuhnya agar tak goyah, agar tetap bisa duduk dengan tegap, dengan tegar. Bohong jika ia tak ingin menangis, tapi apa pula yang akan ia tangisi? Dulunya ia memiliki segumpal rasa untuk Akari, yang membuatnya rela membeli berpuluh-puluh amplop berwarna merah jambu, membuatnya rela begadang demi mengarang puisi di setiap malam. Jika ia sedang ingin menulis surat secara khusus, maka butuh kertas khusus pula untuk mewadahi tulisan emasnya. Sekarang, setelah gumpalan tadi perlahan mengeras—bukan hanya Akari yang membuatnya mengeras tapi juga Takaki sendiri yang melumatnya menjadi gumpalan berbentuk batu—ia tidak tahu, harus dikemanakan lagi amplop-amplop itu.
Bukankah katanya mereka telah berjanji akan terus setia berkirim surat? Maka Takaki berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya, untuk menjaga janji itu agar tak rusak terhalang dinding tak kasat mata yang membatasi mereka. Namun, beginilah rupanya kisah cinta yang terhalang jarak—bahkan waktu. Semula—seperti kebanyakan manusia yang sedang dilanda asmara cinta pertama—jarak dan waktu bukanlah alasan untuk berhenti mencintai. Dengan keras kepala, mereka kesurupan sebab kerinduan yang terus membuncah, tanpa tahu, tanpa paham, bahwa cinta semacam ini hanya mampu mengecambahkan luka—luka sebab rindu yang teramat mengganggu.
Omong kosong tentang cinta pertama yang secara bersamaan akan menjadi cinta terakhir. Akan menjadi bahagia selamanya seperti dalam kisah-kisah dongeng. Hanya orang tidak waraslah yang mempercayai ceracauan semacam itu. Bagi Takaki sendiri, cinta seperti kupon undian berhadiah. Cuma untung-untungan belaka; kalau memang sedang beruntung maka berjodohlah, kalau sedang tertimpa kesialan maka tamatlah sudah. Diakhiri saja secepat mungkin supaya tidak membikin luka tambah parah. Tapi siapa yang pada akhirnya paling terluka? Tidak hanya Akari. Tidak juga hanya dirinya sendiri, melainkan keduanya. Turut pula kecemasan kalau-kalau mereka ingin berbaikan lagi.
Ah, sudahlah. Yang sudah-sudah memang sebaiknya tetap menjadi sudah. Tidak perlu menjelma atau berkembang menjadi mimpi buruk berkepanjangan. Takaki sama sekali bukan oranglah yang pesimis dalam urusan cinta-mencinta, tapi ini hanya penjabaran dari menerima realita saja. Jika memang cinta pertama akan mati sampai di sini, maka sampai di sini saja ia hidup. Selanjutnya selesai sudah. Bukankah di luar sana, masih banyak perempuan untuk bisa dicintai? Akari bukanlah satu-satunya perempuan di muka bumi ini.
Kita memang hanya punya waktu sekali untuk hidup, tapi tidak lantas harus menjadi alasan untuk mencintai hanya satu kali juga. Cinta pertama yang sudah berakhir adalah awal untuk cinta kedua.
Usai melewati bermacam pertimbangan antah-berantah yang menjejaki pikiran, Takaki mengambil selembar kertas. Tangis yang hendak meletup dibiarkan menggantung di ambang kelopak. Dipegangnya pulpen dengan tinta berwarna hitam yang masih penuh. Ia siap untuk menulis kembali, tapi bukan lagi menulis puisi-puisi bertabur majas metafora, bukan pula menulis sambil menahan rasa degup pada jantung yang tak beraturan bentuknya. Sederhana saja, ia hanya ingin menulis surat biasa.
.
"Semuanya memang telah usai, Akari. Selamat tinggal."
-Takaki Touno-
.
[fin]
Monday—Feb, 18th 2019
