Kisah cinta segitiga diantara dua hubungan yang telah terjalin sebelumnya (kakak-adik dan persahabatan). Ketika kau berada di tengah, haruskah mengalah dan membiarkan jalinan hubungan itu tetap utuh, yang berarti menyakiti diri sendiri. Ataukah mementingkan ego dan mengorbankan keutuhan hubungan sebelumnya? Dengan konsekuensi menyakiti orang lain yang kau sayangi. Mana yang kau pilih?

.

.

.

Hurts

This story purely mine

Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing : SakuKakaHina

Genre : hurt/comfort, romance, angst

.

.

Happy Reading! ^^

.

.

Pagi ini, pagi terakhir aku berjumpa dengan Kashi-ku. Dan setelah ikrar nanti dia sudah akan menjadi Kashi-nya. Kashi dari sahabatku –Hinata. Sesungguhnya aku tak bisa merelakannya mengikrarkan janji sucinya itu untuk gadis lain. Terlebih lagi gadis itu sahabatku sendiri. Kakashi dan Hinata, dua orang yang paling berharga dihidupku setelah kepergian Ibu dan ayah tiriku –Sakumo Hatake, yang merupakan ayah dari Kakashi. Sedangkan ayah kandungku sudah meninggal sejak aku berusia 4 tahun. Mereka, Kakashi dan Hinata, bagai air dan udara dihidupku. Mereka menemani dan membuat hidupku terlepas dari jerat kesepian. Hidupku akan hampa tanpa mereka. Dan aku tak kan sanggup menyaksikan mereka bersatu.

Aku tak tahu di mana Kakashi dan Hinata akan melangsungkan upacara sakral mereka nanti. Jika ada orang yang bertanya padaku aku selalu beralasan lupa atau nama tempatnya susah diingat. Well, aku memang terkadang mudah lupa untuk mengingat nama atau hal-hal yang menurutku tidak penting. Namun sesungguhnya alasan kali ini adalah karena aku tak mau tahu dan tak ingin ingat dimana mereka ikrarkan janji seumur hidupnya itu. Karena mengingatnya saja sanggup menyiksaku begitu hebatnya. Dan setiap kali ada yang membicarakannya aku berusaha untuk menulikan pendengaranku, meskipun setiap kata yang terlontar akan menerobos gendang telingaku.

Kakiku melangkah menuntunku menuju ruangan yang tak asing lagi bagiku. Ruangan yang sudah kukenal setiap sudutnya. Ruangan yang sudah jadi rutinitas kunjunganku setiap hari. Ruangan yang khas akan dirimu–

–Kakashi.

Tanpa sadar aku sudah berdiri di depan pintu 'ruangan' itu. Sedikit menenangkan hatiku sampai tangan kananku meraih handel pintu dan–

CEKLEK

–handel pintu itu terbuka. Ku pejamkan mata sebentar, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ku rasakan jantungku sedikit berdetak berlebihan. Kalau tak bisa dikatakan deg-degan. Seperti seorang remaja yang mau bertemu dengan sang pujaan hatinya. Yeah, aku memang akan bertemu dengan pujaan hatiku, tapi untuk yang terakhir kalinya –mungkin.

Perlahan tanganku mendorong handel yang masih dipegangnya. Ruangan bernuansa putih dan perak menyambut ramah iris musim semiku. Kepala perakmu yang berdiri di depan cermin setinggi dua meter itu menoleh kearahku. Sebagian helaian rambut perakmu yang tak menantang gravitasi berayun pelan. Mata heterokromia-mu menyipit saat menangkap sosokku dalam pandanganmu. Kau tersenyum. Aku tahu itu. Meskipun aku tak melihatnya karena kau menutupnya dengan masker-hitam-menyebalkanmu itu. Kemudian kau terkekeh ketika melihatku mengernyit tak suka memandang masker-hitam-menyebalkanmu itu.

"Aku tak akan membiarkanmu melihat wajah tampanku ini dengan gratis, adik manis. Tidak juga saat ikrar nanti." Yah, beginilah kalau kakakku sedang bernarsis ria.

Kakak? Ya, dia memang kakakku. Tepatnya kakak tiriku. Walau sejujurnya aku teramat sangat ingin merubah status ku dengannya yang kakak-adik ini menjadi kekasih. Toh, tak ada salahnya kan? Kami bukan saudara biologis. Hanya saudara tiri. Bahkan agama pun tak melarangnya. Karena pada kenyataannya kami tak punya hubungan darah sama sekali. Sayang, sepertinnya Tuhan belum merestuinya. Karena nanti, tepatnya pukul 9 upacara pernikahannya akan dilangsungkan, dengan bukan aku yang akan menjadi mempelai wanitanya.

Kakashi mendekat kearahku dengan kedua lengannya yang dia rentangkan. Aku yang langsung mengerti maksudnya segera berlari menerjang kearahnya.

Grep!

Aku memeluknya erat. Kusandarkan wajahku di dada bidangnya, mengingat tinggiku yang hanya sampai pundaknya. Sensasi hangat dan nyaman menyambutku. Masih seperti Kashi-ku. Lengan kanannya mengusap lembut helai rambut merah jambuku. Sedang lengan kirinya juga membalas memeluk punggungku erat. Meski tak seerat aku memeluknya, aku tetap menikmatinya. Memeluknya dan menghirup aromanya yang menggelitik indra penciumanku sekaligus membuatku nyaman.

"Kau harus bahagia." Satu kalimat sederhana sebelum melepaskan pelukakanku. Dengan begitu dia juga melepaskan pelukannya. Kuakui sangat berat mengucapkannya, tapi aku tulus ingin dia behagia.

"Pasti." Jawabnya mantap.

Aku mendongak menatapnya. Iris musim semiku bertemu dengan iris obsidian dan rubi-nya. Mereka menatapku lembut. Darahku berdesir. Jantungku memacu. Aku selalu tak kuat jika dihadapkan dengan heterokromia-nya yang bersinar lembut untukku. Kualihkan pandanganku ke tangan kanannya, kuraih dan kugenggam.

Perlahan kelopak mataku tertutup untuk sedikit lebih menikmati sensasi ini. Meremas lembut tangan besarnya dengan kedua tangan mungilku. Menarik napas dalam, sekali, kamudian aku membuka mataku menatap irisnya kembali.

"Aku harus berangkat," aku berkata lirih. Menyerupai bisikan. Karena jarak yang tak terpaut jauh aku yakin dia masih bisa mendengarnya.

"Tak bisakah menunggu sampai upacara pernikahanku selesai, Saku-chan?" Kakashi bertanya dengan sorot mata penuh pengharapan.

Tersenyum menyesal, aku menggeleng. Bukan menyesal karena tak bisa menghadiri pernikahannya. Tapi, menyesal karena harus melepasnya tanpa usaha sedikitpun. Pengecut. Yah, sepertinya itu 'gelar' lain yang cocok untukku.

"Pesawatku take-off jam 9, aku harus bergegas agar tak ketinggalan." Emeraldku melirik jam dinding yang tergantung di sisi kananku.

Siapakah yang kuat menyaksikan orang yang kau cintai mengucapkan janji sucinya dengan orang lain? Sekuat-kuatnya dan setegar-tegarnya wanita pasti akan terguncang menyaksikannya. Tak terkecuali aku–

–Bahkan aku sengaja memilih jadwal keberangkatanku ke London berbarengan dengan saat upacaranya dilangsungkan. Kakashi pernah memintaku untuk menunda keberangkatanku agar aku bisa hadir. Dia juga sempat hendak memajukan tanggal pernikahannya, tapi ku tolak dengan alasan susah mencari tanggal yang baik. Dan hasilnya aku akan tetap berangkat bertepatan dengan acaranya sakralnya nanti.

Kakashi mendengus, masih sedikit tak terima dengan keputusanku ini.

"Well, kalau begitu berhati-hatilah. Dan..." iris beda warnanya berkilat menggoda.

"Dan?"

"Dan kembalilah kesini dengan pengeran-tak-peka-mu itu." Kakashi mengakhirinya dengan kedipan iris onyx-nya dan dilanjutkan dengan kekehannya.

Kata-katanya menohok tepat di hatiku. Aku tersudut. Berulang kali aku hanya mengerjapkan kelopak mataku. Masih syok dengan apa yang aku dengar baru saja.

'Kau, mengharapkan aku kembali kesini dengan membawa pangeran-tak-peka-ku itu. Bagaimana bisa? Sedangkan pangeran-tak-peka yang kau maksud itu adalah dirimu sendiri. Yang tentu saja kau tak tahu itu.'

Hatiku rasanya seperti terhimpit diantara dua dinding yang sempit. Sesaat sesak kurasakan. Selanjutnya perih dan nyeri mendominasi. Saat itu juga aku berharap semoga aku tak kembali kesini lagi agar tak bertemu dengannya.

Aku membalasnya dengan sedikit senyum paksa diujung bibirku. Setelah bergumam 'aku pergi', aku lekas berbalik dan keluar dari kamarnya. Aku berlari tergesa tanpa sempat menutup kembali daun pintu yang tadi sempat kubuka dengan sedikit kasar. Samar-samar kudengar dia berteriak 'hati-hati'. Tapi tak kutanggapi.

Rasa panas menjalar daerah mataku, memaksanya memunculkan cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata. Aku tak ingin ada orang yang melihatku menitikkan cairan bening ini. Tak boleh ada. Karena bagiku hanya ada dua orang yang boleh melihatku menangis. Dan dua orang itu juga yang telah berulang kali membuatku menjatuhkannya. Dua orang yang mampu mematahkan prinsip 'aku tak kan menangis karena cinta'.

Dan, kenyataannya aku harus menangis karena cinta. Menangisi cintaku yang tak terbalas. Cintaku yang kandas. Cintaku yang layu bahkan sebelum berkembang. Dan 'cinta' dari kasihku yang merupakan sahabatku.

Aku tak bisa menyalahkan mereka yang telah menyakitiku. Karena pada kenyataannya tak ada yang mengetahui perasaanku.

Aku tak bisa merebut Kakashi dari Hinata karena aku bukan tipe sahabat yang akan tega melihat sahabatnya hancur demi sebuah keegoisan.

Biarlah aku yang terluka. Biarlah aku yang tersiksa. Karena aku percaya setiap orang pasti akan pernah merasakan luka –yang entah kapan datang waktunya tak ada yang tahu. Dan sekarang adalah waktu dimana aku merasakannya. Luka yang tak kan pernah hilang bekasnya.

Walapun begitu, bukankah sisi terindah dari mencintai adalah ingin orang yang dicintainya bahagia, walaupun itu dengan orang lain–

–meski tak bisa ku pungkiri bahwa sisi egoku ingin kau bahagia denganku.

.

.

TBC

.

.

A/N : Terobsesi bikin fiksi angst, tapi sepertinya fiksi ini cuma hurt/comfort deh. #pundung#

Angst-nya kurang berasa. Dan konfliknya juga kurang. Deskripsi yang ancur-ancuran.

Sebelumnya fic ini pernah saya publish di note fb, jadi kalau ada yang merasa pernah membacanya, mungkin Anda membacanya di note fb saya.

Dan adakah yang bersedia memberikan review? Baik berupa kritik dan saran sangat diterima. Flame? Harus dengan alasan yang logis.

.

Thanks for reading! ^^

Arai Kazura