Pria itu terlihat akan kembali menarik pelatuk pada pistolnya. Sementara seorang pria paruh terlihat meringkuk sambil memegangi dadanya yang mengeluarkan darah karena logam runcing yang menembus rusuknya. Erangan kesakitan disertai kata-kata ampun lolos dari bibirnya. Perlahan tapi pasti, air mata mulai meluncur menuruni pipinya yang dipenuhi tanda-tanda penuaan, bahkan seorang pria dewasa dapat menangis ketika sudah berhadapan dengan ajal. Uchiha Sasuke, nama pria dibalik kejadian mengenaskan ini mulai menipiskan jarak antara ia dan korbannya. Mengangkat dagu si pria tua dan membisikkan kata-kata yang sukses membuat korbannya membulatkan mata. Sasuke menyeringai sadis kearah korbannya. Ia tahu, cepat atau lambat semua ini akan terjadi, dan puncak dari permainan akan segera dimulai. Rantai persaingan yang mengharuskan orang-orang yang terlibat di dalamnya bertarung, saling menjatuhkan. Dimakan atau memakan. hingga akhirnya hanya ada satu pemenang.

.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Genre: romance & drama

Cast : Sasuke .U. x Haruno .S.

MY LOVE, MY KEY

.

.

.

Gadis musim semi itu tengah mengetuk-ngetukkan jari-jari lentiknya di atas meja. Sedang tangannya yang lain ia gunakan untuk menumpu wajah cantiknya. Bahkan ia masih mengenakan jas prakteknya. Celana jeans putih dipadukan dengan kaos polo berwarna hitam. Simple dan cukup nyaman . lagipula siapa yang akan peduli dengan penampilannya? Ia hanya tengah duduk di cafe yang bersebelahan dengan rumah sakit tempatnya bekerja. Ya, Haruno Sakura adalah seorang dokter spesialis bedah di rumah sakit milik keluarganya. Konoha International hospital. Rumah sakit terbaik dan terbesar di Konoha. Tapi jangan sepelekan kinerjanya. Seorang Haruno Sakura sungguh sangat profesional.

Sakura kembali melirik jam tangan rolexnya, Ia sudah terlalu lama dibuat menunggu. Hidungnya telah memerah sempurna karena udara dingin bulan desember. Sementara orang yang ditunggu tak kunjung datang sejak satu jam yang lalu. Ingatkan sakura untuk membedah isi kepala sahabat pirangnya itu. Pekerjaanya yang seorang dokter bedah dan sahabatnya yang berprofesi sebagai wartawan untuk majalah ternama konoha membuat mereka cukup sulit untuk membuat janji bertemu. Padahal saat mereka masih menjadi mahasiswa, bertemu adalah rutinitas yang tak pernah terlewatkan.

Cukup sudah, ia sudah tak tahan mendapat tatapan menggoda dan penasaran pengunjung lain. Sakura beranjak meninggalkan tempat duduknya setelah menaruh beberapa lembar uang di atas meja. Udara malam ini benar-benar dingin. Pasti menyenangkan bisa segera sampai ke rumah dan menyeduh coklat panas favoritnya sambil duduk di depan perapian.

Ia segera berjalan menuju halte yang lumayan jauh dari cafe yang baru ditinggalkannya. Jalanan sudah sepi, tak terlihat pengguna jalan yang berlalu lalang. Hanya ada Sakura seorang di jalan itu. Bahkan ia mulai ragu apakah akan ada bus untuknya.

Disaat seperti ini Sakura sangat merindukan mobil sport kesayangannya. Ia terlalu terburu-buru hingga tak mempedulikan jalanan Konoha yang sedang padat karena jam kerja. Dan alhasil mobilnya menabrak mobil lain yang hendak berbelok. Memikirkan hal itu sukses membuat Sakura tambah cemberut. Bibirnya semakin ditekuk dan kakinya mulai tak bekerja sesuai perintah otaknya. Ia berjalan melewati halte dan malah terus berjalan hingga sampai di depan bangunan tua yang sudah tak terpakai.

Bangunan itu begitu suram dengan cat berwarna putih yang mulai mengelupas dan dindingnya yang seperti akan roboh kapan saja. Sudut bibirnya melengkung ke atas, menciptakan sebuah seringai cantik, matanya berbinar senang seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Saraf adrenalinnya mulai berpacu. Ia tertantang. Perlahan tapi pasti, sakura berjalan ke arah bangunan tua itu, mulai menyusuri koridor yang panjang nan gelap. Bangunan itu disangga oleh pilar-pilar yang begitu besar. Hingga membuatnya berasumsi kalau salah satu pilar ini roboh, pasti akan mengakibatkan gempa. Ia terkekeh pelan atas pemikiran konyolnya itu. Bangunan ini terdiri dari empat lantai dan hanya ada tangga sebagai penghubung di setiap lantainya. Seketika ide gila muncul dari otaknya yang jenius. Bulan ini adalah bulan desember, dimana bintang sedang bersinar dengan terang dan begitu banyaknya. Sakura segera mempercepat langkah kakinya, menaiki anak tangga satu per satu hingga tiba di lantai empat.

Tapi bukan pemandangan indah seperti yang ia harapkan, ia malah melihat seorang pria yang tengah mengacungkan pistol ke kepala seorang pria paruh baya, oh-oh... Dan jangan lupakan belasan pria berpakaian serba hitam tergeletak dengan keadaan mengenaskan. Darah terlihat keluar dari sudut bibir mereka, bahkan darah merembes hingga membuat tubuh mereka seperti bermandikan darah. Sakura benar-benar ingin muntah sekarang, walau ia bekerja sebagai dokter bedah, tetapi tetap saja, melihat orang dibunuh di depan mata kepalanya sendiri merupakan hal yang tak pernah dibayangkan olehnya walaupun sekilas. Terkutuklah siapapun yang membuat mata dan otaknya terkontaminasi dan membuat mindset bahwa membunuh merupakan hal yang sepele.

DORRR

Saat ia tengah sibuk merutuki nasibnya, suara ledakan terdengar. Semuanya terjadi terlau cepat. Membuat dirinya terkejut dengan mata yang melebar dan bahunya yang refleks menegang. Tepat di depan matanya, ia melihat seorang pria paruh baya yang tengah meregag nyawa. Sakura bingung antara harus bertindak atau mengabaikannya. Hati nurani dan logikanya tengah berkonfrontasi. Sebagian dari dirinya benar-benar ingin menolong pria paruh baya itu, namun bagian dirinya yang lain menyuruhnya untuk menjauh.

Ia angkat tangan, ini semua diluar kendalinya. Ia tak mau ambil resiko apapun dengan ikut campur dalam kejadian seperti ini. Katakan ia egois. Tapi ini yang terbaik menurutnya. Setidaknya untuk saat ini.

Ia berbalik. Menuruni tangga secepat yang ia bisa. Sakura meyakinkan dirinya sendiri. Semua akan baik-baik saja. Kehidupannya akan tetap berjalan seperti biasa. Normal dan tak akan ada yang berubah.

.

.

.

Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama terhitung sejak 3 hari yang lalu. Sakura tak mengerti kenapa mimpi buruk itu terus muncul dalam tidurnya setiap malam. Dan akan selalu seperti ini, gadis itu akan bangun dengan keadaan banjir peluh dan nafas yang memburu. Maka, ketika itu terjadi, dirinya tak akan bisa kembali tidur dan memilih terjaga hingga pagi.

Sakura terlalu takut jika mimpi itu menghampirinya lagi. Perasaan bersalah terus membayanginya. Kata-kata 'jangan bunuh aku' terekam jelas diotaknya dan selalu terputar seperti kaset rusak. Bagaimana mungkin dirinya begitu bodoh dengan menutup hati nuraninya sebagai dokter. Ia telah bersumpah untuk menolong setiap makhluk yang bernyawa. Dan meninggalkan pria paruh baya yang tengah menyambut kematian yang tak diinginkannya adalah kesalahan. Selama ini dirinya tak pernah membedakan pasiennya, entah ia orang kaya atau miskin, baik atau buruk. Mereka berhak hidup. ia seorang dokter, sudah kewajibannya untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Bahkan jika ia adalah seorang penjahat sekalipun, Sakura akan menolongnya. Tapi hukum harus tetap berjalan bukan?

.

Hari ini adalah hari minggu. Dan Sakura tak memiliki jadwal operasi apapun. Ia akan menggunakan kesempatan ini untuk bermalas-malasan seharian penuh. Sakura telah siap dengan pakaian santainya. Dirinya kini tengah duduk sambil menonton acara televisi favoritnya di hari minggu.

Knock-knock

Suara pintu diketuk terdengar. Sakura beranjak dari tempatnya duduk. Membukakan pintu untuk sang tamu yang cukup mengusik hari minggunya. Sakura membuka pintu bercat hitam itu, sosok yang ia lihat pertama kali adalah seorang pria yang tengah berdiri membelakanginya. Mendengar si tuan rumah telah membukakan pintu, pria itu pun berbalik.

"Haruno sakura?" pria itu menyapanya, atau lebih tepatnya memastikan dirinya adalah orang yang benar ia cari.

Deg.

Detak jantungnya seperti berhenti sepersekian detik. Gadis merah muda itu akhirnya dapat melihat dengan jelas wajah 'sang tamu'. Tidak salah lagi, pria dihadapannya ini adalah pria yang menjadi dalang dibalik pembunuhan dan penyebab mimpi buruk disetiap malamnya. Dan orang terakhir yang ingin dilihatnya. Ia berusaha menutup pintu itu kembali secepat yang ia bisa, mengantisipasi segala hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Gadis merah muda itu segera mengunci pintu yang menjadi penyebab kekalutannya kini. Ia takut, tentu saja. Ia mondar-mandir di ruang tamu sambil meremas tangannya yang telah basah oleh keringat. Ketukan dari arah pintu ruang depan terdengar, Sakura tetap diam, tak sekalipun beranjak untuk membukakan pintu itu. Tapi kemudian pintu diketuk kembali, lebih tepatnya digedor dengan suara yang cukup keras. Sakura mengerang frustasi, dirinya terlalu lelah bergulat dengan innernya. Keputusan yang diambil sudah bulat, ia akan membukakan pintu itu, mempersilahkan pria itu masuk, mengajaknya minum teh dan mengobrol ringan, kemudian ia akan mengusirnya secara halus. Itu adalah rencana terbaik yang bisa dipikirkan otaknya. Berlari kecil untuk membukakan pintu, Sakura mulai menyiapkan mentalnya sambil berdoa meminta perlindungan dari segala dewa. Dan pintu bercat hitam itu akhirnya terbuka.

Sakura's PoV

Aku melihat dia, dengan setelan kemeja berwarna hitam lengan panjang yang digulung sampai siku. Celana bahan yang berwarna hitam yang juga membungkus kakinya dengan sempurna. Penampilannya terlihat wajar dan menawan. Aku cukup terkejut ia tak berusaha menyamarkan dirinya dengan hal yang aneh-aneh. Ia bahkan tak memakai kacamata untuk sekedar berjaga-jaga. Aku kembali memperhatikannya. Hidung mancung, bibir yang tipis dan mata onix-nya yang begitu tajam. Benar-benar seperti dewa yang jatuh ke bumi. Sayangnya, bila ia bukanlah pria yang kulihat sebagai pembunuh 3 hari yang lalu, ia akan begitu sempurna.

"Kupikir kau akan mempersilahkanku masuk. Segelas kopi mungkin?". Ya Tuhan, bahkan suaranya terdengar begitu dingin dan seksi di saat yang bersamaan. Aku segera menggelengkan kepala untuk menemukan kewarasanku. Berusaha mengajaknya berbicara dan melupakan fakta bahwa aku sempat terpesona dengannya.

"Umm ano... maaf sebelumnya tuan, aku ..."

"Uchiha Sasuke"

See? Bahkan ia terlalu arogan hanya untuk sebuah perkenalan. Mengangkat dagu dan menunjukkan tampang aristokrat. Dan jangan lupakan tentang gedoran keras di depan rumah seseorang. Sungguh pria yang sopan dan terhormat.

"A-ano U-Uchiha-san ada keperluan apa datang kemari? Saya pikir sudah terlalu larut untuk bertamu"

Aku tergagap. Oh sial, bahkan aku tak pernah bicara gagap saat presentasi dihadapan Orochimaru- dokter killer yang selalu membawa ular dan menggantungnya dileher seperti stetoskop.

"Aku hanya ingin menanyakan kabarmu Haruno. Apakah itu salah?" Omong kosong. Demi kerang ajaib di serial anak yang sering ditonton Konohamaru-tetangga sebelah. Kami bahkan tak saling kenal sebelumnya.

"Umm... kabar saya baik-baik saja Uchiha-san." Bohong. Aku bahkan tak dapat tidur dan istirahat selama tiga hari, kantung mata yang kelewat tebal, dan aku belum keramas hingga saat ini. Menyedihkan.

"Apakah kau sedang ada waktu luang? Kulihat kau tak melaku-..."

Cukup sudah. Aku tak tahan lagi dengan semua basa-basi ini aku bahkan mengabaikan tata krama dengan memotong ucapannya. Mungkin pertanyaannya memang terdengar santai. Tapi percayalah, raut wajahnya bebar-benar membuatku ingin menonjoknya. Ia berbicara tapi raut wajahnya tak henti-hentinya berseringai merendahkan. Sungguh membuatku muak. Lagipula aku tahu apa tujuan ia datang kemari. Apalagi kalau bukan untuk membungkam mulutku tentang kejadian 'itu'.

"Langsung saja pada poin intinya Uchiha-san"

"To the point. Sungguh sangat Haruno. Dan aku serius untuk kita mengatakan ini di dalam. Kau tak keberatan bukan" Sasuke menghilangkan seringainya dan mulai menatapku serius.

"Baiklah. Silahkan masuk Uchiha-san"

Gila. Apa yang kupikirkan? Membawa masuk seorang pembunuh ke dalam rumah?. Mungkin aku perlu memeriksakan diri ke bengkel kejiwaan. Mengingat beberapa hari ini kerja otak dan badanku seperti tidak sinkron.

.

Sakura mempersilahkan Sasuke masuk ke dalam ruang tamunya. Menyuruhnya untuk duduk di sofa beludru berwarna merah, sementara dirinya membuatkan segalas kopi. Rupanya Sakura benar-benar serius menanggapi ucapan Sasuke. Sasuke duduk sambil matanya menelusuri ke setiap jengkal ruangan yang tengah ia singgahi. Rumah sakura tidak terlalu kecil. Tapi cukup besar untuk ukuran seseorang yang tinggal sendiri. Ruangannya bernuansa minimalis dan modern. Dindingnya berwarna putih, sedangkan untuk pajangan dan furniture lainnya hanya berwarna hitam dan putih. Kecuali sofa yang tengah ia duduki. Membuat sofa ini menjadi hal paling mencolok dan menarik perhatian bagi siapapun yang melihatnya. Setelah beberapa menit berselang, Sakura datang dengan membawa dua gelas kopi. Mendudukkan dirinya di sofa yang berlawanan dengan Sasuke, sakura mulai bertanya.

"Jadi Uchiha-san, apa yang ingin kau bicarakan?" Sakura mencoba bersikap tenang, pria dihadapannya ini sungguh tak terbaca.

"Menikahlah."

"A-apa?!"

"Menikahlah denganku Haruno." Kalimat itu keluar dengan entengnya, seringan bulu. Tanpa sikap romantis, tanpa ekspresi, dan tanpa sorot cinta.

"Kenapa?" dari sekian banyak pertanyaan, hanya kata itu yang mewakili semuanya. Sakura begitu tak percaya, menikah dengan orang yang benar-benar asing baginya merupakan hal yang tak dapat diterima logikanya.

"Hal yang mudah, kau satu-satunya saksi mata saat malam itu."

"Lalu? Apa kau begitu takut polisi akan menangkapmu? Bukankah kau hanya perlu 'membersihkan' semua barang buktinya?"

"Kau terlalu naif, siapa yang menjamin kau tidak akan melapor?"

"Kalau hanya itu alasannya, aku tidak akan melaporkanmu. Aku akan diam dan membiarkan kebenaran terkuak dengan sendirinya."

"Hal itu tidak akan pernah terjadi. Hanya tinngal menunggu waktu sampai polisi menjemputmu sebagai saksi mata utama."

"A-apa maksudmu?"

"Kau tak merasa kehilangan sesuatu? Hal yang berisi identitasmu mungkin?"

Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah kuhilangkan. Sidik jari? Rambut? Jejak kaki? Pikiranku sudah melayang-layang memikirkan hal yang aneh-aneh. Apa saja benda yang biasa dijadikan bukti dalam film action dan spy.

"Entahlah. Aku tak bisa berpikir apapun lagi selain sidik jari."

Alisnya terangkat sebelah. Dia memandangku aneh dan seperti menahan tawa. Apakah aku salah bicara?

"Lebih dari itu. Kau meninggalkan tanda pengenalmu."

Mataku melotot, rahangku serasa akan jatuh. Aku tak percaya ini, bagaimana bisa aku melupakannya. Beberapa hari ini aku memang tak memakai tanda pengenal saat di rumah sakit, karena kupikir tanda pengenal itu hilang disuatu tempat. Dan aku sama sekali tak mempermasalahkannya. Itu hanya kartu berisi keterangan nama, jabatan, dan nama rumah sakit tempatku bekerja. Tapi itu masalahnya. Semuanya terlalu jelas.

"Jadi apa keputusanmu Haruno? Aku tak akan membiarkanmu bersaksi, bahkan jika membunuh adalah satu-satunya cara untuk membungkam mulutmu, aku akan melakukannya."

Kutarik kata-kataku...Kehidupan normalku benar-benar akan berubah karena dia... dewa yang jatuh dari neraka.

TBC

a/n:

haii minna... ini fic pertama saya setelah sekian tahun jadi reader *nangis terharu*. Saya terinspirasi dari salah satu scene di fic london gossip, punyanya kakak" countessCaroline. Dengan karakter, dan konflik yang jelas berbeda pastinya. Saya harap teman-teman suka XD. Cuma pengen ngomong gitu aja. Dan maap kalo ceritanya gaje, kagak nge-feel dll. Kritik dan saran saya terima dengan senang hati.. sebagai bahan untuk perbaikan ke depannya.

RnR?