A/N: Akhirnya aku bikin juga fic tentang Canvas Ranger-ku! \(^_^)/
Setelah bikin beberapa chapter, aku langsung stress. Kok ceritanya jadi serius gini? Padahal niatannya kan nge-GaJe? *Bingung* Tapi gapapa deh, daripada OC-ku ga ada riwayatnya… :D

Disc: Pasukan Spirits dan Kamen Rider Nigo cuma milik Ishinomori-sama. Setelah negosiasi panjang, mereka boleh kupinjem buat ngejagain rumahku pas taun baru kemaren. Tapi Rokoz dan adenya cuma punyaku…Don't even try to steal them!

Warning: OC/Angst (All from Rokoz POV)

Dedicated to another awesome Canvas Rangers (they're also friends of mine): Ashtray, Lycans, Gaoh, Shura, Kurata, Lecek And special to Rev.

..

.

LUMINAIRE LUMINESCENCE

Act 01. Greeting

...

Saat ini aku sedang bersembunyi di balik pepohonan rimbun yang kurasa cukup aman. Kugenggam erat tangan kecil ketakutan yang sedari tadi ada di sebelahku.

"Kakak aku takut."

"Tenang, Rugo, sebentar lagi mereka pasti pergi." Ujarku sambil mendekap makhluk kecil disebelahku.

Ya…

Saat ini desaku sedang diserang oleh segerombolan pasukan aneh berpakaian hitam serta monster aneh. Beberapa kali mereka menyebut kata Geldam, mungkin itu nama organisasinya. Sudah hampir seminggu mereka menguasai desaku. Membuat semua penduduk desaku mengungsi dan melarikan diri ke hutan seperti aku. Kalau tidak beruntung kurasa mereka sudah ditangkap dan dibunuh.

"Brengsek!"

Aku merenggut erat kalung salibku dengan tangan yang bebas. Kapan Ini akan berakhir? Kukira mereka sudah puas dengan menguasai ibukota kami, Rio de Janeiro. Tapi ternyata mereka tidak meluputkan satu kota pun. Bahkan sekarang desa kami yang terletak di pinggir ibukota menjadi korban.

"Kakak…"

"Sssh… Sebaiknya kita sembunyi lebih dalam. Di tengah hutan seingatku ada gubuk kecil, kita bisa beristirahat disana." Kataku menenangkan. Rugo mengangguk dan membersihkan sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan. Setelah merasa aman, kami memasuki hutan dengan sangat hati-hati.

"Itu gubuknya!" Ujar adikku gembira ketika melihat bangunan sederhana yang terbuat dari jerami. Dia melepaskan tanganku kemudian berlari dengan semangat.

Aku tetap berjalan dengan kecepatanku semula sambil memperhatikan keadaan. Gubuk itu kecil, tapi terlihat nyaman. Jendelanya terbuka dan pintu tidak dibuat kokoh, menandakan bahwa tempat ini dibuat jika ada orang yang ingin beristirahat saat bekerja di tengah hutan. Aku mempercepat langkahku ketika kulihat Rugo tidak langsung memasuki tempat tujuan, tapi memandang takut dari luar pintu. Insting liarku langsung bekerja.

Geldam?

Ternyata sudah ada seseorang di dalam gubuk itu. Seorang pria yang mungkin lebih muda dariku. Dia terduduk, bertelanjang dada dan terlihat lelah. Badannya penuh guratan, darah juga luka.

"Ha…hai…" Kataku. Namun dia hanya membalas dengan tatapan yang sangat tajam dengan mata hazel-nya yang indah. Wajahnya sangat manis. Kulitnya juga sangat putih. Sepertinya dia bukan orang Brazil. Meskipun aku juga tidak ada darah Brazil sama sekali, tapi hampir setiap hari berolahraga di luar ruangan membuat kulitku cukup terbakar.

Kami bertiga tidak mengucapkan sepatah kata pun selama beberapa lama. Sesekali hanya terdengar dia merintih kesakitan, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bukan dokter. Lagipula aku takut dia tidak mengerti bahasa Portugis atau Latin. Baiklah, Kuakui aku tidak bisa bahasa Inggris!

Tapi aku bukan orang yang tidak peduli.

"Emm…Kau terluka?" Aku mendekatinya seraya melepaskan jaket coklat gelap yang kupakai. Sekalian memantau seberapa parah keadaannya dan apa yang terjadi. Dia kembali menatapku ketika aku menyodorkan jaket itu cukup dekat. Kulihat wajahnya yang manis penuh dengan guratan aneh serupa seperti badannya. Yang membuatku lebih kaget, dari badannya terlihat sulur-sulur kabel seakan dia itu mesin.

"…Sankyu..."

Aduh, aku tidak mengerti. Tapi mungkin maksudnya 'terima kasih'. Aku tersenyum dan mengangguk. Dia pun ikut tersenyum.

"Rokoz!" Ujarku sambil menunjuk hidungku sendiri. "Dan yang itu Rugo. Adikku." Aku mulai merasa primitif karena harus menggunakan bahasa tubuh. Tapi mudah-mudahan dia mengerti.

"Ichimonji Hayato" Jawabnya.

Wah…Namanya panjang sekali. Aku harus bagaimana memanggilnya?

"Hayato de itte…" tambahnya seakan bisa membaca pikiranku. Senyumku makin lebar. Kurasa dia tidak berbahaya walau alat-alat serupa mesin tercangkok di tubuhnya. Paling tidak aku tahu kalau dia juga korban dari pembantaian massal itu. Mudah-mudahan saja para penduduk desa lain juga ada di sekitar hutan ini.

"SHIMATTA! NIGERO!"

Teriak pemuda asing itu tiba-tiba. Sambil berlari ke arah jendela. Terlihat sejumlah pasukan hitam yang menyerang desaku kini sudah mengepung tempat kami. Hebat! Padahal aku yakin dari tadi tidak mendengar apa-apa. Kenapa dia bisa tahu?

"NIGERUNDAAA!" Teriaknya lagi. Kurasa dia menyuruh kami melarikan diri. Tanpa basa-basi aku langsung meraih Rugo dan keluar dari pintu gubuk itu. Celaka…Jumlah mereka banyak sekali. Tapi aku tidak kehabisan akal, kuambil beberapa batang kayu yang kupakai sebagai pengalih perhatian sementara kami mencoba untuk lari ke pepohonan terdekat dan bersembunyi sambil berlari menjauh.

"Hayato!

Kulihat di dalam gubuk, dia masih bergumul dengan para pasukan hitam yang menyerang kami. Bahkan salah satu monster berhasil melukai punggungnya. Aku membelalakkan mata dan mengepalkan tanganku kencang.

'Aku heran, kenapa tidak ada satu dari sekian banyak pasukan berpakaian hitam yang mengikuti kami? Apa mereka mengincar Hayato? Untuk tujuan apa?' Begitu banyak pertanyaan di kepalaku yang harus kutahan karena tanganku lebih ingin beraksi daripada otakku.

Aku ingin membantunya! Tapi aku tidak bisa meninggalkan Adikku sendirian dalam keadaan bahaya. Kurasakan Rugo di sampingku semakin gemetar.

"Rugo, Kau diam disini! Kalau terjadi sesuatu, cepat lari!"

Setelah melihat adikku mengangguk, aku berlari menerjang beberapa pasukan berkupluk hitam yang hendak membakar gubuk. Mereka cukup tangguh, terutama karena mereka sangat jago melakukan salto.

Heh, kau meremehkan pemuda yang besar di Brazil! Kami bermain sepak bola ekstrim setiap hari disini! Jangan meremehkan kekuatan kakiku. Dengan kemampuan tempurku yang terbatas, aku berhasil menghancurkan mereka, sayang aku tidak bisa mencegah ketika api mulai menjalar.

'Mana Hayato?' pikirku panik. Kulihat gubuk itu kini sudah terbakar sempurna. Bahkan pohon-pohon yang ada di sekitarnya ikut musnah dilahap api. Aku hanya bisa melihat dari jauh dengan tatapan kosong.

"SIALLL!" Aku menghujamkan tinju pada batang pohon terdekat. Tidak menghiraukan darah segar yang mengalir dari kulit kepalan tanganku yang terkelupas.

...

End of Act 01