Naruto © Kishimoto Masashi.
This is a work of fanfiction. No material profit is taken.
and you'll be my stars
A Naruto fanfiction
.
.
Haruno Sakura telah mengenal Uchiha Sasuke sejak mereka masih di bangku taman kanak-kanak. Tidak sepenuhnya mengenal; hanya sekadar mengetahui nama dan sosoknya. Sakura tidak bisa memastikan apakan bocah itu juga mengetahui keberadaannya atau tidak, mengingat pembawaannya yang sedikit tertutup dan tak banyak bicara.
Sakura sering melihatnya bersama seorang teman mereka yang lain; yang sedikit hiperaktif, sering tertawa, tetapi lebih sering lagi bertingkah konyol dan berlagak badut. Mereka berdua merupakan pasangan yang aneh, timpang, tetapi Sakura tidak melihat ada yang salah di sana. Di samping bocah periang itu, Uchiha Sasuke tidak terlihat sekelam dan sesuram biasanya. Layaknya matahari yang menginduksi langit ketika fajar tiba.
Selama hari-harinya di taman kanak-kanak, Sakura telah mengenal teman Sasuke lebih baik. Uzumaki Naruto, namanya. Seorang bocah yatim piatu yang kini diasuh keluarga Sasuke. Hal tersebut menjelaskan kedekatan keduanya yang bagai yin dan yang.
Sementara Uzumaki Naruto adalah tipikal anak lima tahun yang normal: ceria, menyenangkan, dan humoris, Uchiha Sasuke adalah bagian kontrasnya. Berdua, mereka adalah kontradiksi. Sakura bahkan tidak yakin dia pernah mendengar Sasuke bicara selain ketika sensei memintanya membacakan cerita di depan kelas. Sasuke adalah yang paling pandai, sekadar informasi. Dia membaca paling lancar dari teman-temannya yang lain dengan artikulasi sempurna. Sayangnya, keengganannya bicara membuat kemampuan bicaranya tak banyak diketahui orang. Anak laki-laki itu hanya pernah terlihat bicara kepada Naruto dan itu pun dengan suaranya yang berbisik rendah. Beberapa kali dia melihat Sasuke bicara kepada anak laki-laki Nara atau sepupu Hinata—Neji, tetapi tidak pernah kepada lawan jenis.
Sakura bertanya-tanya apakah kiranya teman misteriusnya itu malu berdekatan dengan teman perempuan mereka. Sasuke menjauhi mereka lebih daripada dia menjauhi wabah berbahaya. Sakura segera membuang jauh-jauh asumsinya. Bocah laki-laki itu pasti hanya tidak peduli. Namun sekali lagi, Uchiha memang tidak punya banyak hal yang perlu dipedulikan. Tipikal.
Keduanya tidak pernah berinteraksi. Setidaknya, tidak secara langsung. Pernah satu kali mereka dipasangkan dalam satu kelompok, dan semuanya kacau. Bukan kacau yang seperti menimbulkan kerusuhan, teriakan, dan tangisan, tetapi suasananya cukup kaku hingga membuat sensei mereka resah. Dalam kondisi saat itu, baik Sakura maupun Sasuke teguh memegang prinsip enggan bicara mereka. Tugas menggambar yang harusnya dikerjakan bersama justru kehilangan maknanya. Di atas kertas A2 yang diberikan sensei mereka untuk digambari bersama, mereka justru mengambil ujung masing-masing kertas dan membagi kertas tersebut sama lebar dengan segaris tipis pensil.
Dengan cara yang luar biasa di luar konteks, keduanya menggambar bersama. Sakura menggambar sebuah rumah dan padang rumput—rumah impiannya, berhati-hati untuk tidak menggoreskan warna hijau dan biru krayonnya melewati garis tipis yang membagi zona kekuasaan mereka. Di sisi lain kertas, Sasuke menggambar satu tomat merah yang luar biasa mendetail. Sensei mereka kesal, tetapi tidak punya cukup argumen untuk mengalahkan mulut-mulut kecil yang keras kepala itu.
Kejadian hari itu mengajarkan banyak hal. Setidaknya, Sakura dan Sasuke tidak pernah satu kelompok lagi. Sensei mereka untuk seterusnya enggan memasangkan keduanya karena sifat ceria dan bersinar Sakura seolah hilang dan wajah bermuram durja Sasuke bertambah sepuluh kali lipat. Sensei mereka menafsirkannya sebagai bukan pertanda baik. Untuk kewarasannya, barangkali.
Dan hari-hari bersama mereka di taman kanak-kanak berlangsung tanpa kejadian berarti. Di musim semi tahun depan mereka akan menjadi murid sekolah dasar; barangkali masuk ke sekolah yang berbeda.
Atau begitulah yang Sakura kira.
Di musim dingin di tahun terakhir taman kanak-kanak mereka, ketika mereka semua berusia enam tahun, Uchiha Sasuke menjadi seorang yatim piatu. Kedua orang tuanya, bersama seorang kakak laki-laki, meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat dalam perjalanan dari luar negeri.
Sakura hanya bisa memandangi foto-foto yang dipasang di dinding dengan hampa. Dia tidak pernah mengenal tiga orang tersebut. Dia bahkan tidak tahu Sasuke punya seorang kakak yang usianya lebih tua enam atau tujuh tahun darinya. Kini dia berdiri bersama puluhan orang lain, memandangi wajah-wajah yang untuk pertama dan terakhir kalinya akan dia lihat.
Untuk satu atau dua alasan yang tidak diketahuinya, Sakura merasakan kehilangan yang asing. Tidak sakit dan matanya juga tidak basah, hanya sebuah rasa yang tumpul di sudut dadanya yang membuatnya resah. Ketika matanya beralih untuk menatap teman sekolahnya, Sakura bertanya-tanya apakah rasa yang tumpul itu terasah begitu tajam dalam dada Sasuke dan meninggalkannya berdarah-darah seorang diri.
—
—
Sakura hampir melupakan eksistensi seorang Uchiha Sasuke di usianya yang ke dua belas. Hampir adalah kata kuncinya. Ingatannya kembali ke hari pemakaman keluarganya, hari terakhir dia bertemu dengan bocah itu. Koreksi: pemuda itu.
Kini, Sakura duduk di kelas dua chuugaku dan bangkunya ada di deretan belakang—dia tidak pernah beruntung dengan undian dan janken—dan dia memandangi sosok yang dia kenal, sekaligus yang asing baginya, berdiri di depan kelas bersama senseinya. Uchiha Sasuke memperkenalkan diri sebagai murid pindahan. Singkat; hanya nama dan salam; dengan suaranya yang nyaris tidak Sakura kenali karena sekarang suara itu terdengar lebih berat dan serak akibat pengaruh pubertas. Aneh, tetapi Sakura merasa yang begitulah cara natural seorang Sasuke bicara.
Kakashi-sensei yang tengah mengajar tersenyum riang begitu mempersilakan Sasuke memilih duduknya, di deretan belakang di bagian kanan kelas (Sakura terkadang merasa senseinya lebih mirip seorang penculik, lebih-lebih dengan senyum ngerinya). Saat itu, pikiran Sakura terlalu terfokus mengingat-ingat wajah dari masa lalu hingga melewatkan tatapan memuja dan desah napas bahagia dari teman-teman perempuannya. Tidak bisa dia bantah. Bocah yang telah bermetamorfosis menjadi seorang pemuda itu luar biasa tampan. Lebih-lebih dengan pesona misterius dan kelakuannya yang bertambah dingin di setiap detiknya.
Keduanya tidak bertegur sapa karena mereka bukan kenalan lama. Walaupun dia adalah teman sekolah Sasuke dulu, Sakura tidak bisa berkata dia mengenalnya. Toh, itupun hanya dua tahun yang tidak berarti. Dia bahkan tidak pernah bicara kepadanya dan Sakura merasa dia tidak harus mengubah hal tersebut sekarang. Hanya dari menguping pembicaraan orang-orang di sekitarnyalah Sakura tahu bahwa Sasuke dan Naruto selama ini tinggal bersama paman dan bibi dari pihak ibu Sasuke di luar kota. Mengapa sekarang mereka kembali ke kota kelahiran mereka, Sakura tidak tahu. Dia tidak terlalu memedulikannya. Namun, dia tetap menikmati saat-saat bersama Naruto, yang seperti harapannya, tidak kehilangan sifatnya yang ceria dan menyenangkan. Terang seperti matahari musim panas yang garang.
Dua bersaudara itu masih menempel satu sama lain seperti pasangan homoseksual. Mereka selalu bersama di setiap waktu yang memungkinkan, kecuali ketika kelas dimulai karena keduanya tidak ditempatkan di satu kelas. Ketika mereka tidak bersama, Naruto selalu membicarakan Sasuke—tentang hari-hari mereka di Hokkaido, tentang rumah yang kini mereka tinggali bersama Kakashi-sensei (untuk bagian ini Sakura ngeri luar biasa karena mengetahui bahwa pria misterius itu merupakan wali bagi Sasuke dan Naruto di sini), tentang berbagai hal yang tidak begitu Sakura pedulikan—dan Sasuke, yah, dia tidak pernah membuka mulut tanpa Naruto (bukan berarti pemuda satu itu punya kemampuan bicara standar sejak awal) seolah-olah saudaranya itu adalah juru bicaranya atau apa. Teman-teman laki-laki segera berteman dengannya. Teman-teman perempuan segera membuntutinya bagai ekor dengan mata memuja dan gila cinta. Sakura menjauhinya seperti wabah mengerikan.
Ino, seorang sahabatnya yang justru merupakan proklamator pertama cintanya kepada Sasuke-kun, beberapa kali pernah menanyakan keanehan sikap Sakura tentang Sasuke. Sakura hanya menjawab keheranan sahabatnya dengan bahu terangkat tak peduli dan 'dia bukan tipeku' yang dia lontarkan cuek. Pembicaraan kemudian beralih ke pertanyaan Ino 'lalu tipemu yang seperti apa?'. Sakura berkata dia tidak tahu, tetapi yang jelas bukan yang tidak punya kemampuan bicara dan antisosial seperti pujaan baru sekolah mereka. Ino kemudian menyerah untuk membuat Sakura melihat cahaya yang sama dengannya dan tidak lagi mengangkat topik mengenai Uchiha Sasuke ketika mereka bersama.
—
—
Dua tahun yang berlangsung lebih lambat dari biasanya berlalu. Kini Sakura adalah murid baru di koukou, mengenakai seifuku sekolah idamannya—walaupun itu berarti dia harus rela melewatkan tiga tahun sekolahnya bersama Sasuke dan gakuran hitamnya.
Apakah dia membenci Sasuke?
Tidak. Benci adalah kata yang kuat dan Sakura tidak akan menggunakannya untuk mendeskripsikan apa yang dia rasakan terhadap Sasuke. Lagipula, pemuda itu tidak pernah melakukan sesuatu yang patut membuatnya menjadi sasaran emosi sekuat itu. Tidak juga kejengkelan.
Tidak ada. Sesederhana itu.
Sakura hanya merasa dia tidak punya sesuatu yang harus membuatnya berinteraksi dengan Sasuke. Mereka, Sakura sadari, punya minat yang benar-benar berbeda. Walaupun mereka sering bertemu di perpustakaan setiap istirahat siang, keduanya berada di sudut-sudut ruangan yang berbeda. Dia selalu mengambil pojok tempat buku-buku biologi dan anatomi manusia berada, sementara Sasuke membenamkan diri di pojok astronomi.
Lihat 'kan betapa berseberangnya dunia mereka. Dan Sakura tidak punya niat luhur untuk mengubah ritme statis di antara mereka berdua. Selain anggukan kepala sopan di sana-sini ketika mereka berpapasan, tidak ada interaksi lain yang pernah mereka pertukarkan.
Namun, hal yang demikian tidak bisa Sakura katakan ketika mereka di kelas tiga, ketika mereka justru sekali lagi menjadi rekan satu tim. Kali ini di kelas biologi. Sebagai murid paling senior, mereka punya satu proyek yang harus diselesaikan bersama sebelum ujian kelulusan. Tidak benar-benar sebuah proyek, tepatnya proposal sebuah proyek yang harus mereka gagas bersama.
Setidaknya, mereka bisa membagi tugas dan tidak harus menghabiskan berjam-jam bersama-sama berdiskusi dan menyusun prototype proyek mereka. Hal itu tentu saja tidak terjadi ketika Uzumaki Naruto dimasukkan ke dalam persamaan antara Sakura dan Sasuke.
Dengan persuasinya yang setengah memaksa, Sakura mendapati dirinya duduk di seberang Uchiha Sasuke—yang tengah tekun memperhatikan busa frappucinonya dengan perhatian berlebih—di sebuah kafe di suatu sore. Sakura duduk kaku di seberangnya, hanya bisa memandangi Naruto dengan tatapan sedikit kesal. Cokelat hangatnya dibiarkan tak tersentuh selagi Naruto memonopoli pembicaraan.
Seminggu lalu, pemuda itu mengusulkan ide cemerlangnya untuk bertemu bersama partner biologi masing-masing, berbicara mengenai membandingkan ide proyek masing-masing—agenda yang sia-sia karena baik Sakura maupun Sasuke telah sepakat dengan judul proyek mereka, suatu hal yang hingga kini masih membuat Sakura sedikit terkejut. Dia hanya tidak menduga Sasuke dan dirinya bisa mencapai satu titik kompromi—mereka sudah mencobanya, di taman kanak-kanak, dan berakhir dengan terciptanya dua proyek berbeda. Sayangnya, Sakura tidak kuasa menolak permintaan Naruto untuk menghabiskan waktu bersama lebih sering, dengan alibi proyek biologinya. Dan Sasuke, yah Sakura tidak pernah melihat pemuda itu menolak permintaan saudaranya walaupun dengan wajah memberengut, jadi sedikit banyak dia tidak heran ketika melihat Naruto yang berseri-seri datang bersama Sasuke. Kali ini wajah memberengutnya pergi entah kemana.
Ketika partner Naruto menelpon dan mengatakan tidak bisa hadir karena tiba-tiba kedatangan tamu atau apa pun itu, tujuan utama kedatangan mereka segera dibuang jauh-jauh. Alibi proyek biologi hilang sudah. Kini mereka mengobrol tanpa topik jelas, atau tepatnya Naruto berbicara tanpa jeda dan Sasuke yang memandangi gelasnya dengan fokus penuh dan Sakura yang berusaha untuk mengikuti arah pembicaraan Naruto yang melaju tujuh puluh mil per jam.
Setelah satu gelas cokelat hangat dan tiga potong pie strawberry tandas di tangannya sendiri, Sakura memutuskan ini sudah waktunya untuk pergi. Dia segera berdiri dan pamit, berusaha untuk tidak memedulikan tatapan sedih Naruto dan tajamnya pandangan Sasuke yang diarahkan kepadanya. Apa pemuda itu marah kepadanya karena membuat saudaranya sedih? Duh, kalau saja Sakura tidak tahu lebih baik, dia bakal mengira dua pemuda di depannya ini adalah cinta sejati, pasangan hidup bagi satu sama lain, tetapi sayangnya Naruto sudah punya kekasih—Hyuuga Hinata.
(Bayangkan betapa syoknya Sakura saat mendengar kabar itu.)
Setelah momen-momen bersama mereka sore itu, Sakura tidak banyak berinteraksi dengan Sasuke. Bukan berita baru. Mereka hanya bertemu dua kali seminggu, di hari Rabu dan Jumat, selama satu setengah jam untuk membandingkan hasil pekerjaan mereka dan membuat koreksi untuk satu sama lain. Secara aneh, Sakura menikmati saat-saat dia menghabiskan waktu dengan berdebat bersama Sasuke. Terkadang mereka saling memuji juga, dan sejujurnya Sakura tidak bisa mengharapkan partner bekerja yang lebih baik dari Sasuke. Walaupun biologi bukan bidang keunggulannya, pemuda itu tetap mampu menunjukkan kerja cemerlangnya dan membantu Sakura dengan bagiannya, memberi koreksi di sana-sini apabila teori yang Sakura pakai kurang bisa mendukung proyek mereka dan memberi satu atau dua gantinya dari bidang fisika. Semua makhluk hidup memenuhi hukum fisika, jadi teori-teori yang datang dari Sasuke sejauh ini berkontribusi besar dalam kemajuan proyek mereka. Dan dalam waktu singkat—tujuh minggu kemudian, tepatnya, mereka berhasil menyelesaikan proposal setebal dua puluh halaman dan menyerahkannya kepada sensei biologi mereka.
A plus, katanya.
Setelah proyek mereka selesai, Sakura tidak lagi punya alasan untuk bertemu dengan pemuda itu. Hubungan mereka juga tidak berubah, masih seplatonik dulu. Namun barangkali sebagai akibat dari kebiasaan tujuh minggu yang terus terulang, Sakura mendapati dirinya mengklaim kursi di tepi jendela sebagai tempat favoritnya di perpustakaan. Setiap hari ketika dia mengunjungi perpustakaan, dia akan menuju pojok buku favoritnya, mengambil buku yang ingin dibacanya, dan duduk di kursi di tepi jendela yang terbuka lebar. Dia akan membiarkan rambutnya yang digerai tertiup angin dan lembar-lembar buku catatannya kacau; di suatu titik dia akan menyadari kehadiran sosok lain tepat di seberangnya dan rutinitas yang penuh nostalgia. Lagipula beginilah satu setengah jam yang selalu dia habiskan di setiap Rabu dan Jumat sore.
—
—
Sesuai dengan mimpi dan tujuannya memperbudak diri dengan belajar keras, Sakura kini adalah mahasiswa baru di sekolah kedokteran. Lega, ya; senang, tidak juga. Sakura telah mengetahui betapa sulit dan berat belajar menjadi seorang dokter, jadi dia merasa tidak perlu bersuka cita menyambut ronde kedua perbudakannya.
Meskipun demikian, ini adalah cita-citanya sejak kecil dan rasa manis yang dia cecap terasa lebih menyenangkan dari yang sudah-sudah. Tetap saja dia masih tidak bisa mengenyahkan keheranannya ketika di suatu sore di hari setelah mengumuman penerimaannya di Todai, dia sekali lagi mendapati dirinya duduk di kursi yang sama di kafe yang sama sejak beberapa bulan lalu. Di depannya, duduk seorang Uchiha Sasuke dan Uzumaki Naruto.
"Selamat atas penerimaanmu, Sakura-chan!" Dalam beberapa tahun kedekatan mereka, Naruto telah menumbuhkan kembali kebiasaan kecilnya memanggil Sakura dengan –chan. Kepada orang lain, Sakura akan jengkel karena panggilan itu kental dengan nuansa kekanakan dan Sakura telah mengklaim dirinya telah cukup dewasa, tetapi ini adalah Naruto dan Sakura menyayanginya layaknya seorang saudara.
Dengan senyum malu-malu, Sakura mengangguk. "Terima kasih, Naruto. Bagaimana denganmu?"
Menyeringai lebar, Naruto menggaruk bagian belakang kepalanya. Sakura menyadari ada rona merah di kedua pipinya. Pemuda itu malu. "Di Todai juga, ilmu politik," jawabnya dengan nada bangga.
Sakura mengangguk bahagia. Dia tahu cita-cita kawan karibnya itu. Seorang presiden; belum berubah sejak mereka masih di taman kanak-kanak. "Selamat, Naruto. Kau pasti bisa menggapai cita-citamu," puji Sakura menyemangati.
Naruto menjadi lebih merona dari sebelumnya. "Eh kau tahu cita-citaku."
Sakura mengangguk lagi, kali ini dengan cengiran lebar. "Aku ingat. Kau sudah mendeklarasikannya sejak umur lima tahun, benar 'kan?" Dia tertawa kecil bersama Naruto yang berseri-seri. Demi kesopanan, Sakura beralih menanyakan kabar Sasuke. "Lalu Sasuke, bagaimana denganmu?"
Sasuke mengangguk sopan. "Todai, astronomi." Jawabannya sopan; tidak kelewat ramah, tetapi tidak pula menyebalkan. Hanya kesopanan untuk sebuah jawaban dari pertanyaan sopan.
Sakura mengangguk-angguk. "Selamat!" Dia selalu tahu bahwa astronomi adalah satu-satunya bidang yang diminati Sasuke. Pemuda itu memang jenius, tidak punya masalah berarti menekuni bidang studi apapun, tetapi Sakura selalu merasa bidang mana pun yang akan ditekuni pemuda itu tidak akan cocok kecuali astronomi. Dari mana Sakura mendapat pikiran seperti itu, dia tidak tahu. Barangkali karena dia menghabiskan lima tahun melihat kebiasaan Sasuke di perpustakaan. Buku-buku fisika di chuugaku dan buku-buku astronomi di koukou. Dia suka membaca isi bukunya secara acak; membuka daftar isi dan memindainya, mencari-cari judul bab yang menarik minatnya, kemudian membaca bagian itu terlebih dulu.
—diam-diam Sakura heran mengapa dia tidak merasa ngeri karena menyetahui kebiasaan kecil pemuda itu lebih dari yang diinginkannya.
Sore itu berlangsung lebih menyenangkan dari sore sebelumnya. Sakura heran mengapa demikian, tetapi kemudian memutuskan tidak mempermasalahkannya.
—
—
Kehidupan sebagai mahasiswa medis memaksa Sakura memotong jam-jam bersantai dan jam tidurnya. Di bulan kedua kehidupannya yang sibuk, Sakura telah terbiasa tidur lewat tengah malam dan bangun sebelum pukul enam. Setiap harinya berlalu tanpa sekalipun dilewatkan tanpa buku di tangan; besar maupun kecil, tebal maupun tipis. Dia sudah terbiasa belajar keras, jadi yang begini tidak terlalu drastis menyita kehidupannya.
Dan kesibukan seolah selalu punya waktu untuk secangkir kopi dan pie di kafe mungil yang nyaman yang dekat dengan kampusnya. Dengan buku lain, yang bukan buku kedokteran, Sakura selalu menghabiskan dua jamnya di sana setiap hari. Sehabis makan siang hingga pukul tiga setiap hari Senin, Rabu, dan Kamis, dan pukul tujuh hingga sembilan sebelum kelas paginya di setiap Selasa dan Jumat.
Sakura tidak tahu mengapa dia suka menghabiskan waktu di sana dan mengapa dia sama sekali tidak merasa keberatan ketika mengetahui Uchiha Sasuke juga merupakan pengunjung reguler—setiap Selasa di jam yang sama dengannya. Beberapa kali Sasuke akan duduk di seberangnya karena Sakura selalu punya meja yang bertuliskan namanya dan terkadang Sasuke tidak kebagian tempat karena ramainya pengunjung. Sakura bertanya-tanya dalam benak mengapa pemuda itu tidak duduk bersama pengunjung lain—yang selalu punya kesempatan untuk mengerling kepadanya—tetapi barangkali keheningan bersamanya adalah teman yang Sasuke tunggu-tunggu sebelum memulai hari yang panjang. Ketika itu terjadi, kuliah fisiologinya yang menjemukan terasa lebih menyenangkan untuk ditekuni. Dan begitu pula dengan sisa kegiatannya sepanjang hari.
Sakura tengah menekuni novel di tangan ketika suara berat itu memecah konsentrasinya dengan 'selamat pagi' yang sopan. "Oh, Sasuke. Selamat pagi juga." Sakura tanpa sadar duduk lebih tegap.
"Bolehkah aku duduk di sini?" tanyanya seperti biasa ketika dia kehabisan tempat. Namun pagi ini, ada satu atau dua meja kosong yang tidak bertuliskan 'dipesan' menanti di sekitar meja Sakura. Pemuda itu harusnya mengambil tempat di sana. Namun pertanyaan itu tidak pernah Sakura utarakan dan dia mengangguk—bahkan sebelum dia menyadarinya—dengan senyum.
"Aku sebenarnya bertanya-tanya kapan kau akan melakukannya." Sakura tersenyum lebar, menangkap bayangan senyum kecil di bibir Sasuke yang dengan cepat hilang.
Dan hari itu menjadi lebih menyenangkan dari yang sudah-sudah.
Keduanya duduk bersama dengan keheningan yang nyaman di antara.
—
—
Sasuke suka menambahkan satu balok gula ke dalam kopi hitamnya, berdasarkan pengamatan jeli Sakura, ketika sepasang mata gelapnya lebih bercahaya dari biasanya. Seperti malam dengan bintang-bintang yang mengintip malu-malu dari balik awan. Sakura mendeduksikannya sebagai kebiasaan yang tidak disadari pemiliknya ketika terjadi sesuatu yang menyenangkan.
"Apa terjadi sesuatu yang menyenangkan?"
Jika pemuda itu terkejut dengan pertanyaan Sakura yang entah dari mana datangnya, Sasuke tidak menunjukkannya. Dia hanya mengaduk kopinya yang baru dia tambahkan sebalok kecil gula. "Minggu depan ada profesor tamu memberikan kuliah umum."
"Kuanggap kau menantikan kuliah umum ini?" tebak Sakura dengan mata yang berbinar. Matanya selalu berbinar ketika Sasuke memberinya sebuah jawaban di luar hn berkala.
"Beliau profesor yang tersohor di bidangnya."
"Benarkah?" Sakura sendiri mempunyai mentor yang merupakan dokter paling terkemuka di bidang bedah, jadi rasanya tidak aneh kalau Sasuke punya seorang profesor yang menjadi panutannya. "Bidang apa itu?" Sakura sama sekali tidak paham dengan berbagai teori optika yang kemudian Sasuke jabarkan—yang dia ketahui tentang optik hanyalah mata karena organ itu juga merupakan bagian dari studi panjangnya; mengenai bagaimana lensa mata bekerja dan sakit ini dan itu. Namun tetap saja, ketidaktahuannya tidak meredupkan binar di matanya.
Terkadang mereka membicarakan banyak hal; saling melemparkan pertanyaan mengenai bidang masing-masing, dengan ketidakpahaman yang sama-sama tercermin dari masing-masing. Terkadang mereka hanya berdiam membaca buku yang ditukar sambil sesekali menyesap kopi. Terkadang Sakura harus berlari pontang-panting menuju kelas paginya karena dia melebihkan lima menit untuk berada di kafe. Dan tidak ada yang salah dengan itu semua.
—
—
Uchiha Sasuke adalah orang yang dingin karena hatinya begitu hangat. Begitu konklusi Haruno Sakura, yang serta-merta diupahi seringai tipis dan mata yang diputar konyol.
"Aku takjub dengan pengamatanmu, nona."
Pada komentar itu, Sakura memberengut dan memaksa Sasuke membelikan sepotong pie strawberry untuknya. Sepotong pie yang selalu dia makan ketika dia tengah bahagia. Dan Sasuke akan menurut tanpa komentar karena menurutnya, membantah Haruno Sakura adalah pekerjaan yang sia-sia. Namun, Sasuke justru kembali bersama dua muffin hangat dengan cokelat melimpah ke meja mereka—(ya, ya, ada kata kepemilikan bersama untuk meja favorit Sakura). Sakura kemudian memberengut lagi dan mengoceh tentang kalori berlebih dan kalori berlebih sangat tidak menyehatkan dan sakit adalah hal terakhir yang diinginkannya, tetapi tetap menjarah habis kedua muffinnya. Ini akan membuat Sasuke menyeringai tipis; begitu tipis sampai-sampai tidak terlihat kecuali bagi mata yang tahu apa yang dicarinya. Dan Sakura tahu apa yang dicarinya dari ekspresi Sasuke yang minimalis—seperti rumah minimalis: sederhana, elegan, tetapi mahal untuk didapat.
Dengan dua muffin dan kopi pahit (ya, ya, kopi pahit karena Sakura teguh memegang keyakinan bahwa harus ada setidaknya satu kepahitan dalam hidup karena tidak ada hidup yang benar-benar manis. Dia memutuskan kopi pahit adalah kepahitan yang paling bisa ditanggungnya, supaya tidak ada kepahitan lain yang perlu dia hadapi. Sasuke, tentu saja seperti dugaannya, memutar mata ketika mendengar argumen Sakura), mereka menghabiskan Selasa pagi dengan hati ringan.
—
—
Ini adalah tahun pertamanya sebagai dokter residen di rumah sakit dan Sakura baru saja kehilangan seorang pasien untuk pertama kali. Dia hanya membantu sebagai asisten dokter di ruang operasi, mengambilkan ini dan itu dan melakukan ini dan itu, sesuai yang dokter seniornya perintahkan. Dia bahkan tidak bertanggung jawab dalam operasi itu, tetapi tetap saja rasa kehilangan itu ada.
Sakura kembali mengingat tangannya yang bersarung tangan lateks yang tadi bersimbah darah. Namun, dia tidak lagi ingat wajah wanita yang menjadi pasiennya. Dokter seniornya yang memimpin operasi kemudian memeluknya dari samping, membisikkan pujian 'kau sudah bekerja keras', tetapi Sakura menolaknya. Dia tidak bekerja keras; dia kehilangan seorang pasien; dan ada binar letih di mata dokter seniornya yang meneriakkan 'ini bukan perkara baru bagiku'. Sakura tidak ingin memiliki binar semu seperti itu di kedua matanya kelak ketika ada lebih banyak nyawa yang tidak bisa diselamatkannya. Namun, inilah kehidupan; tidak adil dan pedih, tetapi Sakura hanya bisa menerimanya. Dia kemudian mengingat binar semu dan hampa di mata Sasuke, yang terkadang tanpa sengaja terlihat—terlepas dari penjagaan ketat emosinya. Sakura bertanya-tanya apakah di hari itu, ketika mata gelapnya berbinar letih, dia kembali mengingat keluarganya yang telah lama pergi.
Sore itu setelah pesan singkat bertuliskan 'aku kehilangan seorang pasien, aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi keluarganya' dia kirimkan kepada Sasuke, Sakura terduduk lesu di bangku koridor rumah sakit, masih mengenakan baju operasinya yang kusut. Tiga puluh menit kemudian, Sasuke datang dan duduk di sebelahnya dalam diam. Dia lalu mengulurkan gelas kopi dan sepotong pie madu yang luar biasa manis—yang sejujurnya tidak begitu Sakura sukai karena rasa manisnya menggigit tenggorokan. Namun, Sakura tetap menerimanya. Dia sesap kopi manisnya pelan-pelan dan memakan pienya dengan tangan gemetar.
Sasuke hanya duduk di sampingnya, dengan telaten menunggui Sakura menghabiskan kopi dan pienya yang kelewat manis. Dia diam saja karena dia tahu saat ini Sakura sedang membutuhkan hal-hal manis dalam hidupnya.
Di saat-saat yang membahagiakan, seperti hari terakhir masa residensi Sakura atau saat pertama kali Sakura memimpin operasi dan pasiennya kembali sehat, Sasuke akan membawakan secangkir kopi paling pahit yang bisa didapatkannya dari kafe favorit mereka, dan dengan sabar menemani wanita itu menghabiskan kepahitan hidupnya.
—
—
Bergelung nyaman di sofa apartemen Sasuke adalah satu kebiasaan yang mulai Sakura sukai. Film yang menceritakan sesuatu mengenai yakuza dan seorang janda dua anak terlupakan begitu saja sebagai latar belakang ketika Sakura memfokuskan sepenuh perhatiannya pada rambut hitam Sasuke. Pria itu sendiri duduk di lantai, kepalanya dekat dengan tangan Sakura yang memainkan rambutnya, dan serius menonton filmnya.
Menyingkirkan rasa hangat yang menyita perhatiannya sejak sejam lalu, Sakura buka mulut, "kau tahu, kau itu gelap sekali, seperti langit di malam-malam tergelap." —Sasuke ber-hm panjang. Sakura tidak tahu dari mana datangnya ini semua, tetapi dia memutuskan untuk tidak memikirkannya sekarang. "Aku rasa hidupmu akan terus dibayangi warna hitam itu, tapi kebahagiaan-kebahagiaan kecil bersamaku akan membuat langitmu indah. Bagaimana menurutmu? Di suatu waktu bintang-bintang yang adalah aku akan tertutup, seperti kebahagiaan dariku yang tidak cukup, tapi mereka tetap di sana; aku akan terus mencoba dan berharap semoga itu cukup."
Sasuke menyandarkan kepalanya ke sofa dan menatap Sakura dengan matanya yang merefleksikan cahaya dari televisi. Mata gelapnya berubah biru, perak, dan hijau dipermainkan cahaya. Intensitas dalam sepasang mata itu membuat napas Sakura tertahan. "Memang cukup," katanya. Sepasang mata peridot itu berpendar bagai kaleidoskop yang lebih indah dari pemandangan langit mana pun yang pernah Sasuke lihat dari balik teleskopnya.
—
—
Sakura bukanlah seseorang yang mudah dikejutkan. Dia menghabiskan hidupnya bermain-main dengan kejutan dan menikmati setiap detiknya. Apa yang dia lihat saat ini, di tengah lobi rumah sakit yang luar biasa ramai, adalah sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya. Terkejut bahkan tidak lagi mewakili apa yang dirasakannya kali ini.
—karena Uchiha Sasuke yang itu memutuskan untuk memakai kemeja dan celana hitam, memegang sebuket mawar hitam di tangan dan kotak kecil hitam di tangan lainnya. Semua tentang dirinya adalah hitam, kecuali rona kulit alabasternya yang kontras.
Seperti yang Sakura katakan tadi, dia terkejut hingga takut.
Sasuke kemudian berkata, dengan suaranya yang parau dan tertahan, 'maukah kau menikah denganku?'.
Sakura yang terkejut sebenarnya bukan orang yang nyaman diajak beramah-tamah. Karena itulah kalimat menggelikan itu begitu saja terlontar darinya. "Menikah? Kau melamarku dengan bunga hitam. Kau emo sekali, mister!"
Sasuke mengedikkan bahu, nyaris dengan kelakuannya yang cuek tetapi Sakura tahu betul ada ketegangan di sudut-sudut mata dan bibirnya yang menandakan dia tengah cemas luar biasa. Membaca seorang Uchiha Sasuke semudah membaca buku belakangan ini.
"Aku tahu kau menginginkan warna gelap dalam hidupmu dan bunga hitam ini cukup mewakili. Kau pasti tidak ingin ada gelap yang lebih dari ini. Dan bunga ini masih bisa disebut indah."
Sebenarnya, ini adalah kalimat terlengkap dan terpanjang yang pernah Sakura dengar dari seorang Sasuke. Dan sebenarnya, kalau saja dia tidak terperangah seperti ini, sudah pasti dia akan mendapati situasi mereka ini lucu.
Sakura mendengus. "Kau sudah cukup gelap, terima kasih," sergah Sakura sarkatis.
"Tapi kau yang akan menjadi bintang-bintangku 'kan?"
"Pffft please." Sakura mendengus lagi. "Hanya jika kau memintanya. Baik-baik."
Sasuke menampakkan wajah tak sabarnya. Buket bunganya diremas tanpa sadar. "Aku baru saja memintanya. Baik-baik."
"Baiklah kalau begitu." Sakura kemudian membiarkan Sasuke menyelipkan cincin lamarannya ke jari manisnya. Dia bahkan membiarkan pria itu menciumnya di depan banyak orang yang bertepuk tangan riuh. Sakura memutar bola mata, tetapi tak sekalipun merasa keberatan.
Inilah kehidupan, yang hanya bisa diterima sepenuh hati. Sempurna dalam ketidaksempurnaannya, inilah mereka.
—
—
Setelah itu, Sasuke membawa Sakura ke kafe langganan seperti sore-sore biasanya, duduk di meja favorit mereka di sudut yang tersembunyi, dan memesankan secangkir kopi paling pahit dan paling kental untuk diminum bersama.
—karena momen manis ini perlu dilengkapi dengan rasa pahit yang akrab, tetapi kali ini mereka bisa membaginya bersama. [ ]
