Seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun tengah memeluk sang kakak dengan erat. Rambut merah muda pendek yang dimilikinya terlihat kusam. Wajahnya pun turut ternodai tanah yang telah mengering. Iris mata yang berbeda warna itu menatap sekitarnya dengan raut ketakutan.

"Aniki, kita akan dibawa kemana?" Ucap anak laki-laki itu yang membuat pelukannya semakin erat.

Sang kakak mengelus rambut sang adik dengan sayang, berusaha menenangkan ketakutan yang dialami oleh sang adik. "Tenang saja. Kita pasti akan dibawa ke suatu tempat yang lebih baik."

REPLACE

Touken Ranbu © DMM and Nitro+

Memoirs of A Geisha © Arthur Golden

Story By: Aryangevin

Warn: BL, Little bit OOC, et.

Don't Like Don't Read

Sejujurnya ia tak tahu kemana pria dewasa ini akan membawa mereka. Peperangan yang telah terjadi, membuat ia dan seorang adiknya telah kehilangan kedua orang tua mereka. Ayahnya ikut sebagai seorang prajurit, sedangkan ibunya menemani sang ayah sebagai salah satu anggota medis.

Dua bulan telah berlalu, kabar yang telah mereka terima mengatakan bahwa kedua orang tuanya tewas karena musuh menyerang markas mereka. Masras mereka telah dibom, membuat beberapa prajurit dan anggota medis yang tengah beristirahat tewas seketika. Tak ada lagi yang merawat mereka, tak ada lagi yang memberi makan mereka. Hingga salah satu adik mereka yang kala itu masih bersama mereka, meninggal dunia akibat demam yang dideritanya.

Adiknya yang baru berumur empat tahun telah tiada, jasad yang telah kaku itu kini harus mereka kubur dengan kedua belah tangan mereka sendiri. Tak ada seorang pun yang membantu mereka.

Ketika kedua kakak beradik itu memutuskan untuk menghidupi diri mereka sendiri dengan belas kasih orang-orang sekitar, salah satu pria dewasa menghampiri mereka dengan wajah yang ramah. Pria itu memberi mereka dengan dua bungkus nasi sebagai pengisi perut mereka yang kala itu tengah kelaparan. Kedua kakak beradik itu memakannya dengan lahap. Mereka tak pernah merasakan makanan lezat ini sebelumnya. Hingga tak terasa sebungkus nasi itu tidak tersisa sama sekali.

"Kalian di sini begitu menderita, benar kan?" Kedua kakak beradik itu tidak mengerti apa yang dikatakan pria di depannya ini. "Aku akan membawa kalian ke tempat yang lebih baik."

Mereka tetap tidak mengerti. Namun, ketika pria itu mengatakan bahwa mereka akan dibawa ke tempat dimana mereka bisa makan dengan nyaman membuat keduanya dengan cepat menganggukkan kepala mereka.

Di dalam kereta ini, tak hanya mereka berdua saja yang berada. Ada dua orang anak lagi yang berjenis kelamin laki-laki. Mereka tak mengenalnya, namun nasib mereka tak begitu jauh dari mereka.

Selama di perjalanan dalam waktu dua hari satu malam, mereka kini telah berada di suatu kota yang berbeda dari kampong halamannya. Kota ini begitu banyak penduduk yang tengah melakukan transaksi perdagangan. Tapi tampaknya pria yang tengah mengendarai kereta ini tak berkeinginan untuk singgah ke tempat ini.

"Kita hampir tiba." Ucap pria dewasa yang bertugas sebagai kusir itu dari balik jendela kaca di belakangnya. "Sebentar lagi kalian akan bertemu dengan pengasuh baru kalian. Jadi berbuat manis lah. Mengerti?"

Semua anak-anak yang berada dalam kereta tersebut mengangguk. Mereka semua hanya ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik, pakaian yang bersih, makanan yang mengenyangkan, dan tempat tidur yang empuk. Kalau syaratnya hanya berbuat manis, tentu mereka akan melakukannya dengan senang hati.

Kereta kuda itu pun berhenti. Semua anak-anak tersebut bisa merasakan bahwa sang kusir tengah turun dari kereta. Sekian menit terlampaui, tak ada tanda-tanda pintu belakang kereta itu akan dibuka.

Anak berambut merah muda itu semakin memeluk kakaknya erat. Begitu pula sang kakak yang berpikir keras mengenai dimana mereka berada sekarang. Hingga akhirnya cahaya matahari perlahan-lahan timbul menerangi keadaan dalam kereta yang tengah gelap gulita. Pria dewasa yang memiliki rambut pirang itu tersenyum pada saat ia membuka pintu kereta.

"Kemarilah anak-anak. Aku akan memperkenalkan kalian pada seseorang."

Mereka semua saling memandang satu sama lain. Segenap ragu untuk menuruti perkataan pria dewasa di depannya. Dan pria itu hanya terkekeh pelan melihat tingkah anak-anak manis di depannya ini.

"Bukankah kalian sedang lapar? Tuan pemilik okiya ini akan memberikan kalian makanan yang enak." Rayu pria itu berharap bahwa anak-anak di depannya ini akan menuruti perkataannya.

Kerlingan senang terlihat di masing-masing mata anak-anak itu, membuat pria berambut pirang itu semakin mengembangkan senyumannya. Satu persatu anak-anak tersebut menuruni kereta dan berdiri di samping pria itu.

"Anak-anak yang manis~" Ucapnya sembari mengelus puncak kepala keempat anak tersebut. Pria itu menatap si anak berambut merah muda yang masih saja menggenggam sang kakak dengan itu berpikir, bagaimana jika kedua anak itu dipisahkan satu sama lain, pastinya akan semakin menderita mengingat kedua anak tersebut saling bergantung satu sama lain. Ia hanya berharap bahwa pemilik okiya ini tidak bertega hati memisahkan kedua anak ini kemudian.

"Ingatlah untuk selalu berbuat baik kepada pemilik okiya ini agar kalian bisa makan dengan enak. Mengerti?" Bisik pria itu yang ditanggapi dengan anggukan singkat dari keempat anak itu.

Halaman yang begitu luas, ditambah dengan taman mini yang terletak di depan rumah ini membuat keempat anak itu memutar-mutar kepala mereka demi menangkap pemandangan indah di depan mata mereka. Mereka berasal dari keluarga miskin yang belum pernah menjejakan kaki di tempat seperti ini. membuat kedua bola mata mereka berbinar senang. Pria itu tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu setelah sebelumnya mereka memiliki ekspresi ketakutan yang kentara.

Seorang pria berpakaian layaknya penganut Buddha datang menghampiri pria berambut pirang tersebut. "Ah Shishio-san, Anda sudah datang rupanya." Sapanya sembari melirik anak-anak di sekitar pria yang bernama Shishio tersebut.

Anak-anak itu bersembunyi di balik pakaian Shishio. Mereka takut berhadapan dengan pria bertubuh kekar yang menampilkan senyum aneh itu.

"Tidak apa-apa, anak-anak." Shishio terkekeh pelan. "Dia orang baik meskipun bertubuh besar. Namanya adalah Yamabushi." Shishio pun mendorong satu persatu anak-anak itu ke hadapan pria yang bernama Yamabushi tersebut. "Nah, kalian harus menyapa dia sekarang."

"Ka Ka Ka Ka… Aku Yamabushi Kunihiro! Aku adalah penjaga rumah ini dari kejahatan!"

Mata anak-anak itu kembali berbinar saat melihat Yamabushi. Mendengar bahwa tugas Yamabushi seperti seorang pahlawan bagi mereka. "Ha-halo!" Sapa anak-anak itu sembari membungkukkan tubuhnya.

Yamabushi kembali tertawa. Lantai ia pun mengacak-acak rambut mereka dengan gemas. "Aku yakin kalian akan betah tinggal di sini."

Shishio tersenyum mendengarnya. Yamabushi adalah orang yang baik. Dia akan memperlakukan anak-anak sebagai adiknya sendiri. Mungkin Shishio akan merasa senang jika ia melepaskan anak-anak itu kepada Yamabushi. Namun sayangnya, Yamabushi bukanlah pemilik dari okiya ini.

Ah, mengenai pemilik okiya ini, Shishio hampir lupa akan tujuannya ke tempat ini. "Yamabushi, apakah Jirou-sama ada di kediamannya?"

Yamabushi berhenti bercanda dengan anak-anak itu dan menatap Shishio. "Ah, tentu saja Jirou-sama ada di kediamannya. Beliau sangat menunggu kedatangan Anda hari ini."

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas informasinya." Shishio menunduk, diikuti oleh Yamabushi yang menunduk lebih dalam. Shishio pun membawa anak-anak itu ikut berjalan bersamanya, diikuti tatapan heran dari anak-anak tersebut.

Shishio memasuki kediaman okiya yang terlihat sangat mewah itu. Ada beberapa pelayan yang turut mengurus akan kebutuhan di kediaman ini, kebanyakan dari mereka adalah para Maiko yang bekerja di okiya. Ruangannya terlihat besar dan mewah. Shishio tidak akan heran mengingat okiya ini adalah salah satu aset kerajaan yang berkuasa di negara ini.

Shishio berdiri di depan shoji, dimana di dalamnya merupakan kediaman pemilik dari okiya ini. Seorang pelayan yang sedari awal menemani mereka kini mendudukkan diri sembari menarik shoji dan membiarkan Shishio bersama keempat anak-anak itu masuk ke dalam ruangannya.

Asap dari cerutu menguar di udara, membuat beberapa anak menutup hidung mereka langsung karena tak tahan dengan bau asap cerutu tersebut. Shishio membungkukkan tubuhnya hormat lalu berjalan mendekati pemilik okiya ini. Setelah jarak mereka hanya terpaut dua meter, Shishio mendudukkan tubuhnya dan diikuti oleh keempat anak tersebut. Bau dari asap cerutu itupun bertambah pekat, dan di antara anak-anak itu terbatuk kemudian.

"Saya datang dengan membawa beberapa anak-anak sesuai dengan permintaan Anda, Jirou-sama."

Jiroutachi, pemilik dari okiya yang banyak menampung anak-anak dari daerah lain untuk dijadikan sebagai seorang Geisha yang berkualitas. Ia kerap kali meminta kepada Shishio untuk mengambil anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua lagi maupun anak-anak miskin dari daerah lain. Jiroutachi selalu puas akan kinerja Shishio yang selalu membawa anak-anak dengan tampang yang begitu manis. Rupa wajah yang manis merupakan nilai jual yang tinggi. Sehingga tidak heran okiya ini kerap kali didatangi oleh beberapa pejabat tinggi untuk membeli para geisha untuk dijadikan pasangan ataupun hanya simpanan.

Jiroutachi menghisap pipa kiseru yang dipegangnya lalu menghembuskannya perlahan. Yukata berwarna ungu yang berkilauan dengan corak emas terpasang serampangan di tubuhnya. Jiroutachi tidak begitu peduli akan penampilannya ketika ia berada di kediamannya. Ia beranggapan bahwa ia bebas melakukan sesuatu di kediaman miliknya sendiri.

Jiroutachi bangkit dan berjalan anggun menuju Shishio. Rambut panjang yang digerainya membuat beberapa orang akan salah faham mengenai jenis kelaminnya. Anak-anak itu akan mengira bahwa orang yang di depannya ini adalah seorang wanita yang cantik, mengingat kebanyakkan pemilik okiya adalah wanita. Namun ketika yukata itu melorot dan menampilkan bahu dan juga dadanya yang rata akibat pakaiannya yang serampangan, membuat tatapan anak-anak itu berubah menjadi keterkejutan.

Karena dirinya adalah seorang laki-laki, Jiroutachi tak pernah menerima anak-anak perempuan sekalipun wajah anak-anak itu begitu cantik. Karena baginya, okiya ini khusus untuk menampung anak laki-laki.

"Kau tahu? Aku sudah terlalu lama menunggumu." Jiroutachi berdiri di depan Shishio.

Shishio menundukkan kepalanya. "Maafkan aku, Jirou-sama. Tempat yang saya datangi cukup jauh, sehingga membutuhkan waktu perjalanan yang cukup lama."

Jiroutachi mengabaikannya dan beralih menuju seorang anak berambut biru gelap yang diikat tinggi. Jiroutachi memegang dagu anak yang bisa ia perkirakan baru berumur tujuh tahun itu dan membersihkan noda tanah di pipinya. "Menarik." Jiroutachi tersenyum. "Mulai saat ini namamu adalah Yamatonokami Yasusada."

Anak itu menatap Jiroutachi takut-takut. "Yasusada?"

Jiroutachi mengangguk. "Ya. Nama yang bagus, bukan? Kuharap kau melupakan namamu yang dulu." Jiroutachi pun beralih menuju samping anak tersebut. Ia mengelus-ngelus rambut anak itu yang panjangnya sebahu. "Rambut yang begitu lembut." Jiroutachi menatap tepat pada mata anak itu. "Namamu adalah Hachisuka Kotetsu. Kau harus mengingat nama ini selamanya."

Anak itu tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berdiam saja saat Jiroutachi mencoba untuk berbicara padanya. Tapi sepertinya anak itu tak begitu tertarik akan pembicaraan Jiroutachi. Jiroutachi tersenyum tipis, mungkin saja anak ini memang sependiam ini.

Jiroutachi beralih pada dua anak yang tersiksa. Salah satu anak berambut merah muda pendek memeluk lengan anak lainnya dengan erat. Jiroutachi menatap heran akan kedua anak ini. ia pun menoleh menghadap Shishio yang tepat berada di samping mereka meminta penjelasan kenapa mereka bersikap seperti ini, tidak seperti kedua anak lainnya yang tak begitu bergantung pada lainnya.

"Aku rasa mereka berdua bersaudara." Shishio dengan cepat menanggapi.

"Bersaudara rupanya." Jiroutachi terdengar bahagia. Ia mengelus-elus kepala kedua anak itu dengan kedua tangannya. "Jadi, siapa kakak di antara kalian, hmm?"

Keduanya saling berpandangan, mencoba memahami arti tatapan dari sorot pandangan keduanya. "Aku adalah kakak." Ucap seorang anak yang memiliki warna rambut light baby blue anak satunya makin merapatkan pelukannya. Ia merasa bahwa sosok Jiroutachi begitu seram di matanya, meskipun ia memiliki wajah yang cukup cantik sebagai seorang laki-laki.

"Sudah kuduga." Jiroutachi menyeringai. "Karena kalian bersaudara…" JIroutachi memegang dagunya, tampak berpikir, "Samonji… Nama belakang kalian Samonji. Kau adalah Kousetsu Samonji mulai dari sekarang." Ucapnya kepada sang kakak dari kedua bersaudara tersebut.

Anak yang diberi nama Kousetsu Samonji itu tampak mengernyit tidak suka. Ia begitu menyukai nama dari pemberian orang tuanya. "Ta-tapi namaku—"

"Lupakan nama aslimu mulai sekarang." JIroutachi menatap tajam. "Kalau kau ingin hidup nyaman di sini, lupakan masa lalumu mulai dari sekarang."

Kousetsu meneguk ludah. Tiba-tiba jadi merasa takut. Benar, ia dan adiknya hanya ingin hidup dengan nyaman, tanpa harus tersiksa dengan kelaparan lagi di jalanan.

Tatapan Jiroutachi beralih menuju sang adik yang sedari tadi terdiam. Jiroutachi pun mengubah ekspresinya menjadi penuh keramahan. Untuk mengambil hati seorang anak kecil, ia harus berlaku ramah. "Aku selalu penasaran kenapa kau terus saja menyembunyikan wajahmu di pelukan kakakmu." Jiroutachi berkomentar sembarimembawa tangannya untuk menyentuh wajah anak itu. Tapi sang anak kembali menyembunyikan wajahnya tanpa sempat Jiroutachi menyentuh wajahnya. "Oh, apa kau malu kepadaku?" Jiroutachi menanggapi atas reaksi yang diberikan anak itu terhadapnya. "Atau kau takut?"

Anak itu hanya terdiam sembari memeluk kakaknya. Kousetsu tak bisa berbuat apa-apa. Ia takut kalau Jiroutachi akan menatapnya tajam lagi.

Sekali lagi Jiroutachi ingin menyentu wajah anak itu dan menyingkirkan poni yang menutupi sebagian wajahnya. Ia begitu senang menyentuh wajah seseorang. Tampaknya anak itu tak menolak dan membiarkan Jiroutachi menyentuh wajahnya. Wajah anak itu kotor dan Jiroutachi membersihkannya. Saat helai rambut yang menutupi wajah anak itu ia singkirkan, ia cukup terkejut dengan warna mata sang anak yang begitu berbeda. Iris berwana hijau di sebelah kanannya, dan iris biru di sebelah kirinya.

"Oh, lihat apa yang telah kutemukan ini." Jiroutachi berbinar-binar menatapnya.

Sang anak menarik wajahnya kembali dan menunduk. "Ma-mataku cacat. Jangan di-dilihat."

Jiroutachi begitu gemas melihat reaksi anak ini yang begitu pemalu. Ia kembali menyentuh wajah anak itu dengan kedua tangannya. "Siapa yang mengatakan bahwa matamu cacat, hmm? Lihat saja, akan kubuat kedua mata ini mampu memikat para pelanggan kita."

Anak itu tak mengerti apa yang dikatakan oleh laki-laki ini. Bagaimana bisa kedua matanya yang cacat ini akan memikat orang-orang di luar sana? Sedangkan di kehidupannya selama ini, ia hanya dipandang sebagai anak yang mengerikan.

"Souza. Souza Samonji."

Anak itu mengerjap-ngerjap matanya dari lamunan. Ia menatap Jiroutachi bingung.

"Souza Samonji. Pakailah nama itu mulai dari sekarang."

Souza. Souza. Souza. Ia akan menggunakan nama itu mulai sekarang. Ketika orang-orang mendengar namanya dulu, ia dikenal sebagai anak pembawa sial. Dengan nama Souza Samonji, ia berharap orang-orang akan mengenalinya dengan pribadi yang baru.

TBC

Aniki: Panggilan untuk kakak laki-laki

Okiya: Rumah kediaman geisha

Maiko; Bisa juga disebut dengan calon geisha.

Shoji: PIntu geser yang biasanya ada di rumah tradisional Jepang.

Ini cuma prolog aja, meskipun cukup panjang disebut sebagai prolog :D

Next chapter, mereka semua sudah dewasa dan sudah diangkat jadi geisha ya :'D

Baca next chapter tanpa mengikuti prolog ini juga nga papa, nga terlalu berhubungan juga kok. Aku cuma pengen menceritain gimana Souza dan lain-lain bisa jadi seorang geisha :')

Review!