A/N: Udah lama banget ga nulis dalam bahasa Indonesia, jadi bisa dipastiin bahasanya terkadang masih rancu dan kagok. Orz. Sedang terus berusaha mengembalikan irama menulis yang dulu :') Please, be patient with me, ogay- Dan di sini Kagami dipanggil sebagai "Taiga" karena... well, alasannya bakalan jelas di cerita sih... Walau, yah... udah cukup jelas dari summary-nya juga sebenernya ="))a
Mengenai fanfic GrimmIchi yang ga kunjung saya update... Saya masih nunggu kehadiran Grimmjow di Bleach, karena mood ini susah banget datangnya kalo asupan ga ada *otl*
Info tambahan; Beberapa dialog menggunakan bahasa Inggris karena memang bahasa itu yang digunakan Kagami ketika berkomunikasi dengan beberapa orang tertentu. Apalagi setting chapter pertama itu di Amerika. Sisanya, akan tetap berbahasa Indonesia. Fanfic ini juga di-post di AO3: (http) archiveofourown dot org / works/2102358/chapters/4583790
Anyway, onwards...
Chapter 1: An Invitation From Old Friend
Sebuah kecupan ringan tepat di atas alis bercabangnya membuat Taiga mengedik, perlahan terbangun dari tidurnya yang lelap. Suara tawa ringan terucap keluar dari sela kedua bibirnya yang terasa kering, "Nnn... Isn't it still to early? I can't feel the sun yet..." ujarnya tanpa membuka kedua matanya. Seulas senyum terukir di wajahnya yang nampak masih agak lelah.
"Open your eyes first, Taiga. You will know that the time already past so far from your favorite number,"
Dan dalam hitungan detik, Taiga sudah terduduk, menatap nanar ke arah pria yang hanya tersenyum-senyum saja ke arahnya, "Why didn't you tell me sooner?! Damnit, Adrian!" ia kemudian melempar bantalnya ke arah Adrian yang malah tertawa terbahak-bahak. Pasti karena model rambutnya yang seperti orang purba setiap kali baru bangun tidur.
Tapi, tidak separah Kuroko lho. Serius.
Sambil ngedumel, Taiga mencari celana boxernya yang terlempar secara serampangan semalam, dan mengenakannya setelah ia menampik tangan sang pria bertubuh lebih tinggi darinya yang berusaha membantunya mengenakan celana tersebut. Tapi, Adrian yang sudah terbiasa dengan sikap pasangannya itu hanya terkekeh dan mengalungkan lengannya di pundak Taiga, membuat sang pria bersurai merah itu semakin cemberut.
"You don't need to worry about my breakfast, Taiga," memeluk sang kekasih, Adrian kemudian mencium Taiga di bibir. Menjilati bibir yang membuatnya ketagihan itu hingga bibir itu nampak lembab seperti biasanya. "You look so tired after last night, and you were sleeping so peacefully, so I didn't have a heart to wake you up. But still I woke you though, later than usual, because I really need my morning Taiga-dossage before work,"
Rona kemerahan membanjiri kedua pipi Taiga karena Adrian bisa menebak dengan tepat alasan sebenarnya kenapa ia begitu panik.
"You really are a good housewife. I'm so lucky to be married to you, Taiga. I love you, yeah?"
Mendengus dengan wajah yang semakin memerah, Taiga, sedikit berjinjit, balas mencium Adrian. Melebarkan jemari-jemarinya di dada bidang sang suami, dan meremasnya dengan lembut. "I love you too, bastard. Do come home early today, okay? I will cook something special for you."
"Oh? Am I forgetting something about today?"
Walau pun Taiga tidak ingin merusak suasana di antara mereka berdua, mengingat Adrian yang sudah terlambat bekerja, dengan sedikit ogah-ogahan, Taiga mengambil selangkah mundur. "Not really... I just feel like it,"
"Then wait for me."
Satu kecupan terakhir di kening Taiga, Adrian pun melangkah keluar rumah dengan wajah yang berseri-seri, begitu juga Taiga yang tertawa lepas ketika melihat sang suami hampir terjatuh karena tidak lihat-lihat jalan, sebelum kemudian ia menutup pintu rumahnya. Dan ketika suara mesin mobil terdengar, barulah ia melangkah memasuki dapur—
—dan hampir berlari keluar lagi ketika akhirnya ia melihat kondisi salah satu ruangan favoritnya itu.
"ADRIAN STEVE LONGRIVER, I TOLD YOU TO NOT TOUCH MY KITCHEN!"
Karena suaminya itu dan dapur tidak akan pernah sejodoh.
Menghela nafas lega karena urusannya membersihkan dapur sehabis Adrian mengacak-acaknya (dijamin, pria yang lebih tua 4 tahun darinya itu mencoba membuat sarapan tadi pagi, namun karena memang tidak pernah terbiasa dengan dapur, maka semuanya berakhir berantakan. Dan Taiga-lah yang kena batunya untuk membersihkan), Taiga kini duduk di ruang kerja suaminya dan menyalakan komputer yang ada di sana.
Ia merindukan Jepang, kau tahu?
Ia juga merindukan teman-temannya dahulu. Anggota tim Seirin... Kuroko... Hell, ia bahkan merindukan para anggota Generation of Miracles. Terutama... Berani ia katakan—Aomine. Mereka biasa bermain 1 on 1 ketika SMA dulu, walau sampai sekarang Taiga masih saja tidak bisa mengingat mengapa mendadak ia bisa begitu dekat dengan sangjagoan basket dari Touou itu.
Menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, Taiga log in ke dalam akun Skype-nya, dan langsung nampak sumringah ketika mendapati Kuroko masih online. Padahal—kalau perhitungannya tidak salah—saat ini sudah jam 3 pagi di Jepang sana.
Ah... Sudah berapa lama ia tidak berbincang-bincang dengan mantan shadow-nya ini?
Oh. Benar juga. Sudah sebulan lebih.
[Hei, Kuroko! Tumben masih bangun jam segini,]
Sambil menunggu Kuroko membalas pesannya, Taiga memakan sandwich yang sempat ia buat setelah membereskan dapur tadi. Tepat ketika ia selesai memakan sandwich-nya—dalam dua kali gigit—Kuroko membalas.
[Halo, Kagami-kun. Sudah lama kita tidak mengobrol di sini.]
Ugh. Tipikal Kuroko untuk terus berbicara sesuai dengan bahasa keformalan, padahal mereka sudah lama kenal.
[Ah... Yeah. Agk sibuk. Haha. Btw, bagaimana Satsuki-san? Udah masuk bln kedelapan kan? 'N udah kukatakan untuk memanggilku "Taiga"—]
[Oh. Maaf, aku terbiasa memanggilmu dengan margamu, Taiga-kun. Rasanya masih agak aneh. Dan Satsuki belakangan ini semakin sering mengeluh mengenai pinggangnya yang pegal. Tidak heran sih... Buntalan perutnya sudah lebih besar daripada bantal yang kami pakai sekarang.]
Sejujurnya, sampai sekarang Taiga masih belum juga memberitahukan kepada sahabat karibnya itu kalau dirinya sudah menikah, makanya ia tidak bisa dipanggil sebagai "Kagami" lagi. Taiga Longriver adalah namanya saat ini. Bukan karena ia tidak ingin memberitahukannya, hanya saja ia masih tidak siap melihat reaksi sahabatnya itu ketika tahu bahwa dirinya menikah dengan seorang pria.
Belum pernah sekali pun dalam 3 tahunnya di Seirin, ia memberitahu Kuroko kalau dirinya adalah gay.
Ia bahkan masih belum mengganti nama akun Skype-nya, dan masih berupa; Taiga Kagami.
[Buntalan itu anakmu, bodoh!]
[Maaf, Taiga-kun, aku tidak bersedia dipanggil bodoh olehmu.]
[Berisik]
...
Jemari-jemari panjang Taiga berhenti di atas keyboard ketika ia bermaksud mengetikkan kalimatnya yang lain. Ia ingin sekali memberitahukan Kuroko mengenai kabar pernikahannya, terbuka kalau dirinya gay. Ia yakin kalau Kuroko bukanlah seseorang yang akan meninggalkan teman hanya karena mereka 'berbeda'. Bukankah dikasari oleh Aomine pun, Kuroko masih menganggap pria berkulit gelap itu sebagai seorang sahabat? Seharusnya kasusnya ini masih terbilang 'ringan' daripada apa yang dilakukan Aomine 'kan?
...
Taiga menghela nafas.
Ia merasa begitu bersalah karena telah menyembunyikan hal ini dari Kuroko. Seseorang yang ia anggap sebagai sahabat yang paling dekat dan paling baik. Padahal Kuroko sendiri begitu terbuka padanya, dan ia pun berusaha melakukan hal yang sama. Sungguh.
...
Menelan ludah, Taiga memantapkan dirinya untuk memberitahukan pria bersurai biru langit itu. Ia benar-benar ingin sekali beban rahasianya ini menghilang dari pundaknya, agar ia tidak lagi merasakan canggung setiap kali Kuroko membicarakan mengenai hubungannya dengan Satsuki-san. Namun, belum sempat ia mengetikkan kalimatnya, Kuroko sudah membalasnya terlebih dahulu.
[Ngomong-ngomong, Taiga-kun. Bulan depan Seirin akan mengadakan reuni. Apa kau bisa datang? Aku juga mengundang anggota tim GOM yang lainnya. Perintah dari Riko-san. Biar ramai katanya.]
Taiga mengedipkan matanya sekali. Dua kali.
Reuni?
Selama otaknya yang pas-pasan memikirkan ide yang mendadak datang, tanpa sadar Taiga memainkan cincin yang berada di jari manis lengan kirinya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan positif dan negatif yang mungkin saja terjadi dari idenya itu... Hingga akhirnya kedua bola mata merahnya nampak begitu yakin daripada sebelumnya. Menunjukkan tekadnya yang sudah bulat.
[Kurasa bisa. Aku boleh membawa seseorg kan?]
"Japan?"
Setelah makan malam (tidak jadi yang spesial karena Taiga masih kesal dengan insiden dapur tadi pagi), Taiga dan Adrian duduk-duduk di ruang televisi sambil menonton acara berita yang memberitahukan mengenai badai yang akan menyerang Fairbanks malam itu—well... Sebenarnya sih lebih tepat jika dikatakan kalau televisinya dicueki menyala sendirian, sementara kedua pemilik rumah sibuk dengan masing-masingnya.
Taiga yang duduk di atas pangkuan Adrian melenguh pelan ketika pria bersurai coklat itu menjilati perpotongan leher dan pundaknya, menggigit dan meninggalkan tanda yang terbilang cukup merah dan mencolok.
"Nn—Y-Yeah... Kuroko told—ah!—me today about it—"
Jari-jemari Adrian yang kasar karena bekerja di pertambangan minyak meremas bokong Taiga dan melebarkannya sehingga ia bisa memasukkan kejantanannya lebih mudah ke dalam tubuh pasangannya itu. Taiga meringis, memeluk erat leher Adrian, sementara ia turunkan tubuhnya perlahan hingga seluruh kejantanan sang pria masuk ke dalam dirinya.
Suara deru nafas berat, dan reporter berita yang masih saja berbicara di televisi adalah satu-satunya suara yang terdengar untuk beberapa waktu. Setidaknya sampai Adrian mencium kening Taiga, yang kemudian berpindah ke kedua pipinya yang meranum, rahang, baru kemudian bibir yang langsung ia lumat dengan penuh nafsu. Taiga mengerang diantara ciuman keduanya, dan ketika mereka sama-sama kembali membutuhkan oksigen, mereka menyudahi ciuman mereka dalam waktu yang bersamaan.
Adrian saat itu tersenyum lembut dengan wajah yang selalu berhasil membuat Taiga bisa merasakan lututnya melemas. Pria bersurai merah dengan aksen hitam di ujung-ujungnya itu memajukan kembali kepalanya, menjilati leher hingga pipi Adrian, sementara kedua tangannya meremas kuat helaian rambut coklat sang suami.
"About Japan and your reunion, Taiga?" bisik Adrian dengan suaranya yang turun beberapa oktaf, membuat Taiga teringat kalau sebelumnya ia bermaksud memberitahukan mengenai obrolannya dengan Kuroko tadi siang.
"Oh, yeah... About that—" Taiga berdehem sekali ketika dirasakannya suaranya terlalu serak untuk berbicara, "I was thinking to bring you along with me. Introduce you to them... as my husband..." semakin ia berbicara, semakin berbisik pula suara yang Taiga keluarkan. Mendadak ia kembali tidak yakin. Keraguan dan kekhawatiran yang selama ini ia rasakan perlahan kembali menghantui pikirannya, membuatnya menggigiti bibir bawahnya.
Dan Taiga baru berhenti menggigitinya ketika Adrian menjilati bibirnya itu.
Menempelkan kening keduanya, Adrian menatap tajam ke arah Taiga, "You sure? Not all people can accept gay couples, you know. More so the married ones."
Dengan jarak yang begitu dekat, Taiga bisa dengan jelas menatap ke arah kedua iris hijau terang Adrian, dan entah sudah yang keberapa kalinya, ia bisa melihat aksen kuning di sana. Kedua warna mata pria itu adalah hal yang pertama kali membuat Taiga tidak bisa berpaling ketika ia bertemu dengan Adrian 6 tahun yang lalu. Banyak orang bilang kalau iris mata berwarna hijau dapat menghipnotis perasaan seseorang, membuat orang tersebut seolah tersihir dan tidak mampu untuk mengalihkan perhatiannya. Pada awalnya Taiga tidak begitu percaya, sampai ia melihat warna mata Adrian.
Mata yang selama ini selalu menyokongnya, memberikan semangat padanya. Menemaninya setiap kali ia merasa kesepian karena teman-teman yang begitu dekat dengannya berada sangat jauh di seberang lautan, begitu pula Tatsuya, orang yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri ternyata memutuskan untuk terus menetap di Jepang dan tidak ikut kembali ke Amerika bersamanya.
"Yes."
Taiga tidak mau memikirkan mengenai reaksi macam apa yang akan diberikan oleh teman-temannya ketika ia memperkenalkan Adrian di acara reuni nanti. Tapi, jika memang mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya gay dan menikah dengan seorang pria, itu berarti mereka bukan teman-temannya seperti yang ia anggap selama ini bukan?
Karena seorang teman akan menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki olehnya.
"I really want them to know you... to see you laughing and talking with them,"
Tbc.
