Rubic Cube
.
.
NamJin
Namjoon tidak pernah menyukai Seokjin. Sedari dulu, sejak pertama kali ia bertatap muka pada anak berusia dua tahun diatasnya. Ia tak pernah menyukainya. Hingga detik ini.
-Rubic Cube-
Namjoon fokus pada apa yang ia kerjakan saat ini, mengetik ratusan bahkan ribuan kalimat pada sebuah komputer di hadapannya, mengabaikan salah satu pemuda lainnya yang tengah sibuk memainkan sebuah rubic.
Sesekali Namjoon melirik pada pemuda tesebut, kemudian berdecih malas. Memilih melanjutkan apa yang ia kerjakan.
Setidaknya Namjoon beruntung, Seokjin tidak terlalu merepotkannya untuk kali ini. Atau justru belum.
.
.
Menurut Namjoon, tinggal berdua dengan Seokjin adalah petaka. Dan petaka itu terjadi sejak beberapa jam yang lalu. Saat orangtuanya memutuskan untuk pergi demi kepentingan bisnis, meninggalkan dirinya bersama Seokjin, yang jelas-jelas keterbelakangan mental.
Tentu saja Namjoon menolak mentah-mentah, mengingat ia tak pernah bisa akur dengan Seokjin. Atau lebih tepatnya, ia yang selalu saja gagal dalam mengontrol emosi ketika bersama Seokjin. Menurutnya Seokjin menyebalkan, tidak bisa apa-apa, merepotkan, hanya bisa menjadi beban untuk dirinya.
Namun Namjoon akhirnya kalah, setelah ibunya berkali-kali mengatakan, bahwa Seokjin adalah kakaknya, tidak seharusnya Namjoon menolak untuk merawat kakaknya sendiri, dan berbagai macam petuah lain yang meluncur dari mulut ibunya.
Namjoon hanya bisa pasrah.
.
.
.
Seokjin bukanlah kakak kandung Namjoon. Yang Namjoon ingat, saat usianya genap delapan tahun, ibunya mengalami keguguran, lalu kedua orangtua nya memutuskan untuk mengadopsi seorang anak dari sebuah panti asuhan sebagai gantinya.
Awalnya Namjoon senang, ia selalu mengira, bahwa kelak ia mendapat calon adik yang bisa ia ajak bermain. Namun sang ayah menjelaskan, bahwa mereka tidak akan mengadopsi anak bayi, melainkan anak laki-laki yang justru berusia dua tahun diatas Namjoon.
Lalu reaksi Namjoon? Tentu senang, ia berpikir memiliki kakak laki-laki pasti sangat menyenangkan. Ia dapat bermain bola bersama, bersepeda di hari Minggu, bahkan bermain Play Station bersama. Tentu Namjoon sangat bersemangat, dan tidak sabar untuk bertemu dengan calon kakaknya.
Namun ekspektasi yang telah Namjoon bangun selama ini runtuh, ketika kali pertama ia dipertemukan dengan seorang laki-laki berusia sepuluh tahun di hadapannya.
"Namjoon, perkenalkan, ini adalah Kim Seokjin, usianya sepuluh tahun. Dia adalah kakakmu mulai dari sekarang," tutur sang ibu, "dia sedikit spesial Namjoon, nanti kau akan mengerti dengan sendirinya."
Namjoon mengamati Seokjin secara seksama, dari segi fisik, Seokjin tampak tak berbeda dari kebanyakan teman Namjoon, hanya saja... Namjoon kesal, karena setiap perkataan yang ia lontarkan, tak pernah ditanggapi oleh anak laki-laki itu.
"Eomma... Kenapa tidak adopsi anak yang 'biasa' saja? Kenapa harus dia?" Tanya Namjoon polos.
Kedua orangtua Namjoon saling berpandangan, tersenyum sendu saat sang buah hati melontarkan pertanyaan yang sudah pasti terpapar dari mulut kecil si anak.
"Ibu mendapat mimpi," ujar ibu sembari menghela nafas, "ibu bermimpi mendapatkan sebuah keluarga yang baru, dengan dua anak laki-laki tangguh di dalamnya, yaitu kau dan Seokjin."
.
.
.
Namjoon meregangkan otot-ototnya, duduk selama lebih dari dua jam di depan layar komputer bukanlah hal yang bagus. Ia memutar tubuh bagian atasnya ke kanan dan ke kiri, hingga menimbulkan suara-suara khas dari sendi-sendinya yang memang butuh direnggangkan.
Ia melangkah dengan malas menuju dapur, berniat untuk mengisi perutnya yang lapar dengan sebungkus ramen instan.
Saat berada di dapur, Namjoon merenyit tak suka ketika satu lembar kertas HVS tertempel dengan apik pada bagian pintu kulkas. Namjoon berjalan mendekat, melepas sebuah magnet hias yang menghalangi kertas tersebut, kemudian membacanya dengan seksama.
Beberapa detik kemudian, kertas tersebut sudah tidak berbentuk karena Namjoon meremasnya. Namjoon sendiri menyesal telah membaca kertas itu, karena isinya hanya catatan sang ibu untuk dirinya mengenai Seokjin.
Seokjin yang tidak boleh makan ini dan itu, Seokjin yang harus tidur pada pukul sekian, Seokjin yang bla bla bla. Namjoon tidak suka, memangnya ia baby sitter? "
Namjoon memilih melanjutkan kegiatannya untuk memasak ramen, tanpa menghiraukan apapun lagi.
.
.
.
Namjoon kembali berkutat dengan komputernya, ia masih setia mengetik makalah untuk tugas kampusnya. Sesekali ia meniup uap panas pada ramen yang ada pada himpitan sumpitnya, lalu memakannya secara lahap.
Kegiatan Namjoon terganggu, ketika sebuah jari telunjuk seseorang menekan-nekan bahunya. Namjoon mendongak, menatap dengan malas pada sang pelaku.
"Mau apa?" tanya Namjoon ketus.
Seokjin bergeming sejenak, hingga tangan kanannya menyodorkan sebuah rubic tipe 3x3 yang seluruh warnanya sudah tersusun dengan sempurna.
"Nam- Namjoon, tolong acak." Ucapnya terbata.
Namjoon meraih rubic tersebut secara malas, kemudian mengacaknya sesuai permintaan Seokjin. Setelah rubic tersebut memiliki warna acak, Namjoon menyerahkan kembali pada Seokjin dengan kasar.
"Jangan sok pamer! Kalau menyusun rubic seperti itu aku juga bisa."
Seokjin seperti biasa. Tidak menanggapi. Dan hal itulah yang paling Namjoon benci. Menurutnya, untuk apa punya saudara tetapi diajak komunikasi saja tidak bisa.
.
.
.
Mood Namjoon untuk mengerjakan tugas menurun drastis, ia memilih untuk membuat komputernya dalam mode sleep, kemudian ia menyibukan diri untuk menghabiskan semangkuk penuh ramen di hadapannya.
Mata Namjoon menyipit, ketika pandangannya jatuh pada Seokjin. Pemuda itu terus saja mengamati Namjoon, seperti ada sesuatu yang salah di wajah Namjoon.
"Apa lihat-lihat? Aku bukan tontonan." Ketus Namjoon, pemuda itu lagi-lagi sibuk memasukan satu suapan penuh ramen pada mulutnya.
"Namjoon... Seokjin lapar," gumam Seokjin, "Seokjin. Ingin makan."
Namjoon memutar bola matanya malas, kemudian menaruh mangkuk ramen di genggamannya ke atas meja.
"Tunggu sampai besok pagi saat Ahn Ahjumma datang. Nanti dia yang masak untukmu. Jangan minta makanan padaku!"
Seokjin mengangguk, ia kembali sibuk pada rubic di genggamannya, memilih menghalau rasa lapar dengan menyusun warna-warna pada rubic tersebut. Sesekali Seokjin mencuri pandang pada mangkuk ramen di tangan Namjoon, lalu menegak salivanya kasar.
Namjoon sadar, sedari tadi Seokjin terus saja memandangi mangkuk ramen miliknya. Kemudian pemuda itu mendesah.
"Kemarilah, masih ada sedikit ramen kalau kau mau."
Seokjin berdiri cepat, ia melangkah dengan tergesa menghampiri Namjoon, kemudian duduk dihadapannya.
Namjoon memberikan sumpit yang ia pakai pada Seokjin, dan dengan senang hati Seokjin menerimanya.
"Te- terimakasih Namjoon." Seokjin mulai memasukan sumpit ke dalam mangkuk, berusaha menggapai helai-helai ramen dengan sepasang benda alumunium tersebut, namun seringkali gagal karena helaian ramen yang ingin ia gapai selalu saja lolos karena terlalu licin. Atau karena Seokjin yang tidak bisa memakai sumpit.
Namjoon memicingkan sebelah alisnya, ia sadar bahwa selama ini Seokjin memang tidak bisa apa-apa. Namun dalam memakai sumpit? Ia bahkan harus meredam rasa terkejutnya ketika mengetahui fakta yang satu itu. Fakta bahwa Seokjin memang tak bisa melakukan apapun, dalam artian yang sebenarnya.
Namjoon bergegas menuju dapur, berinisiatif untuk mengambilkan sebuah garpu berbahan dasar plastik yang biasa ibunya sediakan untuk Seokjin. Mengingat Seokjin seringkali melukai gusinya sendiri karena tidak sengaja tertusuk ujung garpu berbahan alumunium ketika ia makan.
Namjoon kembali duduk di hadapan Seokjin, ia mengulurkan garpu tersebut tanpa berkata-kata, yang langsung direbut oleh Seokjin.
Seokjin meletakan sumpit yang ada di genggaman tangannya ke atas meja, tanpa menggunakan alas, sehingga tetesan-tetesan kuah ramen kini mengotori meja. Tapi ia mana paham tentang hal seperti itu? Intinya saat ini ia hanya ingin makan.
Baru saja Seokjin menelan satu suapan, pemuda itu tersedak hebat, terbatuk cukup keras hingga seluruh wajahnya memerah. Tenggorokan Seokjin terasa panas, bahkan terasa hingga hidungnya. Seokjin tidak tahu, jika ramen yang dimasak Namjoon terasa sangat pedas, dan ia memang tidak terbisa memakan makanan pedas, karena sang ibu selalu memasak masakan yang memang dikhususkan untuknya.
Namjoon sontak berdiri, mengambilkan Seokjin segelas air mineral guna meredakan batuknya.
Seokjin tanpa ragu menegak habis air mineral yang Namjoon berikan. Wajahnya masih sangat merah, ditambah matanya yang nampak berair. Tangan kanannya kini sibuk menyeka peluh yang turun melalui dahinya, kemudian menekan hidungnya yang berair, membiarkan ujung lengan sweter yang ia kenakan sedikit basah karena kegiatannya sendiri.
Namjoon menghela nafas panjang, kemudian tangannya sibuk merampas ramen yang ada di hadapan Seokjin.
"Sudah kubilang kan?! Makannya besok pagi saja tunggu Ahn Ahjumma. Dasar merepotkan." Bentak Namjoon.
Namjoon bergegas menuju dapur, meninggalkan Seokjin yang masih terduduk kaku di tempatnya, membiarkan jemarinya yang bergetar saling bertaut satu sama lain, hingga sebutir air mata lolos begitu saja dari kedua bola matanya.
"Eomma... "
-TBC-
Kepikiran ngetik FF ini setelah nonton Lion. Padahal jauh banget XD
Ini bisa jadi BL, bisa jadi brothership dengan sedikit bumbu. Ditunggu tanggapannya ya. Thanks /tebar cinta/
