*This one is not gonna be a oneshot! Sebuah kampanye untuk #prayforIndonesia. Haiku credits to shinjukurollingstone, translated by me 8D*

Tokyo, Oktober 2010.

"bayang musim semi
sang petualang berkemas
dalam kesunyian"

Musim dingin belum mulai, tahun ini musim semi cukup panjang. Hiroki memulai harinya dengan malas, sedangkan Nowaki belum pulang dari shift malamnya di rumah sakit.

"Aku seharusnya tidak perlu marah soal kemarin" desahnya sedikit menyesal, saat ia menyiapkan sarapan. Jam menunjukkan pukul 7:50, dan kelasnya mulai pukul 8:00. "Ah, sial! Gara-gara memikirkan dia, aku terlambat!"

Nowaki dan Hiroki sedang dalam pertengkaran. Nowaki berkeras bahwa ia tidak sedang melakukan apa-apa dengan senpainya, sedangkan Hiroki yang melihat perlakuan berbeda sang senpai kepada Nowaki, merasa cemburu, dan segera melancarkan kemarahannya.

"Aku sudah tahu hal itu dari dulu! Sejak kau berani membawanya ke rumah dan tidur tanpa pakaian berdua!" teriak Hiroki saat Nowaki pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja, tiga hari yang lalu.

"Hiro-san! Tidak ada apa-apa…" Nowaki berusaha menjelaskan, namun Hiroki tak mau mendengar. Baginya, apa yang dilihatnya sudah cukup.

"Untukmu memang tak ada apa-apa! Tapi untukku itu sudah cukup!" teriak Hiroki lagi, sambil melemparkan beberapa buku. "Kau… kau tak tahu…"

Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak berbicara satu sama lain, meskipun Nowaki mengajaknya bicara. Jika ada sesuatu yang penting, mereka menggunakan email atau catatan. Sampai hari ini.

"Aku berangkat" tulis Hiroki dalam sebuah catatan. Catatan itu disimpannya dekat pintu, diatas meja. "Sarapanmu ada di atas meja"

Hiroki terlambat mengajar. Setibanya di kelas, ia langsung dicecar oleh para mahasiswa.

"Kamijou-sensei! Telat lagi, ya?" celetuk seorang mahasiswa, yang langsung dibalas dengan lemparan buku oleh Hiroki.

Selepas kelas, Hiroki segera masuk ke ruangannya. Miyagi sudah ada di dalam, dan segera menyadari kehadiran Hiroki.

"Kamijo~u!" sapa Miyagi. "Kau selalu tampak murung"

"Kaichou!" Hiroki segera melepaskan tangan Miyagi yang mulai mencoba memeluknya. "Apakah 'Selamat Pagi' biasa tak cukup untukmu?"

"Nah, nah, tenanglah, ini, aku bawakan koran" jawab Miyagi.

Hiroki mengambil koran itu dengan malas. Namun matanya terbelalak saat melihat headline di koran itu.

"Gunung Merapi di Indonesia meletus, 26 tewas"

Miyagi menyadari perubahan wajah Hiroki. "Nah, Kamijou, apa yang menarik perhatianmu dari koran itu?"

Hiroki menarik nafas sedikit panjang. "Jelas berita headline ini. Aku dengar gunung ini sudah lama tidak lagi aktif"

"Ya, aku tahu itu. Aku juga merasa kasihan pada korban ledakan gunung itu" jawab Miyagi. "Unit Palang Merah Universitas Mitsuhashi pasti akan segera membuka posko pendaftaran relawan, dan jumlah cuti kuliah akan naik lagi" Miyagi sedikit tertawa.

"Kaichou! Sekarang bukan waktunya memikirkan hal itu…" Hiroki sedikit tersinggung. "Bagaimanapun juga, menjadi relawan itu mulia, dan aku tak akan pikir panjang untuk memberikan rekomendasi cuti kuliah"

Miyagi terkejut. Hiroki yang ia kenal biasanya tak terlalu menaruh perhatian pada bencana alam di luar negeri. Tapi sebentar kemudian, ia berhasil mengendalikan keterkejutannya. "Ah, iya… Aku pun takkan berpikir dua kali"

Di saat yang sama, Tokyo Byouin pun mengadakan rapat tentang berita yang tengah dibahas oleh Hiroki.

"Kita mendapatkan surat perintah dari Pemerintah Jepang untuk mengirimkan dokter terbaik kita sebagai relawan…" ujar Suzuki-sensei, kepala Tokyo Byouin.

Sang kepala rumah sakit pun meneruskan ucapannya. "Ada lima belas dokter yang akan kita kirimkan. Keputusan ini memang mendadak, tapi mengertilah, ini karena Indonesia memang membutuhkannya"

Seluruh isi ruang rapat terdiam, dan berharap "Bukan aku yang dipilih…" kecuali Nowaki. Nowaki malah berharap untuk dikirim ke Indonesia. Baginya, membantu sesama adalah sesuatu yang membuatnya hidup, selain Hiroki.

"Nah, mari kita lihat daftar calon relawan yang akan dikirimkan… Seluruh relawan akan ditempatkan selama satu bulan, dan seluruh keperluan seperti transportasi, akomodasi serta konsumsi sudah ditanggung" Suzuki-sensei meneruskan ceramahnya, kemudian mulai menyebutkan siapa saja dokter yang akan dikirim.

"Niwa Ogawa-sensei, Kaoru Fujisaki-sensei…." Begitu seterusnya, sampai seluruh nama disebutkan. "Terakhir, Akikawa Sora-sensei"

Nowaki gemetaran karena kecewa namanya tak dipanggil. "Senpai, selamat menjalani tugas…" ujarnya kepada Sora, senpainya yang paling dekat dengannya. Senpai yang sering dicemburui oleh Hiroki.

"Eh? Aku tak bisa pergi, ada masalah serius dengan keluargaku…." ujar Sora.

"Tugas adalah tugas, Sora-sensei" suara Suzuki-sensei yang dingin memvonis Sora-sensei. Jika Suzuki-sensei sudah menugaskan sesuatu, maka tugas itu harus dikerjakan. Harga mati.

"Ano…Suzuki-sensei?"

"Nowaki-sensei?"

"Jika Suzuki-sensei dan Sora-sensei tidak keberatan… Aku ingin menggantikan Sora-sensei untuk pergi ke Indonesia" Nowaki mengangkat suaranya, pelan.

"Kau yakin akan sanggup menangani ratusan pasien disana? Kau kan dokter muda…" Suzuki-sensei sedikit meragukan kemampuan Nowaki.

"Aku akan melakukan yang terbaik untuk pekerjaan ini jika aku diizinkan pergi, Suzuki-sensei". Nowaki membungkuk untuk memohon. "Tolong! Izinkan aku pergi"

Sora-sensei pun akhirnya buka suara. "Nowaki-sensei adalah seorang kouhai yang cepat tanggap. Ia dokter muda yang berbakat. Aku tak keberatan digantikan oleh Nowaki-sensei. Malah untuk tugas social, sepertinya ia sangat cocok karena kemampuan komunikasinya dengan pasien". Perkataan Sora-sensei pun diamini oleh dokter lain dalam ruangan itu.

"Ya, aku pun merasa Nowaki-sensei pantas mendampingi kita berangkat nanti" ujar Niwa-sensei, yang menjadi ketua kelompok relawan.

"Baiklah. Nowaki-sensei, persiapkan paspormu. Kau akan berangkat besok"

Nowaki tersenyum. Namun segera setelah senyumnya itu, ia menyadari bahwa sebenarnya ia pun berat meninggalkan Jepang karena satu alasan.

"Hiro-san"

Tapi demi panggilan kemanusiaan, ia akhirnya menandatangani perjanjian keberangkatan.

"Aku hanya perlu membicarakannya dengan baik" Nowaki berbisik dalam hati.

Hiroki pulang sedikit terlambat. "Dimana Nowaki?" tanyanya dalam hati, sambil mengelilingi apartemen mereka. Akhirnya Hiroki mendengar sedikit ribut-ribut di kamarnya, kamar yang ia pakai berdua dengan Nowaki. Ia kaget karena ia menemukan Nowaki tengah mengemasi barangnya.

"N… Nowaki…"

"Ah, Hiro-san, kebetulan, ada yang ingin…"

Hiroki segera menendang Nowaki. Entah mengapa, ia berpikir bahwa Nowaki akan pindah untuk tinggal bersama senpainya.

"Hiro-san?" wajah Nowaki berubah sedih.

Hiroki pura-pura tak mendengarnya, dan segera pergi ke Mitsuhashi, untuk menginap di perpustakaannya.

Sementara itu, Nowaki bertambah sedih. "Aku hanya ingin Hiro-san tahu keberangkatanku… Ah, apakah aku batalkan saja?" tangannya sudah akan menekan nomor ponsel Suzuki-sensei. Namun Suzuki-sensei sudah menghubunginya duluan.

"Ah, Suzuki-sensei, kebetulan…"

"Ya, ternyata penerbanganmu diset besok pagi, pukul 8:00. Jangan sampai terlambat!" Suzuki-sensei menutup teleponnya.

Nowaki menarik nafas panjang. "Yah, aku memang harus berangkat… Nanti akan kutelepon Hiro-san"