Pernah bertanya kenapa malam itu hitam?
Jika warnanya cokelat, seperti rambut sang pemuda yang tertiup angin malam, apakah bintang tetap cahaya? Bulan masih purnama atau sabit, mengikuti jantung perasaannya yang mencari tak menentu tuju? Namun, pikirnya, dari pada mengabdi sebagai pujangga malam, ia lebih mencintai langkah bebasnya di atas pembatas jalan ini. Bernyanyi seperti burung, dan melebarkan senyum seolah-olah merangkum seisi dunia.
"Kamu tidak bisa bunuh diri ganda, jika hanya seorang diri~"
Kedua tangannya terbentang menjaga keseimbangan. Lompatan kecil ia lakukan, ketika pembatas jalan menemui ujung berupa pemakaman umum. Langkah itu kini menari menuju sebuah pohon yang familier dalam pandang. Rimbun para cabangnya tampak menghitung dedaunan yang merontok, menemani mereka mengering, dan menitipkan salam di waktu sapu ijuk menyapu habis keberadaan mereka.
"Ah~ Angin musim gugurnya benar-benar dingin, bukan? Meski aku tahu ..." Kalimat tersebut bergelantungan pada udara berharap eksistensinya terjaga. Sang pembicara, yakni pemuda serba cokelat lebih dulu menyandari nisan dari arah berlawanan.
Mengembuskan berat napasnya, yang terbuat dari hitam nasibnya sebelum menjernihkan beban.
"Kamu tidak mungkin mengeluh, Odasaku."
Lebih kencang lagi, angin meniupkan lagu untuk merenggut puisi dari para penjaga malam, agar mereka tidak diluruhkan bahasanya sendiri.
Am I Doing Well?
Rate: T
Genre: Poetry, angst, drama.
Disclaimer: Asagiri Kafka & Harukawa Sango.
Warning: OOC demi kebutuhan cerita (apabila berasa demikian), typo, feel ga sampe, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini, dan semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi (?), serta diikutkan pada event "Odazai week 2019" di Tumblr.
Day 1: Whiskey & Tofu/ Warmth/ Yokai!AU
Penantang maut itu–Dazai Osamu, memilih sunyi sebagai kelanjutan monolognya, karena merangkaikan kata terbilang sulit apabila seorang diri. Tangan penuh perbannya terangkat sedikit untuk menciptakan celah dari jari-jarinya–menyaring cahaya bulan, agar tidak menyilaukan sekaligus mungkin, dapat mengubah sudut pandangnya.
Sudut pandangnya yang selalu, mencari kebaikan yang tidak mencerca kepura-puraan seulas senyum.
"Omong-omong selamat malam~ Kamu pasti kaget aku mengubah jam kunjunganku." Dazai tidak pergi siang ini. Bukan karena pekerjaan di Agensi Detektif Bersenjata padat, atau disebabkan kantuk menyerang. Ia sebatas ingin mengubah suasana saja.
"Coba tebak, tadi aku ke mana sebelum ke sini?"
Jeda sejenak. Dazai membuang berat napasnya lagi, sampai ia menemukan cara yang diinginkannya untuk meringankan penderitaan.
"Sayangnya tebakanmu salah~ Aku memang ke bar, tetapi bukan Lupin. Saat jalan-jalan, aku tidak sengaja menemukannya dan merasa tertarik, karena mereka memiliki pianis yang cantik."
"Permainan pianonya bagus, Odasaku. Wanita itu memainkan 'River Flows in You', dan aku menikmati whiskey yang bar itu sediakan, walau Bar Lupin tetap yang terbaik."
Apakah terbaik karena memorinya mengalun sempurna dari sudut ke sudut? Mengingatkan pada gundah, tawa, dan kesederhanaan? Atau karena bar itu selalu tentang mereka bertiga di masa lalu, tanpa mengindahkan perubahan ketiganya?
Foto di saku jasnya bahkan kehilangan jawaban, sewaktu Dazai menggenggam selembar potret mereka.
"Aku minum sangat banyak. Apa Odasaku akan marah karena itu? Jadi penasaran ingin melihat ekspresimu."
Odasaku Sakunosuke bukan pemarah yang sembarang. Alasannya pasti kuat, dan kekuatan itu justru mengantarkannya menuju kehancuran. Namun, ia tetap sabar bahkan berlapang dada. Selalu hangat dalam senyum, sentuhannya yang menangkap pipi, begitupun suara terakhirnya tanpa Dazai lupai nada dari pesan-pesan tersebut.
Kehancuran Oda Sakunosuke begitu indah, gagah dan bermakna. Sahabatnya bukan mati konyol, walau di saat-saat terakhir menuruti balas dendam. Bagi Dazai, Odasaku senantiasa memiliki cahayanya meski raga itu meredup, karena ia meninggalkan jiwa yang penuh kenang, dan tidak semata-mata mewujudkan sosok manusia.
"Odasaku mau tahu sesuatu? Hari ini aku membuat perubahan yang sangat keren, lho~" Posisi Dazai berubah dari bersandar menjadi menempelkan dagu di atas nisan. Suhu batu itu menggetarkan kulitnya dengan dingin yang menusuk.
"Perubahannya adalah aku merasa iri, kepada orang-orang yang tidak kukenali di bar tersebut. Itu sangat aneh buatku."
"Mereka tertawa seperti kita bertiga dulu. Bersulang dan mengobrolkan apa tanpa memikirkan hal lainnya. Meskipun aku duduk di depan meja bar, sementara mereka cukup jauh, kebahagiaan itu tetap terasa bahkan menjangkauku."
"Mereka minum bersama teman-temannya, Odasaku ... aku hanya sendiri, meski kursi kosong di sampingku selalu kuanggap ada kamu di sana."
"Aku membayangkan Odasaku bersulang denganku. Terus kamu bilang, 'lain waktu kita ke sini lagi bersama-sama"."
Gelas whiskey-nya diangkat untuk bersulang dengan kosong udara di bar itu, karena pada napas yang pekat ini Dazai gagal menemui kebahagiaan. Harapnya terlalu muluk mengenai eksistensi yang tidak sebatas dihadirkan angan. Apakah salah jika mengingini kenangan itu terulang dengan lain rasa? Beda cara sehingga memperkaya perasaan kita mengenai seseorang?
Entah egoisme itu keliru atau tepat, selama manusia yang menginginkannya. Namun, sesederhana apa pun penjelasan Dazai mengakrabkan baik-buruk segala maksud, ia terus mengharapkan Odasaku merengkuh cahaya ini bersamanya. Menunggu sang sahabat mengarahkan langkah, sembari mereka beriringan dengan masing-masing kebaikan yang menggenggam pengertiannya.
"Selama itu pula, aku telah memikirkan banyak hal. Tentang kehidupanku saat ini, terutama pesanmu sebelum Odasaku meninggalkanku."
"Ini ... mungkin lagi-lagi terdengar konyol. Tetapi, selama dua tahun bekerja di agensi, aku mulai merasa salah dengan cahaya yang kamu minta perjuangkan ini."
"Salahnya adalah aku tetap merasa hampa. Tidak benar-benar mengerti seperti apa cahaya yang kuinginkan, atau milikmu itu bentuk pastinya bagaimana." Hanya setitik terang tanpa wujud berarti, selain ada untuk ditiadakan derai angin.
Api cahayanya bahkan tidak pantas disamakan dengan lilin yang berpamitan sekalipun, terus membawa asa dalam dirinya.
"Jika terus begini aku akan gagal memenuhi keinginanmu. Membuat Odasaku kecewa bukanlah tujuanku bergabung ke agensi. Aku mau kamu bangga, karena mimpimu berhasil diwujudkan oleh seseorang yang kamu percayai."
"Tetapi, Odasaku, kekuatanku rasanya sangat kecil sampai tidak cukup. Pesan darimu terlalu abu-abu untukku yang ternyata, semudah ini kehilangan langkah."
Bagaimanakah yang sesungguhnya Odasaku kehendaki untuk Dazai dapatkan? Apa cahaya itu adalah sebentuk cinta? Melimpahkan kasih? Tenang yang dapat diandalkan? Kelembutan untuk memahami atau tepukan paling kuat yang mendorong kelemahan menjadi keberanian?
Sekeras apa pun juangnya mengikuti cahaya milik Odasaku–setitik terang di mana kesengsaraan menerima dirinya sebagaimana ada, tegas dalam keputusan, dan dewasa mengenai kebaikan yang terbaik untuk semuanya, Dazai selalu gagal bahkan sebelum mencoba pemahaman itu. Tertolak seolah-olah ia tidak pernah pantas, selain terus berputar pada semu pencarian.
"Bodohnya lagi aku bertanya-tanya, 'kenapa Odasaku tidak meminta Ango saja?'. Bukankah akan lebih mudah, karena dia sudah memiliki cahayanya sendiri? Tinggal mempertahankan kebaikan itu sehingga impianmu langsung terwujud?"
"Sekarang ini, aku sangat ingin Odasaku berada di sisiku. Memberitahuku tentang apa yang harus kulakukan, supaya tidak kehilangan arah lagi."
"Aku jadi membayangkan Odasaku masuk ke agensi bersamaku. Kamu pasti senang ketika bertemu Atsushi-kun. Dia anak yang baik, dan selalu berusaha menjadi lebih kuat. Kalau itu Odasaku, pasti bisa memberinya beberapa saran agar tidak terus memikirkan masa lalu."
"Ada juga Kunikida-kun, dia rekanku di agensi. Orangnya pemarah, idealis, menyebalkan, maniak jadwal, dan cerewet. Tetapi, Kunikida-kun sangat baik, naif, bahkan berhati lembut. Aku jadi sedikit menyesal, karena membuatnya menyaksikan pembunuhan yang kurencanakan pada kasus 'Utusan Azure'."
"Saat Odasaku mendengarkan idealismenya yang menurutku naif, kamu pasti terkagum-kagum. Aku yakin kalian akan cocok, meski berhati-hatilah karena dia sangat disiplin." Pesan terakhir sengaja Dazai buat seakan-akan membisikkannya pada nisan. Ia juga tertawa kecil untuk meredakan ketegangan.
"Agensi juga memiliki detektif hebat, namanya Ranpo-san. Dia suka permen, kekanak-kanakan, dan dekat dengan Saichou. Analisisnya adalah yang terbaik. Aku saja kalah. Namun, bukan itu yang akan membuat Odasaku terkejut, melainkan karena kejeniusannya adalah murni kemampuan manusia, bukan kekuatan super seperti yang lain."
"Bukan hanya itu saja. Di sini ada dokter sadis yang memiliki kemampuan penyembuhan, kami memanggilnya Yosano-sensei. Sayangnya tidak berpengaruh padaku, karena kekuatanku akan menetralkan semuanya."
"Terus ... terus ... ada Kenji-kun yang super kuat. Tanizaki-kun dan Naomi-chan yang seperti sepasang kekasih, tetapi sebenarnya kakak beradik. Soal Saichou yang tadi kusebut, dia adalah pemimpin agensi. Wajah datarnya betul-betul mengingatkanku padamu."
"Pasti sangat menyenangkan, karena kita tidak dipisahkan status seperti sebelumnya. Bahkan mungkin, aku bisa dipasangkan dengan Odasaku lalu kita bekerja sama melawan musuh. Membayangkannya benar-benar membuat bersemangat."
Bersemangat, sementara di lain sisi yang menyembunyikan wajah, kegagalan kian memperjelas diri–menceritakan semua itu hanya menampar Dazai dengan realitas, kalau dia melepaskan Odasaku dan kesempatan mereka untuk terbang menjauhi kegelapan ini bersama–Port Mafia.
Malam semakin matang tanpa Dazai pedulikan hitam rupa-nya. Tubuh jangkung itu perlahan menggigil, ditambah kakinya mati rasa hingga kesulitan bergerak. Sang detektif sekadar menertawai kebodohannya yang berkeliaran tanpa pakaian tebal. Meskipun tahu ia tidak cukup kuat untuk menahan rasa beku, entah kenapa Dazai abai sehingga membisu–lebih sulit untuk berbicara, karena kerongkongannya menelan hujan yang merintik-rintik.
"Kurasa kamu memang minta tolong pada orang yang salah, Odasaku."
"Hidupku saja masih dipenuhi percobaan bunuh diri. Tidak berubah sejak dua tahun lalu, bahkan bertambah jumlahnya dari hari ke hari. Mungkin, karena itulah aku gagal menemui cahayaku sendiri."
"Mustahil selama aku tidak bisa menghargai nyawaku sendiri, apa lagi kehidupan orang lain bahkan menyelamatkannya." Selama ini bagaimana Dazai mempertahankan? Ia belum paham, dan semua terjadi begitu saja. Pandangannya masih abu-abu dalam menjabarkan apa yang telah dipelajari.
"Setelah aku mengatakannya padamu, apa Odasaku akhirnya kecewa? Kamu jadi berubah pikiran?"
"Pertanyaanku retorik banget, ya? Aku tahu Odasaku tidak mungkin kecewa atau berubah pikiran. Kamu terlalu baik, dan kita adalah sahabat mau terpisah sejauh apa pun."
Walau nyatanya, aku sahabat yang buruk karena Odasaku selalu menyelamatkanku di depan matamu, dan di saat kamu membutuhkannya diriku malah membiarkanmu mati di hadapanku.
"Kadang-kadang, aku juga berpikir akan lebih baik jika Odasaku saja yang hidup, dan aku yang mati di pertarungan. Dengan begitu impianmu menjadi penulis akan terwujud, kemudian aku pergi tanpa penyesalan. Akhir yang seperti itu benar-benar ideal, bukan?"
"Segala yang kulakukan hanya membawa tragedi.
"Orang sepertimu lebih pantas hidup dibandingkan diriku. Mau Odasaku membantahnya atau tidak, perkataanku adalah kebenaran."
"Andaikata kamu yang masuk agensi, Odasaku pasti bisa melakukannya lebih baik dariku. Namun bagian terpentingnya, Odasaku tidak perlu menggantungkan impianmu pada siapa pun lagi." Termasuk aku yang cenderung melarikan diri.
"Menyelamatkan lebih cocok untukmu, aku sangat yakin ..." Bawah sadarnya menginginkan sepasang tangannya melampiaskan khayalan tersebut dengan meremas celana–menghancurkan kemustahilan itu agar berbaur bersama udara, dan ditelantarkan saja biar terlupakan.
"Akan tetapi, Odasaku ... aku benar-benar ingin tahu pendapatmu, karena terlanjur melakukannya." Dazai bahkan menggigit bibir. Mati-matian menahan sesak supaya tidak melahirkan tangis yang seharusnya, berhenti ketika ia telah menyaksikan kepergian sesungguhnya.
"Apa aku telah melakukannya dengan baik, Odasaku? Apa menurutmu ... suatu hari nanti aku bisa betul-betul memenuhi keinginan itu?"
"Apa caraku memperjuangkan kebenaran sudah benar? Apa pertobatanku akan diterima? Apa suatu hari nanti juga aku bisa tidak berpura-pura dalam apa pun? Tulus seperti dirimu?"
Hanya sebongkah hening yang dikirimkan untuk menjawab segudang pertanyaannya–sementara pelukan yang menangkap nisan, hadir guna menjaga rasa yang angin titipkan untuk Dazai ingat baik-baik beginilah manusia yang hidup itu–dengan memberikan jiwanya dalam hal sekecil apa pun, termasuk tersenyum kepada siapa pun karena mereka juga diciptakan dari hitam-putih nasib.
"Jawabanmu selalu kutunggu, Odasaku. Untuk sekarang, biarkan aku melakukan yang bisa kulakukan."
"Biarkan aku menghangatkanmu dengan pelukanku. Odasaku yang dingin bukanlah Odasaku yang kukenali."
Dan ia menangis, untuk menghangatkan tubuhnya dengan air mata yang terbuat dari kata-kata yang hilang, karena semua meluruh usai terjelaskan dalam sedu sedan.
Kehangatan paling sejati tetaplah Odasaku yang untuk Dazai, selalu muat dan memahami dunianya di pelukan kecilnya.
Suatu saat, akan kuberikan kehangatan ini secara nyata untuk menyelamatkanmu.
Tamat.
A/N: "Am I Doing Well?", i feel not right now and before, aku yakin selama bikin event shin soukoku itulah yang kurasakan, bahkan di fanfic hari pertama ini (dan aku kesel sama diriku sendiri, karena akhirnya enggak memberikan yang terbaik buat kalian, bahkan ngecewain diriku sendiri).
Apa yang aku tulis hari ini, di fanfic ini, bisa dibilang itu semua adalah apa yang aku rasain. sama kayak dazai, aku juga mempertanyakan "apa aku pantes?" meski bedanya di sini, enggak ada yang siapa pun yang mengharapkanku untuk berkarya atau apa pun. padahal kalo aku mau, rasa jenuh yang aku alami sekarang bisa aku turuti terus aku berhenti begitu aja. hilang dari fandom ini selamanya. itu lebih mudah daripada aku harus kebingungan kayak gini, karena mendadak ga tau tujuan nulis tuh apa.
Aku mutusin buat enggak ambil rehat, karena aku cuma tau lewat jalan ini aku bisa kembali baik-baik aja. buat seterusnya aku bakal melibatkan kalian yang entah kebetulan mampir atau apa dalam keegoisanku sampe aku bisa nemuin keyakinanku lagi. dan, spesial thx banget buat ButterPeanut (aku minta maaf gurumu masih drop bahkan ketika dia nulis A/N)
Thx buat yang udah baca, review, fav/follow, atau sekedar lewat. aku selalu menghargai apa pun yang kalian berikan~
