"Nggak apa-apa, aku baik-baik saja" seutas senyum tulus tersungging dari wajah seorang anak laki-laki yang muka, tangan dan kakinya dipenuhi plester luka. Muka bulatnya terlihat menahan sakit, namun tak setetes air mata tampak dari matanya.
Kata – kata itu, kilasan singkat kenangan itu membangunkan Maki dari tidurnya. Ah, si gendut itu, sudah berapa lama waktu berlalu setelah kejadian itu. Maki teringat lagi akan peristiwa saat dia masih sepuluh tahun dan diperkenalkan dengan calon tunangannya untuk pertama kalinya. Maki masih ingat rasa jengkel yang teramat saat Papanya memperkenalkannya dengan si gendut itu. Tak ada yang salah dari sikap tunangannya, dia hanya seorang anak laki – laki seusianya yang ramah namun sedikit pemalu, tapi karena perasaan tidak mau di dikte oleh Papanya –apalagi dia masih kecil, jalannya masih sangat panjang untuk memikirkan pertunangan- , Maki melakukan pemberontakan dengan mengerjai calon tunangannya. Maki membuat anak itu tersesat di hutan seharian agar dia marah padanya dan pertunangan mereka dibatalkan. Maki mengira kalau anak itu takkan pergi jauh, hanya akan menangis sampai bantuan datang menjemputnya. Namun anggapannya salah, anak itu kemudian ditemukan saat senja dengan baju kotor, kaki terkilir dan tubuhnya penuh luka baret. Anak itu bahkan tidak menangis dan marah padanya saat Maki meminta maaf. Rasa bersalah menyerangnya, namun dia tak dapat berbuat banyak untuk menebus kesalahannya karna hari itu juga adalah hari terakhir Maki bias melihatnya.
Aku bahkan lupa namanya, Maki tersenyum mengingat peristiwa itu sambil membayangkan anak itu sudah se gendut apa sekarang. Tak mau larut dengan masa lalu, Maki bergegas ke kamar mandi, bersiap untuk ke kampus, tempat yang belakangan ini disebutnya NERAKA.
Terlalu banyak tugas dan praktek, membuatnya hampir gila. Namun beberapa bulan belakangan Maki menemukan tempat yang tepat bagi dirinya untuk rileks dari hingar bingar kampus, bahkan ditempat itu juga membuatnya bisa berkonsentrasi saat membuat tugas tugasnya yang menggunung. Ditemani aroma khas coffee dan suasana yang menentramkan, cafee itu benar benar sebuah tempat yang sangat sempurna dan Maki mengakui bahwa dirinya sangat bersyukur telah menemukan tempat itu.
"Permisi, silahkan coffee anda" seorang pelayan laki laki menyadarkan Maki dari pikirannya yang berat akibat tugas kampus yang harus diselesaikannya.
Maki memalingkan wajahnya dari laptop ke pelayan tersebut. Lama dia memandang kosong pada si pelayan.
"Anda ingin saya menemani anda sore ini?" si pelayan tersenyum ramah sambil sedikit membungkuk kea rah Maki.
"tidak" balasnya pelan sambil kembali menatap pada laptopnya.
Si pelayan hendak pergi saat Maki tiba tiba berubah pikiran, "tunggu! Mungkin lebih baik kamu tetap disini"
Pelayan itu berbalik dengan seutas senyum.
"Jangan berikan wajah tengil itu padaku dan cepatlah duduk" Kadang, senyuman si pelayan yang selalu melayaninya setiap singgah di cafee itu membuatnya tersinggung, sekan akan mengolok olok dirinya yang sangat jarang tersenyum.
Ada sesuatu yang khas dari cafee ini, bukan hanya memberikan pelayanan yang bagus dan suasananya yang menentramkan, namun juga kenyamanan tamu diutamakan. Tamu bisa memilih pelayan yang akan menyuguhkan coffee mereka, bahkan bisa memilih untuk ditemani oleh si pelayan sebagai teman ngobrol, atau hanya sekedar duduk diam di seberang meja dengan tujuan yang tak jelas seperti yang sering Maki lakukan kepada pelayan pribadinya sekarang.
Hari berikutnya, Maki datang tanpa membawa tugas. Bukan karna tidak ada tugas, tapi pikirannya diambil alih oleh masalah pribadinya. Dengan cemberut Maki menyesap coffe ditemani pelayan yang menatap penuh prihatin padanya. "Sesuatu terjadi antara anda dan pacar aktor anda?"
Banyak hal yang sudah Maki ceritakan pada pelayannya. Kadang Maki heran kenapa hanya kepada orang ini dia mampu bercerita tentang hal hal menyangkut dirinya, bahkan Maki tidak bisa terbuka pada Mamanya sendiri. Apakah karna cafee ini menjamin kerahasiaan tentang masalah pelanggannya? Selama ini Maki selalu berpikir demikian, namun ada kalanya dia meragukannya.
"Tebakan yang bagus, aku nggak tahu apakah harus bangga padamu atau malah menyesal karna membiarkanmu tahu masalahku" senyumnya sinis.
Pelayan itu tersenyum, memberikan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang membuat Maki bisa lebih tenang. "Anda hanya perlu percaya padanya"
Maki melipat kedua tangannya di dada "kadang aku berpikir kamu cukup berpengalaman dalam masalah cinta. Punya pacar?"
Si Pelayan hanya membalas dengan senyuman.
Beberapa hari kemudian Maki kembali datang, membaca sebuah majalah ditangannya saat pelayannya datang membawakan coffee.
"Sepertinya pacarmu mendapatkan berita utama di majalah itu"
Maki kaget dan segera menutup majalahnya "Kamu melihatnya?"
"Hanya tulisan"
"Baguslah" Maki merasa lega, memang dia menceritakan hubungannya dengan pacarnya yang merupakah actor yang sedang naik daun, tapi pelayannya tak pernah tahu bagaimana rupa pacarnya itu, "Bukan berita utama, hanya selingan saja" Maki mengambil cangkir coffeenya, menyesapnya sedikit dan perhatiannya teralihkan pada pelayannya yang memandang sendu pada sampul majalah yang dibawanya.
"Kamu mengidolakannya?"
Pelayan terbangun dari lamunannya "Siapa?"
"Itu, yang disampul" Maki menunjuk sampul majalah yang di bawanya tadi, memperlihatkan sosok perempuan bermata biru dan rambut pirang yang panjang menganakan dress bernuansa musim panas.
Pelayan itu tersenyum tipis "mungkin".
"Artis multi talenta gini, belum lagi wajahnya juga cantik, nggak heran bahkan pelayan cupu seperti kamu pun juga suka sama dia"
"Begitukah?" jawabnya masih dengan seutas senyum palsu, kini.
Kunjungan berikutnya bukanlah kunjungan di jadwal yang biasanya dia lakukan, Maki bahkan yakin mungkin dia tidak akan bisa di temani oleh pelayannya yang biasa. Jujur saja, berhadapan dengan orang baru bukanlah hal yang menyenangkan bagi Maki, malah dia sangat menghindari hal itu. Namun konfliknya dengan Papanya belakangan ini cukup membuatnya ingin menenangkan diri, setidaknya dia bisa menyendiri disini sebelum berhadapan lagi dengan Papanya malam ini.
Dari meja yang biasa ia tempati, dengan pelayan yang tak familiar mengantarkan coffee baginya, Maki menolak saat pelayan itu menawarkan diri untuk menemaninya. Dia mencoba mencari sosok pelayannya yang biasa, mungkin sedang bersama pengunjung yang lain. Dan benar saja, tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan pelayan itu, duduk berhadapan dengan seorang perempuan muda dengan rambut panjang abu abu di sudut ruangan di dekat jendela. Ada yang beda darinya, posturnya lebih rileks dan santai, senyumnya begitu lepas saat berbicara dengan lawan bicaranya, tak seperti bersama Maki dimana pelayan itu memberikan tanggapannya dengan bijaksana dan dewasa. Bersama perempuan muda itu, dia tampak seperti anak muda pada umumnya, pemuda yang enerjik yang melakukan hal membosankan dikampus saat pagi dan bekerja paruh waktu saat sore dan malam.
Kenapa dia begitu berbeda? Ada letupan kecil di hati Maki, sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan, seperti ada sedikit ganjalan di hatinya, atau sebuah keinginan untuk bisa mendapatkan apa yang didapat oleh perempuan muda berambut abu abu itu dari pelayan yang selama ini dianggapnya cupu –hanya karna dia tak begitu tahu tentang dunia hiburan-.
Merasa ada yang aneh pada dirinya, Maki mencoba untuk menghiraukan pelayannya, namun matanya tak mau mematuhi perintah otaknya sehingga dia harus mengutuk dirinya beberapa kali karna pemandangan yang dilihatnya mulai membuatnya gelisah. Mungkin mencuci muka akan mendinginkan otakku. Maki bergegas ke restroom.
Air mulai sedikit menjernihkan pikirannya. Aku datang kemari untuk menenangkan diri, bukan untuk memata matai pelayan cupu itu. Saat Maki keluar, Pelayannya sudah tidak ditempat tadi lagi, Maki tak mau ambil pusing lagi hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali kerumahnya.
"Sampai jumpa, Umi"
"Hm, hati – hati, sampaikan salamku pada Honoka" Pelayan itu melambai pelan pada tamu yang bersama dengannya tadi.
Maki tanpa sengaja melihat salam perpisahan kedua orang tersebut di depan pintu cafee saat dirinya hendak pergi. Maki mulai berpikir bahwa hubungan mereka tidak sebatas pelayan dan tamu, namun lebih dari itu. Masih tetap berdiri dengan pikirannya, Maki tak sadar bahwa pelayannya sudah berbalik dan memperhatikannya.
"Anda datang hari ini? Harusnya anda beritahu saya"
"Hanya kunjungan mendadak, dan bukan berarti aku ingin bertemu denganmu"
Pelayan itu tersenyum, senyum yang seperti biasa, bukan seperti yang dia berikan pada tamu sebelumnya.
"Anda sudah mau pergi?"
Maki mengangguk.
"Terimakasih atas kunjungannya" Sang pelayan sedikit membungkuk pada Maki.
"Umi" gumam Maki pelan, namun masih bisa didengar.
Si pelayan mengangkat kepalanya, melihat pada Maki dengan heran.
"Namamu. Umi,kan?"
Umi tersenyum, kali ini dengan cara yang berbeda, dia hampir tertawa, ekspresinya mirip dengan yang dia berikan pada perempuan berambut abu abu sebelumnya.
"Ada yang lucu?" Maki bingung, dihatinya ada sedikit kepuasan melihat pemandangan didepannya.
"Tidak, hanya saja terasa aneh saat anda mulai tertarik dengan nama saya, bahkan kita sudah saling bicara selama 3 bulan lebih"
"Biasa saja" Maki mencoba menyembunyikan rasa malunya "Bagaimana denganmu, apa kamu tahu namaku?"
Tak heran Maki menanyakannya karna selama ini Umi tak pernah memanggilnya dengan nama, hanya menggunakan kata "anda" yang benar benar terasa kaku.
"Tentu saja, Nona Nishikino Maki" Umi mengambil tangan Maki, sedikit berlutut dan mencium punggung tangan Maki.
