Inside The Ramen
.
.
Disclaimer © Masashi Kishimoto
Inside The Ramen © dheeviefornaruto19
AU, OoC, typos?
.
.
Happy reading!
.
.
One: That Thief
Desa Fujitari, Tokyo, tidak banyak berubah semenjak ia menginjakkan kakinya setahun yang lalu. Suasananya tetaplah seperti ini, pemandangannya seperti ini, dan baunya selalu seperti ini. Tapi tidak sedikitpun ia menyesali kedatangannya. Walau ia dan ibunya mendapat sebuah rumah kecil di tepi kota, atau tepatnya desa yang letaknya jauh dari gemerlap kota Tokyo, tidak sedikitpun ada keluhan yang mereka katakan.
Ngomong-ngomong, ramen adalah hal yang cukup langka di tempat mereka tinggali sebab kedai-kedai ramen kebanyakan berada di kota. Jika kita ingin makan semangkuk ramen, itu berarti kita harus keluar dari desa Fujitari hingga beberapa kilometer. Mungkin inilah yang melandasi ide mereka dalam membuka kedai ramen setahun yang lalu. Dan untunglah usaha ini dapat mendatangkan keuntungan yang lumayan bagi mereka.
Di kedai itu—yang juga merupakan rumah kecil mereka, nampak seorang gadis berbaju lusuh sedang mengelap meja-meja di kedai itu. Ialah putri pemilik kedai itu.
Gerakannya terhenti tiba-tiba karena teringat sesuatu. "Kaa-san, katamu kita sudah kehabisan tauge," kata si gadis sembari mengelap keringat di dahinya.
Seorang perempuan setengah baya melongokkan kepala dari dapur dengan wajah terkejut setelah mendengar pernyataan putrinya. "Oh iya! Kau pergilah membelinya, uangnya di atas kulkas," jawabnya, yang kembali fokus pada pekerjaannya di dapur. Saat itu ia sedang membuat kaldu ramen.
Putri semata wayangnya itu berjalan menuju kulkas yang letaknya tepat di depan dapur. Tak lama kemudian uang receh di atas kulkas telah berpindah ke saku celananya.
"Aku pergi dulu!" serunya sambil meletakkan lap yang dipakainya barusan ke atas meja.
Gadis yang bernama Hinata itu melangkahkan kakinya keluar dari kedai, berjalan menuju minimarket yang telah menjadi destinasinya jika persediaan dapur habis. Rambut panjangnya ia ikat tinggi-tinggi agar angin tidak membuatnya kusut. Panas matahari yang menyengat sama sekali tidak membuatnya ragu untuk terus melangkahkan kakinya di satu-satunya jalan gersang menuju kota, meski ia harus membiarkan kulitnya terbakar.
Walau letak minimarket itu jauh, Hinata tidak merasa keberatan. Minimarket langganan mereka memang letaknya di kota. Anehnya, Hinata tidak pernah mau jika disuruh berbelanja di tempat lain, meski jaraknya dekat sekalipun. Ia sudah cukup puas dengan pelayanan minimarket langganan mereka itu sejak pertama kali ia berbelanja di sana. Selain itu, ia jadi bisa jalan-jalan ke kota, kan?
Hinata merasa dirinya hebat. Memangnya siapa sih yang sanggup jalan kaki ke tempat yang jaraknya hampir beberapa kilometer di bawah teriknya matahari?
Hinata selalu berpikir kenapa ibunya tidak mau tinggal di kota. Mereka hanya hidup berdua, tentu saja kondisi itu menguntungkan mereka dalam menemukan tempat tinggal yang murah. Banyak apartemen murah yang dapat disewa dengan harga kecil setiap bulannya. Hidup di kota juga pasti lebih enak karena tiap hari bertemu beragam orang, bersosialisasi layaknya masyarakat moderen, bukannya hidup menepi di tepi kota yang namanya bahkan belum tentu muncul dalam peta.
Tapi ibunya selalu menjawab begini, "Hidup di desa itu enak. Udaranya masih segar, polusi tidak ada, kejahatan juga jarang terjadi." Fakta itu benar juga.
Sekitar tiga puluh menit kemudian Hinata tiba di minimarket itu. Pegawai toko yang telah mengenalinya langsung menyapa begitu melihat Hinata. Dengan sigap Hinata langsung mengambil persediaan dapur mereka yang habis, yakni tauge, kecap, sambal, garam, gula, telur, lada, dan merica.
Selesai berbelanja, Hinata biasanya belum pulang. Ia jalan-jalan sebentar di sekitar minimarket itu, sebab kalau ia jalan terlalu jauh bisa-bisa ia tersesat. Banyak sekali pemandangan yang dianggapnya bagus. Poster bioskop yang tiap hari berganti dianggapnya menarik. Badut-badut di taman bermain membuatnya selalu tersenyum jika lewat di sana. Kerumunan orang di bawah pohon sakura juga membuatnya tertarik. Apapun itu.
Hinata tidak mau mengeluh mengenai tugasnya ini. Pulang pergi minimarket saja sudah memakan waktu lebih dari sejam, tapi tidak pernah sepatahpun keluhan tersurat dari mulutnya. Hinata tahu diri, ibunya sudah tua, jadi tidak mungkin ia mengemban tugas ini. Hal terakhir yang ingin dilakukannya saat ini adalah membuat ibunya tersenyum saat mengaduk kuah ramen di dapur kecil mereka.
.
.
Hinata sudah kembali ke desa dan berjalan menuju kedainya ketika dilihatnya tetangga mereka yang sudah tua, nenek Chiyo, berjalan ke luar rumahnya dengan gerakan meraba-raba.
"Baa-san!" seru Hinata kaget. Buru-buru ia menghampiri wanita tua itu. Kata dokter, penglihatan Chiyo obaa-san sudah mengabur karena usia tuanya. Jadi sebaiknya beliau tidak usah banyak beraktivitas. Tapi sepertinya ia sedang bosan dan berusaha keluar rumah.
"Hinata?" tanyanya dengan suara serak yang pelan. Hinata segera memapah kembali nenek Chiyo ke dalam rumahnya.
"Kan sudah kubilang sebaiknya Baa-san istirahat di rumah! Nanti kalau jatuh, gimana? Hinata juga sudah janji kan, kalau Hinata akan datang nanti?" tanya Hinata sedikit kesal.
Nenek Chiyo tersenyum lemah. "Maaf ya... cucuku..."
Jawabannya itu membuat Hinata iba. Nenek Chiyo selalu menganggap Hinata sebagai cucunya yang kabur dari rumah sepuluh tahun lalu. Dan Hinata tidak pernah protes soal itu karena ia sangat menyayangi nenek Chiyo. Setahun yang lalu, saat pertama kali Hinata kenal dengan nenek tua yang baik ini, dan tentunya masih dapat melihat, Hinata sudah dapat merasakan kasih sayang yang terpancar dari dalam matanya.
Setelah menemani nenek Chiyo sebentar, Hinata meneruskan tujuannya yang tertunda barusan. Ibunya pasti sudah mengomel karena menunggu dirinya.
Tepat lima meter dari kedai mereka, Hinata dapat melihat pintu kedai itu terbuka cepat dan keluarlah sesosok orang bertubuh tinggi dengan jaket hitam menutupi sebagian badannya. Dan orang itu berlari, sesekali kepalanya menoleh ke arah kedai.
Mata Hinata membesar. "KAA-SAN! KAA-SAN!" teriaknya sambil berlari masuk ke dalam kedai.
Ibunya keluar dari dapur dengan kaget. Hinata menaruh barang-barang belanjaannya di atas meja dan berlari dengan teriakan tidak jelas.
"ADA PENCURIII!"
"APA?" balas ibunya, tapi percuma saja. Putrinya sudah berlari jauh, mengejar pencuri yang dia maksud. Barulah setelah ia melihat mangkuk ramen yang habis di atas meja, tanpa sepeser pun uang di sisinya, ibu Hinata mengerti. Lagi-lagi ada orang yang makan ramen mereka tanpa membayar.
Ibu Hinata menghela napas sebelum akhirnya mengangkat mangkuk yang telah kosong itu, untuk dibawa ke dapur.
.
.
Kejadian seperti ini sudah lazim mereka alami. Walaupun kedai mereka selalu dikunjungi setiap harinya oleh orang-orang yang mengagumi kelezatan ramen buatan mereka, bukan berarti orang-orang itu adalah orang yang jujur. Ada beberapa orang yang tidak tahu malu mencicipi ramen mereka tanpa membayar. Jadi sebenarnya, kejujuran-lah barang langka tersebut. Dan berarti ucapan ibunya salah kalau di desa kejahatan jarang terjadi.
Hinata berusaha untuk tidak kehilangan jejak orang berjaket itu. Ketika melihat sosok orang itu di tikungan jalan menuju sawah, ia kembali berlari mengejarnya hingga orang itu akhirnya dapat ia dekati. Ketika ia lengah, Hinata meraih lengan jaket orang itu dan menariknya kuat-kuat.
Tapi orang itu lebih cerdik lagi. Ia menarik risleting jaketnya dan membukanya lebar-lebar. Kedua tangannya terbebas dengan mudah karena sentakan tangan Hinata saat menarik jaketnya. Hinata tidak mau kalah begitu saja, lagi-lagi ia mempercepat laju larinya sambil membuang jaket orang itu ke tanah.
"PENCURI! INI SUDAH KETIGA KALINYA KAU MENCURI, TAHU!" pekik Hinata di sepanjang larinya. Tapi tentu saja teriakannya tidak membuat pencuri itu berhenti.
Akhirnya Hinata berhenti karena kehabisan tenaga. Ia berusaha mengontrol napasnya yang tersengal dan menaruh kedua tangannya di lutut. Matanya terus mengekori orang itu—yang ternyata pria—dengan tajam. Otaknya berputar cepat, berusaha menghapal bagaimana ciri-cirinya agar kelak mereka tidak tertipu lagi. Tapi ia tidak dapat melakukannya karena sosok orang itu telah menghilang dengan cepat di balik tikungan. Yang dapat Hinata kenali hanyalah warna rambutnya yang kuning.
Hinata pun pulang dengan tangan hampa.
.
.
Ibu Hinata hanya bisa mengangguk-angguk ketika putrinya menceritakan detail kejadian barusan.
Hinata merasa kesal pada reaksi ibunya. "Kaa-san, orang itu sudah tiga kali makan di kedai kita tanpa membayar. Masa kau tidak mengenalinya sih?"
"Kaa-san kan punya kesulitan mengenali wajah orang, apalagi jika baru beberapa kali," jawab ibunya kalem.
"Tapi kita jadi rugi gara-gara orang itu!"
"Sudahlah, kan cuma semangkuk. Kalau ia sampai merampok uang kita, baru itu masalah besar."
"Loh, Kaa-san kok ngomong begitu?" tanya Hinata gusar. "Pertama memang semangkuk, tapi nanti jadi dua mangkuk, tiga mangkuk, atau malah semua ramen kita!"
"Sudah, sudah, ada pelanggan tuh."
Hinata mengikuti arah pandangan ibunya. Tiga orang perempuan berseragam sekolah membuka pintu kedai mereka. Loh, di saat menjelang malam begini baru pulang?
Hinata segera menepis pikiran itu. Ia berdiri dan membungkukkan badan dengan sopan pada mereka.
"Silakan duduk. Mau pesan apa?" tanya Hinata.
Mereka memilih duduk di dekat pintu. Yang berambut cepol menjawab, "Tiga mangkuk ramen, satunya tidak pakai sayur, ya."
Hinata menuliskan pesanan mereka dan membawanya ke dapur. Saat menyiapkan ramen, tanpa sadar ia selalu melirik ke arah siswi-siswi itu.
Selalu ada satu hal yang menjadi keinginannya, yakni melanjutkan sekolah. Dulu saat ia dan ibunya masih tinggal di Osaka, Hinata pernah merasakan suka dukanya bersekolah. Setahun yang lalu ia masih dapat menimba ilmu di bangku SMP kelas tiga, bahkan sudah lulus, namun saat pindah ke Tokyo, ternyata uang mereka malah habis dipakai untuk beli rumah dan perlengkapan lainnya. Akhirnya Hinata belum melanjutkan studinya hingga sekarang.
Ia melihat seragam gadis-gadis itu dan tiba-tiba ia jadi teringat oleh seragam SMP-nya. Dan otomatis kenangan masa lalunya pun ikut berputar juga. Bahkan setelah ia mengantarkan ramen pesanan siswi-siswi itu, matanya tetap tidak dapat lepas dari mereka.
.
.
Keesokan harinya.
Ibu Hinata sedang menyapu di depan kedai pagi itu. Hinata sendiri berada di rumah nenek Chiyo sejak sepuluh menit yang lalu, karena ia ingin menemani wanita tua itu.
Saat sedang menyapu dedaunan, sebuah gumpalan kertas melayang dan berhenti tepat di depan kakinya. Ibu Hinata mengernyit dan kemudian mengambil kertas itu. Ia membukanya dan menemukan deretan huruf-huruf tinggi langsing yang nampak asing baginya.
Untuk: Oba-san pemilik kedai yang baik hati
Ba-san, aku adalah orang yang kemarin makan ramenmu tanpa membayar. Sebenarnya sudah tiga kali aku melakukannya, namun aku lupa kapan. Tapi yang penting, aku sangat menyesal melakukannya padamu. Aku ingin menebus perbuatanku.
Ibu Hinata berpikir sejenak dan kemudian ia teringat oleh cerita Hinata kemarin. Ia pun meneruskan bacaannya.
Jika Anda tidak keberatan, bolehkah aku bekerja di kedaimu? Aku tipe pekerja keras dan aku tidak butuh digaji. Asal kau memberiku semangkuk ramen tiap hari, aku pasti akan bekerja dengan baik.
Mohon letakkan sapumu di depan kedai jika Ba-san menerimaku.
Tertanda,
Uzumaki Naruto
Ibu Hinata tersenyum membacanya. Ternyata orang yang bernama Uzumaki Naruto ini sangat manis, pikirnya. Untung ia tidak terpengaruh cerita putrinya semalam, jadi ia tidak perlu berprasangka buruk pada Naruto. Entah kenapa ia merasa yakin kalau Naruto melakukan kejahatannya dengan suatu alasan.
Ia memandangi sapunya dan tanpa ragu ia meletakkannya di depan kedai.
.
.
Seorang pemuda berambut kuning mengintip pelan-pelan dari balik tembok pembatas yang jauh dari kedai ramen itu. Ia berkali-kali memastikan penglihatannya ketika mendapati sebuah sapu tergeletak di depan kedai itu.
"Yes!" teriaknya senang. Ia mengepalkan kedua tangannya dan meninjukannya ke udara.
Dengan wajah berseri, pemuda bernama Naruto itu berlari menuju kedai dan setibanya di sana, ia langsung meraih sapu tersebut dan menyapu halaman depannya. Ia melakukannya dengan semangat.
Tapi kegiatannya harus terhenti dengan kedatangan seseorang yang langsung menyergapnya dari belakang dan mengunci gerakan tangannya dengan sekali tangkap.
Naruto kaget ketika mendapati seorang gadis kini berada di belakangnya sambil mencengkeram kedua tangannya. Gadis itu adalah putri pemilik kedai yang selalu mengejarnya jika ia kabur tanpa membayar. Naruto pun panik.
"KAA-SAN! AKU SUDAH MENANGKAP PENCURINYA!" teriak Hinata dengan senang. "Nah, sekarang kau mau ke mana lagi, Pencuri?"
Naruto dengan mudah dapat melepaskan cengkeraman tangan Hinata, membuat gadis itu tersungkur ke tanah dengan kasar. Naruto tambah panik melihatnya.
Hinata betul-betul kaget dengan reaksi pemuda itu. "Kau ini, sudah mencuri, kasar pula! Akan kulaporkan kau ke polisi!" amuk Hinata.
Gadis itu bangun dari tanah dan berjalan menuju Naruto dengan gerakan seperti ingin mencakar. Naruto mundur dan tanpa sadar tangannya tergerak untuk menangkap kedua tangan mungil Hinata.
"LEPASKAN AKU!" teriak Hinata sambil berusaha melepaskan diri. "DASAR PENCURI!"
Naruto memutar tubuh Hinata, menabrakkannya ke tembok. Hinata makin memberontak ketika pemuda itu mengunci gerakannya dan mempersempit jarak di antara mereka.
"KAA-SAAAN!"
"Ada apa sih?!"
Naruto dan Hinata langsung terdiam saat mendengar suara itu. Hinata memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri dari Naruto. Dengan kasar, Hinata menepis tangan Naruto, mendorong tubuhnya agar menjauh, dan terakhir melemparkan pandangan menusuk pada pemuda itu.
"Kaa-san, tolong aku!" seru Hinata kemudian. "Ia mau memukulku!"
Naruto segera menggelengkan kepalanya. "Itu tidak benar, Ba-san!"
"'Ba-san'?" tanya Hinata geram. "Sejak kapan kau memanggilnya seperti itu?! Pergi sebelum aku menelepon polisi!"
"Hinata!" sergah ibunya. "Naruto akan bekerja di kedai kita, mulai hari ini."
Hinata menoleh dengan cepat pada ibunya.
"APA?!"
.
.
Suasana di dalam kedai benar-benar membuat Hinata gerah. Ia sangat ingin pergi dari sana tapi ia tidak bisa. Di sisinya, sang Ibu nampak senang dengan kehadiran Naruto. Kontras sekali dengan keadaan Hinata yang tidak menyukai Naruto.
"Namaku... Uzumaki Naruto," ujar pemuda itu sambil cengengesan, membuat Hinata kesal. Bisa-bisanya ia tertawa dalam situasi seperti ini.
Lain halnya dengan ibu Hinata, ternyata ia senang dengan pemuda tampan di depannya itu. "Iya, aku sudah tahu namamu melalui surat yang kau lemparkan tadi."
"Surat?" tanya Hinata penuh selidik.
"Iya, tadi Naruto melemparnya saat Kaa-san sedang menyapu," jawab ibunya kalem.
Hinata membuang muka. "Pengecut."
Wajah Naruto menjadi masam kala mendengarnya.
"Hinata! Tidak baik seperti itu," ujar ibunya.
Hinata menoleh pada ibunya. "Kenapa tidak baik? Lalu apa dengan dia mencuri ramen kita itu merupakan hal baik?" tanyanya ketus.
Ibu Hinata mendelik dan baru akan menjawabnya ketika Naruto menyela duluan. "Aku berjanji akan membayar kesalahanku," jawab Naruto.
Hinata menatapnya dengan pandangan menusuk saat ia mengatakan hal itu.
"Oh ya? Dengan cara bekerja di sini?"
"Ya."
"Aku tidak butuh. Yang kami butuhkan adalah uang untuk membayarnya," jawab Hinata tajam.
"Aku... tidak punya uang," ujar Naruto lirih.
Hinata tertawa sinis. "Lalu dengan beraninya kau makan ramen di sini? Tidak tahu malu!"
Ibu Hinata menengahi. "Hinata, jaga ucapanmu!"
"Tidak apa-apa. Putri Anda benar. Aku memang tidak pantas untuk berada di sini," ujar Naruto sambil tertunduk.
"Sudah, Naruto, jangan kau dengar ucapan anakku."
Hinata memandang ibunya dengan kaget karena ibunya lagi-lagi membela Naruto. Pandangannya beralih kepada pemuda di depannya tanpa berkedip. Perasaan sakit menjalari hatinya.
"Ibu, lakukan saja apa yang kau mau. Aku tidak akan peduli." Hinata berdiri dari duduknya dan berjalan masuk ke dapur. Naruto masih tertunduk dan ibu Hinata hanya dapat menghela napas.
"Maafkan Hinata, Naruto," ucap wanita itu dengan nada menyesal. "Semenjak ayahnya meninggal dan kami pindah ke Tokyo, tabiatnya berubah. Dulu dia adalah gadis yang ceria dan baik, tapi sekarang ia malah menjadi dingin dan mudah marah."
"Ternyata namanya Hinata," kata Naruto. "Itu sesuai dengan parasnya yang cantik," puji Naruto tulus.
Ibu Hinata tersenyum mendengarnya. "Kau tidak tersinggung kan, dengan ucapannya?"
Naruto menggeleng sambil tersenyum lebar.
"Nah, mulai besok kau akan bekerja di sini. Jadi besok datanglah pagi-pagi untuk membantuku di dapur. Kau bisa memasak kan?"
Naruto mengangguk. "Ya... Tapi apa Anda tidak memikirkan Hinata? Pasti ia tidak akan nyaman bersamaku."
Ibu Hinata menggeleng. "Aku yakin hal itu tidak akan terjadi."
Ternyata tanpa Naruto dan ibu Hinata sadari, Hinata mendengar percakapan mereka barusan dari dapur. Sebelah udut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman miring.
"Oh, aku tidak akan membiarkannya kalau begitu."
.
.
Tbc
.
.
A/N: Halo guys! Senang rasanya dapat menulis lagi di fandom NaruHina. Ditunggu saja ya chapter berikutnya. Please reviewww...
NB: Ini di-republish karena aku mendapat saran yang baik dari salah seorang pembaca fic ini. Menurutnya, untuk panggilan atau kata-kata sederhana sebaiknya menggunakan bahasa Jepang. Ini untuk menghargai Masashi Kishimoto dan negara Jepang sebagai pemilik charas-nya. Sip banget kan...
Tapi maaf ya bagi yang merasa kurang nyaman dengan perubahan ini. Selanjutnya aku akan lebih berhati-hati.
Sign,
Devi Yulia
