Disclaimer:
Vocaloid © Yamaha, Crypton Future
Tantei no Rabu © Keumcchi
Genre(s):
Humor (gagal), Mystery (abal)
Romance soon
Warning(s):
OOC, AU, jayusness, gajeness, typo(s), lo-gue zone
Tantei no Rabu
Part √1
by Keumcchi
.
.
"Target sudah ditemukan," ujar seorang detektif shota bersurai kuning sambil mengintai target. Jambul kuningnya menyembul dari topi ala Sherlock Holmes KW super yang ia beli di pasar kaget. Ia bersandar di balik pohon besar, sesekali mengintip ke arah target yang berada di bawah bayangan rerimbunan dedaunan dan duduk dengan wajah tak berdosa.
"Krssk- Jarak dengan target?" terdengar suara ngebass dari walkie talkie yang ia bawa.
"5 meter," ujarnya. "Kapan saja gue siap!"
"Sergap!"
Detektif shota itu langsung keluar dari tempat persembunyian, lari dengan kecepatan penuh menuju target yang menoleh terkejut saat mendengar gemerusuk keras dari semak-semak.
"MEONG!" seru si target yang ternyata siluman kucing, menyakar detektif muda itu. Eh, itu kucing beneran, deng!
"Aduh! Gue dicakar!" seru detektif itu. "Ini kucing minta dilindes banget, sih!"
Tau-tau saja seseorang dengan warna surai sama seperti detektif shota itu datang menghampiri. Ia memakai baju polisi. Tanpa banyak omong, ia menjitak detektif itu tanpa ampun. "Kalau kucing itu dilindes, kita nggak bakal dapat bayaran, Len sayang."
Detektif shota itu meringis. "Sayang-sayang pala lo peyang!"
.
Di rumah kontrakan, pukul dua pangkat tiga, malam hari. Sepi, sunyi, senyap.
Len, seorang detektif muda yang tamvan nan berbakat menurut opini sepihak, sedang mengaso di rumah kontrakan abang sepupunya, Leon. Abang Leon saat ini sedang tidak di rumah, meninggalkan Len di kontrakan merajut sepi. Semua ini karena adanya panggilan tugas dari kantor polisi tempat Leon bekerja.
Iya, yang tadi polisi itu Leon yang lagi part-time jadi polisi divisi penyelidikan kasus bagian volunteer—sukarelawan atau bisa dibilang sebagai "umpan" saat sedang menyelidiki kasus. Berat memang kerjaannya. Yah, hidup memang kejam. Entah apa yang membawanya menjadi seorang polisi part-time. Dengan warna rambut mentereng dan wajah yang cukup tamvan, seharusnya ia sudah terkenal sebagai host paling laku di salah satu bar ngehitz di Crypton City.
Malam-malam begini, apalagi berduaan di rumah kontrakan, sebenarnya bukan suasana yang cocok buat bocah detektif sok keren itu. Eh, jangan mikir yang iya-iya dulu. Saat ini Len berduaan sama adiknya, alias kembarannya. Namanya Rin, dan muka mereka mirip banget—namanya juga kembar. Perbedaannya paling cuma kadar otak aja sih, cerobohnya tetap sama.
Malam itu, tidak biasanya Len di kontrakan berdua dengan Rin. Biasanya Rin ngedate atau nonton rekaman konser SeeU, penyanyi favoritnya yang bertelinga kucing itu. Setiap kali menontonnya, Rin pasti teriak-teriak gaje kayak maniak. Tapi entah kenapa hari ini ia tidak menontonnya. Seperti bukan Rin saja.
Begitu pun dengan Len, biasanya dia main sama teman seperjuangannya, Meito. Tapi, berhubung saat ini Len sedang duduk santai sambil baca komik, apalagi pas sebelahnya ada dua tumpuk komik, sepertinya ia habis disogok koleksi komik detektif baru sama abangnya sebelum ditinggal ngedate. Tanpa ia tahu kalau komik itu dibeli di toko buku bekas yang sudah terbit sejak seabad yang lalu.
"HIYAAA!" seru Len seolah sedang mengambil nada tinggi-tapi-jadi-kayak-keserempet-bajaj sambil mengacak-acak rambutnya. Rin yang melihatnya mengerutkan keningnya, bingung. Rasa-rasanya penyakit kakak kembarnya itu kambuh lagi.
"Kamu kenapa sih, Len?" tanya Rin dengan wajah judesnya yang hanya diperlihatkan ke Len atau Leon. Memang diskriminasi sih itu anak, berwajah bak malaikat pas ketemu cowok cakep aja. Maksudnya Len nggak cakep, gitu? Kayaknya Rin belum tahu hasil penyelidikan jumlah fans Len beberapa hari yang lalu. Jumlahnya sangat mengejutkan! Ternyata, Len punya 10 fans! Tapi, nolnya gelinding, jadi sisa satu. Itupun sudah termasuk Meito yang selalu bareng Len.
Iya, alias nggak ada.
"Abisnya gue bosen dapet kasus nyari barang hilang melulu! Nggak ada apa kasus lain yang lebih keren, gitu?" tanya Len, frustasi.
Terang saja, sejak tiga bulan lalu meresmikan kantor detektif(-detektifan) swastanya secara paksa di rumah kontrakan ini, ia memang sudah menyelesaikan sepuluh kasus. Cukup membanggakan memang, kalau saja kasus yang dimaksud bukan sekadar "mencari barang hilang". Dari yang mencari kunci hilang yang ternyata nyemplung di selokan, dompet receh hilang, sendal hilang, kucing hilang, sampai kacamata hilang yang ternyata nyantol di kepala klien Len. Bayaran mentok-mentok cuma dapet segelas air putih atau kupon makan gratis di warteg terdekat. Itu pun sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.
"Ya, udah. Cari kasus yang lebih keren dong. Pembunuhan kucing tetangga kek, atau misteri matinya tikus di tengah jalan raya," tukas Rin, kembali membaca majalah remaja favoritnya.
"Masalahnya, klien yang berdatangan selalu minta cariin barang hilang doang, Rin. Tadi siang yang nyari kucing hilang bareng Bang Leon cuma dikasih ini. Dan sekarang gue nganggur," curhat Len sambil melambaikan dua kupon makan gratis di warteg terdekat, hasil dari pencariannya dengan polisi, alias abang sepupunya. "Nggak ada kasus apaan kek gitu yang bisa gue pecahin? Gue butuh duit buat beli komik baru, nih."
Rin bergumam. "Pecahin vas bunganya Mbak Lola aja." Rin menunjuk vas bunga antik penemuan zaman dinosaurus milik kakak sepupunya, Mbak Lola.
Len terdiam sebentar, ia memasang wajah kayak mau dikunjungin malaikat maut. "Gue bisa dicekik sambil ditembakin pakai senapan koleksinya...," ujarnya. Adik kembarnya yang satu itu terkadang agak tidak waras, hobinya adalah membahayakan nyawa kakak kembarnya.
Len menghela napas pendek. Ia menaruh komiknya di atas meja, lalu melihat ke sekeliling rumah kontrakan merangkap kantor detektif (-detektifan) miliknya. Itu bocah udah kayak pengangguran akut, padahal mah baru naik ke kelas 3 SMA. Iya, masa-masanya mencari jati diri. Masa-masa di mana para remaja pasca puber itu sadar profesi di dunia ini bukan hanya dokter saja. Pernah tanya cita-cita ke anak kecil? Survei membuktikan 99,5% anak pasti menjawab mau jadi dokter, sedangkan 0,5% lainnya mau jadi suster. Tapi, entah kehasut dari mana, cita-cita Len dari kecil nggak pernah berubah—pengen jadi detektif terkenal.
Belakangan ini, cita-citanya sedang agak goyah. Jadi detektif memang tidak mudah, sih. Bisa terlibat dalam kasus pembunuhan kalau tidak hati-hati, atau malah bisa mendapat reputasi jelek kalau cuma berhasil mendapat kasus mudah—seperti mencari barang hilang. Nah, mungkin reputasi Len nggak naik-naik karena kasus yang ia terima mencari barang hilang melulu. Anak kecil juga bisa... bisa ngilangin barang maksudnya.
Oke, jayus.
Len juga super iseng. Berhubung nggak diizinin abang sepupunya untuk memasang telepon baru khusus untuk panggilan kasus, ia malah mencantumkan nomer telepon kontrakan dengan seenak dengkulnya di brosur detektif yang ia tempel di kolong jembatan. Ajaibnya, sampai detik ini Leon belum juga sadar, padahal brosur Len ditempel secara ilegal di banyak tempat.
KRIING! Telepon kontrakan berdering. Kedua bocah kembar itu tidak ada yang beranjak.
KRIIING! Len cuma menoleh ke arah Rin, seolah melemparkan kode lo-yang-angkat-telepon-gih. Mungkin Len trauma karena dulu pernah dipanggil "Eneng" dan digodain om-om di telepon. Ih, maaf aja, ya! Len masih cowok tulen tau! Yah, memang agak cantik sedikit, sih.
KRIIING!
"Len, angkat sana!" seru Rin. Len tidak menggubrisnya, ia malah melenggang ke kulkas dan mengambil susu kotak yang baru ia beli di obralan kemarin.
"Gue itu udah didaulat jadi pangeran. Pangeran mana boleh melakukan pekerjaan rakyat jelata seperti mengangkat telepon," cibir Len, lalu menenggak susu kotaknya.
Gadis berambut pendek itu mendelik. "Yang minum susu kotak obralan gitu justru rakyat jelata, tau!" Rin mulai mencak-mencak, tapi Len masih bersikap acuh-tak acuh.
KRIIING!
"Len, angkat telepon itu, atau vas ini yang kuangkat lalu jatuh ke bawah," ancam Rin. "Dan kurasa kamu bakal tau skenario apa yang bakal kukasih tau ke Lola nee-sama," lanjutnya, tanpa melirik ke arah Len. Sekilas terlihat aura hitam dari balik punggungnya dan matanya seolah akan menembakkan sinar laser mematikan. Mendengarnya, Len langsung merinding disko, memaki dalam hati.
Kamfret.
Terakhir Rin mengancam, korbannya adalah uang THR Len yang ada di dompet. Rin mengambilnya dan memberikannya ke orang gila yang lewat depan rumah. Sejak saat itu, Len kapok kalau Rin sudah mengancam. Terkadang, jiwa yandere gadis itu keluar di saat yang tidak tepat.
Len pun beranjak ke telepon dengan malas, lalu mengangkat telepon yang masih berdering heboh.
"Ya, dengan detektif Len, detektif muda terkenal yang siap memecahkan kasus apa saja!" serunya yang lebih terdengar seperti nada dering panggilan berbayar.
"Akhirnya diangkat juga sama adik gue yang imut ini!" seru suara seberang yang terdengar soak-soak bergembira. Ternyata Leon, abang sepupunya Len, alias polisi tadi pagi.
Len bergidik. "Imut dengkulmu!" semburnya. "Ada apaan sih, Bang? Lo ganggu gue tahu. Gue lagi ngecekin berkas kasus pencurian berlian 5 hari yang lalu, nih," dusta Len dengan lihainya.
"Hah? 5 hari yang lalu mah kasus pencurian dompet kali, dompet receh punya Nenek toko kelontong sebelah rumah pula," ralat Leon, lalu tersadar. "Aha, lo mau ngibulin gue yang kece ini, ya? Nggak akan bisa, Len. Secara, gue lebih keren daripada lo."
Asem. Gue lupa kalau ngurusin kasus itu bareng dia, batin Len.
"Oke. Terus, ada apa nelpon?" tanya Len.
"Buruan susul gue di Restoran Pete Lezat Setengah Mati, ya. Yang di perempatan, tahu kan?"
"Ya, tahulah. Memangnya ada berapa sih Restoran Pete di dunia ini? Paling cuma restoran itu doang," seloroh Len sambil ngupil. Aih, kalau ada paparazzi gawat ini mah.
"Ya, udah. Buruan ke sini!"
"Mau ngapain emangnya? Mau nraktir gue?" tanya Len kepedean. "Ogah, ah. Gue kan doyannya bakso, bukan pete."
"Idih! Tanggal tua ngapain nraktir orang!" sambar Leon yang selalu sensitif kalau lagi tanggal tua. Maklum, gajinya belum turun. "Ada kasus! Gue tahu lo butuh kasus, kan? Lagian, besok udah mulai selesai libur! Nanti keburu sibuk!"
Kasus. Mendengar 5 huruf itu, mata Len langsung hijau dan telinganya berdiri. Ah, dasar Abang, tahu saja kesukaan Len.
"OKE. GUE OTW! BYE!" seru Len, lalu menutup teleponnya. Ia buru-buru mengatur rambut dan mengenakan jaketnya. Melihat Len yang terburu-buru, Rin tergelitik untuk bertanya.
"Mau ke mana?"
"Ada kasus yang harus gue selesaikan," ujar Len dengan suara sok keren, seolah baru saja dipanggil presiden untuk kasus pencurian brankas negara. Ia membuka pintu, lalu menoleh ke belakang dengan dramatis. "Jangan khawatirkan gue."
Rin memutarkan bola matanya. "Siapa juga yang khawatir!"
.
Len sampai di lokasi setelah nyaris terpeleset di kubangan becek dalam perjalanan menuju ke restoran pete karena jalan yang gelap. Ia melihat plang restoran di depannya yang tertulis "PETE LEZAT SETENGAH MATI" besar-besar. Len pun melangkah masuk ke dalam area restoran, lalu heran dengan keadaan restoran tersebut. Suasana sepi sekali, tidak seperti sedang ada kasus besar. Boro-boro mobil polisi, sepeda polisi saja tidak ada. Tapi, setelah celingukan, ia menemukan mobil dinas abangnya yang parkir di dalam kawasan parkir restoran. Len buru-buru berjalan ke pintu restoran, lalu membukanya.
"Selamat malam. Ada yang memanggil detektif?" tanya Len dengan suara lantang, dan ia malah dilihatin nenek-nenek yang sedang makan pete kukus di meja ujung sebelah kanan. Tahu-tahu saja, Leon muncul dari bawah salah satu meja.
"Eh! Adik gue yang imut udah dateng!" serunya girang dengan cengiran lebar, ia segera keluar dari bawah meja. Dengan pakaian polisi itu, ia lebih terlihat seperti pemuda tanggung bermata hijau yang sedang costume playing dengan seragam polisi. Mukanya nggak cocok sih, nggak ada sangar-sangarnya sama sekali. Bahkan, lebih sangaran kakak perempuannya. Mungkin gen mereka tertukar.
Len mencibir. "Lo ngapain di situ? Korbannya ada di bawah meja?" tanya Len sambil menghampiri Leon.
Namun, saat ini perhatian Leon sudah teralihkan oleh seorang Nona berkepang yang duduk tidak jauh darinya. Ia menggoda gadis dengan surai abu-abu silver itu, menebar pesona sambil memberikan sekuntum mawar merah dari vas di meja.
"Oi!" Len menjitak kepala Leon. Dasar si Abang, melihat perempuan cantik sedikit saja matanya langsung jelalatan.
Leon meringis, menoleh ke Len."Korban? Korban apa?" tanyanya.
"Korban pembunuhan, apa lagi?" tanya Len balik.
"Siapa yang bilang ada pembunuhan?" tanya Leon. "Gue bilang ada kasus di restoren pete aja, kok."
Len mengerutkan keningnya. "Lho, terus ini kasus apa?" tanya Len, lalu mendelik. "Jangan bilang kalau ini… kasus barang hilang lagi…."
"Tepat!" seru Leon, menjentikkan jari. "Ada panggilan kasus buat lo, dan karena gue kebetulan lewat, gue disuruh manggil detektif buat dateng ke sini. Mereka minta tolong cari sesuatu."
Len menghela napas panjang. "Kali ini apa?"
"Dompet," ujar seorang ibu muda berambut merah muda dan berkacamata, tiba-tiba saja muncul dari balik kasir yang tak jauh dari tempat Len berdiri. "Dompet saya hilang. Padahal, di sana banyak surat-surat penting."
Aha! Lampu jenius di otak Len langsung berkedip-kedip. Dompet sama dengan uang, kalau ada uang berarti Len bakal dibayar. Surat-surat penting pasti cek, kan? Wah, ini sih tidak boleh dilewatkan begitu saja. Siapa tahu pas dompetnya ketemu, si Ibu basa-basi berterima kasih sambil ngeluarin kertas warna merah yang nolnya ada lima.
"Eh, si Ibu. Ngagetin aja…," Len mengelus dadanya, sambil diam-diam melirik ke bawah, siapa tau ibunya nggak napak. "Dompet? Seperti apa bentuk dan warnanya?"
"Warna merah, bentuknya persegi, motifnya bunga Rafflesia Arnoldi," jelas ibu itu.
"Oh. Bunga bangke?"
"Bukan! Bunga Rafflesia Arnoldi itu beda sama Bunga Bangke!" seru si Ibu langsung sewot, Len mundur selangkah. "Bunga Rafflesia Arnoldi itu lucu, warnanya merah dan ada bintik-bintik kuningnya. Kalau Bunga Bangke, itu yang tinggi!"
"Oke, oke, Bu. Tahan sebentar, Bu," ujar Len, sweatdrop. "Di mana terakhir kali Anda melihat dompet itu?"
"Semalam, di salah satu meja makan di sini," ujar si Ibu sambil menunjuk meja-meja yang tersebar di seluruh ruangan.
Len menelan ludah. Pasalnya, restoran ini cukup luas. Mungkin di dalam ruangan ini ada lima puluh meja. Belum lagi di ruangan no smoking, pasti ada sekitar dua puluh sampai tiga puluh meja. Ini sih alamat bikin capek. Padahal, Len berharap di sini terjadi kasus pembunuhan yang hanya membutuhkan kemampuan analisis otaknya saja, jadi tidak perlu tenaga banyak.
Sayangnya, karena dia terlalu mengkhayal dan kapasitas kemampuan analisisnya masih dikategorikan rata-rata, kejadian itu mana mungkin terwujud untuknya.
"Baiklah, saya akan mencarinya," ujar Len, ia menarik tangan Abangnya yang lagi-lagi sedang menggoda tamu perempuan lainnya. "Dengan Pak Polisi ini."
"Eh? Kok gue juga?" tanya Leon sambil bisik-bisik.
"Lo harus bantu gue, nggak mau tahu," bisik Len.
Leon menghela napas. "Boleh, deh. Tapi nanti bayarannya dibagi dua, ya?"
Len memutarkan bola matanya. "Lihat aja nanti."
Len mulai bergerak, mengecek meja demi meja, kursi demi kursi. Sementara Leon langsung kabur ke bagian ruangan no smoking yang mejanya lebih sedikit, sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Len merutuk dalam hati. Bagi Len, kegiatan mencari ini kayak pemberi harapan palsu. Len selalu berharap di tiap meja yang ia cek, tapi ia selalu tidak mendapatkan apa-apa. Gara-gara itulah, semakin banyak meja yang dicek Len, semakin sakit pula hati Len yang pekanya overload itu. Duh, Bang, pekain eneng aja sini~ #authordilindes
Setelah satu jam mencari, Len tidak menemukan apa-apa. Begitu pula dengan Leon, ia datang dengan tangan hampa. Mereka kembali menemui kliennya dengan sia-sia.
"M-maaf. Saya tidak bisa menemukan dompet Anda…," ujar Len, lalu membungkuk dalam-dalam. Wajah klien Len langsung muram, ia tersenyum dengan terpaksa. Pahit-pahit asem gitu mukanya. Len jadi keder, takut disemprot.
"Iya, nggak apa-apa, kok. Sebenarnya, isinya memang penting semua, sih. Kalau hilang, bisa gawat," ujar Ibu itu, sarkas. Ia mengibas rambut panjangnya.
Jleb. Len merasa sangat tertohok dengan kalimat barusan, sedikit kesal karena dari tatapan mata kliennya secara tidak langsung mengatakan dasar-payah-nyari-doang-kok-nggak-becus. Leon langsung menyikut lengannya.
"Gimana, nih? Kita bisa dituntut!" bisiknya.
Len balas menyikut. "Lagian sih, siapa suruh main asal terima kasus aja!"
Klien Len masih terlihat kecewa, ia memanggil salah satu pelayannya yang memakai kaus putih dengan kemeja biru muda yang tidak dikancingkan. Pelayan itu membawa nampan berisi piring dan gelas kosong, ia berjalan dengan tidak biasa. "No, bon bahan-bahan makanan kemarin ditaruh di mana?"
Pelayan itu berhenti, bergaya dengan berputar di satu kaki lalu berpose ala penyanyi terkenal. Yah, sekelas Raja Dangdut begitulah. "Bukannya Nyonya masukin ke dompet?" tanya pelayan nyentrik itu sambil menyisir rambut dengan tangannya yang bebas. Sepertinya ada yang tidak beres dengan restoran ini.
"Dompet yang mana?" tanya klien Len.
"Yang motifnya bunga bangke itu lho, Nya, yang banyak kertas tagihan utangnya—eh...," jawab pelayan itu, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf, Nya, keceplosan."
Len dan Leon yang ikut mendengarnya pun langsung berpikir cepat. Jangan-jangan...
"Di mana dompet itu?!" seru Len, membuat pelayan itu kaget.
"Di meja kasir, kok," jawab pelayan itu lagi. Ia menunjuk ke meja kasir yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri, dan terlihat sebuah benda berwarna merah norak menyembul di selipan buku-buku menu. "Eh, kalian bukan maling, kan?"
"OH, ITU DIA DOMPET SAYA!" seru klien Len, ia langsung ke meja kasir dan mengambil dompetnya. Ternyata benar, dompet itu benar-benar bercorak bunga Rafflesia Arnoldi. Ibu-ibu itu pun kembali berbalik ke Len, ia tersenyum senang. "Kamu benar-benar detektif yang hebat dan baik hati! Terima kasih sudah membantu menemukan dompet saya! Ini gratis kan?"
"Eh?" Len melongo. Rasanya ia mendengar ada yang aneh saat kliennya berbicara barusan.
Ibu-ibu itu menepuk pundak Len. "Kamu benar-benar detektif yang hebat dan baik hati! Ini gratis kan?"
"Euh… sebenarnya saya…."
"Ah, saya tahu kok, kamu benar-benar detektif yang hebat dan baik hati! Ini gratis kan?" tanya ibu-ibu itu lagi. Sebelum Len sempat menjawab, ibu-ibu itu berteriak ke pelayannya. "No! Beri detektif ini segelas air putih! Dia kelelahan!"
"Siap, Nya!" seru pelayan itu, lalu segera ke dapur sambil moonwalk. Len masih sweatdrop.
Tidak lama kemudian, pelayan tadi sudah muncul dengan segelas air putih pakai gelas bir sambil moonwalk, tidak lupa pose terakhir andalannya. Ia memberikan gelas itu pada Len dengan pose kibas rambut. Len makin sweatdrop. Kayaknya restoran ini memang tidak beres….
"Duh, saya ada keperluan mendadak, nih!" ujar klien Len sambil melihat arloji di tangan kanannya. "Saya pergi dulu, ya! Terima kasih atas bantuannya!" Ibu-ibu itu pun melambai, pergi dengan mobilnya. Seketika, suasana jadi hening. Sehening hati Len yang belum terisi oleh siapapun, kosong dan berdebu. Leon langsung duduk di sebelah Len, menyikut lengannya.
"Mana bayarannya? Bagi setengah dong," pinta Leon sambil cengengesan. Len mengambil gelas kosong yang disediakan di meja, lalu menuangkan setengah air putih miliknya ke gelas itu. Lantas ia menggeser gelas itu ke depan Leon.
"Tuh, Bang."
Leon bengong melihat gelas yang setengah penuh. "Kok air putih?"
"Ini bayarannya, Bang." Len tersenyum, lelah. "Lagian, ini bukan air putih biasa kok. Ini air putih rasa terima kasih," ujar Len dengan wajah datar. Leon bengong.
Malam ini, mereka tidak bisa makan pakai ayam goreng lagi.
Setelah kenyang minum air dan diberi kupon minum air gratis oleh pelayan nyentrik tadi, mereka pulang dengan wajah kecut. Leon izin sebentar karena ada panggilan dari atasannya, Len terpaksa pulang sendiri. Leon juga mengurungkan niatnya untuk meminta setengah kupon milik Len. Boro-boro dapet kupon makan pete gratis, Len cuma dapet kupon minum gratis, itu pun cuma air putih. Dasar pelit, hih!
Saat itu sudah pukul 10 malam. Hampir tidak ada lagi orang di jalanan. Sesekali terdengar gemerusuk dedaunan yang ditiup angin malam, membuat Len merapatkan mantel cokelatnya. Aroma bulan April hinggap di hidungnya, pertanda libur musim dingin akan segera berakhir. Besok sudah hari pertama ajaran baru saja.
Len tiba di rumah abangnya. Ia membuka pintu, terdengar suara engsel pintu yang kode minta dikasih oli sesegera mungkin atau akan membuat imajinasi horor setiap Len mendengar suara itu. Namun, ternyata ada yang lebih horor daripada itu.
Saat itu, lampu ruang tamu dimatikan, tapi Len masih bisa melihat ada yang duduk di sofa. Seketika Len membeku di ambang pintu setelah melihat siapa yang duduk di sofa. Sosok hitam itu melambaikan tangan ke arahnya.
Bukan, itu bukan Rin.
Itu malaikat maut, dan dia sudah datang.
.
.
To be Continued: Part (3 + x) = 5
.
.
A/N:
Loha~ Akhirnya bisa ngepublish fanfict juga setelah berjuang mencari sinyal di tengah perjalanan mudik. (´;ω;`)
Oh, ya. Perkenalkan, saya Keumcchi. Mungkin saya terlihat seperti akun newbie di sini, padahal mah sebenarnya ini akun udah dibuat sejak dua tahun yang lalu. HAHAHAHAH. #dilindes
Berhubung ini fanfict pertama yang saya publish, maaf kalau masih banyak kekurangan. Saya memang masih awam dalam dunia perfanfiksian. xD Omong-omong, saya penyandang nominasi #AuthorPHP, jadi kalau sewaktu-waktu saya lupa update, tolong dimaklumi. (?) xD
Yoroshiku onegaishimasu~
