Fanfic pertamaku, Tolong di review ya..

Jangan dibaca kalau kamu tidak suka SLASH and Boys Love, :)

-Blood And Heart-

Chapter 1: "The Boy Who Lived-Want to die"

Normal POV

Seorang anak laki-laki berlari dalam gelap, secepat yang ia bisa menyelusuri semak-semak belukar, ia tersandung tapi segera bangkit. Berlari dan terus berlari walau kegelapan menyelubunginya, satu yang ia pikirkan menyelamatkan nyawanya dari mahluk bertaring pencinta darah ' Vampire'. Luka dilengan kirinya menganga, kulit yang terkoyak dengan darah yang menetes jelas itu menjadi makanan yang mengiurkan untuk sang vampire. Tapi secepat apapun ia berlari jelas tidak akan mampu menyaingi kekuatan dan kecepatan mahluk sihir yang kini sudah berada didepannya. Kedua tangan anak itu di dicengkaram dan ditarik kebelakang oleh sang vampire.

"Kau, tak kan bisa lari dariku anak manis" sang vampire menyeringai dan semakin jelas tampak diwajahnya saat ia melihat ekspresi anak tadi, pucat, takut, cemas dan tumbuh mungil itu bergetar, iris mata emeraldnya menampakkan luka.

Didekap kuat tubuh mungil itu, dengan paksa dikoyaknya sisa baju yang masih menempel dan menjilat jenjang lehernya dan dengan rakus menghisap darahnya.

.

Matanya terbuka, memperlihatkan kembali mata emeraldnya yang indah, wajahnya yang sekarang pucat melukiskan rasa sakit yang luas biasa. Dia belum mati. Ia melihat sekeliling, matahari sudah terbit dan membuatnya dapat leluasa mengamati dimana dia berada, ia berbaring ditanah yang diselimuti daun maple berwarna jingga khas musim gugur dan darahnya yang menghitam memberi bau amis yang memuakkan. Ia melihat rumah dari celah rerimbunan pohon. Dengan sepercik harapan yang tersisa, dia bangkit dan menyeret kakinya berusaha melupakan rasa luar biasa sakit yang menjalar tubuhnya. Ia keluar dar hutan. Yang diingatnya sebelum kesadarannya hilang adalah seorang ibu-ibu melihatnya dan berteriak nyaring, setelah itu hanya ada gelap.

.

"Ternyata dia masih hidup. Seharusnya kita tinggalkan anak itu lebih jauh lagi didalam hutan"

"Well, apa boleh buat kita biarkan saja dia, lagi pula aku masih butuh pembantu"

Anak itu membelalakkan matanya, ternyata paman dan bibinya ini sengaja meninggalkannya dihutan, ia terdiam dan meringkuk, memeluk lututnya di kamar kecilnya, di bawah tangga. Ia menyesal kenapa tak mati saja ditangan vampire, dan satu pengetahuannya tentang vampire hanya ada 2 pilihan bagi seseorang yang darahnya dihisap vampire, mati atau menjadi vampire.

'Apa aku akan jadi vampire?' batinnya bertanya dan sepersekian detik kemudian rasa sakit yang luar biasa menjalar ditubuhnya dari tekuk lehernya bekas gigitan vampire, dan iris matanya berubah warna menjadi merah semerah darah tak hanya itu rasa sakit yang luar bisa lain menjalar membuatnya berkeringat dingin dan merasa ketakutan dari bekas luka didahinya yang berbentuk petir.

.

#

.

"Harry Potter"

"Kau pasti Harry Potter kan?"

Seru-seru kagum dan bisik-bisik semacamnya terus didengar Harry, yang tentu saja membuatnya bingung. Baru kemarin seorang raksasa datang ke rumahnya –tepatnya rumah pamannya- datang dan mengatakan padanya bahwa ia adalah seorang penyihir dan akan sekolah di sekolah sihir Hogwarts tentu saja setelah insiden rumah pamannya itu kebanjiran surat dengan cap Hogwarts dikopnya.

"Hagrid, kenapa orang-orang mengenalku?"

"Err.. kan sudah kubilang Harry, kau orang yang istimewa dan berhasil mengalahkan Vol .. err.. Kau-Tahu-Siapa, pangeran kegelapan yang menghantui dunia sihir Harry saat umurmu 1 tahun. Luar biasa ehh.."

"Begitukah" Harry tersenyum lebar mempermanis wajahnya yang berkulit mulus dan hiasi dengan iris emeraldnya, sayangnya itu hanya senyum palsu yang sudah terlatih saat ia diasuh keluarga Dursley.

Saat ini Harry dan Hagrid sedang berada di Diagon Alley untuk berbelanja kebutuhan sekolah Harry. Harry takjup melihat sekelilingnya. Sungguh dunia baru yang belum pernah dia lihat. Kekaguman yang luar biasa tampak dimatanya berkilat bahagia. Yang ia tak ia sadari, itu membuat seseorang juga terpaku –bukan karena karena Diagon Alley yang memang menakjubkan tapi terpaku menatap Harry.

"Draco cepatlah, kau masih harus memilih tongkatmu" dan anak itu beranjak dengan enggan.

.

#

.

"Waoooo…" Harry berseru kagum. Saat ini dia berada di Stasiun kingcross peron 9 3/4. Pemandangan berbeda hadir dihadapannya. Banyak penyihir disekitarnya bermunculan dari dinding peron atau tiba-tiba muncul begitu saja. Harry pergi sendiri dan tentu saja dengan keterangan yang rinci dari Hagrid.

Ia naik ke Kereta api –Yang baru tahu itu Hogwarts Express- dan menemukan kompartemen kosong. Segera saja ia masuk dan memposisikan dirinya untuk duduk dengan nyaman. Tak lama seorang anak perempuan berambut coklat bergelombang melintas karena tiba-tiba ada sedikit goncangan pada kereta, anak itu terhuyung dan sukses menjatuhkan buku-buku –yang sangat tebal menurut Harry-

Refleks Harry bangkit dan membantu anak itu, merapikan buku-buku –yang bukan hanya tebal tapi sangat berat- dan manawarkan gadis itu untuk duduk bersamanya.

"Hm.. Namaku Hermione Granger, terima kasih sudah membantuku"

"Aku Harry Potter, sama-sama dan boleh aku memanggilmu Hermione "

"Tentu Harry" Gadis itu tersenyum

"Kau Harry Potter? Harry Potter yang mengalahkan Kau-Tahu-Siapa saat umur 1 tahun? Cool..! Senang dapat bertemu dengan mu, perkenalkan namaku Ronald Weasley" seorang anak laki-laki berambut merah masuk dan mengulurkan tangan, Harry dengan senang hati menyambutnya.

"Senang berkenalan dengan mu Ronald"

"Oh, please.. panggil aku Ron saja okey? Boleh aku bergabung dengan kalian?"

"Silakan"

Mereka berkenalan dan ngobrol seru,.. hmm.. kecuali Hermione yang asik membaca.

Saat sampai ke stasiun tujuan, anak-anak kelas satu sepertinya dibimbing seorang prefect dan yang akan memandu mereka ke Hogwarts. Mereka sampai di Aula yang terhias indah dengan langit biru dan awan diatasnya, Harry terkagum-kagum dengan hal itu. Setelah pidato kepala sekolah –yang Harry ingat namanya Albus Dumbledore - saatnya Topi seleksi beraksi untuk menyeleksi asrama mana yang akan ditempati siswa baru.

Satu bersatu siswa baru maju, setiap anak yang masuk suatu asrama akan diberi tepukan meriah oleh asrama yang bersangkutan. Harry tentu saja berdebar, kata Hagrid ibu dan ayahnya seorang gryffindor, ia harap dapat masuk asrama yang sama.

"Ronald Weasley"

"Hm… salah satu keturunan Weasley, rambut merah kalian tak kan bisa menipuku, kau ceroboh dan penakut tapi sekaligus pemberani dan setia kawan. Hm.. jelas sekali gryffindor" Tepukan membahana dari meja gryffindor dan Ron disambut hangat.

"Hermione Granger"

"Hm… Kau keturunan muggel, sangat pintar, sepertinya ravenclaw, tapi tunggu.." Topi seleksi itu terdiam yang tentu saja membuat Hermione gelisah dan cemas

"Kau.. Setia kawan dan berani, gryffindor" Sekali lagi meja gryffindor riuh

Harry semakin berharap masuk gryffindor, tiba-tiba matanya melihat seseorang dengan rambut pirang platinum dan mata iris yang berwarna silver membuat Harry terhipnotis. Anak itu tiba-tiba juga menoleh ke arah Harry dan refleks Harry memalingkan wajahnya.

"Harry Potter" Saat namanya dipanggil suasana Aula tiba-tiba saja senyap dan diganti bisik-bisik

'Oh.. well sepertinya aku terkenal juga disini' batin hatinya dan ia bertarung dalam gugup, ia sangat tidak suka diperhatikan seperti ini

"Harry Potter, hm…. Seseorang dengan kekuatan sihir sangat besar" Harry hanya diam saja dan memangnya dia bisa bilang apa? Dia saja baru tahu dia seorang penyihir.

"Hm… Pemikiranmu seperti slytherin licik mungkin bukan kata tepat untuk mendeskripsikannya, hm.. membingungkan"

'Oh ayolah cepat aku lelah di perhatikan seperti ini'

"Hm… berani, nekat, dan tidak sabaran.. gryffindor!" Kali ini meja gryffindor bertepuk tangan sangat riuh, bagaimana tidak? Pahlawan dunia sihir -The Boys Who Lived- masuk asrama mereka. Harry senang sekali, ia menoleh ke meja guru dan dilihatnya Dumbledore mengangkat piala nya untuk memberi selamat.

.

#

.

Kelas Pertama Harry adalah Transfigurasi dan pendapat Harry, dia harus minta Hermione mengajarinya sebab hanya Hermione seorang yang bisa menjawab pertanyaan Professor McGonagall. Kelas berikutnya adalah Ramuan, mereka menuju ruang bawah tanah yang gelap dan lembab bersama anak slytherin. Yang mengajar adalah Professor Snape. Baru masuk saja dia sudah menciptakan aura gelap pada siswanya –dan sepertinya semua menyadari yang akan mengajar mereka adalah seseorang yang berbahaya- tidak ada yang berani ribut semua berkonsentrasi pada apa yang disampaikan professor itu.

Hari-hari Harry berjalan biasa, dia bahagia dengan hidupnya yang terbebas dari keluarga Dursley, ia memiliki teman-teman yang baik. Dan kebahagiannya bertambah saat ia dipilih menjadi Seeker termuda asrama Grafindor terima kasih kepada anak slytherin yang menggangu Neville dan membuatnya dapat menunjukkan kemampuan terbang yang ia sendiri kanget mengetahuinya.

Tanpa terasa sudah bulan Oktober saat semua mahluk sihir yang berkuatan gelap dan roh seakan memperoleh kekuatannya. Awalnya Harry tidak peduli dengan hal itu tapi ia merasa tubuhnya mulai malam datang jantungnya berdebar keras dikala teman-teman sekamarnya tidur ia tetap terjaga, telinganya menjadi sensitif, ia bahkan merasa dapat mendengar detak jantung teman sekamarnya, mendengar aliran darah mereka. Semakin hari rasa resahnya semakin kuat, Hermione dan Ron juga menyadari betapa pucat nya Harry. Setiap malam Harry jarang tidur –ralat: ia sama sekalu tidak tidur- dan sebagai konsekuensinya dia akan tidur saat jam makan siang tiba.

Sepasang mata gelap memperhatikan Harry, menatapnya khawatir karena Haary tampak sangat kelelahan ditambah dengan lingkar hitam pada kantung matanya yang semakin hari semakin jelas terlihat.

.

#

.

Harry POV

Aku berjalan menuju Kelas Astronomi karena merasa kan sesuatu di tubuhku. Sama sekali tidak perduli pada perayaan Hallowen di Aula. Sakit yang semakin kuat membuatku mengerang tapi aku harus berjalan aku harus berada jauh dari mereka, dari orang-orang, dari manusia yang memiliki darah yang entah kenapa sepertinya nikmat untuk kusantap.

Begitu sampai langsung kumantrai pintu karena tak mau ada yang tahu tentang bergetar hebat dan aku berjalan menuju cermin besar yang berada pada salah satu dinding kelas astronomi. Malam tanggal 30 Oktober dengan bulan purnama merah yang bersinar terang, aku tahu ini saatnya, aku sudah membaca di perpustakaan Hogwarts dan menanyai Hermione. Tapi aku juga sadar bahwa yang ada padaku berbeda.

Aku geli sendiri disela rasa sakitku, terkekeh dengan masalah yang sepertinya enggan jauh dariku dan kematian yang senang membuntutiku. Sakit, badanku sakit rasanya ingin kelai mengakhiri sakit ini, tapi aku belum boleh mati, Dumbledore yang berberitahuku kalau aku punya tugas penting mengalahkan Voldemolt sang pangeran kegelapan yang membunuh kedua orang tuaku dan menyebabkan bekas luka didahiku. Kabarnya ia telah bangkit, sebenarnya aku tidak begitu peduli tapi aku tidak akan tega orang-orang yang tak bersalah ikut terseret takdir sialku ini. Aku harus bertahan dengan rasa sakit yang menyiksaku ini sampai tugas ku selesai.

.

Rasa sakit semakin menyerangku, aku melihat bayang tubuhku dicermin, pucat mengerikan, iris mata ku yang berwarna hijau-emerald berkilat-kilat, dan rasa sakit yang memburuku ini sekarang membuatku tersungkur dilantai. Tapi aku tetap menatap cermin. Melihat bayang tubuhku yang perlahan berubah. Aku yakin siapapun yang melihat ku saat ini akan ketakutan.

Rambut hitam ku yang pendek dan berantakan memanjang, iris mataku yang berwarna emerald berubah perlahan dan menjadi warna merah darah, aku mengerang menahan rasa sakit ditubuhku dan bertahan untuk tidak berteriak. Tapi aku tak mampu,

"AAAAAHHHHHHKKKKKKKKKKKKKK" ku teriakkan semua rasa sakit ini dan hanya berharap tidak ada yang mendengarnya.

Napasku seakan habis, aku mendongkak melihat wujudku dicermin.

Yang ada disana bukan lagi seorang anak laki-laki dengan rambut hitam dan mata emeraldnya tapi yang terduduk didepan cermin seorang anak perempuan, dengan rambut hitam panjang sepinggang, dan iris mata merah darah dan kuakui wajah yang terpantul dicermin itu cantik.