Tsukimori Family Production

Rated : T untuk amannya.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Staring : Uchiha Sasuke, Sai and Haruno Sakura

Genre : Romance/Angst

Warning : OOC, AU, abal, geje. Typo, kemungkinan typo error. Marga Sai, Sarutobi.

Anonymus : disabled

Just enjoy

.


.

Untuk apa kamu menolong pemuda buta itu?

...

Aku hanya merasa, dia sedang membutuhkan seseorang..

.


.

Presenting :

Exception

.


.

Medical One

.


.

.

Bunyi cicit nyaring dari anak burung di atas pohon Ek yang menjadi melody pengantar manusia dalam menjalani kesehariannya. Mengusik, namun mengalun merdu. Pohon Ek besar dengan akar yang kuat, serta daun yang lebat, memberi kesan rindang dari Matahari terik di atas kepala, walau pohon itu hanya berdiri sendiri, menjadi titik tengah taman kota ini. Tak jauh dari sana, sosok beberapa anak kecil sedang berlari pun terlihat. Tertawa, saling mengejar, berlari. Bercengkrama dengan teman-temannya.

Beberapa daun kering berserakan di sekitar pohon Ek besar itu. Sementara sosok Kakek tua renta tengah memegang sapu, mengayunkannya, mengarahkan ceceran daun kering berserakan itu ke satu arah. Tak perduli akan orang-orang yang lalu lalang, dan terkadang menendang tumpukan daun kering yang ia kumpulkan, dan membuatnya harus bekerja keras dua kali. Dan ia hanya bisa mendesah, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan kembali mengayun sapunya.

Tepat di sebelahnya, ada sebuah bangku taman tua terbuat dari kayu, dengan pegangan tangan dari besi yang berbentuk flora. Panjangnya sekitar satu meter, cukup di duduki dua orang dewasa. Dan sosok gadis dengan kaus putih gombrang yang dimasukkan ke dalam celana pendek hitam yang memberi kesan sporty, ditambah sepatu kets putih yang menjaga kakinya, duduk dengan kaki menyilang di atasnya.

Hanya seorang gadis yang tampaknya tak terlalu memperhatikan kegiatan di lingkungan taman ini. Seorang gadis yang duduk di bangku taman, yang tepat berada di bawah pohon Ek rindang, bersebelahan dengan sosok kakek tua yang sedang menyapu itu. Di tangannya terdapat sebuah buku yang entah pada halaman berapa ia membukanya. Yang jelas, buku itu terbuka tepat di tengahnya. Jemari lentik gadis berambut merah muda itu pun kemudian membalik halaman buku tua bersampul merah itu.

Di sebelah kiri gadis bermata emerald itu duduk, beberapa buku dapat di dapati, bertumpuk, menunggu di baca. Tangan kanan gadis itu tiba-tiba bergerak mendekati bibirnya. Kemudian di sadari raut wajahnya berubah. Menguap. Gadis itu menguap. Kemudian tangan kirinya merah sesuatu di atas buku-bukunya, sebuah kertas kaku yang kemudian ia selipkan di antara buku yang dipegangnya. Gadis itu menutup bukunya, meletakkannya di sebelah kirinya, bersama dengan buku-buku lainnya. Tangannya bertaut, dan direntangkan. Terlihat sangat lelah.

Mata emeraldnya mulai menyapu sekelilingnya, mengabsen satu-satu benda yang dapat ia temui di depan matanya. Rambut merah mudanya yang hanya sebahu panjangnya itu berayun lembut, disapu angin. Kapan lagi ia bisa menemukan suasana sesejuk ini di tengah kota, selain di taman ini?

Haruno Sakura.

Nama yang tergurat di atas sampul buku merah di tumpukan teratas buku-buku miliknya. Tulisan menyambung yang setiap guratannya ditulis oleh seseorang yang jemarinya sudah sangat lentur. Nama yang tergurat, menandakan milik siapakah buku tersebut.

Gadis itu menghirup nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Kemudian mata emeraldnya berhenti pada sosok kakek tua yang masih mengumpulkan ceceran daun kering berwarna coklat terang itu. Kemudian rambut Sakura kembali mengayun, menandakan angin datang menggodanya lagi. Daun dari atas pohon pun mulai berjatuhan lagi. Dan sekali lagi, Kakek tua itu mendesah menggerlingkan mata tuanya yang berwarna hitam dengan garis abu-abu pada batasnya.

Gadis itu perlahan berdiri, berjalan satu langkah, dan kemudian berjongkok untuk memunguti ceceran daun yang baru berjatuhan tadi. gerakan, atau tindakan yang sanggup membuat sang Kakek tua beruban itu menoleh, menghentikan aktifitasnya, dan hanya bisa diam menatap gadis yang rela mengulurkan tangan indahnya hanya sekedar untuk memunguti sampah berceceran.

Sehelai..

Dua helai..

Sampai akhirnya tangan gadis berambut merah muda itu penuh. Kemudian Sakura berdiri, berjalan ke arah tumpukan yang semula di jadikan satu titik temu oleh sang Kakek tua, dan kemudian melempar semua ceceran daun kering yang ia kumpulkan di atasnya. Sang Kakek masih diam, menatap apa yang dilakukan sang gadis muda dalam diam.

Kemudian gadis itu memutar tubuhnya, hingga kini dapat menatap lurus sang Kakek. Sudut bibirnya ditarik, kemudian gadis itu menepuk-nepukkan tangannya di udara. "Melelahkan ya Pak, jika bekerja sendiri.."

Kakek tua itu terperangah. Apa yang baru saja dilakukan gadis itu adalah hal yang sangat langka. Membantu seorang Kakek tua penjaga taman untuk mengumpulkan ceceran daun kering? Oh itu adalah hal yang sangat membosankan dan buang-buang waktu. Tapi gadis di depannya, bahkan mengulurkan tangannya sendiri untuk membantunya. Langka, gadis ini bukan gadis sembarangan.

Kakek itu tersenyum, menatap Sakura dengan tatapan hangat. "Siapa namamu, gadis muda?"

Sakura memutar bola matanya. Kemudian gadis itu tersenyum lagi. "Nama saya Sakura. Kalau bapak?"

"Panggil saja saya Kakek Tua.." si Kakek tua kembali tersenyum. Tangannya terayun lagi, kembali menyapu ceceran daun kering di sekitarnya. "Berapa umurmu?"

"Dua puluh tiga tahun.." Sakura kembali berjongkok, mengumpulkan dedaunan berwarna coklat terang itu di tangan kirinya.

"Mahasiswi?" Kakek tua itu melirik sang gadis dengan sudut matanya, penasaran dengan pribadi yang membuatnya kagum dalam satu menit.

"Baru saja saya mendapatkan izin praktek, Kek." Sakura berdiri, kembali mendekati tumpukan daun tadi, dan melemparkan daun-daun kering di tangannya.

"Fakultas apa?" si Kakek masih penasaran, kemudian ia mengarahkan sapunya mendekat ke arah titik point yang semula dijadikannya sebagai tempat berkumpulnya sampah organik ini.

"Kedokteran, Kek.." si gadis berambut merah muda menepuk-nepukkan tangannya kembali di udara. Membersihkan tangannya dari pecahan kecil daun kering yang dipungutnya.

"Dari Universitas mana, Nona?"Kakek itu menyapukan dedaunan kering itu sekaligus, menandakan jam kerjanya selesai.

"Universitas Tokyo." Sakura menarik nafas segar. Ada sedikitnya rasa bangga saat ia ucapkan nama itu.

Si Kakek menggerling, masih penasaran. "Itu Universitas nomor satu di Tokyo. Kau pasti sangat cerdas.."

"Saya hanya beruntung Kek, kalau tidak ada beasiswa pasti saya tidak akan bisa bersekolah di situ," ucap Sakura pelan, menundukkan kepalanya sedikit. Kemudian ditariknya lagi udara baru. Kemudian matanya menyorot ke arah bangunan putih besar dengan ratusan kaca, yang bertepatan di sebelah taman, tempatnya. "Di tempat itulah, saya nantinya bekerja, Kek.."

Sang Kakek tua ikut menoleh, menatap bangunan putih yang jauh di belakangnya. "Hi Hospital? Beruntung sekali. Jarang anak muda sepertimu bisa diterima bekerja di sana. Kau pasti gadis cerdas."

Tersenyum. Hanya itu yang bisa Sakura lakukan untuk membalas pernyataan sang Kakek tua. "Kakek berlebihan. Saya hanya kebetulan beruntung dapat bekerja di HH."

Si Kakek tersenyum, menemukan sosok pribadi unik yang langka di depan matanya. "Cucuku pasti akan merasa beruntung bila bertemu denganmu, nona Sakura.."

Sakura tersenyum, kini ia berlajan menghampiri bangku taman yang sempat ia tinggalkan. Kemudian Sakura meraih tas selempang kulit kecilnya yang berbentuk bulat , yang sudah sangat tua, dan kemudian, mengambil tumpukan buku-buku yang akan dibacanya. "Maaf Kek, sepertinya saya sudah harus pergi ke HH. Saya masih harus mengurus penerimaan saya di situ. Lain kali mungkin kita bisa mengobrol lagi di taman ini.."

Si Kakek tersenyum, mengangkat topi usang berwarna abu-abu model retro yang senada dengan sweater dan celananya. "Ya mungkin. Beruntung bisa bertemu dengan gadis langka sepertimu, Nona Haru—"

"Sakura, hanya Sakura." Sakura meralat ucapan si Kakek, kemudian nyengir. "Saya permisi dulu."

Kakek tadi mengangguk, mempersilahkan gadis berambut merah muda sebahu itu untuk pergi. Sang gadis membalik badannya, berjalan menyusuri paping blok taman menuju pintu keluar.

Kakek itu memakai topinya lagi. Kemudian ia berjalan ke arah bangku taman yang semula diduduki Sakura. Dan Kakek tua itu pun duduk di sebelah tempat yang Sakura duduki semula. Ia melepas topinya, memperlihatkan rambutnya yang sudah beruban semuanya itu. "Pasti cucuku akan senang bertemu gadis seperti Haruno Sakura, di tempat bekerjanya."

.

.

.

Higienis. Kesan pertama yang mungkin kau dapat saat memasuki ruangan putih, dengan bau alcohol dan obat-obatan. Lampu neon yang menyala terus meski jendela juga bersinar karena terik Matahari di luar ruangan. Lantai porselen yang putih dan mengkilat saat kita menjejakkan kaki di sana. Gemeretuk manis suara sol sepatu yang beradu dengan lantai porselen itu, menjadi melody khas tersendiri dari gedung yang memiliki nama Hi Hospital.

Beberapa langkah kau memasuki gedung ini, maka dapat ditemui kursi tunggu yang entah berapa puluh jumlahnya, ditata sejajar dan terlihat rapih. Beberapa orang nampak memenuhi tempat yang seperti aula ini dengan fokus pada meja setinggi dada manusia yang terbuat dari kayu jati. Sosok dengan rambut bercepol pirang berdiri di belakang meja tersebut, memakai baju putih, dan topi putih yang menandakan ia salah satu dari seorang perawat di sana.

Yamanaka Ino, nama yang tetera pada name tag terbuat dari plakat kuningan bertuliskan hitam yang timbul. Gadis manis dengan iris mata sewarna laut itu terlihat sibuk menangani sosok Bapak tua berambut putih—entah uban atau sengaja dicat, yang nampak kesal akan sesuatu.

"Maaf, Pak, tapi kami tidak bisa mendahulukan istri Bapak Jiraiya. Di dalam ruang ICU sudah ada Ibu Chiyo yang baru saja mengalami kecelakaan.." ucap sang gadis berambut pirang tegas.

"Tapi istri saya mau melahirkan!" si Bapak tua dengan tato garis merah pada wajahnya itu berseru, membuat perhatian beberapa orang di lobi rumah sakit ini teralih. Tangan kanan Bapak itu begerak, telunjuknya menunjuk gadis perawat berambut pirang itu. "Kamu hanya bekerja di sini kan? Mana penanggung jawabmu! Biar saya laporkan!"

Ino terkesiap. Mulutnya menganga. Sosok gadis berambut coklat dengan dua cepol di samping Ino pun ikut terdiam. Kemudian gadis itu beralih ke sisi Ino, mencoba membantu Ino. "Tapi Pak, begitulah prosedur kami. Selalu mendahulukan yang lebih darurat. Ibu Tsunade sudah diperiksa oleh Dokter Sarutobi, dan kami diberitahu kalau Nyonya Tsunade diperkirakan akan melahirkan sekitar setengah jam lagi, Pak."

BRAK!

Sukses. Kini semua penghuni lobi rumah sakit ini terfokus pada sosok Bapak berambut putih panjang dengan kemeja abu-abu berdasi hitam, dan celana hitam yang gombrang tengah mendaratkan tangan kanannya di atas meja kayu jati tinggi itu. "Mana sih penanggung jawabnya? Tidak tahu apa kalau—"

"Permisi, Pak."

Si Bapak tua menoleh, mendapati sosok gadis berambut merah muda dengan kaus putih gombrang dan celana hitam pendek tengah menepuk bahunya dari belakang. "Siapa kamu?"

"Saya, hanya pengunjung di sini.." gadis itu memutar bola mata emeraldnya, tersenyum manis.

"Lalu apa urusanmu denganku?" si Bapak tua berseru lagi. Kini hening semakin melekkat pada gedung yang semula ramai oleh suara gemeretuk sepatu atau suara orang lalu lalang ini.

"Saya hanya merasa, harus memberitahukan sesuatu pada Bapak.." ucap Sakura—gadis berambut merah muda ini, kemudian menarik tangannya, menautkannya di depan. "Sebelum Bapak berteriak mencari penanggung jawab dari rumah sakit ini, bisakah Bapak perhatikan sekeliling Bapak? Atau membaca berbagai macam larangan yang ditempel di berbagai macam tempat di gedung ini?"

"Larangan apa yang kau maksud?" Bapak itu mulai memelankan suaranya.

Sakura mengarahkan tangannya ke belakang, di mana jauh di belakang Sakura, ada sebuah tanda larangan bergaris merah. Dilarang Ribut.

Bapak itu diam. Matanya kemudian menatapi gadis cantik berambut merah muda ini dari atas ke bawah. "Siapa kamu? Berani berkata seperti itu pada saya! Kamu tahu siapa saya?"

"Saya tahu." Sosok di belakang Jiraiya tampak menyela, kemudian tersenyum. "Bapak ini Direktur Marketing di Hi Hospital, kan? Bapak Jiraiya?"

"Iya!" Bapak itu menoleh, melirik sosok pemuda yang sepertinya baru datang. Rambut hitam dengan mata yang sewarna. Jas putih khas Dokter pun melekat di tubuhnya. Pada name tag-nya tertulis, Dr. Sarutobi Sai. Pucat. Wajah Bapak tua yang semula dipenuhi aura kemenangan itu, memucat. Bapak itu tersenyum menang. "Dan siapa kau?"

"Saya?" Pemuda dengan jas putih khas Dokter itu tersenyum. "Hanya seorang dokter yang bekerja di sini."

"Bukan itu yang saya maksud!" si Bapak meninggikan lagi suaranya. "Siapa namamu?"

Sai memutar bola matanya, menaikkan alisnya. Matanya terlihat seakan tak ingin memberitahu identitasnya. Sakura tersenyum, tahu dengan siapa gadis itu berhadapan. "Dokter Sarutobi Sai, pewaris tunggal Hi Hospital."

"Err maafkan..—"

"Saya hanya seorang Dokter yang bekerja di sini, Pak." Sai tersenyum, kemudian melirik ke arah dan kembali tersenyum. Berterimakasih akan kebaikannya, mungkin.

Bapak tua itu membungkuk, memberi hormat pada gadis bermarga Haruno di hadapannya. "Maafkan kelancangan—"

"Sut," Sakura berbisik. "Dilarang ribut, Pak."

Sakura tersenyum, bermaksud meninggalkan Bapak tua itu. Terkesiap, Jiraiya hanya bisa terbengong-bengong dengan sikap Sakura dan Sai. Sakura kini meninggalkan Jiraiya, menghampiri Dokter muda yang barusan membantunya. Tangan Sakura terulur, hendak berjabat tangan. "Halo, Dokter Sarutobi.."

Sai meraih uluran tangan Sakura, menjabatnya. "Halo juga, Dokter Haruno. Selamat bergabung dengan Hi Hospital."

Tautan kedua tangan itu terlepas. Sakura mengerutkan keningnya, tersenyum terpaksa. "Maaf, karena dapat panggilan yang tiba-tiba, saya tidak menggunakan pakaian yang formal.."

Sai tersenyum, beralih ke sisi Sakura. "Santai saja. Saya yang memanggil anda kok. Sebenarnya urusannya tidak penting sekali. Tapi ada beberapa berkas yang belum lengkap datanya, dan datanya harus segera diisi, Dokter Ha—"

"Cukup Sakura."

Sai menoleh, mendapati gadis bergelar Dokter di sebelahnya tengah tersenyum manis. Sai mengangkat alisnya. "Dan datanya, harus segera diisi, Sakura.."

"Baiklah, Dokter Sai," Sakura nyengir.

Kemudian, entah sejak kapan, mereka mulai berjalan menyusuri koridor putih dengan jendela di samping kanan dan kiri, serta lampu neon putih yang masih terus menyala pada bagian atas. Berbincang. Itu yang di lakukan oleh Sai dan Sakura. Mereka berjalan berdampingan, saling menyahut hangat. Tak perduli akan kikikan kecil dari para perawat berkostum putih yang tersenyum melihat keakraban dua orang yang seakan sudah lama saling mengenal ini.

Sakura melangkahkan kakinya ke dalam koridor baru, dan Sai masih mengiringinya dengan setia, sekaligus menuntun Sakura menuju ruangannya yang lumayan jauh dari lobi rumah sakit. Jendela demi jendela. Langkah kaki mereka terdengar seakan melody yang mengalun merdu di koridor yang tidak terlalu ramai ini. Masih berbincang hangat. Sakura nyengir. "Sai berarti kakak kelasku di Universitas Tokyo, ya?"

"Iya," Sai tersenyum lebar. Khasnya. "Sakura pasti orang yang hebat, bisa kuliah di Universitas nomor satu seperti itu.."

"Tidak kok." Sakura tersenyum, menunduk. "Kalau tidak ada beasiswa, pasti saya tidak akan bisa sekolah di sana."

"Loh?" Sai terkesiap. Ditatapnya gadis berperawakan mungil di sampingnya. "Memangnya—"

"KELUAR KAU!"

Langkah Sakura dan Sai terhenti. Namun sedetik kemudian Sakura berlari, menyusuri koridor putih dengan jendela pada samping kiri, dan pintu-pintu kamar pada samping kanan yang berurutan letaknya. Instingnya mengatakan kalau ia harus mendatangi asal keributan tadi. Berlari, masih berlari sampai akhirnya mata emeraldnya mendapati vas bunga terlempar keluar dari pintu kamar yang letaknya hanya sekitar dua meter darinya.

PRANG!

"Keluar!"

Sakura perlahan menghampiri pintu kayu mengkilat yang sudah terbuka ke arah dalam. Matanya tak mengindahkan barang yang telah hancur, menubruk tiang penyangga gedung besar ini. Satu tangan kanannya menggapai bibir kusen yang sama putihnya, kemudian mendorong badannya maju ke depan, mengintip.

Kacau balau.

Sosok pemuda di atas ranjang sudah berantakan keadannya. Selimutnya acak-acakan, sementara rambut raven dan bajunya kusut. Sorot tubuhnya seakan menatap sosok pemuda berambut hitam berkuncir yang berdiri di sudut ruangan, dekat televisi. Dan Sakura sadari kalau bagian mata pasien itu diperban putih. Hancur. Benar-benar bukan seperti kamar lagi. Mata onyx kedua pemuda itu menangkap sosok asing yang tengah mengawasi. Kemudian salah satu dari mereka bersua lagi.

"Siapa kau?" tanya si pemuda berkuncir menatap Sakura garang, seraya menggeser tempat berdirinya mendekati ranjang pasien.

Mata Sakura melebar. Kemudian ia tarik senyuman di bibir manisnya, lalu mendorong badannya, berdiri tepat di depan pintu. "Saya Sakura."

"Apa urusanmu?" si pemuda berkuncir menatap Sakura garang.

"Tidak, hanya—hey!" belum Sakura menjelaskan, sosok pemuda di atas ranjang malah melempari Sakura dengan buah-buahan yang terletak di meja kecil, di samping kasurnya.

"Keluar kau!" pemuda itu melempari Sakura dengan buah jeruk, kemudian ia mengambil lagi buah-buahan yang lain, bermaksud melempari sosok pemuda berkuncir di sudut ruangan. "Kau juga bajingan! Keluar!"

Pemuda berkuncir itu menepis ringan buah apel yang terlempar ke arahnya. Kemudian ia merapihkan jas hitamnya, berjalan keluar dari sudut ruangan, dengan hentakan kaki yang entah menandakan apa. "Pikirkan sekali lagi, Sasuke."

Pemuda berkuncir itu melewati Sakura begitu saja, sebelum sedetik yang lalu ia menatap Sakura tajam, entah untuk apa. Sakura hanya diam. Matanya kembali teralih pada pemuda di atas ranjang yang kini diam, seakan menunggu sesuatu. Wajah pemuda bermata onyx ini tak jauh beda dengan pemuda berkuncir barusan. Sakura melangkahkan kaki masuk, dan sol sepatunya pun berdecit nyaring beradu dengan lantai porselen putih.

"Mau apa kau?"

Sakura diam. Untuk ukuran orang bermata tertutup, pendengaran pemuda yang diperkirakan berumur dua puluh tahun ini, cukuplah tajam. "Memeriksa keadanmu?" Sakura tersenyum, mengambil satu langkah kaki ke depan, menuju ranjang yang letaknya hanya dua meter di depannya. Sakura menilik kulit putih pucat pasien ini, menatap juga lekuk wajahnya, dan berakhir pada mata yang tertutup perban itu. Satu kata yang Sakura dapat, tampan.

Kemudian Sakura berdiri di samping ranjang pemuda berambut raven ini. "Ada apa?"

"Tinggalkan aku."

Sakura diam. Permintaan barusan, bukan sekedar permintaan egois dari seorang pasien egois. Bahkan lebih terdengar seperti, seseorang yang sudah putus asa. Sakura meraih tangan pemuda yang kini hanya duduk diam, seakan masih berusaha mendeteksi di mana Sakura berdiri. Sakura menarik tangan pemuda ini, menggenggamnya dengan kedua tangannya. "Untuk apa aku meninggalkanmu kalau aku merasa kamu tidak patut untuk ditinggalkan, Sasuke?"

Pemuda itu menoleh sedikit ke arah Sakura. Sepertinya pendengarannya berhasil menangkap keberadaan Sakura. Dahinya berkerut. "Darimana kau tau namaku?"

"Tidak wajarkah seorang Dokter mengetahui nama pasiennya?" Sakura menatap Sasuke—pasien keras kepala ini, dengan sorot mata ramah yang sudah pasti tidak dapat dilihat oleh Sasuke. Entah mengapa, ia yakin Sasuke dapat merasakan sorot matanya itu.

Sasuke diam. Sakura menggenggam erat tangan Sasuke. Mencoba membangkitkan rasa kepercayaan dalam diri Sasuke, atas Sakura. Tiba-tiba tangan Sasuke terangkat, melepaskan genggaman hangat Sakura. Diam. Gadis itu menatap Sasuke tak berkedip.

"Pergi sekarang juga, atau kau mau ku lempari dengan barang lagi?"

Diam. Lagi-lagi Sakura hanya bisa diam, kaget menghadapi sosok pemuda yang bahkan baru sehari dikenalnya. Beberapa kali pula Sakura dihardik oleh pemuda ini. Sakura menarik nafas panjang, mencoba menarik lagi kesabarannya. "Lempari saja aku sampai kau puas.."

Pemuda itu terhenyak. Masih berusaha menyimak perkataan gadis itu dengan cermat.

"..Sampai aku boleh menemanimu."

Kini giliran si mulut pedas yang terdiam. Sepertinya ia agak aneh dengan Sakura yang tahan dengan sikapnya yang diluar batas itu. Sasuke buang muka, seakan enggan menatap Sakura. "Pergi kau."

Dihardik lagi. Sakura hanya bisa diam di tempatnya berdiri, dalam hatinya ia memang sudah mempersiapkan mental untuk bertemu sosok pasien seperti ini. "Sampai kau ijin—"

"Tidak akan pernah aku ijinkan. Pergi!" hardik Sasuke lagi, kini malah mendorong Sakura ke sembarang arah, membuat gadis itu mundur beberapa langkah.

Diperlakukan begitu, Sakura malah semakin tertantang. Gadis ini kembali mendekat ke ranjang Sasuke, menarik wajah pemuda 'rese' yang sudah mengetes jauh batas kesabarannya, menariknya agar mendekat, hingga dahi mereka beradu, hingga Sakura dapat merasakan nafas pemuda itu di sekitar hidungnya.

Sasuke terkejut, bibirnya terkatup. Kini Sakura menatap perban putih Sasuke, seakan menatap dua bola mata yang tersembunyi di dalamnya. Tangan pucatnya masih memegangi pipi tirus sang pasien. "Dengar, aku akan terus datang kemari, menemanimu, sampai kau sendiri yang bilang kalau kau mau menerimaku di sekitarmu, Sasuke."

Hanya diam, Sasuke terlalu terkejut mendapati orang aneh seperti Sakura. Sasuke meraih kedua tangan Sakura, menggenggamnya. "Dengar.."

Sakura diam, menunggu kata-kata selanjutnya dari Sasuke.

".. Aku tidak akan bertanggung jawab ya.."

Sakura diam. Tiba-tiba gadis ini mulai menyadari kalau degup jantungnya mulai terpacu lebih cepat di setiap detiknya. Di mana itu artinya aliran darahnya semakin cepat dan lancar, juga membuat jaringan pipinya memanas, menampakkan sedikitnya semburat kemerahan. Detak demi detak, seakan mengunci tubuhnya untuk tidak bergerak.

".. Bila dalam keadaan seperti ini, aku pasti bisa lakukan apapun padamu dengan mata tertutup, Nona.."

Segera saja mata Sakura terbuka lebar. Cepat-cepat di dorongnya pemuda dengan wangi mint menempel pada tubuhnya itu, hingga kini pemuda itu hampir terjungkang kebelakang. "Ceh. Ternyata kau gampang sekali dikerjain.."

Cukup kapok. Gadis itu terengah-engah, terkejut. Wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus. Kemudian ditatapnya benar-benar pemuda di hadapannya itu. Keningnya berkerut, menatap pemuda dengan rambut mirip burung gagak itu dengan pelototan supernya. "Apa kau bilang?"

Sakura menghampiri pemuda yang sedang meledeknya itu, kemudian mencubit lengan kekarnya. "Rasakan nih!"

Sasuke menoleh, merasa nyeri pada lengan kanannya, kemudian tangan kirinya berusaha meraih tangan kanan Sakura yang sedang mencubit itu. Perlahan, Sasuke merabanya. Mencoba menerka-nerka bentuk tangan gadis yang sempat membuatnya kaget ini. "Tidak sakit."

Sakura melotot, mulutnya menganga. "Hah? Tidak sakit?"

"Dokter Sakura?"

Terkesiap. Sakura baru ingat kalau tadi ia sedang bersama Sai, dan tiba-tiba kabur begitu saja. Sakura perlahan menoleh kebelakang, nyengir. "Ehehe, iya Dokter?"

Sosok pemuda di ambang pintu itu tengah tersenyum. kedua tangannya masuk ke dalam saku celana hitamnya, menyingkap jas putihnya. Rambut hitamnya diterpa sinar matahari, mengkilat. "Maaf bila mengganggu. Tapi, masih ada yang harus Dokter selesaikan dengan saya."

"Eh iya," Sakura nyengir, kemudian kembali menatap Sasuke yang masih terdiam, bingung. Sakura kemudian menggenggam tangan Sasuke, berusaha membuat Sasuke menyimak ucapannya. "Aku masih ada perlu. Besok aku akan datang lagi, ya?"

Sasuke hanya diam. Kemudian keningnya terlihat berkerut. "Ceh! Memangnya siapa yang memintamu datang lagi? Menyebalkan."

Sakura tersenyum. Ia tahu ada hal lain dibalik kalimat sarkastik Sasuke. "Dadah Sasuke.."

Kemudian Sakura membalik badannya, berjalan menuju Sai yang menunggunya dengan senyuman manis. Sakura beralih kesisi Sai, kembali berjalan berdampingan. Sakura masih tersenyum, sampai Sai membuka suara.

"Kamu tertarik pada Uchiha Sasuke ya?"

"Hn?" Sakura menoleh, kakinya masih berusaha menyamakan langkah dengan Sai. "Uchiha Sasuke? Rasanya namanya familiar. Pasien tadi ya?"

Sai mengangguk. "Ya. Umurnya dua puluh satu tahun. Dia mengalami kecelakaan dasyat saat sedang melaksanakan balap mobil. Mata Uchiha-san terkena berbagai pecahan kaca mobil, sehingga matanya mengalami kebutaan total. Hanya cangkok mata yang bisa menyembuhkannya."

Sakura menyimaknya baik-baik. "Oh dia pembalap terkenal itu ya.. Lalu bagaimana sikapnya?"

Kemudian Sai mulai bersua lagi. "Uchiha-san sangat menyusahkan kami. Dia menolak minum obat dan makan. Juga menolak berinteraksi dengan siapapun. Sepertinya dia sangat terpukul dengan kebutaannya. Karirnya pasti jatuh.."

Sakura diam. Sikap sombong Sasuke, sikapnya yang seenaknya, yang sarkastik itu, apa karena kebutaannya?

Sakura masih diam, sampai Sai berdiri di depannya, meraih kenop pintu bertuliskan Dr. Sarutobi. Sementara otaknya masih terpaku akan sesuatu. Sakura berpikir, berjanji dalam hatinya, ia harus membuat Sasuke tersenyum, bagaimanapun caranya. Dan seberkas cahaya sempat membuat mata Sakura sakit sesaat. Kini Sakura mendapati kalau pintu itu sudah terbuka, dan Sai berdiri di depannya, lengkap dengan senyum merekah yang senantiasa terlukis di wajah tampannya. Sesaat gadis ini merasa terhipnotis dengan sosok yang kini menaikkan alisnya.

"Sakura, aku sudah mengijinkanmu masuk." Sai masih tersenyum.

Buru-buru Sakura menunduk, entah menyembunyikan apa. Yang pasti, sekarang ia merasa kalau dirinya sudah dibuat terpesona oleh sosok seorang Sarutobi Sai. Sai mendengus sambil tersenyum, dengan cepat diraihnya lengan Sakura, menariknya masuk ke dalam ruangannya. "Masih ada yang harus kau selesaikan sebelum kau menjadi Dokter di sini, Sakura."

Hanya mengangguk, diam. Perlahan Sakura menyadari kalau degup jantungnya memacu cepat, dan pipinya memanas. Ingin sekali rasanya ia cepat-cepat menyandang status sebagai Dokter di rumah sakit terkenal ini. Selain ada si tampan Sarutobi, ada juga seorang pasien bandel yang menarik perhatiannya.

Dan Sakura sadar, kedua pemuda bermata onyx itu sama-sama menarik perhatiannya.

.


To Be Continued


.

(A/N) :

Sa-saya minta maaf ngga bisa ngupdate WTD.

minta maaf banget sumpah deh, ngeblank. maaf, saya akan usahakan untuk ngupdate secepetnya.

err, saya juga sedang hiatus. kemungkinan ngga bakal ngupdate dulu, mau nebeng publish aja. tapi saya bakal tetep tanggung jawab. akan tetep saya kelarin.

mungkin bakal lama juga bagi saya untuk cek fic-fic saya yang belum kelar, termasuk fic ini.

saya akan sangat berterimakasih apa bila ada yang bersedia memberi semacam feedback bagi saya. masukan, kritik, flame, saya terima.

dan err, yah, see you in next chapter.

.

.

Sign,

Tsukimori.