Disclaimer: Manga dan anime Haikyuu merupakan karya yang hak ciptanya dimiliki oleh Furudate Haruichi. Adapun saya tiada ada sedikitpun mengambil keuntungan materiil dalam peminjaman karakter di dalam fanfiksi ini.
Warn: Mpreg. Alternative universe and reality. Children!Karasuno boys. Big family. Tidak memiliki hubungan apa-apa dengan fanfiksi Karasuno's Little Family.
.::Selamat membaca::.
Tadashi menatap khawatir sang ibu yang mengernyit kesakitan sembari memegangi perutnya.
"Mamma?"
Koshi tersenyum tipis dan duduk kembali di sofa. Tadashi disuruhnya duduk di sampingnya, diusap dengan lembut rambut kehijauan putra yang sebentar lagi tidak bungsu itu. Diciumi Koshi dengan lembut kening Tadashi. "Sebentar lagi Tadacchi akan punya adik, loh. Senang?"
Tatapan mata hijau itu tiada mengerti dan tangan kecilnya memegangi perut besar sang ibu. Koshi tersenyum geli melihat mata polos itu. Ia ciumi pipi Tadashi berulang kali dengan penuh sayang dan gemas, si kecil tidak menolak maupun memberontak dan tertawa geli menerima perlakuan ibunya.
Selang beberapa menit kemudian Koshi melepaskan pelukannya dari Tadashi dan mengernyit kesakitan lagi. Tangannya memeluk perut besarnya dan keringat membanjiri wajahnya lagi. Lagi-lagi bocah satu setengah tahun itu memberikan reaksi panik dan ketakutan. "Mammaaa."
Biasanya ibunya akan kesakitan semenit dua. Namun kali ini Tadashi harus terus menggenggam jari-jari ibunya bermenit-menit lamanya. Dia turut menangis, tak kuasa melihat wajah tersiksa ibunya. Isakannya tak bisa ditenangkan Koshi yang juga kesakitan setengah mati. Wajahnya memerah, dan dia terus membisikkan ujaran lembut di telinga anaknya itu untuk tetap tenang.
"Tadacchi, Kei nii-chan."
Pegangan di jemarinya dilepas. Dengan tertatih-tatih Tadashi berlari keluar dari ruang keluarga dan menemu dua kakaknya yang bermain di teras. Ia berteriak dengan tersendat-sendat dan gagap. Wajahnya masih memperlihatkan kepanikan. "Nii-chan. Nii-chan… Mammaaaaa."
Kei dan Tobio yang semula memperebutkan mainan dinosaurus, terpaku. Pegangan kuat Kei pada mainan itu melonggar dan dengan cepat Tobio mengambil mainan itu dari sang kakak. Dibawanya menjauh dari si pirang dan tidak mempedulikan tangisan sang adik. Kei menggeram sekali padanya sebelum menghampiri Tadashi yang terisak dan ketakutan. "Ada apa, Tadashi?"
"Mammaaaa…."
Kei melepas sendalnya dan dia berlari dengan cepat ke ruang keluarga, tempat ibunya yang masih kesakitan. Wajahnya pasi seketika melihat wajah pucat sang ibu, dan dadanya bergemuruh dengan nyaring. "Mama!"
Koshi tersenyum tipis melihat kedatangan Kei. "Adiknya mau keluar, Kei."
Anak pirangnya segera berlari ke meja telepon dan memencet angka satu dengan kuat dan berulang kali sembari memegangi gagang telepon.
"Papa! Mama… adiknya…."
Kei baru mengujarkan tiga kata itu saja, dan telepon langsung ditutup dari seberang. Kei kembali panik dan menekan angka satu lagi berkali-kali. Namun telepon tidak jua terhubung. Si pirang ketakutan setengah mati dan berlari mendekati ibunya. Bocah empat tahun itu tak berani menangis, tak mau menambah kepanikan ibunya yang sudah cukup kerepotan karena Tadashi terisak memeluk lengannya.
Ujarnya tergagap, "Mama mau minum?"
Koshi hanya tersenyum, dan Kei berlari lagi ke dapur. Ia memanggil Tobio untuk turut jua mengkhawatirkan ibu mereka. Disuruhnya Tobio untuk mengambil selimut di kamar, meskipun adiknya itu kemudian uring-uringan melakukan perintahnya. Kei kembali ke ruang keluarga dengan membawa segelas air putih. Tobio datang pula dengan selimut. Mereka menyelimuti si perak anggun itu.
"Papa mana?"
"Mana kutahu." Kei sebal pada Tobio yang kini nampaknya turut tertular panik seperti dia. Koshi kembali mengerang, dan tiga anak termuda mereka menjadi pucat setengah mati karena rintihan si perak. Tangisan Tadashi makin menjadi-jadi. Ia ingin memanjat di dada ibunya, memeluk leher Koshi, dan menciumi pipi ibunya, seperti saat ia selalu diciumi untuk ditenangkan oleh orang tuanya ketika ia menangis atau sakit. Namun Kei menariknya saat Tadashi akan melakukan hal itu. "Nanti adiknya kesakitan."
"Mama tidak apa-apa, kok." Senyuman itu masih tetap menenangkan, namun ada getaran kesakitan di nadanya. Tobio berkali-kali menyodorkan segelas air untuk diminum ibunya, namun ditolak oleh Koshi dan kemudian ia sendiri kembali pasi. "Oe, bagaimana ini? Bagaimana?" tanyanya sambil terus menarik-narik lengan baju Kei. Si pirang yang sudah kesusahan menggendong Tadashi yang menangis di tangan kanannya mendelik penuh kesal dan sebal. "Mana kutahu!"
Tobio berlari ke telepon dan menekan angka satu lagi. Mereka sudah diajari bahwa jika terjadi sesuatu di rumah saat ayah mereka sedang bekerja, mereka harus memencet angka satu di telepon. Di hari biasa, suara sang ayah akan terdengar di seberang. Biasanya ujar kesal terdengar jika alasan mereka hanya untuk iseng. Terkadang adalah tawa penuh kebahagiaan terdengar dan menyuruh mereka untuk bersabar menunggu kepulangan sang ayah.
Namun sekarang tidak terdengar apapun di seberang. Telepon bahkan tidak diangkat sama sekali. Dan itu membikin wajah Tobio makin pucat. "Papa mana?"
Erangan Koshi makin menjadi-jadi. Tobio bolak-balik memperbaiki selimut ibunya yang berantakan, menyodorkan minum, bahkan mengambil handuk untuk menyeka keringat sang ibu. Kei sama sekali tidak mampu melakukan apa-apa karena isakan Tadashi makin mengeras seiring makin kesakitannya sang ibu.
Dan lama kelamaan Tobio turut menangis jua. Bocah tiga tahun itu terduduk di lantai, di dekat kaki sang ibu dan Kei makin merasa tersiksa karenanya.
"Koshi!"
Langkah kaki itu nyaring dan cepat dan wajah panik ayah mereka terlihat kemudian. Daichi menghampiri keempat anggota keluarganya, mencium kening Tobio yang menghampirinya dengan menangis, dan memeluk pasangan hidupnya. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"
Koshi hanya mengangguk lemah. Ia benar-benar kepayahan dan memegangi pundak Daichi kuat-kuat. Dituntun Daichi Koshi keluar rumah, diiringi ketiga anak mereka yang sama ketakutannya.
"Papa?"
Berhasil membawa Koshi masuk ke mobil, Daichi beralih menghadap ketiga anaknya. Ujarnya, "Kalian jaga rumah sebentar, ya? Nanti Papa dan Mama segera kembali kok."
Kei mengangguk mengerti. Dia sudah pernah menghadapi situasi yang seperti itu dua kali, dan ia mulai terbiasa sedikit. Namun Tadashi tidak. Dia tetap merajuk untuk ikut bersama sang ayah. Ia memberontak di pelukan kakaknya dan menjerit untuk digendong Daichi.
"Tadacchi?"
Erangannya berhenti saat Koshi memanggil anak hijaunya itu. Senyuman manis ibunya membuat mata Tadashi terpana sesaat. Lanjut sang perak lagi, "Tadacchi jadi nii-chan yang baik, ya? Mama dan papa mau jemput adik sebentar. Kan Tadacchi sudah jadi kakak."
Daichi mencium kening Tadashi sekali dan meninggalkan ketiga anaknya untuk masuk ke dalam mobil. Katanya terakhir kali pada Kei, "Nanti paman Asahi akan datang mengambil kebutuhan mama. Kei tolong bantu siapkan ya?"
Dan perasaan bergemuruh di dada Kei sudah hilang sama sekali. Ia bujuk adik-adiknya untuk masuk ke dalam rumah. Tadashi yang masih meneteskan air mata sekali dua mengekori kemana pun Kei pergi. Tobio berhenti menangis dan hanya duduk di sofa dalam diam. Tidak mempedulikan ujaran kakaknya untuk membantu menyiapkan hal-hal yang sudah diminta ayah mereka. Tubuh kecilnya kerepotan membawa-bawa tas yang bahkan bisa ia dan Tadashi masuki.
.::.
"Defender, pahlawan kebangkitan datang! Zombie apapun akan kami basmi!"
Ujaran berisik itu diserukan dua bocah berumur enam dan delapan tahun. Tiga anak tertua keluarga Karasuno telah pulang dari sekolah dan tetap berisik seperti biasa. Selain si anak kedua, mereka berlari selepas menanggalkan sepatu mereka dan berebutan masuk ke ruang keluarga.
"Kei, mama mana?" Si sulung, Yuu, melemparkan tasnya begitu saja. Dia mengambil satu dua balok kayu yang sudah disusun adik pirangnya dan menaruhnya lagi ke lantai. Karenanya kedut sebal muncul di kening sang adik. "Nii san, jangan ganggu."
Yuu tertawa kegirangan dan berniat mengusili Kei lagi sebelum Chikara turut masuk ke sana dan menjitak kepala kakaknya itu. Anak berambut hitam itu menghampiri Tadashi yang duduk tak jauh dari Tobio dan Kei yang bermain menyusun balok dan menggendong batita yang matanya masih memerah dan kesusahan menggigiti biskuit besar yang ia genggam. "Makan apa, Tadashi?"
Tugas Chikara jika dia pulang sekolah adalah memandikan Tadashi, itu yang diminta ayah dan ibunya selama ini. Dan tentu saja anak kedua Karasuno itu menurut dan melakukannya dengan senang hati.
Tadashi memperlihatkan biskuit yang baru separuh ia gigiti. "Cuich."
Chikara tertawa dan membawa adiknya itu ke kamar mandi. Ryuunosuke yang sejak sampai di rumah langsung memberantakkan isi tasnya, kini berlari mengelilingi rumah, mencari sang ibu. Karena tak menemu si perak jua, ujarnya saat kembali ke ruang keluarga, "Kei, Tobio. Mama mana?"
"Rumah sakit," jawab Kei singkat dan tidak peduli. Yuu yang sudah biasa pada hal itu hanya membulatkan mulutnya dan memperdengarkan suara mengerti. Dia akan punya adik keenam. Chikara yang juga mendengar obrolan di ruang keluarga berteriak pada adik pertamanya, "Ryuu. Nanti kau yang kebagian mengurus adik bayi itu, loh."
"Berisik! Belum tentu juga, loh."
Yuu tertawa. Ditepuknya punggung Ryuunosuke, "Ryuu, aku sudah dapat jatah mengurus Tobio. Chikara mengurus Tadashi. Jadi yang tersisa mengurus adik terakhir kita ya tinggal kau."
Wajah bocah botak itu terlihat tidak rela. Dia merasa mengurus bayi pasti sangat merepotkan dan membuatnya tidak bisa bermain dengan sesuka hatinya.
"Yang benar saja."
Tobio yang bosan menyusun balok dengan Kei berlari mengambil bola di sudut ruangan dan melemparkannya pada kakak sulungnya. "Ayo main bola."
Yuu tertawa keras dan menghampiri adik hitamnya itu. Ia berantakkan rambut Tobio dan ujarnya, "Uwoh! Ayo kita main di halaman, Tobio. Kau ini benar-benar suka main bola, ya?"
Tobio hanya diam dan mengekori kakak pendeknya yang berjalan keluar. Mata birunya memancarkan kebahagiaan tiada terkira dan ia begitu antusias jika sudah bermain bola dengan kakaknya itu. Ketika dulu ia ditanyai cita-citanya, Tobio menjawab dengan begitu semangat, "Main bola voli."
Saat mendengarnya, Koshi tertawa dan mengamini, Daichi sama tertawanya dan memeluk tubuh kecil Tobio dengan erat, "Kau akan jadi pemain voli yang hebat nanti, Tobio."
"Aku ikut!" Ryuunosuke melemparkan buku yang sedari tadi ia bawa-bawa dan berlari mengejar kakak dan adiknya. Ujarnya dengan berisik, "Defender, pembela yang lemah akan mengalahkanmu, Tobio!"
Kei mendelik bosan dan menyesali nasibnya yang harus dibesarkan di keluarga terlampau besar itu. Kakak-kakaknya yang terkadang usil, Tobio yang terkadang suka menganggu dan mengajaknya bertengkar, Tadashi yang masih suka menangis dan mengekorinya kemana-mana. Dan sekarang bertambah satu adik bayi lagi? Kei bahkan tak tahu apakah dia bisa bertahan hidup lebih lama lagi atau tidak.
"Tidak bisakah aku dilahirkan di keluarga normal dan hanya punya satu kakak saja?"
-Bersambung
A/N: Sesungguhnya saya berniat untuk membuat kumpulan drabble keluarga Karasuno. Tapi untuk yang event satu ini sedikit lebih panjang, jadi dibuat dua chapter.
