Hallo teman-teman semua! Jumpa lagi dengan Haze di sini. Fic yang muncul dari sebuah perenungan di dalam bis yang macet di tengah kota Medan yang berisik. Idenya mungkin agak biasa dan isinya sangat biasa, tapi semua itu keluarnya dari pikiran saya yang biasa juga. Nggak mungkin kan pikiran biasa ngeluarin ide yang luar biasa?

Nah, pertanyaannya sekarang, sudah berapa kata 'biasa' yang saya ucapkan di sini? (abaikan)

Sebelumnya, saya mau berterima kasih pada teman-teman yang sudah mau mereview fic saya yang terdahulu..

Oke deh langsung saja…

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto dan 'Fate or Fortunate' ini baru miliknya Haze.

Warning: AU, OOC, abal, typo.

Part 1

Musketeers Meet The Princesses

FoF

Setengah jam berlalu dan gadis itu masih saja duduk termangu. Menatap bosan pada televisinya yang menayangkan opera sabun yang entah kapan tamatnya. Anehnya, mata gadis itu masih betah aja terpaku walau sesekali mulutnya menguap. Satu kata untuk melukiskan isi hatinya saat ini: jenuh.

Bukan. Ini bukan judul lagu anak muda yang sempat nge-trend beberapa waktu lalu, teman-teman. Ini adalah ungkapan hati dari seorang Hinata Hyuuga yang bosan plus ngantuk tapi nggak bisa tidur berhubung tetangganya yang sedang merenovasi bangunan mereka agar terlihat lebih indah, megah, dan enak dipandang mata.

Oh, God!

Suara paku dan palu yang saling bertumbukan, teriakan-teriakan para pekerja, suara gergaji memotong kayu, semua itu membuat gadis Hyuuga ini tak tahan.

Hinata melirik jam dinding yang terpasang sekitar satu meter di atas televisi.

Jam 12.05 siang.

Tahukah apa itu artinya?

Itu artinya bahwa butuh 5 jam 55 menit lagi untuk semua keriuhan ini berakhir dan menyediakan ketenangan yang entah kenapa belakangan ini sulit sekali didapatkan Hinata.

Suara deringan telepon membuat gadis itu beranjak dari sofa abu-abu kesayangannya dan berjalan ke asal suara. Tangannya mengambil gagang telepon yang ada di atas sebuah meja buffet kecil berwarna coklat muda dengan garis-garis kayu yang membuat kesan alami terpancar ke seluruh ruangan.

"Hallo?" sapa lembut gadis itu terhadap orang yang meneleponnya di ujung sana. Ia mendengarkan, sesekali mengangguk, berdehem, mengiyakan dan menutup kembali sambungan telepon. Wajahnya bersemangat dengan sebuah senyum tersungging untuk menyempurnakan parasnya yang cantik.

Berlari kecil memasuki kamar, menutup pintu, dan keluar dengan penampilan yang lebih fresh. Kemeja biru muda lengan ¾ dan rok biru tua di bawah lutut melengkapi penampilannya. Rambut indahnya yang digerai menunjukkan bahwa si empunya pasti menggunakan shampoo mahal dan perawatan khusus. Hal yang sangat tak mengherankan mengingat Hinata adalah pewaris dari sebuah perusahaan raksasa dunia, Hyuuga Corps. Perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dengan cabang usaha yang ada di hampir seluruh negara di dunia.

Heran kenapa seorang puteri seperti Hinata bisa tinggal di salah satu rumah sederhana di pinggiran kota Konoha?

Alasannya gampang.

Balik lagi ke Hinata yang merupakan pewaris Hyuuga Corps, gadis ini harus bisa meyakinkan sang pemilik –ayahnya, Hiashi Hyuuga –bahwa dia memang orang yang layak untuk itu. Dia harus membuktikan bahwa dirinya mandiri, pandai me-manage waktu, serba bisa, pintar, rajin menabung dan beribadah. Maka dari itu, seperti tradisi yang sudah berjalan selama ratusan tahun di keluarganya, dia harus tinggal di sebuah rumah yang jauh dari kediaman aslinya di Hyuuga Palace.

Back to Hinata…

Dengan tak sabaran saking senangnya, Hinata buru-buru menyambar tas tangannya dan menutup pintu dengan keras tanpa ada peri-kepintuan.

Brak!

Suara terbanting yang keras berhasil membuat Hanabi melongokkan kepalanya dari pintu dapur ke ruang tamu. "Nee-chan yang aneh." ujarnya sambil geleng-geleng kepala. Namun tiba-tiba hidungnya mencium sesuatu. Layaknya anjing pelacak, Hanabi mengendus ruangan itu dengan mata terpejam untuk menajamkan konsentrasi di indera penciumannya.

Lurus lima langkah, ke kiri enam langkah, ke kiri lagi,dan berhenti saat bau itu semakin menusuk. Perlahan Hanabi membuka mata dan…

"Kyaa!"

Hanabi bergegas menyalakan keran di wastafel dan menampungnya dengan ember kemudian menyiram masakannya hingga api yang menyala-nyala di atas wajannya padam.

'Nggak masalah.' pikir Hanabi saat melihat telur dadar yang ia masak gosong dengan warna kehitaman dan bentuk yang udah nggak jelas. Ditambah lagi keadaan dapur yang becek dan berantakan. 'Aku bisa kok, membereskannya.'

Setelah dicek oleh Hanabi, ternyata efek dari 'kebakaran kecil' itu nggak terlalu besar, kok. Hanya telur gosong yang buat dia nunda makan, wajan yang hangus, dan kompor gas yang rusak.

"Nggak masalah." ujar Hanabi dengan tenangnya, "Nanti tinggal bilang ayah kalau kompor yang dibelinya ini murahan jadi cepat rusak hingga akhirnya aku dan nee-chan harus menahan lapar selama seminggu. Jadi kami tinggal minta dibeliin kompor baru. Dengan begitu uang tabunganku nggak akan tersita buat ganti kompor." Hanabi mulai tertawa, "Kenyataan yang dicampur dengan sedikit bumbu intrik yang sesuai takaran akan menjadikan segala sesuatunya sempurna. Gyahaha…" dan Hanabi lanjut tertawa layaknya seorang psikopat.

Hyuuga yang satu ini memang agak berbeda.

FoF

Seorang pemuda berambut kuning jabrik berjalan dengan langkah malas di sepanjang pertokoan Konoha. Sesekali matanya melirik ke jalan –mengamati kendaraan dan orang yang berlalu lalang, lalu berhenti saat melihat makanan dan kue yang begitu menggiurkan yang dipajang di etalase sebuah rumah makan.

Dia ingin sekali masuk dan menikmati semua hidangan itu, tapi dia harus cepat. Dia tak mau jika harus dimarahi oleh temannya karena datang terlambat. Dengan menyesal dia kembali berjalan.

'Sebentar lagi sampai. Tinggal tikungan itu, dan belok kanan, lalu jalan sebentar lagi.' Pemuda blondie itu mempercepat langkahnya.

10 meter mendekati tikungan…

7 meter…

5 meter…

2 meter…

Bruk!

"Aw!"

FoF

"Tch." Dengus Sasuke kesal melihat kelakuan gadis-gadis yang menatap dirinya dengan aneh saat pemuda itu hendak membayar di kasir. Tidakkah mereka bisa membaca gesture seorang Sasuke yang jelas-jelas tak suka dipandangi begitu?

Sasuke menyerahkan belanjaannya untuk dihitung oleh sang kasir yang juga malah ikut-ikutan terpesona memandangnya. Kesal Sasuke semakin bertambah-tambah saat kasir itu sesekali tersenyum genit padanya. Dan ketika kasir itu mengedipkan sebelah matanya, Sasuke langsung pucat pasi seperti mayat.

Ngeri.

Sasuke segera mengambil kantung belanjaannya saat semuanya selesai dihitung dan bergegas pergi. Malas berlama-lama di tempat seperti itu, bisa-bisa sesuatu yang buruk terjadi padanya.

Benar saja.

Saat baru beberapa meter Sasuke meninggalkan meja kasir, para fansnya, yang diketahui kebanyakan adalah murid SMA, segera berlari mendekati Sasuke.

Sasuke langsung melesat menuju pintu keluar yang tinggal beberapa meter lagi bisa ia capai.

Pintu itu memiliki empat sisi yang terbuat dari kaca dan akan berputar bila salah satu sisinya didorong. Kalau masih susah membayangkannya, itu loh…pintu yang ada di iklan salah satu pasta gigi. Yang lagunya: come closer, come closer, come closer to me now.

Udah bisa kebayang?

Mari kita lanjutkan.

Dengan terengah-engah akhirnya Sasuke sampai juga di pintu itu. Ia mendorongnya…

Macet?

Ia mendorong lagi, tetap tak bisa. Mendorong lebih kuat lagi, sia-sia.

Sebuah pikiran yang malah akhirnya mendorong kepalanya untuk melihat ke samping.

Seorang gadis -yang juga ingin keluar- sedang menatapnya di sisi lain –sisi yang lurus dengan Sasuke. Segalanya menjadi lebih jelas untuk Sasuke yang langsung menganalisa kejadian yang berlangsung.

Teorinya: jika salah satu sisi didorong, maka pintu akan berputar. Namun jika pintu didorong ke arah yang sama dari dua sisi yang bersebelahan, maka tak akan ada pergerakan.

Gadis itu kelihatan heran. Sasuke diam. Dia diam. Mereka masih saling berpandangan hingga akhirnya teriakan fans girl Sasuke menginterupsi moment itu.

Sasuke dengan sigap mengambil langkah cepat ke arah gadis itu. Pandangan matanya yang tajam membuat yang melihat ketakutan dan berjalan mundur. Gadis itu menggigil tapi Sasuke tak mempedulikannya. Sebenarnya sih tadi dia hanya mau bilang pada nona ini agar cepat keluar karena ia juga ingin keluar, tapi kelihatannya melihat wajah ketakutan seorang Hinata Hyuuga juga menyenangkan.

Jarang-jarang kan, ada gadis yang takut padanya?

Oh, Sasuke. Jahatnya dikau.

Sasuke memajukan langkahnya perlahan. Hinata mundur hingga punggungnya menabrak dinding kaca pintu sehingga mekanisme pintu itu pun bekerja, mengakibatkan sisi pintu yang lainnya menabrak punggung Sasuke dan mendorongnya.

Keduanya kehilangan keseimbangan.

"Kyaa!" pekik Hinata panik.

FoF

"Berat sekali, sih, koper ini!"

Seorang gadis berambut pirang menyeret koper besar berwarna merah bata dengan kepayahan di tepi jalan. 'Sial!' umpatnya dalam hati. Perasaan, dia nggak gitu banyak bawa barang, deh. Paling hanya pakaian, seperangkat alat make-up, dua pasang sepatu, gaun, aksesoris, senter, makanan instan, tali tambang, kantung tidur, terus jaket.

Ia menghela nafas, 'Padahal guling kesayanganku masih tinggal, tapi kenapa sudah seberat ini, sih?' tanyanya pada diri sendiri dengan polosnya –tak menyadari kalau ia menyertakan barang-barang yang akan digunakan untuk camping di pegunungan yang liar tanpa adanya peradaban yang sudah pasti tak diperlukan oleh dia yang hanya akan pindah tempat tinggal –err atau yang lebih tepat lagi menumpang tempat tinggal.

"Hu..huh..uh…"

Suara tangis yang ditangkap oleh gendang telinga gadis itu membuatnya berhenti. Angin yang datang dengan segera mendinginkan tengkuknya dan pikirannya pun mulai terkontaminasi dengan hal yang tidak-tidak.

'Jangan-jangan ada hantu.' pikirnya sambil melihat arloji mahalnya yang langsung dia beli dari Paris.

14.15

'Masih siang, kok. Mana mungkin?' sebelah alisnya terangkat. Karena rasa penasaran yang tak terbendung lagi, akhirnya dia mengambil tindakan seperti yang dilakukan orang bijak lainnya: mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Seorang anak laki-laki berambut hitam menangis di tepi jalan sekitar tiga meter di hadapannya. Gadis itu tersenyum lega karena ternyata alam tak mengizinkan pikirannya yang aneh-aneh untuk benar. Karena seandainya itu benar, maka gadis itu bisa dipastikan akan langsung terbang ke surga untuk mendapatkan kebahagiaan yang tak ada di dunia fana ini. Siapa tahu dia jadi puteri di sana?

Tuh, kan…yang aneh-aneh lagi.

Back to the story.

Gadis itu menghampiri sang bocah yang menangis dengan mata yang terpaku ke atas pohon di hadapannya.

"Ada apa?"

Anak itu tak menjawab, hanya tangannya yang menunjuk-nunjuk ke salah satu ranting pohon. Isaknya masih terdengar ketika si gadis pirang mengusapkan kepalanya dengan lembut dan tersenyum.

"Akan kakak ambilkan." sahut gadis itu bersemangat. Untungnya dia make celana jeans panjang, jadi nggak perlu risau akan kemungkinan yang tak terduga-duga. Yah, misalnya aja tiba-tiba ada orang pervert lewat dan blablabla… author nggak perlu ngelanjutin karena nggak digaji untuk itu.

Seekor kucing yang tadi ditunjuk bocah itu mengeong, seolah berkata "Tolong turunkan aku."

Gadis lugu yang sebenarnya tak mengerti bahasa kucing itu pun bergegas merangkak naik ke atas pohon. Setelah perjuangan yang cukup panjang dengan masih dianugerahkan selamat sentosa oleh sang Kuasa, gadis itu mengambil kucingnya.

Kalau diperhatikan kucing ini imut juga. Warna bulu abu-abu dengan mata hijau cerah, ukuran tubuh yang sempurna untuk seekor kucing, bulu yang lebat dan lembut, serta kalung dari pita merah dengan lonceng yang berbunyi bila bergoyang.

Kresak!

Gadis itu tersadar dari lamunannya. Tangannya masih memegang erat si kucing manis.

Kriet!

Krak!

Cabang pohon yang ia pijak patah, dan selanjutnya yang terjadi sesuai dengan apa yang dikatakan hukum gravitasi.

"Kyaa!"

FoF

Hanabi keluar dari sebuah rumah makan dengan menenteng sebuah tas plastik yang isinya makan malam buat dia dan kakaknya. Sejenak dia mengintip bungkusan itu.

Daging panggang, sop, dan daun singkong rebus. Cukuplah untuk makan. Habisnya itu yang paling murah. Hanabi yang udah merusak kompor nggak mau rugi banyak walaupun itu artinya dia harus tanggung jawab terhadap menu nanti malam. Jadilah dia ngirit seirit-iritnya. Kalau nasi nggak perlu susah-susah. Kan rice-cooker mereka nggak rusak.

Dengan langkah riang dia berjalan menuju rumah sebelum akhirnya mendengar sebuah suara ribut-ribut di belakangnya. Merasa risih, Hanabi berbalik.

Seorang pemuda compang-camping yang diyakininya adalah seorang preman karena banyak piercing di wajah plus rambut pirang yang tak terawat –diidentifikasi karena kebanyakan main di panasan, berlari melewatinya dengan sangat kencang. Tangannya memegang sebuah tas tangan coklat muda yang dipastikan adalah milik seorang wanita yang berarti bukan miliknya.

Seorang pencopet.

Selang beberapa detik, seorang cowok lain –kali ini berambut hitam jabrik- berlari mengejar pencopet itu dan tak sengaja menubruk Hanabi hingga tas plastiknya jatuh dan menghamburkan semua isinya dengan sangat mengenaskan.

Hanabi melongo. Ini memberikannya pada suatu kesimpulan baru: dia akan bayar dobel untuk makan malam kali ini.

"Gomen." Ujar pemuda itu sambil terus berlari dan membalikkan badannya sesaat.

"KAU!" Hanabi mulai berubah jadi mengerikan.

FoF

"Aw!" pekik keras menutup suara bedebum akibat insiden tabrak-menabrak antara Naruto dan seorang…gadis?

Mengerjap-ngerjapkan matanya, Naruto mencoba memastikan kalau orang yang terduduk di depannya ini adalah seorang gadis. Bukannya Naruto itu orang yang pro pada perbedaan gender menentukan kelas sosial, melainkan heran jika yang menabraknya adalah seorang gadis. Dapat tenaga dari mana dia menabrak Naruto hingga pria blondie itu terpelanting ke belakang?

"Sakit…"

Naruto segera tersadar ketika didengarnya gadis itu meringgis. Mengambil sikap layaknya seorang gentleman, Naruto berdiri dan mengulurkan tangannya sambil berkata, "Kau tak apa?"

Gadis itu mendongak, terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Naruto, "Ya."

"Baguslah." Naruto tersenyum lebar, membuat lawan bicaranya mulai merona.

Jangan salahkan gadis itu yang sedikit blushing melihat Naruto. Bagaimanapun, pemuda ini adalah salah satu idola dari Konoha Gakuen. Sekolah khusus cowok setingkat SMA yang merupakan sekolah ter-elite di Konoha selain Mizu Gakuen yang merupakan sekolah khusus cewek.

"Oh, iya. Aku Naruto. Uzumaki Naruto. Kau siapa?" Naruto memperkenalkan dirinya.

"Sakura. Haruno Sakura."

""Sakura, ya?" ia lagi-lagi tersenyum dan Sakura lagi-lagi terpana. Tampang cowok di depannya ini benar-benar keren. Sifatnya yang sering senyum membuat wajahnya tambah terlihat bijaksana. Yah, bijaksana. Paling tidak sampai…

"Oh, iya Sakura. Rambutmu itu…pink ya?"

Oops!

Beware Naruto! You've put yourself in danger!

Sakura tertunduk. Tangannya mengepal.

"Sakura? Kau tak apa?" Naruto yang tak peka –atau mungkin agak sedikit bodoh hingga tak menyadari bahwa ada aura hitam terpancar dari tubuh gadis manis di hadapannya ini –mengambil langkah maju untuk sedikit mendekat.

Sementara Sakura…

Geramannya semakin menjadi-jadi seperti hewan buas yang hendak menerkam mangsanya. Pertigaan muncul dipelipisnya sebagai pertanda kalau ia benar-benar marah. Pertanyaan simple Naruto soal warna rambutnya lebih mirip hinaan di telinga gadis ini. Saat mendengar langkah kaki yang mendekat, kepalan tangannya semakin keras.

Naruto yang khawatir melihat cewek ini diem aja kayak patung, mengambil langkah lebih dekat lagi. Saat dirasa sudah cukup, ia berhenti.

Dalam hatinya Sakura mulai menghitung mundur.

Tiga…

Dua…

"Saku –kyaa!"

Naruto terpelanting –lagi –hingga beberapa meter ke belakang. Dilihatnya Sakura sedang melemaskan jari-jari tangannya hingga menimbulkan bunyi "Krek!"

Naruto menelan ludah. Sakura benar-benar terlihat seram kali ini.

Poor Naruto.

Let's hope that he will be okay then.

FoF

"Kyaa!" mata gadis itu terpejam erat. Lengannya memeluk kucing itu dengan erat. Berharap dengan begitu ia dapat melindungi binatang malang yang sangat lucu dan menggemaskan ini.

Hup!

Sepasang lengan kekar menahan tubuhnya agar tak jatuh.

Gadis itu masih diam. Heran kenapa lama sekali tubuhnya terbentur tanah. Ketakutan membuatnya kehilangan sedikit kesadaran hingga tak merasakan ada tangan yang menopangnya.

"Kau tak apa?"

Suara besar yang diyakini milik seorang pria membuat gadis itu membuka mata.

Pandangannya menubruk sesuatu yang diyakininya sebagai karya terindah Tuhan yang pernah ia lihat sepanjang usianya yang baru menanjak 17 tahun.

Mata onyx, kulit pucat, senyum yang menawan, dan semua yang ada pada pemuda itu terlihat begitu sempurna. Rona merah perlahan menjalari wajahnya saat ia sadar bahwa posisi mereka terlihat seperti sepasang pengantin yang sangat mesra.

Kedua pasang mata yang saling bertemu, senyum yang hadir untuk mereka, serta posisi si pemuda keren yang seolah menggendong sang pengantin wanita ala bridal style.

Satu-satunya yang membuat mereka tersadar untuk segera melepaskan diri adalah kenyataan bahwa ada seorang anak kecil yang sedang menyaksikan peristiwa yang akan mendebarkan hatinya jika saja ia sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang sedang ia lihat.

"Mm…te-terima kasih." Gadis itu membungkuk. Sedikit gugup karena jantungnya yang sedang berpacu cepat membuat nafasnya agak sesak.

"Tak masalah." Sahut pemuda itu.

Gadis itu segera berbalik dan menyerahkan kucing itu pada bocah yang dari tadi menunggu. Sebuah senyum hadir saat melihat betapa girangnya bocah itu menerima kucingnya.

'Anak-anak memang selalu memiliki hati yang baik. Mencintai bukan hanya dirinya sendiri maupun orang lain, bahkan seekor hewan yang manis seperti ini juga.' begitulah yang ada dipikirannya.

"Nah, sekarang kau boleh pergi." ujar bocah itu tiba-tiba pada kucingnya.

Ino jawdropped plus sweatdropped melihat tangan si bocah yang menggenggam kalung merah yang tadi dipakai si kucing.

Yup! Alam memang tak pernah mengizinkan dirinya untuk benar.

"Terima kasih, kak. Akhirnya aku dapat juga kalung ini." Ujarnya innocent lalu pergi sambil bersenandung ria.

Desahan panjang keluar dari mulut sang gadis pirang melihat kelakuan bocah kecil itu. Tahu begini tadi nggak usah dibantu. Masa untuk itu dia harus mempertaruhkan nyawa memanjat pohon? Benar-benar nggak adil!

"Kenapa bengong?"

"Nggak." Tukas gadis itu. Wajahnya kembali memerah menyadari kalau ksatria yang telah menolongnya masih berada di sana.

"Namaku Sai. Kau siapa?"

"Yamanaka Ino. Salam kenal."

FoF

"Ugh!" rintih Sasuke ketika lututnya menyentuh lantai bagian luar swalayan tempat ia tadi berbelanja.

Kantung belanjaan mereka berdua terhempas sementara barang-barangnya sendiri berhamburan keluar. Para fans yang tadi mengejarnya cuma terpelongo di dinding kaca melihat pangeran impian mereka dengan seorang gadis. Ada yang senyam-senyum, cekikan, tapi tak sedikit juga yang menangis, meraung-raung, nosebleed, bahkan sampai tepar plus kejang-kejang.

Posisi Sasuke dan Hinata sekarang begitu –ehm dekat. Lutut Sasuke tertekuk di antara kedua kaki Hinata yang terbaring –mencegah tubuhnya untuk membebani gadis itu. Tangan kanannya melingkari leher sang gadis untuk menahan kepala Hinata agar tak terbentur, sementara tangannya yang lain menyangga tubuhnya sendiri –menghindari kontak yang lebih jauh.

"Kau tak apa?" tanyanya pada Hinata yang masih memejamkan matanya erat.

Mendengar suara, Hinata akhirnya membuka matanya takut-takut.

Deg!

Untuk sesaat jantungnya berhenti bekerja. Wajah pemuda ini terlalu dekat. Aroma cologne yang dipakai Sasuke menyusup ke dalam indera penciumannya.

Perut Hinata nyeri, wajahnya memanas. Ia mengalihkan pandangan ke samping, tapi ada lengan Sasuke di sana. Hal ini membuat Hinata tambah panik. Ia melihat ke bawah dan…

"Kyaa!" refleks ia terduduk hingga menuburk dahi Sasuke.

"Ugh!" Sasuke memegang dahinya yang memerah, "Kepalamu dari apa, sih? Keras sekali." ia duduk berhadapan dengan Hinata.

"Ma-maaf." Hinata tertunduk, wajahnya tambah merah dengan rasa kesal, malu, dan deg-degan yang bercampur jadi satu.

"Hn."

Hinata buru-buru berdiri untuk mengumpulkan belanjaannya yang terserak. Setelah semua masuk ke dalam kantung kertas, ia kembali menghadap Sasuke yang juga sudah selesai mengumpulkan belanjaannya.

"Gomen." Hinata membungkuk lalu pergi secepat mungkin dari tempat itu. Kejadian tadi membuatnya sangat malu. Apalagi ini tempat umum, pasti banyak yang melihat.

Sementara Sasuke masih terpaku di tempat. Perlahan tangan kanannya terangkat dan menyentuh dadanya yang nyeri. Semburat merah tipis muncul di wajahnya. Sedikit tarikan ke atas di sudut bibirnya membentuk senyum samar sang Uchiha yang terbalut dalam wajah stoicnya yang tenang.

TBC…

Hm…bagaimana fic saya kali ini?

Siapa sih yang menelepon Hinata tadi? Siapa juga cowok yang nabrak Hanabi? Apa hubungan antara semua tokoh dalam fic ini? Berapa biaya yang dikeluarkan Hanabi untuk makan malamnya kali ini? (abaikan yang ini) *timpuked* Bagaimana kelanjutannya?

Ok. Akhir kata…

REVIEW!