Seorang gadis terlihat berjalan terburu-buru. Rambut merah muda yang di kucir ekor kudanya terlihat berayun mengikuti langkah kakinya. Wajah gadis itupun pucat dan terlihat kacau. Nafas gadis itu tersendat-sendat menunjukan sang gadis habis berlarian. Mata emeraldnya bergerak-gerak seolah mencari sesuatu. Dress putih selutut dan high hill lima centinya pun tidak membantu gadis itu bergerak lebih leluasa. Gedung Manajemen bisnis. Tempat itulah yang sedang di tuju gadis itu. Iris emerald gadis itu bergerak-gerak mencari sesuatu tanpa peduli dengan bermacam-macam tatapan aneh yang tertuju padanya. Pasalnya ini masih pagi namun gadis itu sudah terlihat berantakan dengan wajah pucat membuat semua yang melihat akan heran dengan kehadiran gadis pink itu. Apalagi dia bukan mahasiswa managemen bisnis .

Tanpa peduli dengan tatapan mereka gadis itu bertanya kepada mahasiswa-mahasiswa di sana. Setelah mendapat jawaban dari mahasiswa berambut coklat tadi gadis yang identik dengan bunga khas jepang itu langsung berjalan— setengah berlari menuju kelas yang disebut mahasiswa tadi setelah berucap terimakasih.

Langkah kaki gadis pink berhenti dua meter dari pintu kelas yang di maksudkan tadi. Pintu kelas terbuka sedikit dan terlihat seorang pemuda bersandar pada meja. Posisi menyamping melihatkan bagian samping tubuh pemuda itu. Gadis musim semi itu menatap pemuda reven dengan tatapan sulit di artikan.

Dengan ragu sang gadis mendekati pintu. Terlihat jelas ada keraguan dalam raut wajahnya. Ketika hendak membuka pintu lebih lebar tangan gadis bersurai pink berhenti ketika mendengar suara feminim yang sangat fimiliar di telinganya.

"Bagaimana apabila 'dia' tahu?" Hening sesaat sebelum suara berintone itu menyahut.

"Akan ku pastikan 'dia' tidak akan tahu."

Gadis dibalik pintu itu menurunkan tangannya. Melupakan apa yang ingin dia lakukan dan bimbang harus mencuri dengar atau menghampiri dua manusia berbeda gender yang sangat di kenali suaranya. Setengah hatinya berkata untuk tidak menguping namun rasa penasaran gadis itu melebihi apa yang ada di pikirannya. Entah kenapa firasat gadis itu buruk.

"Apa yang kau pikirkan ketika melakukan 'itu' brengsek!" nada suara feminim itu mulai meninggi.

"Maafkan aku." Ucap suara berintone rendah.

"..."

"..."

Suasana menjadi hening. Gadis musim semi di balik pintu itu mencoba mencerna apa yang di dengarnya. Tidak pernah sekalipun lelaki reven itu bicara seperti itu.

"Bagaimana kalau 'dia' hamil?!" Dengan suara rendah suara feminim itu terdengar kembali. Mendengar perkataan suara feminim membuat jantungnya berdegup cepat. Rasa penasaran, takut, bingung semua perasaan bercampur aduk dalam hatinya. Gadis emerald itu tidak tahu siapa 'dia' yang dimaksud mereka.

"Gugurkan." Ujar suara berintone itu rendah.

"Kau gila!" Gadis dalam ruangan itu meninggikan suaranya. "Dia menyukaimu. Dan kau dengan mudah untuk mengatakan itu. Kau tidak menghargai perasaannya."

"Lalu harus bagaimana?!" Suara berintone terdengar meninggi. "'Dia' akan mengerti. Kalian bersahabat. Aku yakin 'dia' akan melepasku untuk sahabatnya." Ucapnya lebih tenang kemudian.

"..."

"Yakinlah semua akan baik-baik saja. Aku tidak ingin pertunangan ini batal hanya karena dia."

"'Dia' sahabatku sama seperti 'orang itu'. Aku tak mungkin membuatnya bersedih. Tidak, aku tidak ingin mereka sedih."

"Semua akan baik saja asal 'dia' tidak mengatakan apapun pada 'orang itu'. Kita akan bicara baik-baik dengannya. Jadi persahabatan kalian akan baik-baik saja."

"Tidaaakk.. Kami tidak pernah saling menyembunyikan rahasia asal kau tahu. Dan aku yakin 'dia' tidak bisa menutupi apapun dari 'orang itu'. Aku memang tak selama pertemanan mereka dan aku orang baru dalam persahabatan ini. Namun aku cukup lama berteman dengan mereka dan itu membuat aku tahu bahwa mereka tidak akan saling berbohong dan saling menyakiti. Aku yakin 'orang itu' tidak mengijinkan 'dia' menggugurkan janin itu. Dan pertunangan itu mungkin akan batal karena 'dia' hamil."

"Aaarrrrggghhh.." Pemuda emo itu mengacak rambutnya dan menutup wajahnya dengan sebelah tangan.

"Aku memang mencintaimu. Tapi aku tidak pernah ingin melihat sahabatku terluka. Aku tidak ingin persahabatan kami hancur. Sungguh aku mencintaimu Sasuke.. Aku.."

"..."

"..."

"Apapun yang terjadi aku tidak ingin pertunangan ini batal. Aku yang akan bicara dengannya. Hanya aku. Dan kau tidak perlu ikut campur."

"..."

"Aku akan membuatnya mau menggugurkan janin itu apabila 'dia' hamil, tanpa mengatakan apapun pada siapapun. 'Dia' akan mengerti."

Tanpa sadar gadis di balik pintu itu menyentuh perutnya yang rata. Airmata terus mengalir sedari tadi. Setelah mendengar gadis dalam ruangan itu mengatakan persahabatan tanpa sadar gadis itu menangis sampai akhirnya dia melihat sang pemuda memeluk seorang gadis yang amat dia kenal. Gadis yang sangat dia sayangi.

"Semua akan lebih mudah apabila yang ada di posisi 'dia' adalah kamu.." Ucap pemuda itu.

Dan tidak mau mendengar atau melihat lebih lanjut lagi gadis itu berlari. Menghiraukan tatapan orang-orang.

Sekarang dia tahu siapa subjek dalam pembicaraan manusia berbeda gender yang sangat dia sayangi dan dia cintai. Persahabatan mereka, pengkhianatan dan kehancuran hubungannya dengan lelaki yang di cintai dan sahabat yang dia sayangi. Tidak tahu siapa yang berkhinat dan di khianati. Tidak mengerti siapa yang merebut siapa. Tidak tahu siapa yang membohongi dan di bohongi. Tidak tahu siapa yang disakiti dan siapa yang menyakiti. Semua menjadi hancur berantakan. Dan pada akhirnya dia sadar, bahwa merekalah yang saling menyakiti. Hingga semuanya terluka, dia, kekasihnya dan juga sahabatnya.

Semua berakhir.

Di musim semi pemuda itu memintanya— tidak, lebih tepatnya memerintahnya untuk menjadi kekasih pemuda itu. Tepat ketika dirinya berulang tahun. Tapi kenapa? Kenapa meminta menjadi kekasihnya apabila pemuda itu mencintai orang lain?!

Di musim semi pula semua kebohongan dan pengkhianatan itu ia ketahui. Dan mendengar dengan telinganya sendiri juga melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Hingga pada akhirnya dia memutuskan hubungan mereka di musim semi juga. Lebih tepatnya meninggalkan mereka tanpa pemberitahuan. Karena akan sakit apabila melihat mereka. Biarlah mereka bahagia tanpa halangannya. Gadis itu tidak mau menjadi penghalang untuk cinta kedua orang yang amat dia sayangi.

Musim semi yang selalu di nantikan menjadi musim yang tidak ingin dia lalui.


Haru no Sakura

Disclaimer : Naruto© Masashi Kishimoto

Sakura, Sarada, Sasuke

Rate: T

Genre: Drama, Romance, Family

Warning: OOC, typo, alur berantakan, ide mungkin pasaran, dll.

Don't like Don't read!


.

.

Enam tahun kemudian.

Pagi yang dingin membuat siapa saja malas untuk memulai kegiatan di pagi hari. Hujan salju sudah berakhir malam kemarin namun udara pagi hari di kota Tokyo masihlah dingin. Membuat siapa saja malas bangun. Misalnya saja gadis kecil yang sedang menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Menghiraukan panggilan dari luar juga ketukan pintu kamarnya.

Suara ketukan pintu dan panggilan yang berisik itu berhenti membuat gadis kecil itu tersenyum puas. Dan mulai akan terlelap ke alam mimpi lagi. Sebelum ada seseorang menarik selimutnya membuat gadis itu kesal. Namun masih memejamkan mata dan semakin mememluk gulingnya lebih erat.

Terdengar suara tirai jendela terbuka. Setelah itu langkah kaki seseorang mendekat dan tempat tidur itu berderit halus menandakan ada seseorang yang mungkin duduk di kasur itu.

Chuup~

Satu kecupan hangat di hidung gadis cilik itu membuat kelopak matanya terbuka seketika hingga menampilkan iris onyx sang gadis kecil.

"Nah.. Bangun juga kan." Ucap wanita bersurai merah muda sembari tersenyum.

Gadis kecil bersurai hitam itu duduk merengut.

"Mamaa.." Ucapnya dengan suara khas bangun tidur.

Wanita yang di panggil mama itu terkekeh melihat putrinya merengut jengkel.

"Kalau tidak seperti itu kau tidak bangun sayang."

"Sarada masih mengantuk. Boleh libur saja ma?" Ucap gadis kecil itu sembari menguap.

"Oke, kamu boleh libur selama satu tahun dan melanjutkan sekolahmu tahun depan. Bagaimana?"

"Mama.. Aku ingin sekolah bersama Shika. Aku tidak mau menjadi juniornya." Ucapnya merengut.

"Kamu dan Shika itu memang seharusnya berbeda tingkat sayang. Baiklah.. jika kamu sering membolos mama tidak janji kamu akan satu angkatan dengan Shika. Oke?"

"Yare yare.. Aku mandi sekarang."

.

.

Setelah mandi gadis kecil itu turun dan langsung menuju meja makan.

"Ohayou Sarada-chan." Sarada memutar bola matanya ketika mendengar sapaan suara anak laki-laki.

"Ohayou mo shikadai." balasnya malas.

Setelah Sarada duduk di tempatnya, wanita berambut pink dan di susul wanita berambut coklat berjalan membawa nampan berisi empat gelas susu putih dan coklat.

"Sarada-chan, maaf tidak bisa menjemputmu lagi. Tapi kamu di jemput Tenten. Tidak apa kan sayang."

"Ya. Bukankah setiap pagi mama bilang seperti itu." Jawab Sarada cemberut.

"Eits, anak manis tidak boleh cemberut nanti jadinya jelek lho." Ucap wanita berambut coklat yang di tanggapi gumaman dari Sarada.

"Shikadai mama titip Sarada yah sayang. Jangan nakal, oke? Mama berangkat dulu Sarada-chan, Shikadai-kun." Ucap wanita berambut pink itu sembari mengecup puncuk kepala Sarada dan Shikadai bergantian.

Shikadai memang bukan anak kandung Sakura namun dia menyayangi Shikadai sama seperti dirinya menyayangi Sarada. Setiap pagi Shikadai sarapan di rumah mereka. Keluarga mereka cukup dekat.

.

.


.

.

"Terimakasih atas kerjasama anda Sakura-san." Ucap seorang wanita berambut merah menjabat tangan wanita musim semi.

"Tidak masalah Saara-san. Aku rasa lagu karangan anda cukup bagus tidak, kurasa sangat bagus. Dan itu sangat menarik perhatiaan saya." Ucap Sakura tulus.

"Ahh terimakasih. Tapi kurasa penyanyi yang pas dengan lagu itu hanya anda Sakura-san jadi saya beruntung anda mau menerima tawaran seorang amatir seperti saya."

"Aku yakin suatu saat nanti anda akan menjadi lebih hebat dari pengarang yang sudah terkenal lainnya. Saya rasa karangan anda benar-benar menyentuh. Kau seperti sudah ahli Saara-san."

"Tapi banyak yang menolak karya saya sebelum-sebelumnya Sakura-san. Jadi saya sempat ragu mengajukan karya yang ini. Mereka takut jika popularitas mereka turun jika menerima karya seorang amatir seperti saya. Apa Sakura-san tidak takut akan itu?"

"Tentu saja tidak. Mereka tidak mau mencoba hal baru. Itu yang aku pikirkan. Tapi percayalah orang awam hanya akan menikmati musiknya tanpa peduli siapa pengarang dan penyanyinya. Mereka seperti anak kecil polos yang hanya melihat sisi baik orang. Jangan putus asa." Sahut Sakura tulus.

.

.


.

.

Gadis kecil itu menekuk wajahnya bosan. Surai hitam pendeknya berterbangan mengikuti arah angin dingin yang bertiup. Bahkan seragam yang di lapisi sweater berbulu tebal pun tak dapat menghangatkan tubuh gadis itu. Dirinya merasa bodoh menolak ajakan kakak tercintanya untuk pulang bersama ayah kakaknya itu dan malah setia menunggu tantenya yang entah datang atau tidak.

Gadis tadi melamun hingga tak menyadari adanya seseorang yang tengah berdiri di samping bangku taman yang ia duduki.

"Kenapa belum pulang?" ucap datar orang di sampingnya. Sarada terkejut. Dan di lihatnya seorang pria dewasa berambut hitam dengan mata onyx yang tajam. Orang itu mirip sekali dengan Sai-sensei, guru melukisnya namun lebih tampan dari gurunya itu. Batin Sarada.

"Paman mengejutkanku."

"Kau menunggu orangtuamu ,emjemputmu?" Ulang paman tampan tadi.

Sarada mendengus. "Aku menunggu bibiku menjemputku."

"Kemana orangtuamu?"

"Mama sibuk bekerja jadi tidak bisa menjemput." Ucap Sarada setengah berbohong. Mamanya sekarang jarang menjemput, bahkan tidak pernah menjemput dirinya.

"Apa paman menjemput anak paman?" tanyanya dengan wajah polos.

"Hn." Jawaban ambigu itu membuat Sarada bingung dengan yang paman itu katakan.

"Lalu kenapa paman masih di sini?"

"Menemanimu." Sarada mengernyitkan kening bingung.

"Seseorang yang aku jemput sudah pulang jadi aku menemanimu." Seolah mengerti kebingungan Sarada pamn itu menjelaskan maksudnya yang hanya di balas oh dari Sarada.

Hening menyelimuti keduanya hampir satu jam lamanya. Sarada memang bukan anak cerewet pada seseorang yang belum dia kenal. Dan sepertinya paman itu juga cukup pendiam hingga mereka tidak saling bicara.

"Sepertinya bibimu lupa menjemputmu."

"Eumm.. mungkin" jawab Sarada lirih. "mungkin paman tidak perlu menungguku."

"Mau aku antar?" tawar pria dewasa di sampingnya membuat Sarada terkejut.

"Benarkah?"

"Hn. Aku biasa mengantarmu sampai rumahmu. Aku tidak akan menculikmu. Tenang saja." Ucapnya cepat saat melihat anak kecil itu ragu.

"Aa.. terimakasih paman...?"

"Sasuke."

"Yah. Terimakasih paman Sasuke." Ujar Sarada riang. Sasuke tersenyum tipis melihat Sarada tersenyum.

"Siapa namamu?"

"Paman bisa memanggilku Sarada."

"Baiklah. Ayo ke mobilku."

Sarada mengikuti Sasuke menuju mobil paman itu.

.

.


.

.

Wanita musim semi itu terlihat berlarian memasuki sebuah sekolah dasar sehabis turun dari taksi. Sekolah itu nampak sepi, hanya tersisa beberapa guru dan murid kelas akhir yang sedang les.

Dengan tergesa dia memasuki salah satu ruangan membuat penghuni ruangan itu kaget.

"Ada apa Sakura-san?" Tanya pemuda berambut hitam klimis pada wanita tersebut.

"Maafkan kelancangan saya Sai-san. Apakah anda melihat Sarada?" Sai mengerutkan dahi bingung. Seingatnya seluruh murid kelas satu sudah pulang semua termasuk gadis kecil berkacamata anak dari wanita yang ada di hadapannya.

"Ku rasa semua anak kelas satu sampai lima sudah pulang semua. Apa Sarada belum pulang?"

"Astaga. Tenten tadi menelfonku karena tidak menemukan Sarada di sekolah dan dia pikir Sarada mungkin pulang bersama Shikamaru namun ketika di rumah Sarada tidak di temukan. Saya pikir anda tahu Sarada mungkin di jemput seseorang." Jelas Sakura panjang lebar.

"Maafkan saya Sakura-san. Tapi saya benar-benar tidak tahu." Gurat kecemasan terlihat jelas di wajah sensei muda itu. "Kalau begitu saya akan membantu mencari Sarada."

Sakura tanpa pikir panjang mengiyakan tawaran Sai. Dia begitu khawatir dengan Sarada. Harta berharga satu-satunya yang dia miliki. Jika dia kehilangan Saradanya untuk kedua kalinya mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi padanya.

Sai akhirnya ikut mencari Sarada. Bahkan Tenten sudah menghubungi polisi namun di tolak karena Sarada hilang belum ada dua puluh empat jam. Mereka mencari di tempat yang mungkin di kunjungi Sarada, di taman bermain, di rumah paman Sarada, di rumah Shikamaru bahkan di kantor Shikamaru. Meskipun terlihat tenang dalam bertindak namun Sai bisa melihat gurat kekhawatiran dan ketakutan di wajah wanita itu.

Hingga akhirnya Sakura mencoba mengulang kembali ke rumah berharap mungkin saja ibunya yang menjemput anak semata wayangnya.

Setelah mobil Sai berhenti di depan rumah, Sakura langsung turun dan tergesa masuk ke rumah kecilnya. Menghiraukan Sai juga Tenten yang baru saja sampai. Langkah wanita beramahkotakan soft pink itu membawanya menuju lantai dua dimana kamar Sarada berada.

"Sarada." Ucapnya ketika membuka pintu dan dia membeku melihat seseorang yang berada di kamar itu.

Sakura mengabaikan wanita pirang yang berada di kamar putrinya, langsung menerjang gadis kecil itu dengan sebuah pelukan.

"Ma..maa" Rintih gadis cilik merasa sesak karena pelukan yang begitu erat. Sarada bingung melihat sang mama tiba-tiba menangis dan memeluknya erat. Terlebih mamanya tadi pagi setelah berkata akan pulang terlambat.

"Kenapa ka-san tidak bilang jika menjemput Sarada." Wanita pirang yang tidak tahu apa-apa itu mengernyit bingung.

"Aku tidak menjemputnya Sakura. Aku baru saja pulang dari rumah sakit." Sakura melotot mendengarkan penjelasan Tsunade.

"Astaga. Kau pulang dengan siapa Sarada? Apa kau terluka. Kau membuat mama dan yang lainnya khawatir sayang." Seru Sakura khawati sembari mengecek kondisi Sarada.

"Aku baik-baik saja mama. Aku pulang bersama papanya temanku." Jawab Sarada jujur. Perkataan Sasuke bisa di buktikan dengan membawa Sarada pulang dengan selamat. Mereka mampir dulu di warung Ramen Ichiraku oleh ajakan paman tampan tadi, jadi sampai rumah lama.

"Ohh sayang kau membuat mama khawatir. Mama mohon jangan nakal lagi atau mama akan sedih." Sakura memeluk Sarada lagi. Gadis kecil berkacamata itu merasa bersalah karena membuat mamanya khawatir dan dia tidak ingin mama nya menangis apalagi bersedih. Selama ini mamanya hanya menangis jika bersengkutan dengan dirinya. Pernah suatu hari Sarada hampir hilang di tempat penginapan musim dingin lalu dan mamanya langsung menangis. Saat itu juga Sarada berjanji tidak akan membuat mamanya menangis lagi. Dia mengatakan itu di depan semua orang agar membuktikan jika dia juga sangat menyayangi mamanya meskipun mamanya begitu cerewet, galak dan kadang menyebalkan tapi Sarada tahu apabila mamanya sebenarnya wanita yang lembut dan penyayang. Hanya mamanya yang dia punya, yang selalu menyayanginya.

"Maafkan Sarada mama." Sarada menunduk. "Aku sayang mama, mama tidak boleh sedih lagi." Sakura mengecup kening, hidung dan bibir Sarada singkat sebelum memeluk Saradanya lagi.

.

.

.


.

.

.

Seminggu setelah Sarada di antar Sasuke tanpa sepengetahuan Sakura, kini setiap pulang sekolah Sarada bertemu dengan Sasuke. Mereka selalu mengobrol. Sarada maupun Sasuke terlihat nyaman satu sama lain. Bahkan Sarada lupa bertanya siapa yang sebenarnya di jemput oleh paman tampannya.

Entah neneknya itu lupa atau apa Sarada sudah menunggu sudah lebih dari sepuluh menit. Sakura semakin sibuk karena semakin terkenal. Mamanya itu seorang penyanyi dan sekarang sedang sibuk dengan album pertamanya hingga membuat nama wanita musim semi itu semakin terkenal dan sibuk. Sarada tidak pernah mengeluh sekalipun karena dia tahu mamanya tetap akan menyempatkan waktu untuk sekedar sarapan pagi dan membacakan dongeng sebelum tidur.

Sarada terlarut dalam pemikirannya hingga seseorang duduk di samping bangku tempat dirinya biasa menunggu di depan sekolah. Ketika menoleh Sarada menemukan paman tampan yang selama ini menemaninya ketika dia menunggu jemputan.

"Mau ku antar?" Tanya Sasuke datar.

"Terimakasih paman, tapi aku tidak mau membuat mereka cemas lagi." Sarada merasa bersalah ketika melihat raut wajah kecewa paman tampannya itu.

"Bagaimana kalau aku meminta tolong pada Sai-sensei untuk memberitahu kalau aku diantar paman?" Tawar Sarada yang langsung di setujui Sasuke

.

.

.

"Aku rasa Kenji sudah di bersama Hinata-san tadi, Uchiha-san." Ucap Sai ketika melihat Sasuke memasuki ruangannya. Rasanya dia takut apabila kejadian Sarada akan terulang lagi dengan yang lainnya. Namun ketika mendengar penjelasan Sasuke barulah dia mengerti meskipun sedikit terkejut dengan ucapan Sasuke. Setelah Sai menelfon keluarga Sarada, Sasuke mengajak Sarada jalan-jalan ke tempat ski, setelah itu Sasuke mengajak Sarada ke apartemennya untuk makan. Sasuke sudah meminta ijin pada keluarga Sarada. Tidak tahu siapa yang menerima telefon itu dan Sasuke tidak peduli akan hal itu.

Setelah makan siang, Sasuke meninggalkan Sarada sebentar untuk mengangkat ponselnya yang berdering. Dan setelah telefon mati dirinya mendengar dentingan piano yang sangat familiar di pendengarannya.

Sasuke mendekat ke asal suara yang berasal dari ruang tengah yang terdapat piano tua namun terlihat mewah. Sekilas dia melihat seseorang yang telah lama menghilang darinya ketika gadis kecil itu mulai bernyanyi. Dentingan piano itu, lagu itu, dan suara yang merdu itu sangat mirip seseorang. Ruangan itu di isi oleh dentingan lagu 'My Love' dari Westlife yang sekarang sedang dinyanyikan Sarada. Dirinya hanyut oleh suara Sarada dan lantunan piano yang di mainkan gadis itu. Hingga lagu itu berhenti dia menghampiri Sarada dan mengetukan jari telunjuk dan jari tengahnya setelah lama menatap gadis kecil di hadapannya. Sarada tersipu dengan kelakuan paman tampannya.

"Gadis nakal. Bagaimana kau bisa sampai di sini." Ucapnya lembut.

"Maaf paman, aku tadi melihat-lihat dan aku melihat piano itu jadi ingin memainkannya." Sahut Sarada takut-takut.

"Tidak apa. Suaramu bagus, siapa yang mengajarimu main piano?"

"Aku suka melihat mama bermain piano jadi aku ingin bisa bermain piano sama seperti mama. Jadi aku meminta mama mengajariku."

"Kau gadis pintar bisa bermain piano di usiamu yang ke enam. Bagaimana kau tahu lagu itu? Itu lagu jaman dulu." Kening Sasuke berkerut bingung.

"Aku baru lima tahun paman. Mama sering memainkannya di malam hari ketika aku sudah tertidur. Dan aku selalu terbangun mendengar suara mama. Aku selalu bersembunyi ketika mama menyanyikannya untuk mendengarnya. Jadi aku hafal lagu itu. Aku tidak tahu arti lagu itu karena berbahasa asing. Tapi aku selalu melihat mama lega setiap habis bernyannyi lagu itu jadi aku pikir lagu itu artinya kasih sayang. Hanya kasih sayang yang bisa membuat orang tenang." Ucapan polos Sarada membuat dadanya berdenyut. Entah kenapa dia sangat ingin bersama Sarada terus.

"Baiklah, ayo kita pulang. Mamamu pasti menunggumu." Setelah mengatakan itu Sasuke mengantar Sarada pulang.

Ketika mengantar Sarada pulang Sasuke dapat melihat pria dewasa berkucir nanas bersama anak yang sangat mirip dengan pria dewasa itu akan membuka pintu. Setelah melempar senyum Sasuke pergi.

.

.

.

Malam harinya Sarada makan malam di rumah Shikadai karena di rumah tidak ada orang. Shikamaru berniat menjemput Sarada siang itu. Jadi di sinilah Sarada berada. Di kediaman Nara. Setelah makan malam dan belajar dirinya menunggu siapapun untuk menjemputnya pulang.

"Mamaa.." Teriak Sarada ketika mengenali suara wanita yang sedang berbicara dengan bibi Temari. Ketika melihat siluet merah muda gadis itu langsung memeluk mamanya. Sakura terkekeh kemudian mengecup hidung Sarada, kebiasaan Sakura namun tidak disukai Sarada─ sebenarnya sangat menyukai tapi malu alias stundere.

"Oh lihat betapa rindunya dia dengan mamanya." Ucap wanita pirang.

"Benarkah Sarada-chan? Kau tidak membuat bibi Temari kesusahan kan." Sakura terkekeh melihat Sarada cemberut.

"Sepertinya Sarada mengantuk. Maafkan aku karena kemalaman menjemput Sarada Temari-nee. Aku harap Sarada tidak nakal."

"Tenang saja. Sarada tidak nakal, dan sepertinya dia mempunyai teman baru." Temari terkekeh.

"Benarkah. Kalau begitu besok aku akan menanyainya. Aku pamit dulu Temari-nee. Terimakasih sudah mau menjaga Sarada. Sampaikan salamku pada Shikamaru dan Shikadai."

Setelah pamit Sakura pulang dengan taxi. Dan benar saja gadis itu tertidur ketika dalam perjalanan. Rumahnya sepi karena Tsunade ada panggilan di luarkota dan Tenten juga pergi. Setelah menggendong Sarada sampai kamarnya Sakura mengganti baju tidur Sarada kemudiaan mandi dan berbaring di sebelah putri kesayangannya. Dipandanginya wajah polos putrinya itu kemudian di ciumnya kening, pipi, hidung dan bibir Sarada berulang kali. Sakura merasa sangat menyesal karena waktu kebersamaannya dengan sang putri berkurang. Namun dia tidak boleh mengeluh demi masa depannya dan anaknya. Sakura menyanyi untuk menghidupi putrinya dan biaya kuliah dirinya. Menurutnya menyanyi adalah hobinya, namun ketika menghasilkan uang kenapa harus di sia-siakan. Dirinya kuliah lagi setelah tiga tahun berhenti karena hamil. Sebenarnya Tsunade sudah menawarkan untuk membiayai Sarada dan dirinya tapi Sakura menolak, tidak ingin membuat wanita paruh baya itu kerepotan oleh dirinya. Sakura bersyukur bertemu dokter galak itu enam tahun lalu. Mungkin jika tidak ada Tsunade gadis itu tidak akan bisa bernafas sampai sekarang. Dan setelah menolonghnya Tsunade mengangkat Sakura menjadi anaknya. Memotivasi ketika dirinya terpuruk juga sabar menghadapi orang sepertinya meskipun Tsunade galak. Dia tidak ingin merepotkan wanita itu lagi.

Dipeluknya Sarada erat-erat seolah takut jika melepasnya akan hilang. Di tiap doanya dia hanya ingin Sarada hidup lebih baik lagi dari pada dirinya.

.

.

.

TBC


Maafkan daku, bukannya menyeleseikan Forbidden Love malah bikin fic baru.. :3

Tapi aku bener-bener pengen publis nih fic meskipun mungkin ide cerita pasaran. Namun tetap aja aku punya ide tersendiri di setiap fic.

sebenarnya sih mau di bikin one-shot tapi kepanjangen XD juga buat ultah Sakura-chan eh malah gak berjalan sesuai rencana :D maklum author baru belajar.

Please kritik dan sarannya. Mohon dukungannya.