A/N: ini fic pertama di fandom hetalia honhonhon, author baru tahu loh ada warna namanya 'tomato' waqwaqwaq pas banget buat oyabun. previewnya hetalia season 5 bikin ngiler ya ^q^ nggak sabar nontonnya, author ngeotpin Romania sama Bulgaria juga honhonhon, mereka unyu loh ^q^ ayo ayo sebar Robul~~~

Summary: Lovino Vargas dan Antonio Carriedo pertama kali bertemu disebuah kafe pinggiran kota Roma… / Lovi kau tahu? Kau sangat manis jika tersenyum seperti itu, aku mungkin akan jatuh cinta padamu../ A… Apa yang kau katakan Bastard!? Aku tidak suka laki-laki!.../

Disclaimer: Hetalia punya gueeee! /digampar berjamaah/ Hetalia punya papa Hide~~~ papaaa aku anakmu yang lama hilang paaa /dilempar swallow tetangga/

Warnings: OOC, typo dihatiku(?), BOYS LOVE, SHONEN-AI, ini au bukan ya?, bahasanya Romano.

Pairings: Spamano dan ….. (masih coming soon)

Sweet-Bitter Love

Roma, Italia

Lovino Vargas, seorang pemuda itali tengah duduk di sebuah kafe pinggiran kota musik jazz lembut terdengar keseluruh penjuru kafe. Sang pemilik kafe tampak sedang membuatkan kopi pesanan pelanggan-pelanggannya, wajahnya lembut dan terkesan bijaksana. Lovino meneguk kopi pesanannya, ia memang paling suka kopi dikafe ini, aromanya harum dan menenangkan, rasanya pun tak kalah nikmat. Caffè marocchino, perpaduan antara kopi, susu hangat, dan bubuk coklatnya begitu memikat, rasa lelah setelah berkerja seharian terangkat sudah. Kedua iris hijau Lovino masih menatap kearah laptopnya. Sudah satu jam lebih iaberada disana, Lovino memang sering berkunjung ke kafe itu sejenak untuk melepas lelah atau untuk mengerjakan pekerjaannya. Ia duduk di pojok kafe di sebelah sebuah jendela, dari sana ia dapat melihat pemandangan kota Roma tercintanya. Lovino menyenderkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Angin musim gugur bertiup lembut dari luar,membelai rambut coklatnya.

Tiba-tiba seorang lelaki datang dan duduk didepan Lovino. Lelaki itu tersenyum, senyumnya begitu ramah dan lembut. Lovino menatap kedua mata lelaki itu, matanya begitu hijau dan menenangkan seperti hutan. Wajah Lovino memanas seketika.

"Buona sera, ah… wajahmu memerah seperti tomate" sapa lelaki itu.

"Buona sera! Wajahku tidak merah tahu!" Lovino menggembungkan pipinya, ia memalingkan wajahnya menyembunyikan rasa malunya.

"ahahaha kau manis sekali, ah aku hampir lupa, namaku Antonio, Antonio Carriedo. Siapa namamu signore?" Antonio tertawa kecil melihat reaksi Lovino.

"L… Lovino, Lovino Vargas. Jangan panggil aku manis bodoh! Aku ini bukan perempuan!" Lovino semakin memerah, sebenarnya ia sedikit senang dibilang manis.

"wajahmu semakin memerah Lovi" Antonio memandangi Lovino dengan tatapan

"Jangan menyingkat namaku bodoh!"

"tapi itu terdengar lebih manis kau tahu?" ia tersenyum.

"sudah kubilang jangan menyebutku manis! Sepertinya kau bukan orang itali, tapi sepertinya kau lafal berbahasa Itali" Lovino menatap Antonio dengan pipinya yang menggembung.

"wah aku ketahuan, kukira aku sudah terdengar seperti orang Itali asli hahaha. Aku dari Spanyol, tetapi orang tuaku sering membawaku ke Itali dan mengajariku bahasa itali"

"Spanyol, huh? Aku suka Spanyol mataharinya hangat dan ramah"

"benarkah? Apa kau maupergi ke Spanyol bersamaku kapan-kapan?"

"S… Si" pipi Lovino merona merah. Ia merasa perkataanAntonio sedikit ambigu.

"ngomong-ngomong aku baru pertama kali datang kesini, apa kau bisa menyarankanku kopi yang enak?"

"Si, tunggu sebentar disini. Kaupasti akan menyukainya"

Lovino beranjak dari kursinya menuju ke sebuah korner tempat si pemilik kafe membuat kopi. Lovino duduk disebuah kursi berkaki tinggi, lalu ia menopang dagunya dengan kedua tangannya.

"signore, bisakah aku meminta kopi yang biasanya?" Tanya Lovino pada pemilik kafe.

"tentu saja, tunggu sebentar "

Antonio memperhatikan Lovino dari kejauhan, baginya Lovino adalah seorang pemuda yang menarik. Antonio menyukai saat Lovino sedang memejamkan matanya selagi menunggu kopinya. Biarpun tutur katanya sedikit kasar dan tampaknya ia tidak terlalu mudah bergaul dengan orang asing, Lovino sebenarnya adalah sesorang berkepribadian baik, hanya saja caranya sedikit berbeda. Ketika Lovino menoleh, mata mereka berdua bertemu. Lovino yang menyadarinya cepat-cepat mengalihkan pandangannya kearah lain, pipinya merona merah. Antonio hanya tersenyum-senyum, dia suka bagaimana pipi Lovino memerah karena malu.

Kopi pesanan Lovino sudah jadi, siap untuk diminum. Lovino menyerahkan beberapa keping uang logam lalu beranjak menuju tempat Antonio. Lovino menaruh sebuah mug putih didepan Antonio. Aroma kopi itu begitu menggoda, Antonio meneguk kopinya.

"bagaimana? Apa kau suka?" Tanya Lovino sambil tersenyum kecil. Antonio hanya terdiam sambil menatap Lovino, pipinya sedikit merona. "hey idiota, kenapa kau diam saja? Bagaimana kopinya?"

"ah… maaf Lovi aku tadi tidak mendegarmu, aku terkesiap kau baru saja tersenyum padaku ahaha" Antonio tertawa kecil.

"Eeeh? A… apa maksudmu bodoh? Sudah katakana saja bagaimana rasa kopinya?" Lovino memerah, melihat wajah Lovino mengingatkan Antonio pada tomat-tomatnya.

"hm… aku suka kopinya, rasanya enak dan menenangkan. Biji kopinya diolah dengan baik, panasnya pas… ah pokoknya aku suka" Antonio tersenyum lebar, memamerkan gigi-giginya.

"sudah kubilang kan kau pasti akan menyukainya, itu adalah caffè marocchino andalan di kafe ini" Lovino tersenyum lebar.

"Lovi kau tahu? Kau sangat manis jika tersenyum seperti itu, aku mungkin akan jatuh cinta padamu" Antonio memandangi Lovino lalu mencubit kedua pipi Lovino.

"A… Apa yang kau katakan Bastard!? Aku tidak suka laki-laki!" Lovino merona merah.

Antonio masih mencubit pipi Lovino sampai memerah, ia tak menyangka kalau pipi Lovino begitu empuk dan halus. Kini dihadapannya terdapat Lovino dengan pipi merah menggembung dengan. Tanpa Antonio sadari, ia mendekatakan bibirnya kepipi Lovino lalu mengigitnya pelan. Lovino yang terkejut segera memukul Antonio.

"Apa yang kau lakukan bastard!?" korneanya mengecil, ia begitu kaget akan apa yang dilakukan Antonio barusan.

"Waaah maafkan aku Lovi, pipimu terlihat seperti tomat dan sangat menggoda,aku jadi ingin memakannya" Antonio memegangi pipinya yang terkena pukulan Lovino sambil meringis.

Lovino menghabiskan kopinya, ia lalu mengemasi barang-barangnya. Tanpa banyak bicara ia mengenakan mantel biru tuanya dan beranjak pergi.

"tunggu, Lovi kau mau kemana?" Antonio mencoba mengejar Lovino.

"pulang, bastard. Aku tidak tahan berada disini lebih lama denganmu" Lovino masih berjalan menuju pintu tanpa menatap Antonio.

"maafkan aku, tapi kita pasti akan bertemu lagi! Pasti!" Antonio menghentikan langkahnya.

"tidak mungkin idiot!" Lovino membuka pintu kafe lalu pergi.

Antonio berjalan menuju korner tempat Lovino tadi memesan kopi. Ia menarik sebuah kursi dekat dengan vas bunga kecil berisi bunga poppy putih. 'ah… bunga khas Itali,' pikir Antonio dalam hati. Antonio sedikit menyesali apa yang ia lakukan tadi, padahal ia masih ingin bersama Lovino lebih lama lagi. Ia masih mengingat bagaimana rasa pipi Lovino, lembut, kenyal, mengingatkannya pada mochi. Ah sungguh Antonio merasa ia sangat terpikat dengan pemuda Itali itu.

"kau tak perlu sedih, dia itu pemalu, jadi ia melakukan itu hanya untuk menyembunyikan rasa malunya saja" kata pemilik kafe sambil membersihkan mug-mug kopinya.

"benarkah? Kau baik sekali signore, boleh ku tahu namamu? Aku Antonio" Antonio memperhatikan pemilik kafe itu.

"Carlo, aku sudah mengetahui Lovino sejak lama, ia adalah pelanggan setiaku" Signore Carlo tersenyum ramah.

Tiba-tiba ponsel Antonio berdering, dilayarnya terlihat ada sebuah pesan masuk. Antonio membaca pesan itu lalu menutup ponselnya. "ah maaf aku harus pergi sekarang, ada urusan dengan temanku" kata Antonio.

"sering-seringlah berkunjung kesini" kata Signore Carlo.

"ya, tentu saja, arrivederci"

Antonio melambaikan tangannya lalu berjalan pergi meninggalkan kafe itu.


"Aku pulang" Lovino menggantungkan mantelnya di sebuah coat hanger.

"Selamat datang, fratello. Apa kau lapar? Ingin kubuatkan pasta ve?" Feliciano Vargas, adik kembar Lovino menyambut kakaknya.

"ah tidak perlu, aku ingin beristirahat dulu di kamar. Panggil aku saat makan malam"

"baiklah, frattelo nanti malam temanku akan datang, ia akan ikut makan malam bersama kita"

"ya, ya terserah kau saja" Lovino berjalan melewati Feliciano. Ia menaiki tangga menuju kamarnya. Suara kayu berderit menghiasi setiap langkah kaki Lovino, rumahnya berlantai kayu, menggambarkan sebuah rumah klasik. Kamar Lovino berada diujung koridor di lantai atas. Kamarnya tidak terlalu besar, tetapi nyaman untuk ditinggali. Dindingnya bercat cream-chocolate dengan sebuah ranjang kayu terletak dipojok ruangan. Angin semilir memasuki ruangan itu melalui sebuah jendela kayu, tirai-tirai chiffon putih menari-nari terkena hembusan angin.

Lovino merebahkan tubuhnya diatas ranjang, dan menenggelamkan wajahnya kedalam bantal. Lovino masih mengingat kejadian dikafe, wajahnya kini merah padam. Lovino tak pernah dipanggil manis oleh sesorang sebelumnya –kecuali kakeknya– Feliciano lah yang selalu menarik perhatian orang-orang disekitarnya, ya Feliciano dan selalu Feliciano. Memang adik kembarnya itu selalu melakukan sesuatu lebih baik darinya, mulai dari menggambar, bersih-bersih, bersikap sopan dan sebagainya. Ia tahu ia memang tidak bisa jujur, kata-kata kasar yang ia lontarkan selama ini hanyalah sebuah perisai untuk menutupi rasa malunya. Tapi lama-kelamaan ia pun terbiasa dengan semua perlakuan itu, semua rasa cemburuya ia kubur dalam-dalam.

"kau manis sekali"

Sebuah pujiaan kecil dari lelaki Spanyol itulah yang mampu membuat hatinya menjadi tak karuan. Lovino membayangkan betapa ramah wajahnya, betapa indah senyumannya, dan betapa ia menyuka kedua iris hijau itu. Lovino menepuk kedua pipinya.

'apa yang barusan aku pikirkan dammit, kenapa aku jadi teringat Spaniard bastard itu'

Lovino mencoba menyangkal semua pikiran-pikirannya tentang Antonio, dan hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Biarpun begitu, tetap saja susah baginya menghilagkan sosok Antonio dari kepalanya. Lovino memejamkan matanya, rasa kantuknya mulai menguasai dirinya.

"Fratello! Sudah saatnya makan malam!"

Lovino tersentak, baru saja ia ingin tidur Feliciano malah memanggilnya untuk makan malam. "kuso! Kenapa dia memanggilku di saat tidak tepat sih" Lovino turun dai ranjangnya dengan malas.

"Fratello?" Feliciano memanggil lagi, memastikan apakah kakanya mendengarnya.

"Iya iya! Aku segera kesana!" Lovino berjalan keluar dari kamarnya, dengan langkah berat. Satu persatu anak tangga ia langkahi. Saat mencapai lantai bawah ia melihat Feliciano sedang bercakap-cakap dengan temannya. Namun sesuatu mengganjal saat ia melihat lelaki itu. Ketika lelaki itu mengalihkan wajahnya Lovino langsung teringat. Orang yang sedang tidak ingin dilihatnya sekarang berada dihadapannya, dirumahnya.

"KAU! KENAPA KAU ADA DISINI?"

TBC