[ based on true story ]
" Mempercayai satu hal. Mencoba berpikir rasional untuk menemukan rumah.
Karena di saat kau menjumpai pemberhentian, saat itu pula takdirmu memiliki tujuan bersinggah.
—Colorful Gray, Opening.
.
.
.
.
.
..
.
;:;:;:;
.
1 / 5
.
.
.
.
.
.
Colorful Gray
— termination fools must be dumber —
.
.
.
©Jo Liyeol
2018!fic || nonsense || rate t || taekook!
drama || School-life || romance
deadly typo!so dangerous.
...
"Pulang denganku atau bagaimana?"
Irene mengekori Jungkook ke arah parkiran, "Yap," ia mengangguk sambil memeluk lengan Si Jeon.
Jungkook hanya menyetujui dalam diam, masuk ke area parkir YaGook, hampir meninggalkan gadis itu buat mencari motornya andai Irene tidak tiba-tiba menarik ujung almetnya berulang kali.
Jungkook menoleh, menaikan alis-alisnya heran, "Kenapa?"
"Taehyung!"
Menjadikan ia mengernyit, "Taehyung siapa?" pertanyaannya polos tergambar dari rautnya yang heran.
Saat Irene menunjuk sesuatu hanya dengan dagu, seketika Jungkook menoleh ke mana isyarat gadis itu terarah. Sekedar menemukan seorang siswa melewati mereka. Memakai jaket bertudung menutupi kepala, seragam musim dingin; kemeja seragam yang tidak dikancing menampakan kaos hitam polosnya, almamater, juga ransel yang menggantung di sebelah pundak. Balik tersenyum pada gadis itu.
Tatapan matanya dingin, tajam, akan tetapi membekukan luar biasa.
Tipikal anak nakal—salah satu siswa brengsek di YaGook mungkin.
Saat orang itu berlalu, Jungkook mengalihkan atensinya kembali pada Irene, "Siapa?"
Irene mendesau panjang karenanya. Lelah bercampur gemas, "Man, harus berapa kali aku katakan berulang-ulang? Setiap kucerita kau mendengarkan tidak sih?" lalu mendecak masa bodoh, "Dia—mantanku."
Maka Jungkook menampakan wajahnya yang berseri-seri, membulatkan 'Oh' dari bibirnya yang terpukau; isyarat bahwa inti sel otaknya yang sering kali buffering sudah sampai di server, "Dia mantan terindahmu itu? Dia?"
Irene mengangguk. Sedikit ragu sebab malu-malu.
Jadi Jungkook menyikut usil bahunya, dengan tanpa dosa menyemburkan tawa tatkala melihat wajah gadis ini bersemu, "Sumpah—Bae, mestinya kau lihat kaca sekarang—mukamu merah sekali persis pantat ayam! Aaah ... tidak-tidak—lebih mirip pantat monyet!" telapak tangannya sengaja menimpuk muka Irene, "—oh! Hangatnya mirip tai ayam!"
—cukup menjadikan Jungkook teraniaya di parkiran, menerima dengan tidak lapang dada bagaimana pukulan Irene menghujaminya anarkis.
; draw your attention.
Jeon Jungkook itu kurang peka, tidak begitu peduli keadaan sekitar, cepat sekali mengacuhkan situasi dan suka tak sadar arah. Ditambah ia tidak gampang mengingat muka orang.
Intinya, Jungkook pelupa dan lumayan lemot. Kadang juga kolot dan membingungkan.
Akan tetapi, berbanding jauh dengan tipikal polos dan naif seperti bayangan. Dia mudah sekali emosi dan meledak-ledak. Amarahnya cepat tersulut—walau tidak galak, ia jenis remaja yang tak mau kalah.
Perinsipnya: Selama ia benar, tidak akan ada kata maaf terlontar dari mulutnya. Namun jika salah, maka ia akan maju paling depan untuk mempertanggung jawabkan kebodohannya.
Hanya saja (mungkin) karena terlalu mudah disukai, dia sering sekali menghakimi orang dengan perangainya yang keras kepala dan pandai bicara.
Meski begini, Jungkook itu anak yang baik bagi teman-temannya. Kawan pemberani yang selalu membuat tertawa lewat candaannya.
.
.
"Apa?" kedua alisnya naik, menatap balik Irene yang mengamatinya lama. Ada jeda ketika Jungkook menunggu, memperhatikan gadis itu masih menelisik lewat cara yang mencurigakan, "Ei," Si Jeon mendecih tidak sabar, "Kenapa sih?!"
Irene justru menampakan cengir inosen.
Maka Jungkook memutar bola mata, hendak bangkit dari kursi dan keluar kelas, tapi Irene yang menarik pergelangannya sanggup membuatnya menggerit heran. Jungkook berbalik, wajahnya gemas memindai sahabatnya, "Cewek sinting, kuinjak kepalamu nanti."
Irene masih menampakan cengir saat membalas, "Kuinjak balik kepalamu, Jeon. Yang di bawah."
"Bangsat."
Lalu hening sebentar dengan Irene yang masih bertingkah sok polos dan Jungkook yang mulai emosional karena perutnya berontak menuntut isi.
"Maumu apa hah?" Jungkook mendesau malas, rasionya berandai-andai soal nampan kantin yang penuh lauk, "Bicara yang benar. Aku lapar demi Tuhan."
Kemudian, ia mendapati gadis itu melepas pergelangannya sekedar menunduk malu-malu sambil mengerucutkan bibir, "Ku-kurasa aku bocor."
Sebelah alis Jungkook terangkat heran, "Bocor?"
Lalu, di saat Irene menunjukan roknya; Jungkook paham apa yang gadis itu maksud hanya dengan melihat bercak kotor menodai rok hijau pinenya.
Menjadikan Jungkook tiba-tiba panik, mendongak heboh memperhatikan sahabatnya, berkata histeris; 'what the duck!' tanpa suara. Lantas membuka almamaternya, melempar ke pangkuan Irene dan sigap menarik gadis itu berdiri buat mengikat bagian lengan di belakang punggungnya.
Maka perlakuannya tak cukup membuat Irene berterima kasih.
—justru menoyor kepalanya kurang ajar.
"Percuma, bodoh!" ia mendecak, wajah cantik itu bersungut tempramental.
Jungkook menggerit, memicing tidak terima. Tapi belum sempat merespon Irene lebih dulu menunjuk bagian belakang rok, maka Jungkook sedikit menyelingak memperhatikan bokong siswi itu—sekedar menemukan corak kotor yang lebih banyak, "Wah, astaga ...," Jungkook menganga terlampau bodoh, lalu mengangkat kepala saat Irene menjenggut rambutnya, menjadikan mereka bersitatap lagi, "Lalu bagaimana ini?"
Irene menggedik bahu, "Apa lagi?" ia mendecak, "Tentu saja antar aku ke kamar mandi."
"Dengan keadaan begini?" alis Jungkook terangkat heran, "Yang benar saja, Sugar."
Lagi, Irene mendecak, "Celana olahragamu, Man. Kau tau aku tadi dihukum gara-gara lupa bawa seragam 'kan?"
"Ei, enak saja ... kalau celanaku kena tembus juga bagaimana? Tidak lucu jika pas dicuci ibuku melihat pantat celanaku berdarah-darah. Yang ada nanti dia kira aku disodomi guru olahraga."
Maka Irene terbahak-bahak dengan tidak elitnya. Lalu mengatupkan bibir sekedar menimpuk kepala Jungkook yang dibalas pukulan sama. Sambil menggusak rambut ia berujar separuh tawa, "Imajinasimu tinggi demi Tuhan," akan tetapi ia menggedik bahu singkat, sukses menjadikan surai panjangnya Jungkook buat berantakan, "Yah, tapi oke juga sih buat dicoba, aku jadi penasaran bagaimana reaksi mama Jeon."
"Cewek sinting! Benar-benar deh ... menyesal aku punya teman sepertimu."
Irene menjulurkan lidah masa bodoh, "Banyak omong. Sudah lemot, cerewet pula—dasar idiot!" lalu dengan santainya ia melangkah sekali buat merampas tas Jungkook dari gantungan meja, menyerobot celana olahraga kawannya lalu melempar asal ransel Si Jeon ke kursi, "Nanti kubawa pulang, aku yang cuci."
Jungkook cuma memperhatikan tatkala Irene memakai celananya, tak lagi berceloteh, sebab atas nama apapun—meski sering kali ia melempar umpatan tidak senonoh untuk anak perempuan ini, Irene tetap sahabatnya.
"Oke, ayo ke kamar mandi!" gadis itu merangkul lengannya, menyeretnya ke luar kelas dengan sebelah tangan menjinjing rok yang dilepas.
Jungkook masih mengikuti sebelum ia menyadari sesuatu tatkala keduanya melintasi koridor, "Hei—hanya ke kamar mandi? Lalu apa bedanya? Nanti bakal tembus lagi 'kan? Kau bawa pembalut?"
Dengan tanpa dosa Irene hanya berkata, "Ya Tuhan ... 'kan bisa beli saja di koperasi. Isi kepalamu banyak sekali pertanyaan ya?" intonasinya separuh mencemooh menjadikan Jungkook bersungut-sungut.
.
.
"Mampus," detik itu, Irene berubah kaku. Linglung dan luar biasa panas.
Sementara Jungkook justru menertawainya dalam diam, "Makan tuh koperasi!" ungkapnya mencela-cela memperhatikan tulisan 'close' di depan pintu ruangan dekat gerbang.
Maka Si Jeon mendapatkan sikutan kasar di ulu hati, dari gadis itu beserta seluruh ketidak terimaannya.
"Sakit brengsek!" murkanya tidak terima.
Sedangkan Irene hanya memicing kesal, "Jadi bagaimana?!"
Jungkook mendelik hiperbola, "Kenapa tanya aku? Kau yang menstruasi, aku yang tanggung jawab?"
Lagi, kali ini Jungkook menerima pukulan bertubi-tubi, "Bangsat sekali Anda, tuan Jeon!"
"Terimakasih, nona Bae!" Jungkook menjawab sambil menghentikan pergerakan kawannya.
Kemudian, tatkala mereka hanya saling tatap.
Hening yang mengambil alih pemikiran masing-masing.
Lalu, tak lama Irene menghela napas di saat Jungkook dengan polosnya membaca permintaan maaf di bawah tulisan close. Tidak peduli dengan keadaan koridor yang benar-benar ramai. Justru menunggu keputusan Irene untuk kemudian menyelesaikan masalahnya dan mereka bisa makan siang sama-sama.
Akan tetapi gadis itu justru menghentakan kaki sambil menggusak rambut panjangnya putus asa, "Ah, aku tidak tau! Jeon, beri aku mukjizat, please!" cukup bagi Jungkook untuk memperhatikannya lagi, sebab Irene berkata sambil menggoyang-goyangkan lengan atasnya.
"Pikirmu aku Tuhan?" ia mendecak sekilas lalu memutar bola mata, "Izin saja sana ke luar!" ia menunjuk gerbang pakai ibu jari.
"Jangan gila. Masih cukup waras buat diceramahi segala macam sama sir-Jang."
Satpam YaGook, pensiunan angkatan darat.
Maka Jungkook menghela napas, tengah memutar tubuh buat menghadap Irene langsung di saat onixnya begitu saja menemukan seorang siswa yang melangkah ke arah gerbang. Lantas dengan frontal ia tiba-tiba mendekatinya, "Hoi!"
Menyisakan bagaimana Irene menelisik; mengikuti langkah Jungkook lewat retina.
Merasa dipanggil, Taehyung menghentikan langkah, menoleh menemukan figur familier mendekat.
Ia tau Si gendut ini, yang matanya lebar sekali dan senyumnya persis kelinci.
Tapi ia tidak mengenal namanya—yah, tidak penting juga sih.
Kemudian, fokusnya justru berpaling pada keberadaan Irene di belakang Si gendut. Gadis cantik yang melebarkan mata nyaris tersedak memperhatikan sosok ini berjalan ke arahnya.
"Belikan pembalut, please. Temanku butuh."
Hanya dengan itu. Taehyung lantas menatap Jungkook lekat-lekat. Ia mengernyit, "Apa?" melontarkan tanya separuh heran dengan kening yang berkerut.
Berharap kalau pendengarannya memiliki problem barusan.
Namun di saat dengan mudah Jungkook bicara, "Kau jam olahraga 'kan? Mau ke luar? Belikan pembalut, di koperasi habis!" dengan ekspresi yang terlalu serius dan kelewat tanpa dosa.
—terlampau cukup.
Menjadikan Taehyung mengernyit. Nyaris tergelak sinis dari sudut bibirnya yang terangkat pongah, lalu; yang ia lakukan justru mendesau antagonis sambil menatap Jungkook mencemooh, "Ei ... sudah gila ya? Mati saja sana."
Lalu berbalik, meninggalkan siswa itu begitu saja.
Sanggup menjadi pusat perhatian ramainya anak-anak di sana.
"Kenapa itu?"
"Tidak tau."
"Astaga ... ."
"Kenapa-kenapa?"
"Barusan Taehyung bukan?"
"Itu Irene?"
"Yang tadi kenapa?"
"Coba tanya yang lain, aku tidak tau demi Tuhan. Tiba-tiba Taehyung meninggalkannya begitu saja."
"Ditinggalkan? Serius?"
"Iya. Aku juga lihat."
"Berarti dia dicampakan."
"Wah ... dicampakan Taehyung."
"Siapa sih?"
"Lupa namanya, anak Multimedia A. Temannya Irene itu loh."
"Oh dia ... kasihan, padahal tampan. Kenapa harus suka Taehyung."
"Iya, jadi dicampakan. Kasihan."
"Ada apa sih? Siapa yang dicampakan Taehyung?"
"Anak Multimedia A."
Dan celotehan itu masih berlanjut hingga Irene menghampiri, menepuk bahunya dan menggeret Jungkook menjauh.
.
.
Jungkook menggebrak meja.
Amarahnya masih meledak-ledak semenjak tadi.
Mengumpati segala macam hal dan menatap kasar seluruh siswa yang mencoba memperhatikannya penuh tanya.
Sementara itu, Irene cuma memangku dagu. Bersyukur baginya, meskipun tempramen manisua ini ada di ubun-ubun dia masih bersikeras mencarikan pembalut untuknya. Maka gadis itu cuma memangku dagu, sebelah tangan mengusap punggung Jungkook suportif berusaha menenangkan emosi jiwa lelaki ini. Di sisi lain, dirinya sedikit malu pada kerumunan anak-anak di kantin.
"Bajingan! Jahanam! Keparat! Bocah brengsek sialan! Apa susahnya membeli pembalut, hah?! Menolong orang saja tidak mau! Bangsat!" lagi, untuk kesekian kali Jungkook meracau tidak jelas sembari mengaduk-aduk sup ikan di nampan pakai tangan yang lain. Jemarinya mengepal di sumpit, menusuk potongan ikan dengan ujungnya, "Sumpah! Awas kalau bertemu lagi! Demi Tuhan bakal kubuat kau merasakan malu yang sama!"
Irene meringis, tangannya yang memangku dagu beralih menyuap nasi, "Sabar, Kook. Siapa suruh kau minta tolong ke dia, begitu lah, dia memang seperti itu."
Menjadikan Jungkook yang tengah emosi lantas mengintrupsi sejenak tempramennya, sekedar memperhatikannya dengan kening yang tak lagi berkerut; justru obsidian itu memancarkan kepolosan yang bingung, "Memang dia siapa?"
Pelafalannya terlalu inosen untuk orang yang tengah marah menggebu-gebu, hingga sanggup membuat Irene hampir menyemburkan isi mulut. Gadis itu mengernyit, kelihatan luar biasa heran; ia menggeleng tak percaya, "Astaga, Kook, baru kemarin kita papasan di jalan. Yang di depan parkiran aku sapa itu loh. Dia Kim Taehyung!"
Menghasilkan Jungkook berkedip dengan mulut setengah menganga, "Hah?"
.
.
Loading process.
.
.
.
.
Buffering.
.
.
.
Wait a few seconds ...
.
.
.
.
.
—complete detected.
.
.
Memakan waktu cukup lama hanya untuk membuat gadis itu terperenjat di tempat, juga anak-anak di kantin yang lantas memperhatikan mereka sama terkejut, "OH PANTAS SOMBONG! ANAK HITS! BIASA DIKEJAR-KEJAR SIH, DASAR COWOK BRENGSEK!"
"Aduh mulai lagi. Sabar, Kook, sabar. Dibilang siapa suruh kau minta tolong ke dia, semua orang juga tau dia seperti itu. Cuek, dingin, individualis," Irene menekankan, sigap membekap mulut Jungkook dengan tangan-tangannya, "Tapi aslinya baik kok."
Hal yang justru membuat Si Jeon semakin menjadi-jadi. Emosionalnya sampai di puncak, terlalu cukup untuk menjadikannya mengamuk barbar, "PERSETAN! MAU BAIK ATAU MALAIKATABLE SEKALIPUN, KENAPA MEMANG HAH? MANA? DIA 'KAN COWOK PALING TAMPAN DI SEKOLAH?! FUCK! TAMPAN APANYA?! COWOK TIDAK TAMPAN TUH KALAU BRENGSEK BEGITU!"
Lantas, Irene menahan napas tatkala Jungkook melampiaskan semburan emosi jiwa padanya, "Kook ... ."
Lalu, gadis ini hanya mendecak persetan saat dengan berapi-apinya Jungkook mendongak kesal, menggerit marah sambil mengepalkan tangan-tangan di atas meja, "Awas saja Kim Taehyung. Kuingat-ingat nama dan muka jelekmu!"
.
.
stitches a something that hasn't been embroidered yet.
Di koridor, Taehyung tengah menguap; melangkah abai melewati ramainya siswa-siswa YaGook tatkala di persimpangan ia melihat Irene dan Si gendut melangkah ke arah sebaliknya.
Kemudian saat mereka berdiri bersebelahan—di waktu yang sama ketika Taehyung bahkan terlampau malas untuk peduli pada Sang mantan, teriakan sarkasme menusuk gendang telinganya keras-keras.
"BRENGSEK!"
Hah?
Apa?
Apa itu?
Suara Si gendut 'kan?
...
Di kantin, Taehyung tengah merecoki Jimin; regelak riuh bersama kawan-kawan satu basisnya di meja tengah saat ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Si gendut yang melangkah dari arah belakang.
Melewatinya dengan kurang ajar sambil berteriak, "BRENGSEK!" membuat atensinya dan seluruh kawan-kawannya teralih pada sosok itu yang bahkan tidak menoleh sedikitpun. Justru dengan kepala batu melangkah santai membawa nampan kantin ke tempat Irene di pojok sana.
Yeah, Si gendut.
...
Di pinggir lapangan, Taehyung tengah mengikat tali sepatu; memakai lagi sneakersnya usai mengambil penilaian lompat tinggi —matrasnya takut kotor, kata guru olahraga— tatkala ia menemukan Si gendut tidak jauh di sana, berjalan ke arahnya membawa buku-buku paket sendirian.
Taehyung nyaris masa bodoh dan berusaha persetan tentang apapun yang akhir-akhir ini bocah itu lakukan. Akan tetapi, tatkala dengan keterlaluan sosok itu lagi-lagi berteriak dari vokalnya yang cempreng, "DASAR BRENGSEK!" Taehyung hanya tidak terima sebab ia melakukan sambil menendang sneakersnya yang belum sempat dipakai.
Sebentar, Taehyung hanya memperhatikan—diam sesaat lantas mendengus kasar, bangkit dari posisi dan memperhatikan punggung figur itu menjauh.
Tak butuh waktu lagi baginya buat mengejar Jungkook, "—bangsat! Berhenti cari sensasi!" menarik kasar salah satu bahunya. Menjadikan tangan sosok itu tergelincir; menjatuhkan semua buku yang ia bawa. Sejenak, Jungkook terperenjat. Tapi melihat bagaimana cara Taehyung menatapnya penuh emosi tak lagi membuatnya bertanya-tanya, "Kau mengataiku?!"
"Apa?" Taehyung mengernyit saat mendapati sosok ini jutru bersikap terlalu kalem, "Ei ... apa-apaan?" tersenyum di sudut dari caranya yang jelas-jelas mencemooh. Jungkook menggulung tangan-tangannya angkuh, masa bodoh buku yang berserakan, "Wah! Jadi kau merasa brengsek?"
"Jeon Jungkook. Kuingatkan kau—"
Nyaris Jungkook tercekat ludahnya sendiri mendengar vokal itu menyuarakan namanya.
Sial.
Bagaimana bisa bocah ini mengenalinya?
Akan tetapi Jungkook berlagak sok angkuh dengan menatap balik hazel yang berpendar itu. Marah, Jungkook paham sosok di depannya benar-benar marah. Tapi mau bagaimanapun mengalah tidak ada di kamus hidupnya, "Bagus kalau kau sadar, Taehyung-ssi," ia mendecak sambil menepis kasar tangan Taehyung di bahunya. Justru berbalik menarik kerah kemeja Taehyung yang tidak dikancingi, memajukan wajah sambil menggerit jengah, "Cuma ingin manyampaikan ... mati saja sana."
.
.
flashback.
...
Di kantin, kening Jimin berkerut bingung memperhatikan punggung Jungkook yang berlalu usai berteriak demikian.
"Kenapa anak itu?" Hoseok yang bicara, terkekeh tipis; iris matanya pun menelisik heran langkah Si Jeon yang menjauh.
Kemudian, penuturan tiba-tiba Seokjin cukup menjadikan Taehyung yang emosi dalam diam mendelik padanya, "Jungkook memang suka lucu. Aneh-aneh saja tingkahnya ya Tuhan."
"Kau mengenalnya?" Taehyung menggerit tanpa sepengetahuan siapapun.
Seokjin tergelak tipis, kepalanya bersandar di bahu Namjoon; memainkan jemari besar kekasihnya saat menjawab kalem, "Memang berapa anak yang kelihatan semanis itu?" ia menggedik alis, "Dia tidak terlalu populer, namanya juga tidak terkenal. Tapi setidaknya ... wajahnya sangat familier. Apalagi dia kawan dekat mantanmu—kau tau di YaGook tidak ada yang tidak mengenali Bae Irene 'kan?"
Taehyung memutar bola mata karenanya, "Aku cuma tanya ... kau mengenalnya?" nada bicaranya terdengar luar biasa dingin dan tak cukup banyak kesabaran. Terlalu aneh buat teman-temannya melihat Taehyung bertingkah seperti ini.
"Jeon Jungkook," Seokjin berucap usai menghela napas maklum. Paham bahwa tempratur di antara mereka mulai mendingin sebab Taehyung, "Sekelas dengan mantanmu."
Maka Taehyung merasa cukup untuk mensuplai informasi.
Sebab tidak lagi ada yang lebih penting ketimbang mengetahui nama dan kelas orang yang berani begini kepala batu memperlakukannya.
.
.
; maybe, must be done.
Bagi Taehyung, cinta hanyalah sebuah diksi dari beragam kata-kata di muka bumi.
Sepenggal antologi pendek buat mengungkap sepotong egoisme.
Bagi Taehyung, cinta hanyalah pupuk dari kekeliruan manusia.
Sebuah hasrat yang dimiliki sepasang individu.
Bagi Taehyung, cinta hanyalah testimoni dari dongeng ilusi.
Sekedar sajak untuk menarik perhatian lawan jenis.
Dan bagi Taehyung, cinta hanyalah satu kata dari beragam warna; yang tanpa arti dan tak bermakna.
Bodoh, juga terlalu tolol.
.
.
Dini hari pukul satu, Taehyung membuka pintu kediamannya. Melangkah masuk. Tidak lagi terkejut ketika sebuah suara mengintrupsi pergerakan kakinya, "Bagus sekali, jam segini baru pulang? Mau jadi apa kau?"
Ia hanya menghela napas, mendongak menatap langit-langit lantas tersenyum mencemooh di sudut. Hazelnya mengkilap saat menoleh, mendapati ibu dan ayahnya duduk di ruang tengah, "Bicara seakan-akan sungguhan orang tua."
Sejenak, senyap.
Maka pria yang sebelumnya berkata membolakan mata, menepuk kasar sofa yang diduduki, berdiri dengan diselubungi emosional utuh, "ANAK INI!"
Taehyung hanya mendecak, bertahan di posisi tatkala melihat pria itu berjalan mendekat. Langkah-langkahnya menyiratkan amarah dan tempramental, luar biasa dipenuhi kabut angkara.
Taehyung tetap di sana, bahkan ketika ibunya mengejar Sang ayah; berusaha menghentikan laju kaki pria itu.
Taehyung tetap di sana, sampai ayahnya berdiri di hadapannya. Menatapnya benci.
Taehyung tetap di sana, hingga untuk kesekian malam tubuhnya menjadi pelampiasan emosi.
Taehyung tetap di sana, menulikan pendengaran dari ibunya yang histeris dan mencoba melindungi.
Taehyung tetap di sana, tidak peduli untuk tubuhnya yang terasa mati.
Dan tetap di sana, lungsur, meringkuk di bawah tendangan Sang ayah. Memaki, meneriaki bahwa pria itu menyesal mempunyai anak sepertinya.
Taehyung masih bertahan, menggulung diri di lantai, memeluk lutut-lutut berusaha persisten, masa bodoh buat segala lontaran demi lontaran orang tuanya yang saling menghardik.
Mencoba sekeras mungkin untuk menghilang, mengacuhkan tentang gema tamparan yang melukai ibunya. Taehyung hanya menginginkan lenyap untuk malam-malam yang kembali suram.
Terlalu lelah untuk mereka. Sepasang insan yang selalu menjadikannya alasan untuk bercerita omong kosong soal tak ada perpisahan. Menjadikannya alasan untuk melontarkan cerca-amarah saling beradu. Menjadikannya alasan untuk membuat luka satu sama lain.
Kedua orang itu ... telah menjadi suami. Istri. Ayah. Ibu—tapi belum menjadi orang tua.
Taehyung tau dirinya tidak diharapkan. Terlalu paham bahwa tak pernah ada yang menyayanginya.
.
.
.
Apa gunanya Mansion luar biasa megah?
Apa gunanya ratusan orang menunduk padanya?
Apa gunanya gelimangan harta?
Kalau yang mengisi hari-harinya hanya kelam dan lautan darah.
.
.
Jungkook menguap di ujung koridor, pagi di YaGook sama sekali bukan hal bagus. Bangunan sekolah masih terlihat sepi, dan hebatnya; dia bukan tipikal siswa rajin.
Sumpah demi Tuhan, malas sekali sudah ada di sekolah jam segini kalau bukan karena ocehan Sang ibu di pagi-pagi buta —awalnya mengomeli Si kakak yang susah sekali dibangunkan untuk kerja— yang menjadikannya kena imbas dimaki-maki pula.
Biasa, the power of emak-emak (selain menguasai jalanan, menyalakan lampu sein kiri belok kanan) adalah ketika mengomel pada salah satu anggota keluarga, maka semua orang di dalam rumah turut terkena kamehameha.
"Wonwoo sialan. Kalau bukan karena kau sudah bisa cari uang, pasti kuinjak kepalamu nanti malam."
Persetan Jeon Wonwoo. Nyatanya untuk satu tahun ke belakang Jungkook tidak lagi berani pada abangnya—karena pemuda itu dengan senang hati tak akan memberi adiknya jatah di hari gajian.
Satu fakta yang Jungkook mulai takuti dari abangnya.
—tentu saja berfokus pada uang.
"Ya Tuhan! Ini sekolah atau rumah hantu?!" suaranya menggema di koridor yang sepi. Jujur saja, Jungkook itu penakut. Lantas memperhatikan jalanan di depannya yang luar biasa sunyi adalah hal termistis yang pernah ada.
Mitos kuno soal; 'Sekolahmu bekas rumah sakit' tiba-tiba terngiang dipikiran.
Sial.
Jungkook menggumam racauan aneh, seperti bait-bait yang bisa mengumpulkan makhluk supranatural seantero YaGook, sekeadar berdoa seiring melewati koridor.
Matanya terpejam, kakinya melangkah, bibirnya tak berhenti komat-kamit.
Jungkook berjalan tanpa menghiraukan sekitar, berharap cepat sampai di kelas.
Sementar itu, Taehyung mendesau. Menjejak abai melewati ubin-ubin di bawah sneakers marun, di musim panas tubuhnya terbalut hoodie; tudungnya menutupi kepala, wajahnya tertutup masker, sedangkan jemarinya tak henti mengusap pergelangan tangan kanan.
Menutupi segala kekacauan yang dibuat tadi malam.
Untuk remaja sepertinya, datang ke sekolah jam segini memang terlalu awal. Akan tetapi Taehyung sudah terbiasa, hanya mengharap jika dirinya bisa menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah—di luar rumah secara literal. Mungkin tidur dalam kelas akan lebih baik dari pada berlama-lama di sana. Dalam 'Neraka dunia'-nya.
Sejenak ia menunduk sampai pada tikungan lorong.
Kemudian, langkahnya mati.
Mengernyit sebentar memperhatikan ransel pada punggung seorang siswa—bukan-bukan. Yang Taehyung heran hanya bagaimana cara siswa itu berjalan. Terlampau berat dan sukar.
"Kenapa jalannya seperti itu? Apa dia kena ambeien?" Taehyung mengernyit, kemudian menggedik masa bodoh. Persetan penyakit orang—toh dia juga tidak kenal.
Akan tetapi, ketika yang dimaksud membuka mata, menatap koridor di hadapannya yang tidak kunjung berkurang—
"BANGSAT! Dari tadi aku tidak berjalan apa?! Kenapa masih panjang sekali ya Tuhan?!
—akal sehat Taehyung mengenali suara itu.
Menjadikannya tersenyum di sudut, "Aw ... kita bertemu di sini gendut," lantas ia memasukan tangan-tangan ke saku hoodie. Melirik sekilas sapu-pel yang tersandar di tembok tak jauh dari tempatnya. Maka Taehyung berjalan mendekat dengan senyum yang tersinggung misterius.
Seketika, Jungkook mendadak bersin. Entah mengapa merasakan firasat kurang enak, "Ah ... sumpah! Tidak lagi-lagi aku datang sekolah jam segini!" ia mendengus emosional, "Benci sekali ak—" sekejap, ucapannya terhenti tatkala pendengannya mendengar langkah kaki mendekat. Dalam hati merasa lega luar biasa—sumpah berbunga-bunga. Tapi ketika ia buru-buru berbalik—
"MAMAAA!"
—Jungkook menjerit histeris menemukan rambut melayang di depan mata.
Mampusmampusmampus.
Ia menunduk hingga berlutut, memegani kepala ketakutan.
Mantranya masih berlanjut dalam hati, terlapal banyak sekali sebab terlalu panik.
Kemudian, tak lama setelah ia berjongkok; meringkuk dengan punggungnya yang bergetar dan mulutnya tak berhenti kembali menjerit-jerit. Jungkook tersentak karena gelak tawa terdengar dari arah depan.
Heran tapi juga merinding.
Sedikit memberanikan diri, lamat-lamat, ia mendongak perlahan. Mengintip takut-takut buat melihat objek apa yang tengah tertawa sebegitu senang.
Hingga dirinya menemukan Kim Taehyung yang terbahak-bahak sambil bertepuk tangan heboh, "Astaga benar tebakanku! Kau penakut ternyata ... bukan ambeien."
Dari posisi, Jungkook bisa lihat serabut alat pel yang kotor tergeletak dekat kaki sosok ini.
—sial, berarti ... tadi bukan rambut melayang?
Jungkook menggerit, kedua alisnya menukik geram sementara matanya menyalang emosional; berusaha memusnahkan Taehyung yang masih menertawakannya.
"Ya Tuhan ...," Si Kim berusaha mengendalikan diri, mengusap kasar sudut mata yang berair. Memeta Jungkook lerlalu lekat, lantas mengusung raut menjengkelkan dan mencebik, "—mamaaa," tuturnya hiperbola memperagakan ketakutan Jungkook; sedikit membusurkan tubuh ke belakang dengan tangan-tangan yang menggelitik di depan dada. Lalu ia tertawa lagi, kembali bertepuk tangan konsisten. Senang sekali sepertinya, "Aduh!" ia berteriak kecil, memegangi perut tatkala Jungkook bangkit dan dengan emosi menendang ulu hatinya.
"Kau pikir ini lucu?!" Si Jeon menyalak, "Candaanmu norak sekali demi Tuhan!"
Ia berdiri menghadap Taehyung, retinanya menyalang kesal. Hanya memperhatikan bagaimana siswa Kim ini masih sanggup tertawa sambil menahan sakit, "Kau saja yang parno'an," Jungkook mendengus, rahangnya mengetat tempramen. Ingin sekali menghajar Taehyung namun Si Kim justru bangkit, berdiri tegap dengan sisa-sisa histeria. Ia memegani sebelah pipi yang tertutup masker, "Aduduh ... kapan ya' aku tertawa sebahagia ini—" ia kembali tergelak. Tak berangsur lama, hazelnya menatap Jungkook mencemooh, "Gendut, lakukan itu sekali lagi. Sumpah. Nanti aku bayar deh."
Maka yang Taehyung dapatkan adalah tinju anarkis Jungkook menghujaninya.
Terlampau gemas dan meledak-ledak.
Meski begitu, fakta yang sangat menyebalkan untuk Si Jeon adalah Taehyung tetap terpingkal keras meski tubuhnya menjadi samsak dadakan.
Seakan kekuatan Jungkook yang seperti badak bukanlah apa-apa.
.
.
Sampai jam pulang sekolah, Irene sungguh merasa heran. Berpikir banyak sekali tentang sahabatnya yang berubah error.
"Jungkook, kenapa sih?" mereka berjalan menuju parkiran tatkala pertanyaan sejenis kembali ia lontarkan.
Jungkook cuma mendengus. Kesal. Emosi. Geram keterlaluan—menjadikannya tutup mulut dan mengumpat dalam hati.
Justru membuat Irene semakin memupuk beribu tanya. Tidak bisanya Jungkook begini; bocah itu terlalu memiliki banyak energi buat berdiam diri. Bahkan ketika marah; Si Jeon lebih suka mengumpat blak-blakan ketimbang membatin persis orang kebanyakan hutang.
Dan mungkin, Irene sedikit paham apa yang terjadi di saat mereka melewati tangga lantai dua, hendak mengarah ke bawah.
Gerombolan anak-anak hits YaGook yang biasa berkumpul di sana meneriakinya seperti biasa, "Irene! Irene!" sorak sorai mengharap notice. Akan tetapi ada satu suara berseru: "Gendut! Lawak! Oi!" dari vokal Kim Taehyung sambil cengengesan, sanggup membuat Jungkook menghentak kaki, berjalan lebih cepat buat buru-buru pergi.
Maka Irene nyaris ternganga saat ia menoleh, mendapati Taehyung yang mati-matian menertawakan punggung kawannya.
"What—?"
Taehyung tertawa? Di depan publik?
Tumben sekali.
Lantas, satu hal yang tak Irene percayai adalah ketika Taehyung menatapnya lalu berucap, "Salam buat Si gendut! Bilang, mau kuantar pulang tidak?" sambil terkekeh dari sisa-sisa kesenangan hatinya.
.
.
"Kukira kau membencinya," Jimin berkomentar setelah Irene menuruni tangga. Memperhatikan Taehyung lekat-lekat.
Si Kim cuma menggedik bahu, "Memang," menjadikan kawan-kawannya mengernyit heran.
"Lalu kenapa tadi ...?" suara Seokjin terdengar tidak yakin.
Taehyung mendengung cukup lama. Seolah-olah berpikir, memasukan tangan ke saku hoodie yang kembali ia pakai setelah KBM berakhir. Lalu memutar tubuh, membelakangi sahabat-sahabatnya sekedar melihat ke arah gerbang; mengintai figur Irene mengejar Jungkook di depan area parkir.
Sudut bibirnya menyunggingkan senyum mendapati bagaimana siswa itu bersungut-sungut menceritakan sesuatu pada Si Gadis.
"Kalau dia bisa cari sensasi denganku, kenapa aku tidak?" sebelah alisnya terangkat menyebalkan, "Jeon Jungkook, Multimedia A 'kan? Anak itu lucu—benar katamu," sudut matanya melirik Seokjin, "Lumayan untuk menghilangkan jenuh," lalu kembali ke Jungkook seiring sikunya bertumpu di tembok pembatas dan memangku dagu, "Ingat ini baik-baik, Man. Dia duluan yang mulai cari-cari perkara, aku cuma mengikuti dan sedikit bermain."
.
.
Ketika fokus pada satu hal, Jungkook bisa melupakan segalanya.
Pukul lima ia masih berkutat dengan laptop, mencurahkan inspirasi pada diktat literatur. Tatkala kerongkongannya menelan liur Jungkook bangkit merasakan haus menerjang, lantas bergegas keluar kamar.
Jemarinya membuka kulkas dan menenggak sebotol kola begitu saja. Onix kelamnya melirik ke jendela dapur, menemukan langit mulai gelap; lalu tanpa dosa ia berpaling, memusatkan konsentrasi menelan minuman.
Tak lama hingga sel-sel otaknya yang lemot mengingat satu hal.
Janjinya pada Irene.
—sukses menjadikannya tersedak.
Jungkook menunduk, terbatuk-batuk dan merasakan kepalanya sakit akibat kola yang keluar dari hidung.
Ia berdeham banyak sekali, mengembalikan botolnya buru-buru lalu bergegas balik ke kamar.
Sore.
Sial!
Jungkook melirik jam di dinding, mengumpat berkali-kali merasa bersalah. Janjinya dengan Irene ada di pukul tiga. Menemani gadis itu ke pesta ulang tahun salah satu teman hitsnya.
Jungkook meraih ponsel, mencari-cari nomor siswi itu.
"Halo? Halo? Halo?! Irene, halo?!" meracau cepat saat sambungan diterima.
Sekedar menjadikan telinganya tuli temporer mendengar bagaimana gadis ini marah-marah memakinya.
"Maaf, maaf ... sumpah. Aku lupa waktu," Jungkook bergumam menyesal, "Kau sendiri kenapa tidak ke rumahku? Harusnya kau ke sini. Sudah tau aku pelupa!"
"Idiot banyak omong! Sudahlah, percuma debat banyak-banyak denganmu!" Irene mendengus, "Kau prepare saja sekarang, jam setengah tujuh aku ke rumahmu! Kita ke sananya pas malam. Jangan ngaret!" jeda sebentar sebelum gadis itu mendesau geram, "Kalau aku sampai masih belum siap—sumpah, mampus kau!"
Kemudian, sambungan diputus sepihak. Menyisakan Jungkook yang menahan napas linglung.
.
.
stitches a something which began been embroidered yet.
Bangsat—semoga terkutuk Bae Irene beserta kawan-kawan hitsnya.
Mati saja semua, mati.
"Mimpi apa aku semalam?"
"Dihadapkan pangeran tampan? Entahlah—yang jelas kau pasti mimpi indah."
Jungkook mendecak, memutar bola mata. Hendak melangkah pergi akan tetapi Taehyung menghalang-halangi.
Menjadikan Jungkook lagi dan lagi mendesau menahan kesal. Tempat seperti ini sama sekali bukan gayanya, terlebih, kalau-kalau ia memukul Taehyung sekarang; sudah pasti mereka bakal jadi sumber perhatian.
Dan Jungkook benci mempunyai urusan dengan anak-anak perempuan gila yang menggemari orang ini.
Jungkook menghentak kakinya, menatap Taehyung tepat di retina, "Please, aku benci sekali melihat mukamu. Jangan buat aku berkata kasar."
Si Kim tergelak rendah, "Hei, jangan begitu. Kau akan menyesal melewatkan kesempatan bagus seperti ini—jarang-jarang loh ada malaikat yang mencegat upik abu gendut sepertimu."
Maka Jungkook mengusung wajah luar biasa datar, "Uh, rasanya ingin berkata dosa tapi takut anjing."
Cukup membuat Taehyung terbahak-bahak dalam sekejap. Menyemburkan gelegar tawa, menggemakan suara-suaranya hingga bertepuk tangan terlampau heboh.
Jungkook menggerit bengis, menyesal mengabaikan keinginannya tadi. Sebab tanpa memukul Taehyung, mereka langsung menjadi sumber perhatian.
Bajingan. Batin Jungkook tak henti-henti.
.
.
"Wow! Jadi ini kenapa kau ingin mengingat-ingat nama dan muka jelek Kim Taehyung?" Irene mengambil duduk di sebelah, intonasi dari nadanya ketika berbicara terlalu penuh siratan sarkasme. Melecehkan bukan main, "Buat mencari perhatiannya?"
Jungkook hanya mendengus menerima satu gelas yang gadis itu sodorkan, "Perhatikan kata-katamu, Sugar," ia menggerit sensi, "Untuk apa mencari perhatiannya—uh, jijik. Lebih baik menggaet Bang Sihyuk songsaenim," ia mendecak kemudian, "Om-om kemayu itu jauh lebih tampan dari pada dia!"
Irene hanya mendengung, berusaha abai dan konsisten mencemooh, "Ya, ya ... lihat betapa jeleknya dia," gadis ini menunjuk dengan dagu bagaimana Taehyung dikerumuni perempuan genit. Lalu menggeleng menyebalkan, "Sangat-sangat jelek ya? Astaga ... jeleeek sekali."
Jungkook mencibir karenanya. Malas meladeni lebih jauh.
"Jangan begitu, Jeon," Irene menggumam, menyandarkan kepala di bahunya, "Kau belum tau sifat aslinya seperti apa," atensi gadis itu terfokus pada Taehyung, "Dia tipikal yang sulit dilupakan. Benar-benar menjadi mantan yang terindah."
Untuk kesekian kali Jungkook mendengar Irene bicara begitu, tapi sumpah, baru kali ini ia merasa mual.
"Tidak ada sejarahnya," Jungkook menanggapi ketus, "Kalau memang dia baik, dan benar-benar tak terlupakan ... harusnya kalian tidak akan putus 'kan?" lalu mendecak sentimentil, "Karena yang terindah tidak mungkin menjadi mantan."
Hening sebentar.
Sampai Irene kembali duduk tegap dan memperhatikannya lamat-lamat sambil menutup mulut hiperbola, "Ooow ... kata-katamu boleh juga, Man!"
Perilaku yang menjadi alasan mengapa gadis itu kena jambak.
Lalu, ketika Irene membalas. Tak henti memukulinya kelewat barbar, Jungkook hanya tertawa menyebalkan. Hingga ia menghela napas dan mendesis sebal, menggerutkan kening pada kawannya, "Jujur saja, Bae. Aku heran kenapa anak seperti itu bisa dibilang tampan? Dilihat bagaimanapun dia sangat-sangat mengesalkan loh. Dan menurutku, cowok sama sekali tidak tampan kalau sifatnya jelek."
Irene menghentikan pukulannya. Kemudian menatap Jungkook tepat di retina, ada jeda sebentar sebelum ia tergelak pelan.
Kawannya emosi; tapi tumben sekali Jungkook tidak meledak-ledak.
"Mungkin karena kau laki-laki?" ia menggedik bahu kliat, "—yakini saja, kau pasti tidak mengerti, Jeon. Karena anak cowok pasti menganggap dirinya sendiri lebih tampan dari cowok lain. Tidak peduli seburuk apa wajahnya."
Pernyataannya cukup menjadikan Jungkook mendengus, "Oke, anggap ini cara halus kau mengataiku buruk rupa—oke, aku paham ... oke, Bae. Mulai sekarang aku cari teman lain saja, oke."
Ketika Jungkook membuang muka ke depan, Irene justru terbahak-bahak.
Seketika menghamburkan diri memeluk leher kawannya, "Aaah ... utututu, Kookie merajuk aigoo ...," berusaha menggoda Jungkook, membuat remaja itu menyerah dengan tingkahnya. Sesekali menggelitik pinggang Jungkook, menggusak puncak kepala ke lehernya dan terus berjuang suapaya kawannya tertawa—dengan Jungkook yang bersikukuh untuk diam lewat rautnya yang kesal.
Hingga melewatu satu kenyataan.
Sama-sama tak menyadari bagaimana Taehyung terus mencuri pandang memperhatikan keduanya dari sana.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
—tbc.
Jo Liyeol's Curhat Timing!
buat sayangku; taecookys ciom sini ciom kesayangan ku =3=
[ Wattpad : joliyeol ]
Ketemu dedek yooo di wattpad!
kita ngobrol-ngobrol di sana ...
PS(1): semua typo yang ada adalah kekhilafan.
PS(2): kucinta kaliaaaan ft. titik dua bintang. (tebar sempak dan kecup basah) =3= mumumu
PS(3): thanks for: follows, favorite, and reviews.
PS(4): see you on chapter one.
— 29.01.2018 / 07.02.2018.
