Hinata menaruh ikatan bunga dan kue mochi di atas batu nisan. Ada foto mendiang Ayahnya yang sedang tersenyum manis di sana. Sebuah senyuman yang sudah 5 tahun tidak ia lihat. Setelah berbasa – basi sendiri menceritakan sedikit kesehariannya pada foto sang Ayah, ia mengatupkan kedua tangannya, berdoa. Tak ada doa khusus yang ia panjatkan, hanya berharap Ayahnya tenang di sana.
"Tobio, Ayo sini."
Sebuah suara manis tiba-tiba masuk ke telinganya. Hinata menoleh mendengar suara itu. Yang ditangkap oleh matanya adalah seorang wanita muda yang cantik berambut hitam dikuncir ke samping yang tengah membawa buket bunga berwarna putih. Tangan kirinya menggenggam jemari kecil seorang anak lelaki dengan wajah dan model rambut yang mirip. Hinata menebak usia anak itu sekitar 10 tahun. Wajahnya tampak muram, kontras sekali dengan ekspresi ibunya yang terus tersenyum sambil berbicara padanya. Sesaat bocah itu melihat ke arah Hinata. Hinata agak terkejut. Tapi itu tak berlangsung lama, karena bocah itu kembali melihat ke arah nisan yang ada di depannya.
Walau hanya sesaat, tapi bola mata biru itu menarik perhatian Hinata.
Hmm.. 'Tobio' ya?
.
.
A Small Blueberry
Original Story : Haikyuu! By Furudate Haruichi
Main Characters : Worker!Hinata Shouyou and Shota!Kageyama Tobio
Warning : Typos, ooc kejauhan, cerita gaje, beberapa original character pendukung, dll.
Enjoy
.
.
.
.
.
Hinata Shouyou, seorang pemuda berumur 24 tahun yang bekerja sebagai seorang pegawai marketing di sebuah perusahaan. Setelah kehilangan sosok Ayahnya akibat sakit lima tahun lalu, Hinata mau tidak mau menjadi satu-satunya lelaki di keluarganya, karena adanya sang Ibu dan seorang adik perempuan bernama Natsu. Dengan posisinya yang sedemikian rupa, ia pun berubah kedudukan menjadi sang tulang punggung keluarga.
Hinata hidup sendiri agak jauh dari rumahnya karena ia harus mencari tempat tinggal yang sesuai dengan jangkauan perusahaan tempat ia bekerja. Tentu saja itu agak memberatkan Ibu dan Natsu pada awalnya. Tapi karena Hinata berjanji untuk sering – sering pulang, maka ijin mereka pun dia dapatkan. Akhirnya sejak pertama ia bekerja sekitar dua tahun yang lalu, setiap dua minggu sekali ia pulang ke rumah dengan sebelumnya mampir ke makam Ayahnya untuk memanjatkan doa.
Seperti hari ini pun, ia melakukan kegiatan rutinnya itu. Hanya saja kali ini sedikit berbeda, ada seorang wanita yang sedang mengunjungi sebuah makam yang tidak jauh dari makam ayah Hinata, bersama seorang anak lelaki yang mempunyai wajah yang mirip dengannya. Dari satu kali melihat saja sudah terlihat kalau mereka ibu dan anak.
Hinata membersihkan kotoran dan mencabuti rumput yang tumbuh liar di sekeliling batu nisan Ayahnya, sekalian mengulur waktu. Entahlah, tapi bocah kecil yang ada di sana membuatnya ingin berdiam lebih lama. Tunggu, jangan salah sangka dulu. Hinata bukan pedopil atau shotacon, hanya saja, bocah itu mempunyai sorot mata yang aneh. Manik mata yang berwarna biru blueberry itu seolah menyiratkan sebuah tekanan batin yang hebat. Hinata sendiri tidak bisa menggambarkannya, tapi walaupun hanya sekilas saja Hinata melihatnya, dia bisa melihat jelas kalau pemilik bola mata itu membutuhkan sebuah pertolongan.
"Sedang berkunjung juga?" Wanita itu mendadak menyapanya.
"Ah.." Hinata agak kaget, ia pun segera berdiri dan membersihkan debu di celananya, "Oh, iya."
Wanita dan bocah itu mendekati Hinata, "Kerabat dekat?"
"Ini makam Ayah saya."
"Oh.."
"Lalu, Anda sendiri?"
Wanita itu tersenyum, lalu ia menepuk kepala bocah bermanik mata biru yang ada di sampingnya, "Ayah dari anak ini."
Hinata sedikit terkejut. "Maaf, Suami Anda?"
Dia menggangguk sambil tersenyum. "Dia meninggal karena kecelakaan. Sekitar setahun yang lalu."
"Saya turut beduka cita."
"Terima kasih." Wanita itu tersenyum dengan manisnya.
Pantas saja, di balik parasnya yang begitu cantik, Hinata bisa melihat sebuah wajah yang begitu kelelahan. Artinya dia bekerja dan mengurus bocah itu sendirian. Jawaban itu juga cukup menjelaskan asal dari 'beban' yang ada di mata si bocah bernama Tobio yang kini bahkan sama sekali tidak mau melihat ke arah Hinata sedikitpun. Rupanya si bocah itu sudah kehilangan sosok seorang di usianya yang terbilang masih sangat belia.
"Ah.. Saya Hinata Shouyou. Salam kenal." Hinata membungkuk kecil.
"Saya Kageyama Yukari" Wanita itu membungkuk balik, "Lalu ini, anak saya. Tobio. Tobio, ayo beri salam."
Yang diperintah malah membuang muka, menunjukkan ketidaksukaannya. Reaksi yang sudah ditebak oleh Hinata. Anak yang seperti ini memang sering ada.
"Ayo beri salam, Tobio."
Dia tidak bergeming.
"Tobio?"
"Tidak mau." Meskipun pelan, Hinata bisa mendengar suara penolakan itu.
"Kenapa?"
"Kalau aku tidak mau ya tidak mau!"
Ibunya agak sedikit kaget,"Hei, jangan begitu. Tidak sopan!"
"Ahahaha.. tidak apa-apa Nyonya."
"Ah.." Wanita itu terlihat sungkan, "Maaf, anak saya memang begini sifatnya."
"Tidak apa-apa hahahaha. Tidak usah dipaksa."
Bola mata biru itu mengintip dari ujung, bertemu dengan pandangan Hinata. Hinata mencoba tersenyum. Tapi ternyata memang bukan reaksi yang bagus yang di dapat Hinata. Bocah itu kembali membuang muka dengan sebalnya.
"Hinata-kun akan segera pulang setelah ini?"
"Ah.. tidak."
"Wah.. boleh lah kalau kita mengobrol sebentar."
"Tentu."
Setelah itu, mereka mengobrol agak lama sambil berjalan dan bahkan sempat duduk berbincang di sebuah taman kota yang dekat dengan pemakaman itu. Entah bagaimana awalnya, Hinata sendiri juga tidak ingat, tapi mereka sampai pada kondisi dimana Wanita itu bercerita panjang lebar tentang kisah hidupnya. Hingga akhirnya si Nyonya Kageyama Yukari itu harus berpamitan karena Tobio terus merengek mengajak pulang.
"Aduhhh... maaf saya jadi curhat panjang lebar begini... ahahaha.." Nyonya Kageyama Yukari memegang pipinya malu, "Padahal kita baru saja bertemu, maaf."
"Ah.. tidak. Tidak apa-apa. Saya senang bisa mendengar cerita Anda."
"Hinata-kun sering ke sini?"
"Iya, saya ke sini dua minggu sekali. Setiap hari sabtu."
"Wah, bagus. Kita bisa sering bertemu kalau begitu."
"Okaaa-san*! Ayo cepat pulang!" Suara cempreng pengganggu itu lagi-lagi terdengar.
"Iya, iya...Kita harus berpamitan dulu, sayang."
"Ayo cepaaat!" kali ini bocah itu menarik lengan bajunya.
"Ah... iya! Iya!" Si Nyonya sedikit terseret, "Ah.. maaf saya permisi."
"Iya, sampai jumpa!"
Ibu dan anak itu berjalan menjauh. Masih terdengar di telinga Hinata suara sang Ibu sedikit memprotes ketidaksopanan anaknya. Hinata melihat bocah itu kembali melirik ke arahnya. Hinata diam, karena ia tahu kalau lirikkan itu hanya akan berakhir dengan buangan muka, seperti sebelumnya.
Semenjak saat itu,sesuai yang dikatakan oleh Nyonya Kageyama Yukari, mereka sering bertemu di pemakaman. Walaupun Hinata hanya datang dua minggu sekali ke pemakaman itu, mereka tetap selalu bertemu sampai beberapa bulan ke depan. Sampai-sampai, Tobio yang tadinya terus merengek tidak betah saat mereka mengobrol panjang jadi terbiasa dan hanya duduk diam sambil ikut mendengarkan ibunya dan Hinata mengobrol. Yaaa... walaupun sikapnya terhadap Hinata tetap dingin seperti dulu. Tapi paling tidak, bisa dibilang kalau Tobio mulai menerima kehadiran Hinata di lingkungannya.
"Ngomong-ngomong, Tobio kelas berapa?"
"Ah,.." Sang Ibu mengelus kepala anaknya, "Kelas empat SD."
"Hoo.." Hinata melihat Tobio yang sedang memperhatikan sesuatu. Pandangannya mengarah ke satu arah tanpa terusik pertanyaan Hinata tentang dirinya, membuat Hinata yang justru malah terusik karena tidak diperhatikan. Ia penasaran dan akhirnya ikut melihat ke arah yang sama.
Dia melihat apa?
Hinata tak menemukan apapun di arah tersebut, hanya sebuah bangku taman dan mesin penjual minuman.
"Kau mau susu?" sang Ibu tiba-tiba bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, Tobio langsung menoleh dengan mata berbinar dan mengangguk dengan semangat. Dan setelah sang ibu memberikan dia uang koin, dengan cepat si Tobio yang selama ini Hinata kenal sebagai anak yang pendiam dan tidak peduli apapun itu langsung berlari dengan semangat ke arah mesin penjual minuman. Hinata menatap heran.
"Dia suka sekali susu kotak." Bisik sang Ibu pelan.
"Oh... "
"Di luar dugaan sekali ya ahahaha."
"Ah.. ti-tidak juga. Anak seumurannya juga kebanyakan suka minum susu..." Hinata mengatakan itu, tapi ia sendiri tidak ingat apa ia juga suka dengan susu kotak sewaktu masih seumuran dengan Tobio.
"Anda.. orang yang kuat ya?" Hinata menggumam sejenak.
"Eh?"
"Ah.. maaf" Hinata menggaruk kepalanya, "Menurut saya, Anda hebat, bisa mengurus semuanya sendiri."
"Aahahaha tidak juga."
"Buktinya Tobio masih bisa tumbuh sehat begini."
"Ibunya Hinata-kun juga single parent bukan?"
"Iya, tapi waktu itu saya dan adik saya sudah dewasa. Jadi kami sudah bisa mengurus diri sendiri paling tidak."
Si Nyonya mengangguk-angguk mengerti, "Iya juga ya..."
"Tapi syukurlah, Tobio anak yang cerdas. Paling tidak, dia jarang bertingkah nakal. Sewaktu saya seumurannya, saya benar-benar pembuat onar." Komentar Hinata sambil tertawa malu.
"Ah.. iya. Tapi dia dingin pada semua orang. Agak takut nantinya dia akan susah bersosialisasi sampai dewasa." Kerutan di dahi Ibu Tobio muncul seiring gerakan tangannya mengelus kepala anaknya.
Bola mata berwarna biru yang sudah kembali ke tepat duduknya itu menoleh tidak suka mendengar dirinya dibicarakan. Bibirnya sedikit terdorong ke depan. Tapi seperti biasa, ia tidak berkata apa-apa.
"Tapi..." Ibu Tobio tiba-tiba menyambung.
"Ya?"
"Dia adalah hal yang paling berharga bagiku saat ini, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk membesarkannya."
Suara itu mengalir lembut masuk ke dalam telinga Hinata dan menjalar ke seluruh pembulu darahnya. Suara itu sama sekali tidak mengandung beban dan tekanan yang selama ini dialami oleh sang Ibu. Ketulusan Sang Ibu sukses membuatnya merinding. Dalam hati Hinata berdoa dengan sepenuh hatinya agar kedua makhluk yang ada di hadapannya bisa segera mendapatkan kebahagiaan. Semua orang berhak mendapatkannya, dan Hinata tahu pasti itu.
Mata biru itu juga melihat ke arah ibunya. Sang ibu tersenyum begitu sadar sedang dipandangi.
"Buang kotak susunya di tempat yang benar ya.."
Bocah itu mengangguk-angguk mengerti dengan wajah yang mengendur lembut. Sang Ibu kembali mengelus rambut hitam lurusnya.
Hinata tersenyum.
Ya. Mereka harus menemukan kebahagiaan.
Dan akhirnya, empat bulan lamanya Hinata mengenal Tobio dan Ibunya. Hinata dan sang Ibu menjadi semakin dekat. Wajah wanita cantik itu selalu bersemangat saat mengobrol dengan Hinata. Tapi semakin lama, wanita itu semakin terlihat letih setiap kali mereka bertemu. Kerutan dan lingkar hitam di bawah matanya semakin kentara. Hinata sampai tidak tega dan mencoba menawarkan bantuan, namun Ibu Tobio selalu menolak dengan halus. Ketersediaan Hinata mendengarkan ceritanya selama ini saja sudah cukup baginya.
Hari ini pun, Hinata kembali datang ke pemakaman Ayahnya.
Mungkin aku akan beli susu kotak untuk Tobio, Batinnya, mengingat si Bocah selalu menjadi sedikit bersemangat saat sang Ibu memberinya susu kotak.
Sekali-sekali. Barangkali saja ia bisa lebih dekat dengan si Bocah. Jujur saja, Hinata sudah bosan melihat pandangan sinis dari mata berwarna biru gelap itu. Hinata ingin melihat bentuk pandangan Tobio yang lain. Bentuk yang mungkin hanya bisa dilihat oleh sang Ibu.
Lima belas menit kemudian, Hinata sampai di pemakaman. Tapi pemandangan pemakaman, kali ini berbeda, Tobio dan wanita itu belum ada di sana. Padahal biasanya, mereka datang terlebih dahulu.
Mungkin mereka terlambat.
Hinata mengatupkan doa dan memberikan bunga dan kue mochi, seperti biasa. Lalu membersihkan pemakaman ayahnya, sembari mengulur waktu menunggu Tobio dan ibunya.
Tapi mereka tidak juga datang.
Mungkin mereka tidak datang kali ini.
Hinata menghela napas. Ia memperhatikan susu kotak yang ditentengnya sedari tadi dan diambilnya dari dalam kantung plastik.
"Sepi deh.."
Hari sabtunya kali ini tidak diwarnai oleh celoteh curhatan dan rengekkan Ibu dan Anak keluarga Kageyama. Hinata memutuskan untuk langsung pulang menemui keluarganya dan meminum susu kotaknya sendiri. Ia pulang lebih cepat daripada empat bulan terakhir ini.
.
.
.
.
.
.
Entah apa yang terjadi, tapi minggu-minggu selanjutnya pun Tobio dan wanita itu juga tidak datang. Dua atau tiga bulan selanjutnya juga, mereka seolah mendadak menghilang tanpa bekas. Entah memang mereka berkunjung di hari lain, atau memang mereka tidak datang. Tapi mengingat betapa semangatnya Ibu Tobio kalau bercerita pada Hinata, rasa-rasanya agak heran kalau mendadak mereka hilang tanpa jejak begini.
Hingga akhirnya Hinata mencoba memeriksa makam Ayah Tobio, barang kali saja mereka datang di hari yang berbeda seperti yang Hinata duga. Tapi ternyata tidak. Ia melihat makam itu terlihat sedikit kotor. Bunga yang dulunya selalu segar di sana kini hilang dan hanya tinggal beberapa tangkai yang masih tersisa dan sudah lapuk terkena udara dan panas.
Jadi.. mereka memang tidak datang beberapa bulan ini?
Hinata jongkok lalu membersihkan makam itu. Ia melihat foto lelaki yang menjadi mendiang Ayah Tobio. Hinata mengambilnya untuk melihatnya lebih dekat. Lelaki di foto itu terlihat masih muda, mungkin sekitar 35 tahunan. Wajahnya terlihat begitu bijaksana dan berwibawa. Memang, sangat cocok dengan Ibu Tobio.
Ia menaruh foto itu lalu mengatupkan tangan dan berdoa sejenak.
"Mungkin wanita itu sudah pindah, atau menemukan lelaki yang lain." Gumam Hinata.
Yah.. semoga saja.
.
.
.
Dua bulan berlalu sejak menghilangnya Tobio dan ibunya. Sebenarnya jujur saja Hinata agak kesepian. Setelah ia terbiasa mengobrol dengan Ibu Tobio dalam waktu yang agak lama sebelum pulang, kini mendadak suasana kembali sepi seperti sebelumnya. Sempat Hinata berpikir kalau dia kesepian seperti itu karena ia jatuh cinta pada ibunya Tobio. Tapi ternyata ia salah. Setelah ia pikir lebih dalam, ternyata Ia lebih merindukan Tobio, ia lebih merindukan bola mata biru blueberry yang selalu memandangnya dengan dingin es, tetapi menghangat secara kontras saat mendengar sesuatu yang disukainya.
Ia jalan ke pemakaman sambil menggaruk kepalanya heran.
"Aku ini kenapa sih? Anak juga bukan, bahkan dia memandangku dengan dingin begitu, kenapa aku malah merindukannya?"
Lalu, kedua matanya menangkap sesuatu. Langkah Hinata terhenti.
Ia melihat gerombolan orang berbaju hitam di pemakaman siang itu. Mereka berwajah muram. Ada beberapa orang yang mengusap air matanya.
Ah? Ada orang yang meninggal?
Hinata berjalan pelan. Sedikit penasaran siapa yang meninggal. Tapi ia tak begitu berani mendekat. Sama sekali tidak ada orang yang ia kenal di sana. Itu artinya siapapun yang meninggal itu bukan berasal dari lingkungan rumah asalnya.
Mendadak, matanya melihat sesosok bocah di antara kerumunan manusia berbaju hitam di sana. Bocah itu sama sekali tidak asing baginya, sosok bocah yang begitu ia kenal.
Hinata terperanjat.
Tobio?!
Ia memincingkan matanya memeriksa kalau-kalau dia hanya salah lihat. Tidak, itu memang benar-benar Tobio. Ia berjalan agak cepat mendekati gerombolan orang itu. Ia bermaksud menemui si Ibu Tobio untuk bertanya, tapi Ia tak menemukan sosok wanita itu di dekat Tobio. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri mencarinya. Tapi ia tak menemukannya di mana pun. Batin Hinata mendadak tidak enak.
Tunggu...
Jangan-jangan...
Ah! Tidak! Tidak! Hinata memukul-muluk jidatnya sendiri.
Jangan asal menerka saja.. mungkin memang Ibu Tobio tidak bisa datang ke pemakaman ini. Makanya dia tidak ada.
Hinata menggigit bibir melihat punggung Tobio dari kejauhan. Bocah kecil itu berdiri terdiam dan menunduk ke arah makam tempat orang yang baru meninggal itu.
Tapi... Tobio'kan...
Setelah pemakaman itu selesai, satu persatu orang pergi meninggalkan pemakaman, termasuk Tobio yang digandeng oleh seorang lelaki paruh baya. Hinata masih menunggu dari kejauhan. Sepasang suami istri berjalan ke arah Hinata. Hinata melihatnya dan berlari mendekat.
"Maaf... "
"Ah? Iya?"
"Anu..." Hinata sebenarnya kurang siap mendengar jawaban dari pertanyaan yang akan ia lontarkan. Tapi rasa penasarannya mengalahkan itu. "Saya mau bertanya, siapa yang meninggal itu."
"Oh.. " Wanita itu kembali memandang ke arah pemakaman tempat tadi ia berkunjung. "Ibu Kageyama Yukari. Ibu dari anak laki-laki yang tadi ada di sana."
DHEG!
Hinata langsung gelagapan mendengar jawaban itu, "Ba-bagaimana bisa? Meninggal karena apa ya?"
"Dia meninggal karena sakit." Pandangan wanita yang ada di hadapannya mengendur sedih. "Dia adalah seorang single parent. Suaminya sudah meninggal sekitar satu setengah tahun yang lalu. Ia bekerja dan membanting tulang untuk mengurus anaknya sendirian. Karena bekerja terlalu keras, akhirnya ia jatuh sakit selama beberapa minggu dan kemarin sore dia meninggal."
Dada Hinata mendadak sesak. Bayangan wajah dan tawa wanita itu langsung membanjiri otaknya. Memang sebenarnya terlihat sekali kalau wanita itu sangat menderita. Jujur saja, Hinata sempat berpikiran hal itu akan terjadi. Tapi pikiran itu menyiksa batinnya dan membuatnya segera membuang jauh-jauh pikiran tersebut. Da kini ternyata ketakutan terbesarnya itu menjadi kenyataan. Takdir sedang asik bermain-main batin dan takdirnya. Hinata lemas.
Tuhan...
"Apa Anda mengenal Nyonya Yukari?"
"Ah.." Hinata terkisap"... iya, saya mengenalnya tidak lama ini."
"Oh.. begitu... sayang sekali."
Lalu pikiran Hinata mendadak terpusat pada Tobio. "Tu-tunggu. Lalu, bagaimana dengan Tobio?!"
"Ah.. itu... "
.
.
To be continued
note:
Holaaa~
Ketemu lagi dengan Kageyama Hinata. Kali ini ngambil cerita tanpa ada unsur romantical.
Ada siihh cuma nanti di bagian akhir-akhir, jadi kalian harus baca ampe cerita ini kelar kalo mau nemu unsurnya xDDD /licik
Ah, tapi tenang saja, kokoro saya juga lagi kebelet buat nulis cerita khusus buat romantic scene pada cerita ini, jadi kemungkinan ada after story(?) nya. Yaaa meskipun kelihatan banget umur mereka cukup jauh ya jarak 14 taun, bhak :'D
Shouta!Kageyama cukup menggoda untuk dijadikan cerita tersendiri. Akhirnya saya mencoba menggorengnya biar mateng jadi cerita (wat) :'D
Untuk awal - awal ini memang sengaja saye fokuskan ke 'pertemuan' mereka dulu jadi mungkin terkesan menonjolkan Ibu Tobio doang.
Oh ya, untuk nama Ibu Tobio, Yukari, adalah resmi karangan dari author sendiri. Kalau nanti di manga mendadak disebutkan nama Ibu Tobio yang asli, yaaa.. entahlah :'D
Terima kasih,
RnR pls xD
